Anda di halaman 1dari 21

HUKUM PENGGUNAAN BAHASA ASING DALAM PEMBUATAN AKTA

NOTARIS BERDASARKAN PASAL 43 UNDANG-UNDANG JABATAN


NOTARIS

OLEH :
PRISMA KESUMANINGRUM
12220046

MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS NAROTAMA
2020
DAFTAR ISI

JUDUL

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1.................................................................................................................Latar Belakang
....................................................................................................................................... 1
1.2............................................................................................................Rumusan Masalah
....................................................................................................................................... 4
1.3..............................................................................................................Tujuan Penulisan
....................................................................................................................................... 4
1.4.............................................................................................................Metode Penulisan
........................................................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 6

2.1............................................................................................................Pengertian Notaris
....................................................................................................................................... 6
2.2........................................................................................................Kewenangan Notaris
....................................................................................................................................... 6
2.3................................................................................................................Pengertian Akta
....................................................................................................................................... 7

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................ 9

2
3.1................Keabsahan Akta Notaris Dalam Bahasa Asing Berdasarkan Undang-Undang
Jabatan Notaris Pasal 43 UUJN ................................................................................... 9
3.2.........Akibat Hukum Tidak Terpenuhinya Syarat Keabsahan Akta Terkait Penggunaan
Bahasa Asing ............................................................................................................. 12

BAB IV KESIMPULAN ................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Akta notaris merupakan alat pembuktian yang sempurna, terkuat dan
terlengkap sehingga selain dapat menjamin kepastian hukum, akta notaris juga dapat
menghindari perselisihan. Menuangkan akta, kesepakatan, penetapan dalam bentuk
akta notaris dianggap lebih baik daripada menuangkannya dengan surat curang,
meskipun ditandatangani di atas materai yang diperkuat pula dengan tanda tangan
saksi.
Namun dalam praktiknya seringkali perselisihan muncul akibat adanya akta
notaris. Padahal, perkara pidana yang menghadirkan seorang notaris sebagai saksi
atau bahkan tersangka sebagai akibat dari akta notaris yang dibuatnya bukan lagi hal
baru. Alih-alih menjadi bukti terkuat dan terlengkap, akta notaris justru menjadi
sumber sengketa bagi mereka yang mempertanyakan keabsahan akta notaris tersebut.
Kelangsungan hidup masyarakat dan budaya Indonesia ditentukan oleh
sifatnya, dalam hal ini bahasa Indonesia. Pendidikan, filsafat, agama, ketatanegaraan,
politik, dan hukum di Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia baku sebagai
alat komunikasi. Namun demikian, standarisasi bahasa bukan berarti keseragaman
bahasa.
Hukum sebagai aturan normatif membutuhkan bantuan bahasa, karena hukum
harus dinyatakan dan dijelaskan dalam bahasa. Artinya pelaksanaan, pelaksanaan dan
penegakan hukum di masyarakat membutuhkan bahasa. Demikian pentingnya fungsi
bahasa dalam hukum.1
Sejalan dengan itu, Sabarrudin Ahmad juga menyatakan bahwa jika kita
membahas masalah bahasa hukum maka yang kita hadapi adalah masalah bahasa
1
Komar Andasasmita, Notaris II (Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya), Cetakan Kedua, Ikatan
Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, Bandung, 1990, p. 1592

1
hukum, sehingga yang kita hadapi adalah masalah sistem penggunaan pengucapan
mental dalam bahasa tersebut.2 Hal ini dimaksudkan untuk melambangkan konsep,
gagasan, dan nilai yang berkaitan dengan pemahaman, pengakuan, dan penerapan
hukum secara linguistik. Setiap lingkungan komunitas memiliki gaya dan caranya
sendiri dalam menggunakan kekuatan Bahasa sebagai alat komunikasi.
Mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa, dan Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan huruf a menyatakan bahwa
bendera, bahasa dan lambang negara, dan lagu kebangsaan Indonesia adalah alat
pemersatu, identitas dan keberadaan bangsa yang merupakan lambang kedaulatan dan
kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang tersebut
disebutkan bahwa bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh
wilayah Republik Indonesia.
Undang-undang nomor 24 tahun 2009 pasal 27 menyebutkan bahwa bahasa
Indonesia harus digunakan dalam dokumen resmi negara. Dalam penjelasannya
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "dokumen resmi negara" antara lain surat
keputusan, surat berharga, ijazah, sertifikat, kartu identitas, surat jual beli, surat
perjanjian, putusan pengadilan.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 31 ayat (1)
disebutkan bahwa bahasa Indonesia harus digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia,
lembaga swasta Indonesia atau warga negara Indonesia. Dengan adanya kata wajib
sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut berarti diwajibkan tanpa syarat untuk
setiap dokumen resmi, yaitu “dokumen jual beli, surat perjanjian ...” (Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 27) dan “... Memorandum kesepahaman atau
kesepakatan ... "(Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 31 ayat (1)) berbahasa
2
Sabarudin Ahmad, Sebuah Tinjauan Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Dunia Hukum’.
In; Simposium Bahasa dan Hukum; Diselenggarakan Dalam Rangka Kerjasama BPHN dan FH USU
pada tgl 25 s/d 27 Nop. 1974 di Medan/Prapat, pp. Binacipta, Jakarta. 1976 p. 96

2
Indonesia. Dalam www.artikata.com wajib artinya "harus dilakukan; tidak boleh
dilakukan". Akta notaris adalah dokumen negara yang wajib disimpan dan dipelihara
oleh notaris, karena akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan
notaris tentang segala perbuatan, perjanjian dan ketentuan yang disyaratkan oleh
undang-undang dan dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan (Pasal UUJN).
Sebagai dokumen negara yang memuat segala perbuatan, perjanjian dan ketentuan
yang dipersyaratkan oleh undang-undang dan diinginkan oleh pihak yang
berkepentingan (yang mewakili penutur) menggunakan bahasa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) UUJN beserta penjelasannya yaitu
standar bahasa indonesia.3
Dalam UUJN pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa akta dibuat dalam bahasa
Indonesia dan dalam penjelasannya disebutkan bahwa bahasa Indonesia yang
dimaksud dalam ketentuan ini adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada standar
kalimat bahasa Indonesia. Namun pada ayat (4) disebutkan bahwa akta dapat dibuat
dalam bahasa lain yang dipahami oleh notaris dan saksi jika pihak yang
berkepentingan menghendaki sepanjang dalam Undang-undang tidak menentukan
lain, penjelasannya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "pihak yang
berkepentingan" adalah partai yang diwakili oleh pembicara.
Dalam akta notaris semua tata anatomi dan tata bahasa akta tersebut standar
dan telah ditentukan dalam undang-undang namun dalam prakteknya masih terdapat
hal-hal yang kurang tepat sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan makna ganda
atau kegagalan dalam memahami isi kemauan dan arti dari akta tersebut. Terdapat
perbedaan pemahaman yang cukup besar antara apa yang tertera dalam akta dengan
keinginan para pihak yang sebenarnya sehingga nantinya akan menimbulkan masalah
antar para pihak bahkan dapat menyeret notaris dalam hal tersebut karena keterkaitan

3
A . A Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, Surabaya;
Putra Media Nusantara, 2010, hal. 28

3
dengan tanggung jawab notaris dengan keaslian akta yang dibuat, ini sangat penting
untuk ditinjau.4
Dalam penyusunan akta notaris, kepastian tata bahasa sangat penting; Hal ini
berkaitan dengan ketegasan dan kepastian untuk mendukung keaslian akta notaris itu
sendiri agar tidak menimbulkan klausul yang memiliki makna ganda, salah persepsi,
kebingungan dan keraguan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam akta yang dibuat
oleh notaris. Karena jika ada pihak yang mengaku salah paham terhadap isi akta
notaris dan sangat mengingkari akta tersebut, maka yang ditakuti adalah akta otentik
tersebut akan terdegradasi dan kekuatan pembuktiannya menjadi setara dengan akta
yang kurang baik sekalipun didukung. dengan bukti yang kuat akta tersebut dapat
dibatalkan.5

I.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah keabsahan Akta Notaris yang menggunakan bahasa asing?
2. Apakah akibat hukum tidak terpenuhinya syarat keabsahan akta terkait
penggunaan bahasa asing?

I.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengidentifikasi keabsahan Akta Notaris yang menggunakan
bahasa asing.
2. Untuk mengetahui akibat hukum tidak terpenuhinya syarat keabsahan akta
terkait penggunaan bahasa asing.

I.4. Metode Penelitian


4
Habib Adjie, 2015, Penafsiran Tematik Hukum Notaris di Indonesia berdasarkan UndangUndang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, Bandung ; PT Refika Aditama, hal.202
5
Ibid

4
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini
digunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ialah suatu
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan
yang ajeg dalam penelitian hukum normative dibangun berdasarkan disiplin ilmiah
dan cara kerja ilmu hukum normatif.6

6
Johny Ibrahim,2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang ; Bayumedia, , hal
47

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Notaris


Notaris adalah pejabat umum, diangkat dan diberhentikan oleh suatu
kekuasaan umum, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Notaris sebagai pejabat umum bertugas untuk memberikan pelayanan kepada anggota
masyarakat yang memerlukan jasanya dalam pembuatan alat bukti tertulis, khususnya
berupa akta autentik dalam bidang hukum perdata. Keberadaan Notaris merupakan
pelaksanaan dari hukum pembuktian.7 Menurut Pasal 1 UndangUndang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dikatakan notaris adalah seorang pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang
lainnya.
Menurut G.H.S Lumban Tobing, memberikan pengertian notaris Yaitu
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan
dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.8

2.2. Kewenangan Notaris

7
Herlien Budiono,2013 Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua,
Bandung : Citra Aditya Bakti, hal. 220
8
G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Penerbit Erlangga,
Jakarta, Hal 31
Dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris, notaris berwenang salah
satunya membuat akta otentik mengenai semua perbuatan perjanjian, dan penetapan
yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan yang dinyatakan dalam akta otentik. Dalam ayat (2) nya notaris
juga memiliki wewenang lain yaitu:
1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
2) Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
3) Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
4) Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya.
5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
7) Membuat akta risalah lelang.

2.3. Pengertian Akta


Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Indonesia”
memaparkan bahwa akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat
peristiwa yang menjadi dasar dari sesuatu hak, atau perikatan yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian.9
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta adalah surat tanda bukti
berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) tentang
peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan, dibuat dan
disahkan oleh pejabat resmi.
Istilah atau perkataan akta dalam Bahasa Belanda disebut “acte/akta” dan
dalam Bahasa Inggris disebut “act/deed”, pada umumnya mempunyai dua arti10 yaitu:

9
Sudikno Mertokusomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hal 120
10
Victor M Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1991, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di
Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 50

7
a. Perbuatan (handeling)/perbuatan hukum (rechtshandeling); itulah pengertian yang
luas.
b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan
hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Keabsahan Akta Notaris Dalam Bahasa Asing Berdasarkan Undang-


Undang Jabatan Notaris Pasal 43 UUJN
Pada dasarnya setiap akta atau perjanjian yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang dalam hal ini Notaris, wajib menggunakan bahasa yang dipahami para
pihak, baik bahasa internasional, bahasa nasional maupun bahasa daerah. Sedangkan
yang dimaksud dengan Bahasa (Hukum) Kontrak adalah bahasa yang umum
digunakan (nasional, internasional atau regional) sesuai dengan aturan bahasa terkait
yang mengikat (kekuatan pengikat) para pihak yang bertransaksi dan dapat
dilaksanakan.11
Dalam membuat perjanjian terkadang tidak hanya dibuat dalam satu bahasa
tertentu, tetapi dapat juga dibuat atau diterjemahkan ke dalam bahasa yang dimengerti
oleh para pihak, misalnya kontrak multilateral yang diikuti oleh negara yang memiliki
bahasanya sendiri, sehingga Kontrak dapat dibuat atau diterjemahkan ke dalam
bahasa yang diinginkan oleh para pihak. Jika hal ini dilakukan, maka di akhir Kontrak
harus disebutkan bahwa jika terjadi perselisihan, misalnya mengenai ketentuan
(hukum) tertentu atau ketentuan lainnya, harus ditentukan untuk dikembalikan ke
Kontrak yang dibuat di tempat tertentu. bahasa yang sebelumnya disetujui oleh para
pihak.12
Dalam hubungan ini, bahasa yang digunakan dalam akta harus dibedakan,
dengan akta yang diterjemahkan dari bahasa, dalam kaitannya dengan perselisihan.
Jika ada kesepakatan bahasa yang digunakan adalah bahasa tertentu (misalnya bahasa
Inggris), kemudian diterjemahkan ke bahasa lain yang diinginkan oleh para pihak,

11
Hartanti Sulihandari, Nisya Rifani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Jakarta Timur;
Dunia Cerdas.
12
Ibid
maka jika terjadi perselisihan maka penyelesaiannya harus berdasarkan bahasa yang
disepakati (misalnya bahasa Inggris). Atau kontrak dapat dibuat dalam 2 (dua) / lebih
bahasa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang sama-sama memiliki kekuatan. Jika
hal ini dilakukan maka harus sesuai dengan pemahaman / pemahaman tentang
substansi akad.13
Dalam Pasal 43 UUJN-P mengatur penggunaan bahasa dalam akta Notaris,
yaitu:
1) Akta harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
2) Dalam hal pelapor tidak memahami bahasa yang digunakan dalam akta
tersebut, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta tersebut
dalam bahasa yang dipahami oleh pembicara.
3) Jika para pihak menginginkan, Akta bisa dibuat dalam bahasa asing.
4) Dalam hal Akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Notaris harus
menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
5) Jika Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta
tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh penerjemah resmi.
6) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi Akta sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), digunakan Akta yang dibuat dalam bahasa
Indonesia.
Pasal 43 ayat (1) UUJN - P mensyaratkan agar akta Notaris dibuat dalam
bahasa Indonesia. Penggunaan kata wajib artinya jika tidak ada implementasi akan
ada sanksi, ternyata UUJN-P tidak mengatur sanksi, artinya kewajiban tanpa sanksi
jika dilanggar. Dalam hal ini perlu dikaitkan dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan bahwa:
1) Bahasa Indonesia harus digunakan dalam nota kesepahaman atau
perjanjian yang melibatkan lembaga negara, lembaga pemerintah

Habib Adjie, Sjaifurrachman,. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Akta, Bandung ;
13

Mandar Maju.

10
Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau warga negara
Indonesia.
2) Nota kesepahaman atau kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang melibatkan pihak asing juga ditulis dalam bahasa asing dan / atau
bahasa Inggris.
Baik Akta (Notaris) maupun Perjanjian harus dibuat dalam bahasa Indonesia
dan secara formalitas harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tentang Ketentuan Hukum Perjanjian. Akta juga merupakan kesepakatan
yang dibuat berdasarkan aturan tertentu, jika semua aturan formal, matreril dan
kelahiran terpenuhi, maka akta akan mengikat orang yang membuatnya dan ahli waris
yang mendapat manfaat dari akta atau kesepakatan tersebut.14 Bahwa akta atau
perjanjian harus menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ternyata ada akta atau
perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, apakah dapat dikategorikan
melanggar Pasal 43 UUJN-P (untuk akta Notaris) atau Pasal 31 Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 (untuk perjanjian pada umumnya).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UUJN-P bahwa Akta Notaris, Risalah Akta,
Salinan Akta dan Petikan Akta harus dibuat dalam bahasa Indonesia, dan hal ini juga
sesuai dengan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2009.
Bahwa tentu saja orang yang dihadapkan pada Notaris untuk membuat akta
tidak selalu berbahasa Indonesia, bahkan mungkin hanya bahasa daerah yang ada di
Indonesia, hal ini bisa dikategorikan tidak bisa berbahasa Indonesia juga. Biasanya
Akta Notaris, Risalah Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta harus dibuat dalam
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam Akta Notaris, Risalah Akta,
Salinan Akta dan Akta Kutipan merupakan bagian dari aspek formal akta Notaris,
karena akta Notaris harus dibuat sesuai dengan bentuk dan tata cara yang diatur
dalam Undang-Undang ini. Sehingga Akta Notaris, Risalah Akta, Salinan Akta dan

14
Herlien Budiono,2013 Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua,
Bandung: Citra Aditya Bakti

11
Petikan Akta yang tidak menggunakan bahasa Indonesia merupakan pelanggaran
aspek formal, dan pelanggaran aspek formal Akta Notaris dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UUJN - P.
Pasal 1337 KUH Perdata menegaskan bahwa suatu penyebab dilarang, jika
dilarang oleh hukum, atau jika bertentangan dengan moralitas yang baik atau
ketertiban umum. Jika menggunakan ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata tentunya
akta notaris, Berita Acara Akta, Fotokopi Akta dan Petikan Akta dibuat dengan tidak
menggunakan bahasa Indonesia untuk kepentingan hukum karena melanggar salah
satu syarat obyektif yaitu sebab yang dilarang. . Jika undang-undang mengharuskan
setiap kontrak atau perjanjian (termasuk Akta Notaris, Risalah Akta, Salinan Akta
dan Akta Petikan) harus menggunakan bahasa Indonesia, maka harus diikuti. Dengan
Ancaman Batalkan Demi Hukum Jika Dilanggar.15

3.2. Akibat Hukum Tidak Terpenuhinya Syarat Keabsahan Akta Terkait


Penggunaan Bahasa Asing
Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris bahwa notaris salah satunya ialah membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan yang dinyatakan
dalam akta otentik. Wewenang lain yang juga dimiliki oleh notaris sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang nomor 2 tahun 2014 wewenang
notaris mencakup juga:
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
2. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
3. Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian
sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
4. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya.
15
Husni Thamrin. 2011. Pembuatan Akta pertanahan oleh Notaris, Yogyakarta : LaksBang PRESSindo

12
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
7. Membuat akta risalah lelang.
Di dalam bukunya, Habib Adjie menjelaskan bahwa secara normatif akta
notaris yang dalam hal ini ialah minuta akta, salinan akta ataupun kutipan akta wajib
dibuat dalam bahasa Indonesia karena penggunaan bahasa Indonesia disini
merupakan aspek formal dalam pembuatan akta notaris sehingga apabila tidak
dilaksanakan maka sanksi nya ialah sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang jabatan notaris yaitu akta menjadi terdegradasi
menjadi akta dibawah tangan.16
Sehingga berdasarkan uraian diatas ialah bahwa penggunaan bahasa Indonesia
dalam akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2014 tentang jabatan Notaris ialah syarat formil yang harus dipatuhi
notaris dalam melaksanakan pembuatan akta sehingga apabila dilanggar maka akta
yang dibuat tidak memenuhi syarat formil pembuatan akta dan atas hal tersebut maka
akta notaris tersebut dapat terdegredasi menjadi akta yang memiliki kekuatan
pembuktian dibawah tangan sebagaimana sanksi yang disebutkan dalam Pasal 41
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang jabatan Notaris. tetapi permasalahan
akta tersebut berakibat batal demi hukum ataupun dapat dibatalkan itu akan baru
muncul apabila pihak yang berkepentingan merasa dirugikan dan mengajukan
gugatan kepengadilan. Menurut Habib Adjie di dalam bukunya yang berjudul
“Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris” disebutkan bahwa Akta notaris yang batal
atau batal demi hukum ataupun mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat yang sudah ditentukan oleh
hukum tanpa perlunya adanya tindakan hukum dari pihak yang bersangkutan yang
berkepentingan.17

16
Habib Adjie. 2009. Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama.
17
Ibid

13
14
BAB IV
KESIMPULAN

Penggunaan bahasa Indonesia dalam akta notaris sebagaimana diatur dalam


Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris ialah
syarat formil yang harus dipatuhi notaris dalam melaksanakan pembuatan akta
sehingga apabila dilanggar atau akta tersebut dibuat dalam bahasa asing atau selain
bahasa Indonesia maka akta yang dibuat tidak memenuhi syarat formil pembuatan
akta dan atas hal tersebut maka akta notaris tersebut bisa terdegredasi menjadi akta
yang memiliki kekuatan pembuktian di bawah tangan sebagaimana sanksi yang
disebutkan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris.
Jika ada kesepakatan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa tertentu
(misalnya bahasa Inggris), kemudian diterjemahkan ke bahasa lain yang diinginkan
oleh para pihak, maka jika terjadi perselisihan maka penyelesaiannya harus
berdasarkan bahasa yang disepakati (misalnya bahasa Inggris ). Atau kontrak dapat
dibuat dalam 2 (dua) / lebih bahasa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang sama-
sama memiliki kekuatan. Jika hal ini dilakukan maka harus sejalan dengan
pemahaman / pemahaman substansi akta tersebut.
Baik Akta (Notaris) maupun Perjanjian harus dibuat dalam bahasa Indonesia
dan secara formalitas harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tentang Ketentuan Hukum Perjanjian. Akta juga merupakan kesepakatan
yang dibuat berdasarkan aturan tertentu, jika semua aturan secara formal, materiil dan
kelahiran dipenuhi, maka akta akan mengikat orang yang membuatnya dan ahli waris
yang mendapat manfaat dari akta atau kesepakatan tersebut. Bahwa akta atau
perjanjian harus menggunakan bahasa Indonesia, tetapi ternyata ada akta atau
perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, apakah dapat dikategorikan
melanggar Pasal 43 UUJN-P (untuk akta Notaris) atau Pasal 31 Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 (untuk perjanjian pada umumnya).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa walaupun para pihak tidak aktif untuk
mempermasalahkan bahasa yang digunakan di dalam akta tersebut tetapi karena
penggunaan bahasa Indonesia merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam
pembuatan akta maka akta tersebut dapat menjadi akta yang memiliki kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Apabila seseorang tidak menggunakan
bahasa Indonesia dalam membuat perjanjian dengan pihak asing, maka sebab yang
halal sebagai syarat sahnya suatu perjanjain tidak dapat tercapat, karena sebab yang
terlarang melanggar syarat objektif sahnya suatu perjanjian, jadi pelanggaran
terhadap kewajiban mengunakan bahasa Indonesia dalam perjanjain dengan pihak
asing batal demi hukum.

16
DAFTAR PUSTAKA

A. A., Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa

Notaris di Indonesia, Surabaya; Putra Media Nusantara, hal. 28

Antari, N. L. Y. S. (2018). Pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak

Milik Atas Tanah. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(2), 280-290.

Lumban Tobing, G. H. S., 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris

Reglement), Penerbit Erlangga, Jakarta, Hal 31

Habib Adjie. 2009. Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU

No. 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama.

Habib Adjie, 2015, Penafsiran Tematik Hukum Notaris di Indonesia

berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Bandung; PT Refika

Aditama, hal.202

Herlien Budiono, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang

Kenotariatan Buku Kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 220

Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Malang; Bayumedia, hal 47

Komar Andasasmita, 1990, Notaris II (Contoh Akta Otentik dan

Penjelasannya), Cetakan Kedua, Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat,

Bandung, p. 1592
Purnayasa, A. T. (2018). Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang

Tidak Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Autentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum

Kenotariatan, 3(3), 395-409.

Sabarudin Ahmad, 1976, Sebuah Tinjauan Tentang Penggunaan Bahasa

Indonesia Dalam Dunia Hukum’. In; Simposium Bahasa dan Hukum;

Diselenggarakan Dalam Rangka Kerjasama BPHN dan FH USU pada tgl 25 s/d 27

Nop. 1974 di Medan/Prapat, pp. Binacipta, Jakarta. p. 96

Sudikno Mertokusomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:

Liberty, hal 120

Victor M Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1991, Aspek Hukum Akta

Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 50

18

Anda mungkin juga menyukai