Anda di halaman 1dari 4

Terapi Pasien

Schizophrenia Pada Laki-Laki


Zaera Feridina Azzahroh
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
zaeraferidina@gmail.com

Abstrak. Schizophrenia is one of the chronic diseases of the mental disorder. The exact
causes of schizophrenia are still unknown. According to the National Health Service (NHS)
there was a study that explained why a person can experience schizophrenia is because of a
combination of physical, genetic, psychological and environmental problems / diseases.
American Psychiatric Association says that 1% of the world's population lives with
schizophrenia. Schizophrenia is more common in men than women. The gender differences
affect on pharmacological therapy and psychotherapy in schizophrenic patients. Besides, the
gender differences also make differences in therapeutic response. The aim of doing therapy in
patients with schizophrenia is to prevent recurrence, develop social skills, reduce negative
behavioral symptoms in male patients.

Keywords: schizophrenia, therapy, male

1. PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO), skizofrenia merupakan salah satu gangguan
kesehatan jiwa ditandai dengan gangguan dalam berpikir sehingga mempengaruhi kemampuan
berbahasa, cara pandang, perilaku dan perasaan seseorang. Gejala yang paling menonjol dari skizofrenia
adalah halusinasi (Uhlhass & Mishara, 2006). Halusinasi yang terjadi dapat berupa suara yang
mengganggu pasien skizofrenia. Suara tersebut seolah-olah berbicara langsung pada mereka yang dapat
berupa kritikan atau komentar. Selain itu, skizofrenia bersifat kronis dan melemahkan jika dibandingkan
dengan gangguan jiwa lainnya (Puspitasari, 2009).
Gejala dari skizofrenia menurut World Health Organization (WHO) diantaranya adalah 1)
Halusinasi: melihat, mendengar dan merasakan sesuatu yang tidak ada. 2) Delusi: keyakinan atau
kecurigaan palsu yang diyakini oleh seseorang meskipun ada bukti yang bertentangan. 3) Perilaku
abnormal: perilaku yang tidak terorganisir seperti berkeliaran tanpa tujuan serta bergumam dan tertawa
pada diri sendiri. 4) Berbicara tidak teratur. 5) Gangguan emosi.
Data dari America Psychiatric Association menyebutkan bahwa 1% dari populasi penduduk dunia
hidup dengan skizofrenia. Menurut data dari WHO pada tahun 2016, sekitar 21 juta orang di seluruh
dunia terkena skizofrenia. Diperkirakan 75% penderita skizofrenia terjadi pada usia 16-25 tahun
(Depkes RI, 2015). Sedangkan Indonesia memiliki prevalensi sebesar 0,3-1% (Gunarsa, 2004).
Sehingga, jika jumlah penduduk di Indonesia terdapat sekitar 200 juta jiwa, maka sekitar 2 juta jiwa
orang hidup dengan skizofrenia. Menurut data dari Riskesdas tahun 2013 mengatakan bahwa prevalensi
gangguan jiwa berat yang terdapat di Jawa Tengah hingga 2,3 per mil.
Skizofrenia lebih banyak ditemukan pada pria daripada wanita. Setiap tahun kejadian yang terjadi
berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada pria 1,4% lebih besar daripada wanita. Di
Indonesia, hampir 70% pasien yang dirawat pada bagian psikiatri dikarenakan skizofrenia. Di
masyarakat sendiri terdapat sekitar 1-2% dari jumlah penduduknya pernah mengalami skizofrenia.
Penyebab pasti dari skizofrenia belum diketahui karena adanya berbagai macam penyebab dan
perbedaan pendapat. Menurut National Health Service (NHS) tahun 2012 terdapat penelitian yang
menjelaskan penyebab seseorang dapat mengalami skizofrenia merupakan kombinasi dari faktor
masalah/penyakit fisik, genetik, psikologis dan lingkungan. Skizofrenia memiliki komponen genetik
dengan heritabilitas yang tinggi, hal tersebut membuktikan bahwa variasi dalam skizofrenia dapat
dikarenakan faktor genetik. Pada pasien skizofrenia terjadi abnormalitas pertumuhan pada jaringan
prefrontal pada masa remaja akhir hingga dewasa awal, kemungkinan terjadi karena adanya
pemangkasan yang berlebihan pada sinapsis.
Seseorang yang terkena skizofrenia cenderung akan dikucilkan dari lingkungan hidupnya.
Masyarakat pada umumnya masih belum mengetahui hakikat dari gangguan jiwa terutama skizofrenia.
Bahkan beberapa masyarakat di Indonesia mengaitkan gangguan skizofrenia dengan penyakit kutukan
(Harwono, 2013). Ketidaktahuan masyarakat akan hal tersebut menyebabkan buruknya terapi pada
pasien skizofrenia. Maka dari itu, peneliti memilih terapi terhadap pasien skizofrenia pada laki-laki
sebagai bahan pembahasan.

2. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data
studi literatur. Penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang berdasarkan kualitas dari tujuan
dari penelitian tersebut (Sukardi, 2013:19). Penelitian kualitatif dilakukan untuk suatu objek kajian yang
tidak terbatas dan tidak menggunakan metode ilmiah sebagai patokan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Menurut data hasil penelitian di BLUD RSJA menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
skizofrenia adalah laki-laki (Sri Novitayani, 2016). Meta-analisis menunjukkan bahwa skizofrenia pada
laki-laki 1,5 kali lebih besar kejadiannya dibandingan dengan perempuan. Hal yang mendasari meta-
analisis tersebut adalah karena adanya pengaruh hormon estrogen. Pada perempuan, hormon estrogen
berperan sebagai psikoprotektif. Hal tersebut menjadi hipotesis mengapa jenis kelamin berpengaruh
terhadap gejala dari pasien skizofrenia (Jayashri et al, 2013). Selain itu, laki-laki dengan skizofrenia
memiliki lebih banyak gejala negatif dibandingkan dengan perempuan dengan skizofrenia.
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi terapi farmakologis dan psikoterapi pada pasien
skizofrenia. Laki-laki dengan psikosis membutuhkan obat antipsikotik dengan dosis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan (Susana et al, 2012). Perbedaan jenis kelamin tersebut menyebabkan
adanya perbedaan respon terapi. Pada perempuan, sebagian antipsikotik akan menyebabkan efek
samping seperti hiperprolaktinemia dan kenaikan berat badan (Rena et al, 2017).
Tujuan dari dilakukannya terapi pada pasien skizofrenia adalah untuk mencegah kekambuhan,
mengembangkan keterampilan sosial, mengurangi gejala perilaku negatif pada pasien laki-laki,
sedangkan pada pasien perempuan bertujuan untuk mengurangi gejala afektif. Pada dasarnya, terapi
yang dilakukan pada pasien skizofrenia laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan.
Terapi yang baik pada pasien skizofrenia adalah dengan mengkombinasikan aspek medis,
perawatan psikologis atau psikoterapi dan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Psikoterapi memiliki
peranan yang besar bagi pasien skizofrenia dlam upaya kesembuhan. Terdapat beberapa macam
psikoterapi dan terapi lainnya diantaranya.
Tipe psikoterapi
a. Psikoterapi yang bersifat individu. Psikoterapi individu merupakan saat dimana seorang
terapis atau psikiater membantu pasien skizofrenia dengan mengajarkan bagaimana
menghadapi pikiran dan perilaku serta bagaimana cara membedakan kenyataan dan halusinasi
pada pasien skizofrenia.
b. Terapi perilaku kognitif. Pada terapi perilaku kognitif, seorang terapis atau psikiatri focus
terhadap penanganan suara dan halusinasi pada pasien. Terapi ini bertujuan untuk mengubah
pemikiran dan perilaku pasien skizofrenia. Adanya kombinasi dari terapi perilaku kognitif
dan pengobatan medis menjadi factor diketahuinya penyebab psikotik pada pasien (saat
halusinasi).
c. Terapi peningkatan kognitif. Terapi ini dengan menggabungkan pelatihan otak berbasis
kelompok dan sesi pertemuan kelompok dengan terapis atau psikiatri.
Terapi yang bersifat nonfarmakologis tersebut tetap harus diiringi dengan terapi farmakologis.
Pasien skizofrenia yang berhenti minum obat memiliki resiko kekambuhan lebih tinggi. Beberapa
psikoterapi berperan dalam mengedukasi pasien skizofrenia tentang pentingnya terapi farmakologis.
Selain itu, pengobatan juga melibatkan keluarga pasien dengan memberikan edukasi mengenai
pemantauan terhadap pasien skizofrenia.
Sebagian besar pasien skizofrenia sulit menerapkan terapi yang efektif tanpa adanya obat/agen
antipsikotik. Terapi obat sangat penting terutama pada waktu lima tahun setelah fase akut pertama,
karena pada fase tersebut merupakan fase awal terjadinya perubahan pada otak.
American Psychiatric Association mengatakan bahwa second-generation (atipikal) antipsychotics
(SGAs) kecuali clozapine merupakan pengobatan pertama pada pasien skizofrenia. SGA lebih banyak
digunakan daripada FGA (first-generation antipsychotics). Namun, SGA memiliki efek samping
metabolik, seperti diabetes mellitus, hiperlipidemia, dan penambahan berat badan. Clozapine merupakan
antipsikotik yang paling efektif terhadap pasien skizofrenia yang resisten terhadap obat. Namun,
clozapine menyebabkan hipotensi ortostatik. Selain itu, clozapine dengan dosis tinggi memberikan efek
samping serius, seperti kejang.

4. SIMPULAN
Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan jiwa kronis yang ditandai dengan adanya gangguan
dalam berpikir sehingga mempengaruhi kemampuan berbahasa, cara pandang, perilaku dan perasaan
seseorang. Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi terapi farmakologis dan psikoterapi pada pasien
skizofrenia. Laki-laki dengan psikosis membutuhkan obat antipsikotik dengan dosis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Selain itu, terapi yang baik pada pasien skizofrenia adalah dengan
mengkombinasikan aspek medis, perawatan psikologis atau psikoterapi dan dukungan dari lingkungan
sekitarnya.

5. SARAN
Meskipun pasien dapat meningkatkan fungsi adaptif dengan terapi farmakologis dan nonfarfakologis
(psikoterapi dan psikososial) yang tersedia, diharapkan penelitian di masa yang akan datang akan
membahas mengenai penyebab pasti tentang skizofrenia dan terapi yang lebih efektif terhadap
kesembuhan pasien skizofrenia.

6. DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Schizophrenia. Diunduh dari


http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/assets/files/downloads/f1375258333-schizophrenia.pdf.
Gilmore, J. H. (2010). Understanding What Causes Schizophrenia: A Developmental Perspective.
American Journal of Psychiatry, 167(1), 8–10. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2009.09111588
Gunarsa, S. D. (2004). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan: dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Handayani, L., Febriani, Rahmadani, A., & Saufi, A. (2018). Faktor Resiko Kejadian Skizofrenia di RSJ
GRHASIA DIY. Journal of Medicinal Chemistry, 43(25), 4834–4839.
https://doi.org/10.1021/jm001012y
Harnowo, P. A. (2013). 8 Provinsi di Indonesia Tak Punya Rumah Sakit Jiwa. Available at
http://health.detik.com/read/2013/07/31/104440/2319785/8- provinsi-di-indonesia-tak-punya-rumah-
sakit-jiwa (diakses tanggal 23 Juni 2019)

Hermiati, D., & Harahap, R. M. (2018). Faktor Yang Berhubungan dengan Kasis Skizofrenia pada Pasien
Rawat Inap RSKJ Soeprapto Provinsi Bengkulu. Jurnal Keperawatan Silampari, 1(2), 78–92.
Jiwa, B. K., Keperawatan, F., Syiah, U., & Banda, K. (2016). KARAKTERISTIK PASIEN SKIZOFRENIA
DENGAN RIWAYAT REHOSPITALISASI Characteristic of Schizophrenic Patient with Experience
Rehospitalization Sri Novitayani. VII(2), 23–29.
Kulkarni, J., Gavrilidis, E., Worsley, R., Rheenen, T. Van, & Hayes, E. (2013). The role of estrogen in the
treatment of men with schizophrenia. International Journal of Endocrinology and Metabolism,
11(3), 129–136. https://doi.org/10.5812/ijem.6615
Li, R., Ma, X., Wang, G., Yang, J., & Wang, C. (2016). Why sex differences in schizophrenia? Journal of
Translational Neuroscience, 1(1), 37–42. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/29152382%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerend
er.fcgi?artid=PMC5688947
Lunn, B. (2017). Schizophrenia. Psychiatry by Ten Teachers, Second Edition, 335(July), 102–113.
https://doi.org/10.1201/9781315380612
Novitayani Bagian Keilmuan Keperawatan Jiwa, S., Keperawatan, F., & Syiah Kuala Banda Aceh, U.
(2017). PENYEBAB SKIZOFRENIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI ACEH Etiology of
Schizophrenia on Outpatients in Aceh. Idea Nursing Journal, VIII(3).
Ochoa, S., Usall, J., Cobo, J., Labad, X., & Kulkarni, J. (2012). Gender Differences in Schizophrenia and
First-Episode Psychosis: A Comprehensive Literature Review. Schizophrenia Research and
Treatment, 2012, 1–9. https://doi.org/10.1155/2012/916198
Patel, K. R., Cherian, J., Gohil, K., & Atkinson, D. (2014). Schizophrenia: overview and treatment
options. P & T : A Peer-Reviewed Journal for Formulary Management, 39(9), 638–645. Retrieved
from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25210417%0Ahttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerend
er.fcgi?artid=PMC4159061
Puspitasari, E. P. (2009). Peran Dukungan Keluarga pada Penanganan Penderita Skizofrenia. Skripsi.
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Riset Kesehatan Dasar. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Sukardi. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Penerbit Bumi
Aksara.
Suryani, Komariah, M., & Karlin, W. (2014). Family’s perception about schizophrenia. Jurnal Unpad,
2(2), 124–132.
WHO. (2014). Schizophrenia. Retrieved from http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs397/en/
Zahnia, S., & Wulan Sumekar, D. (2013). Kajian Epidemiologis Skizofrenia. Bagian Ilmu Kedokteran
Komunitas Dan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, 2.

Anda mungkin juga menyukai