Anda di halaman 1dari 113

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT


(JANUARI-FEBRUARI 2020)

Disusunoleh:
Hendrik Bona Togi
191FF05059

PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
BANDUNG
2020

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
penulis pada akhirnya dapat menyelesaikan laporan Praktik Kerja Profesi
Apoteker yang bertempat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Penulis
menyadari banyak pihak yang telah membantu baik secara moral maupun
material, saran-saran, bimbingan dan dukungan dalam Praktik Kerja Profesi
Apoteker. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Entris Sutrisno, MH.Kes., Apt. selaku Rektor Universitas Bhakti
Kencana.
2. Ibu Herni Kusriani,M.Si.,Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Universitas Bhakti Kencana.
3. Ibu Widhya Aligata, M.Si., Apt selaku pembimbing Praktik Kerja Profesi
Apoteker dari Universitas Bhakti Kencana.
4. Ibu Eka Prasetiawati, S.Si., Apt selaku pembimbing Praktik Kerja Profesi
Apoteker dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.
5. Seluruh staf dan karyawan Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa
Barat.
6. Kedua orang tua, kakak, adik dan seluruh keluarga penulis atas segala doa dan
dukungannya baik moril maupun material.
7. Teman-teman Profesi Apoteker serta semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker.

Harapan Penulis, semoga ilmu, pengalaman, dan pengetahuan yang telah


didapatkan selama Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Jawa Barat dapat bermanfaat di masa yang akan datang.

Bandung, Maret 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi
SUMPAH APOTEKER ........................................................................................ vii
KODE ETIK APOTEKER ................................................................................... viii
PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA.............................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1. 1 Latar Belakang Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit ............. 1
1. 2 Tujuan Praktik kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit ........................... 2
1. 3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker ........... 3
BAB II TINJAUAN UMUM .................................................................................. 4
2. 1 Gambaran Umum Rumah Sakit................................................................ 4
2. 2 Gambaran Umum Instalasi Farmasi Rumah Sakit ................................. 15
2. 3 Pengelolaan Perbekalan Farmasi ............................................................ 24
2. 4 Pelayanan Farmasi Klinis ....................................................................... 31
2. 5 Formularium Rumah Sakit ..................................................................... 38
2. 6 Tenaga Kefarmasian ............................................................................... 39
2. 7 Peran Apoteker ....................................................................................... 41
BAB III TINJAUAN KHUSUS RSJ PROVINSI JAWA BARAT ...................... 51
3. 1 Lokasi ..................................................................................................... 51
3. 2 Struktur Organisasi ................................................................................. 54
3. 3 Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker ................................................... 56
3. 4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi ............................................................ 56
3. 5 Pelayanan Farmasi Klinik....................................................................... 60
3. 6 Administrasi Keuangan .......................................................................... 64
BAB IV TUGAS KHUSUS .................................................................................. 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 74
5. 1 Kesimpulan ............................................................................................. 74
5. 2 Saran ....................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 75
LAMPIRAN ......................................................................................................... 76

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1 Daftar Temuan Perbekalan Farmasi di Ruang Perawatan RS Jiwa


Provinsi Jawa Barat ............................................................................................. 698

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat ................................ 695
Lampiran 2 Struktur Organisasi Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat ........................... 76
Lampiran 3 Struktur IFRS Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat .................................... 77
Lampiran 4 Alur Pelayanan Kefarmasian ............................................................. 78
Lampiran 5 BON Permintaan Obat ...................................................................... 79
Lampiran 6 Kartu Stok Obat ................................................................................. 80
Lampiran 7 Nota Penjualan................................................................................... 81
Lampiran 8 Etiket Dan Pengemas ......................................................................... 82
Lampiran 9 Salinan Resep .................................................................................... 83
Lampiran 10 Form Konseling ............................................................................... 84
Lampiran 11 Box Obat Unit Doses Dispensing .................................................... 85
Lampiran 12 Lemari Obat Unit Doses Di Ruang Inap ......................................... 86
Lampiran 13 Lembar E-Purchasing...................................................................... 87
Lampiran 14 Form Serah Terima Obat Dan Alkes ............................................... 88
Lampiran 15 Form Rekonsiliasi Obat ................................................................... 89
Lampiran 16 Contoh Standar Operasional (SOP) ................................................. 90
Lampiran 17 Form Laporan Visite ........................................................................ 91
Lampiran 16 Form Monitoring Efek Samping Obat (MESO) .............................. 92

vi
SUMPAH APOTEKER

SAYA BERSUMPAH / BERJANJI AKAN MEMBAKTIKAN HIDUP SAYA


GUNA KEPENTINGAN PERIKEMANUASIAAN TERUTAMA DALAM
BIDANG KESEHATAN.

SAYA AKAN MERAHASIAKAN SEGALA SESUATU YANG SAYA


KETAHUI KARENA PEKERJAAN SAYA DAN KEILMUAN SAYA
SEBAGAI APOTEKER.

SEKALIPUN DIANCAM, SAYA TIDAK AKAN MEMPERGUNAKAN


PENGETAHUAN KEFARMASIAN SAYA UNTUK SESUATU YANG
BERTENTANGAN DENGAN HUKUM PERIKEMANUSIAAN.
SAYA AKAN MENJALANKAN TUGAS SAYA DENGAN SEBAIK -
BAIKNYA SESUAI DENGAN MARTABAT DAN TRADISI LUHUR
JABATAN KEFARMASIAN.

DALAM MENUNAIKAN KEWAJIBAN SAYA, SAYA AKAN BERIKHTIAR


DENGAN SUNGGUH - SUNGGUH SUPAYA TIDAK TERPENGARUH
OLEH PERTIMBANGAN KEAGAMAAN, KEBANGSAAN, KESUKUAN,
KEPARTAIAN, ATAU KEDUDUKAN SOSIAL.

SAYA IKRAR SUMPAH / JANJI INI DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH


DENGAN PENUH KEINSYAFAN.

vii
KODE ETIK APOTEKER
MUKADIMAH

Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta


dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan
keridhaan Tuhan Yang Maha Esa.

Apoteker di dalam pengabdiannya serta dalam mengamalkan keahliannya selalu


berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut
Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral
yaitu:

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA


BAB I
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
Sumpah/Janji Apoteker.
Pasal 2
Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati
danmengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Pasal 4
Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang
kesehatanpada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri
dariusaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat
dantradisi luhur jabatan kefarmasian.

viii
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi
oranglain.
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-
undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi
padakhususnya.

BAB II
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PASIEN
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk
hidup insani.

BAB III
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 10
Seorang Apoteker harus memperlakukan teman Sejawatnya sebagaimana iasendiri
ingin diperlakukan.
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati
untukmematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.
Pasal 12
Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan
kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat
jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam
menunaikan tugasnya.

ix
BAB IV
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS
KESEHATAN LAIN
Pasal 13
Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun
dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan
menghormati sejawat petugas kesehatan lain.
Pasal 14
Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan
yangdapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya kepercayaan
masyarakatkepada sejawat petugas kesehatan lain.

BAB V
PENUTUP
Pasal 15
Seorang Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan kode
etikApoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari.

Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau
tidak mematuhi kode etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan
menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang
menanganinya (IAI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Ditetapkan di: Jakarta


Pada tanggal: 08 Desember 2009

x
PEDOMAN DISIPLIN APOTEKER INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Apoteker Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang
dianugerahi bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian di bidang
kefarmasian, yang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan,
peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan pribadi warga negara
Republik Indonesia, untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,
berazaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Disiplin Apoteker merupakan tampilan kesanggupan Apoteker untuk menaati


kewajiban dan menghindari larangan sesuai dengan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak
ditaati atau dilanggar dapat dijatuhi hukuman disiplin.

Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau


ketentuan penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam
tiga hal, yaitu:
1. Melaksanakan praktik Apoteker dengan tidak kompeten.
2. Tugas dan tanggungjawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan
baik.
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan Apoteker.
Pelanggaran disiplin berupa setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Apoteker
yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin
Apoteker.

BAB II
KETENTUAN UMUM
1. Disiplin Apoteker adalah kesanggupan Apoteker untuk menaati kewajiban dan
menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau peraturan praktik yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi
hukuman disiplin.

xi
2. Penegakan Disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh
Apoteker.
3. Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia yang disingkat MEDAI, adalah
organ organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia yang bertugas membina,
mengawasi dan menilai pelaksanaan Kode Etik Apoteker Indonesia oleh
Anggota maupun oleh Pengurus, dan menjaga, meningkatkan dan
menegakkan disiplin apoteker Indonesia.
4. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
5. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Tenaga kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
7. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga kesehatan yang membantu
Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, terdiri atas Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.
8. Standar Pendidikan Apoteker Indonesia, yang selanjutnya disingkat SPAI
adalah pendidikan akademik dan pendidikan profesional yang diarahkan guna
mencapai kriteria minimal sistem pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat, di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
9. Kode Etik adalah Kode Etik Apoteker Indonesia yang menjadi landasan etik
Apoteker Indonesia.
10. Kompetensi adalah seperangkat kemampuan profesional yang meliputi
penguasaan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai (knowledge, skill
dan attitude), dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

xii
11. Standar Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan
bertanggungjawab yang dimiliki oleh seorang Apoteker sebagai syaratuntuk
dinyatakan mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan profesinya.
12. Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap
kompetensi seorang Apoteker untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik
profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.
13. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kefarmasian yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu serta
diakui secara hukum untuk menjalankan pekerjaan/praktik profesinya.
14. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah
buktitertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah
diregistrasi.
15. Praktik Apoteker adalah upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
16. Standar Praktik Apoteker adalah pedoman bagi Apoteker dalam menjalankan
praktiknya yang berisi prosedur-prosedur yang dilaksanakan apoteker dalam
upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
17. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin
yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
18. Standar Prosedur Operasional, yang selanjutnya disingkat SPO adalah
serangkaian instruksi tertulis yang dibakukan mengenai berbagai proses
penyelenggaraan aktivitas organisasi, bagaimana dan kapan harus dilakukan,
dimana dan oleh siapa dilakukan.
19. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin
praktik yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran.
20. Organisasi profesi adalah organisasi tempat berhimpun para Apoteker di
Indonesia.

xiii
BAB III
LANDASAN FORMAL
1. Undang-Undang Nomor 419 Tahun 1949 tentang Obat Keras.
2. Undang-Undang tentang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
3. Undang-Undang tentang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 tentang Sumpah Apoteker.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
9. Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan, dan peraturan
turunannya.
10. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Apoteker Indonesia
(IAI),Kode Etik Apoteker Indonesia, serta peraturan-peraturan organisasi
lainnya yang dikeluarkan oleh IAI.

BAB IV
BENTUK PELANGGARAN DISIPLIN APOTEKER
1. Melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten.
2. Penjelasan: Melakukan Praktik kefarmasian tidak dengan standar praktik
Profesi/standar kompetensi yang benar, sehingga berpotensi
menimbulkan/mengakibatkan kerusakan, kerugian pasien atau masyarakat.
3. Membiarkan berlangsungnya praktek kefarmasian yang menjadi tanggung
jawabnya, tanpa kehadirannya, ataupun tanpa Apoteker pengganti dan/atau
Apoteker pendamping yang sah.
4. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu dan/atau tenaga-
tenaga lainnya yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut.
5. Membuat keputusan profesional yang tidak berpihak kepada kepentingan
pasien/masyarakat.

xiv
6. Tidak memberikan informasi yang sesuai, relevan dan “up to date” dengan
cara yang mudah dimengerti oleh pasien/masyarakat, sehingga berpotensi
menimbulkan kerusakan dan/ atau kerugian pasien.
7. Tidak membuat dan/atau tidak melaksanakan Standar Prosedur Operasional
sebagai Pedoman Kerja bagi seluruh personil di sarana pekerjaan/pelayanan
kefarmasian, sesuai dengan kewenangannya.
8. Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin “mutu”, “keamanan”, dan
“khasiat/manfaat” kepada pasien.
9. Melakukan pengadaan (termasuk produksi dan distribusi) obat dan/atau bahan
baku obat, tanpa prosedur yang berlaku, sehingga berpotensi menimbulkan
tidak terjaminnya mutu, khasiat obat.
10. Tidak menghitung dengan benar dosis obat, sehingga dapat menimbulkan
kerusakan atau kerugian kepada pasien.
11. Melakukan penataan, penyimpanan obat tidak sesuai standar, sehingga
berpotensi menimbulkan penurunan kualitas obat.
12. Menjalankan praktik kefarmasian dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
ataupun mental yang sedang terganggu sehingga merugikan kualitas
pelayanan profesi.
13. Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, melakukan yang seharusnya
tidakdilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar yang sah,
sehingga dapat membahayakan pasien.
14. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan dalam pelaksanaan praktik swa-
medikasi (self medication) yang tidak sesuai dengan kaidah pelayanan
kefarmasian.
15. Memberikan penjelasan yang tidak jujur, dan/atau tidak etis, dan/atau tidak
objektif kepada yang membutuhkan.
16. Menolak atau menghentikan pelayanan kefarmasian terhadap pasien tanpa
alasan yang layak dan sah.
17. Membuka rahasia kefarmasian kepada yang tidak berhak.
18. Menyalahgunakan kompetensi Apotekernya.

xv
19. Membuat catatan dan/atau pelaporan sediaan farmasi yang tidak baik dan
tidak benar.
20. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
atau Surat Izin Praktik Apoteker/Surat Izin kerja Apoteker (SIPA/SIKA)
dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
21. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan
MEDAI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan pelanggaran disiplin.
22. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan
yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar atau menyesatkan.
23. Membuat keterangan farmasi yang tidak didasarkan kepada hasil pekerjaan
yang diketahuinya secara benar dan patut.

BAB V
SANKSI DISIPLIN
Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan Peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah:
1. Pemberian peringatan tertulis;
2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi
Apoteker, atau Surat Izin Praktik Apoteker, atau Surat Izin Kerja Apoteker;
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
apoteker.

Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang
dimaksud dapat berupa:
1. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun; atau
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap
atau selamanya.

Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker


yang dimaksud dapat berupa:

xvi
a. Pendidikan formal; atau
b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi
pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana
pelayanankesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan
paling lama 1 (satu) tahun.

BAB VI
PENUTUP
Pedoman disiplin apoteker indonesia ini disusun untuk menjadi pedoman bagi
Majelis Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia (MEDAI) dalam menetapkan
ada/atau tidak adanya pelanggaran disiplin oleh para praktisi dibidang farmasi,
serta menjadi rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh para praktisi tersebut
agar dapatmenjalankan praktik kefarmasian secara profesional.

Dengan ditegakkannya disiplin kefarmasian diharapkan pasien akan


terlindungidari pelayanan kefarmasian yang kurang bermutu; dan meningkatnya
mutupelayanan apoteker; serta terpeliharanya martabat dan kehormatan
profesikefarmasian.

Standar Kompetensi Apoteker Indonesia terdiri dari 10 (sepuluh)


standarkompetensi. Kompetensi dalam sepuluh standar tersebut merupakan
persyaratanuntuk memasuki dunia kerjadan menjalani praktik profesi.

xvii
STANDAR KOMPETENSI APOTEKER INDONESIA

1. Praktik kefarmasian secara profesional dan etik


2. Optimalisasi penggunaan sediaan farmasi
3. Dispensing sediaan farmasi dan alat kesehatan
4. Pemberian informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan
5. Formulasi dan produksi sediaan farmasi
6. Upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat
7. Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan
8. Komunikasi efektif
9. Keterampilan organisasi dan hubungan interpersonal
10. Peningkatan kompetensi diri

xviii
BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit


Kesehatan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Secara umum kesehatan merupakan hal yang paling utama yang sangat diperlukan
dalam diri setiap orang. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan dan pembangunan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat
darurat. Rumah sakit ditunjang oleh segala fasilitas dan kegiatan untuk
penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan farmasi rumah
sakit berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat dan alat kesehatan
yang bermutu serta Bahan Medis Habis Pakai, termasuk pelayanan farmasi
klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Menurut WHO (World Health Organization) masalah gangguan kesehatan jiwa di


seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. World Health
Organization menyatakan paling tidak ada satu dari empat orang di dunia
mengalami masalah mental, diperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang
mengalami gangguan kesehatan jiwa. Hal tersebut didukung oleh data WHO
bahwa 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Gejala paling
ringan dari gangguan jiwa adalah panik dan cemas. Kira-kira 12-16 % atau 26 juta
dari total populasi mengalami gejala-gejala gangguan jiwa. The Indonesian
Psychiatric Epidemiologic Network menyatakan bahwa di 11 kota di Indonesia
ditemukan 18,5 % dari penduduk dewasa menderita gangguan jiwa.

Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain
yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya kesehatan jiwa teridiri atas
preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah

1
2

psikososial. Upaya kesehatan jiwa menjadi tanggung jawab bersama pemerintah,


pemerintah daerah dan masyarakat.

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu dari sarana
kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa. Rumah sakit ini
merupakan unit pelayanan kesehatan jiwa yang paling kompleks serta difungsikan
oleh berbagai kesatuan personel terlatih, terdidik dan tenaga ahli dalam
menghadapi dan menangani masalah medik modern yang semuanya terikat
bersama-sama dengan maksud yang sama yaitu untuk pemulihan serta
pemeliharaan kesehatan yang baik terutama masalah kesehatan jiwa.

Untuk mempersiapkan sumber daya manusia, khususnya menciptakan apoteker


yang handal dan mampu menghadapi tantangan dalam mengikuti perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan di bidang farmasi, maka dilaksanakan program
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di rumah sakit sebagai sarana pelatihan,
pengalaman, dan pendidikan guna menambah wawasan pengetahuan di bidang
pekerjaan farmasi, pelayanan kesehatan, pengalaman serta keprofesionalan dalam
melakukan suatu bidang pekerjaan dan secara langsung dapat melihat dan
mengetahui masalah kesehatan yang ada pada masyarakat dengan menerapkan
keterampilan dan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh Dengan program ini
diharapkan mahasiswa profesi apoteker mendapatkan bekal untuk memasuki
dunia kerja suatu hari nanti.

1. 2 Tujuan Praktik kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit


Tujuan dari Praktik Kerja Profesi Apotek bagi mahasiswa Profesi Apoteker
adalah:
1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi, posisi, dan
tanggung jawab apoteker dan meningkatkan wawasan, pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
di rumah sakit.
3

2. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat langsung dan


mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka
pengembangan praktik farmasi komunitas di rumah sakit.
3. Meningkatkan pemahaman calon apoteker mengenai manajemen rumah
sakit dalam mengelola perbekalan farmasi di rumah sakit.

1. 3 Waktudan Tempat Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker


Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dilaksanakan selama 2 bulan, yakni dari
tanggal 2 Januari hingga 28 Februari 2020 di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Jawa Barat Jl. Kolonel Masturi Km 7, Cisarua, Kab. Bandung Barat.
BAB IITINJAUAN UMUM

2. 1 Gambaran Umum Rumah Sakit


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun
2016, Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.Dalam Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dinyatakan bahwa Rumah Sakit harus
memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia,
kefarmasian, dan peralatan. Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu,
bermanfaat, aman, dan terjangkau. Selanjutnya dinyatakan bahwa pelayanan
Sediaan Farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian
yang selanjutnya diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit; dan
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber
dayamanusia rumahsakit, dan Rumah Sakit.

2.1.1 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Rumah
sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna.Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang
meliputi promotif, preventif, kuratif,danrehabilitative. Adapun fungsi Rumah
Sakit antara lain:

4
5

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai


dengan standar pelayanan rumah sakit.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2020
tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, berdasarkan jenis pelayanan yang
diberikan Rumah Sakit dikategorikan:
1. Rumah Sakit Umum
Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan
pada semua bidang dan jenis penyakit. Klasifikasinya adalah :
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2020 Rumah Sakit umum kelas A merupakan Rumah Sakit Umum
yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh)
buah. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Rumah Sakit
kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikit 5 (lima) pelayanan medik spesialis dasar (penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, obstetri dan ginekologi), 5 (lima) pelayanan spesialis
penunjang medik (anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi,
dan rehabilitasi medik), 12 (dua belas) pelayanan medic spesialis lain (mata,
telinga hidung tenggorokan, syaraf,jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, kedokteran jiwa, paru,orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah
plastik, dan kedokteran forensic), 13 (tiga belas) pelayanan medik sub
spesialis (subspesialis di bidang spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan
6

anak, obstetric dan ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf,


jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru,
orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik, dan gigi mulut), dan 7 (tujuh)
pelayanan medik spesialis gigi dan mulut (pelayanan bedah mulut,
konservasi/endodonsi, periodonti, orthodonti, prosthodonti, pedodonsi dan
penyakit mulut).
Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga medis terdiri dari:
1) 18 (delapan belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar
2) 4 (empat) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut
3) 6 (enam) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
dasar
4) 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang
5) 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain
6) 2 (dua) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik subspesialis
7) 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
gigi mulut.
Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga kefarmasian terdiri dari:
1) 1 (satu) apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit
2) 5 (lima) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit 10 (sepuluh) tenaga teknis kefarmasian
3) 5 (lima) apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 10
(sepuluh) tenaga teknis kefarmasian
4) 1 (satu) apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh minimal 2
(dua) tenaga teknis kefarmasian
5) 1 (satu) apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2 (dua)
tenaga teknis kefarmasian
6) 1 (satu) apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi yang dapat
merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat
jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya
disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit
7

7) 1 (satu) apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat merangkap


melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya disesuaikan
dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2020 Rumah Sakit umum kelas B merupakan Rumah Sakit Umum
yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 200 (dua ratus lima puluh)
buah.Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Rumah Sakit
kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar (penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi), 4 (empat) pelayanan spesialis
penunjang medik (anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi,
dan rehabilitasi medik), 8 (delapan) pelayanan medik spesialis lain
(pelayanan mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh
darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah
syaraf, bedah plastik, dan kedokteran forensik ), dan 2 (dua) pelayanan medik
sub spesialis dasar dari 4 (empat) subspesialis dasar yang meliputi pelayanan
subspesialis di bidang (spesialisasi bedah, penyakit dalam, kesehatan anak,
dan obstetri dan ginekologi), Pelayanan medik spesialis gigi dan mulut paling
sedikit berjumlah 3 (tiga) pelayanan yang meliputi pelayanan bedah mulut,
konservasi/endodonsi, dan orthodonti.
Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga medis terdiri dari:
1) 12 (dua belas) dokter umum untuk pelayanan medik dasar
2) 3 (tiga) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut
3) 3 (tiga) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis dasar;
4) 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang;
5) 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis lain;
6) 1 (satu) dokter subspesialis untuk setiap jenis pelayanan medik
subspesialis; dan
8

7) 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
gigi mulut.
Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga kefarmasian terdiri dari:
1) 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit
2) 4 (empat) apoteker yang bertugas di rawat jalan yang dibantu oleh paling
sedikit 8 (delapan) orang tenaga teknis kefarmasian
3) 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian
4) 1 (satu) orang apoteker di instalasi gawat darurat yang dibantu oleh
minimal 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian
5) 1 (satu) orang apoteker di ruang ICU yang dibantu oleh paling sedikit 2
(dua) orang tenaga teknis kefarmasian
6) 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan dan distribusi
yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap
atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah
Sakit; dan
7) 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator produksi yang dapat
merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat
jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang jumlahnya
disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2020 Rumah Sakit umum kelas C merupakan Rumah Sakit Umum
yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 100 (dua ratus lima puluh)
buah.Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Rumah Sakit
kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar (penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi), dan 4(empat) pelayanan spesialis
penunjang medik (pelayanan anestesiologi, radiologi, dan patologi klinik) dan
9

pelayanan medik spesialis gigi dan mulut, paling sedikit berjumlah 1 (satu)
pelayanan.
Kriteria berdasarkan pelayanannya tenaga medis terdiri dari :
1) 9 (sembilan) dokter umum untuk pelayanan medik dasar
2) 2 (dua) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut
3) 2 (dua) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
dasar
4) 1 (satu) dokter spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
penunjang; dan
5) 1 (satu) dokter gigi spesialis untuk setiap jenis pelayanan medik spesialis
gigi mulut.
Kriteria berdasarkan pelayanan tenaga kefarmasian terdiri dari :
1) 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
2) 2 (dua) apoteker yang bertugas di rawat inap yang dibantu oleh paling
sedikit 4 (empat) orang tenaga teknis kefarmasian;
3) 4 (empat) orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8
(delapan) orang tenaga teknis kefarmasian;
4) 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan
produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di
rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian
yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit.
d. Rumah Sakit Umum Kelas D
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2020Rumah Sakit umum kelas D merupakan Rumah Sakit Umum
yang memiliki jumlah tempat tidur paling sedikit 50 (dua ratus lima puluh)
buah. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Rumah Sakit
kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikit 2 (dua) pelayanan medik spesialis dasar.
Kriteria berdasarkan pelayanannya terdiri dari:
1) 4(empat) orangdokter umum untuk pelayanan medik dasar
10

2) 1 (satu) dokter gigi umum untuk pelayanan medik gigi mulut


3) 1 (satu)orang dokterspesialisuntuk setiapjenispelayanan medik spesialis
dasar.
Kriteria berdasarkan pelayanan tenaga kefarmasian terdiri dari:
1) 1 (satu) orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi Rumah Sakit;
2) 1 (satu) apoteker yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang
dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) orang tenaga teknis kefarmasian;
3) 1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan
produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di
rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian
yang jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian
Rumah Sakit.

2. Rumah Sakit Khusus


Rumah Sakit khusus terdiri dari rumah sakit ibu dan anak, rumah sakit mata,
rumah sakit otak, rumah sakit gigi dan mulut, rumah sakit kanker, rumah sakit
jantung dan pembuluh darah, rumah sakit jiwa, rumah sakit infeksi, rumah sakit
paru, rumah sakit Telinga-Hidung-Tenggorokan, rumah sakit bedah, rumah sakit
ketergantungan obat dan rumah sakit ginjal. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Rumah sakit khusus harus
mempunyai fasilitas dan kemampuan terdiri dari:
a. Pelayanan, yang diselengarakan meliputi:
1) Pelayanan gawat darurat, tersedia 24 jam sehari terus menerus
2) Pelayanan medik umum
3) Pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan kekhususan
4) Pelayanan medik spesialis dan/atau subspesialis sesuai kekhususan
5) Pelayanan medik spesialis penunjang
b. Pelayanan kefarmasian
c. Pelayanan keperawatan
d. Pelayanan penunjang klinik
e. Pelayanan penunjang nonklinik
11

2.1.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit


Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 setiap
Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel.
Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas kepala Rumah Sakit atau
Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medik, unsur keperawatan, unsur
penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi
umum dan keuangan. Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang
mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Tenaga
struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan
Indonesia. Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah
Sakit.

2.1.4 Akreditasi Rumah Sakit


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 12 tahun
2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit, akreditasi adalah pengakuan terhadap
rumah sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara akreditasi
yang ditetapkan oleh menteri, setelah dinilai bahwa rumah sakit itu memenuhi
standar pelayanan rumah sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit secara berkesinambungan.Instrumen Akreditasi adalah alat ukur yang
dipakai oleh lembaga independen penyelenggara Akreditasi untuk menilai rumah
sakit dalam memenuhi standar pelayanan rumah sakit. Akreditasi bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit;
2. Meningkatkan keselamatan pasien rumah sakit;
3. Meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya manusia
Rumah sakit dan rumah sakit sebagai institusi; dan
4. Mendukung program pemerintah di bidang kesehatan.
Persiapan survei akreditasi dimulai setelah Komisi Akreditasi Rumah Sakit
(KARS) menerima surat permohonan untuk dilakukan survei akreditasi Rumah
Sakit dan lengkap berkas permohonan survei akreditasi rumah sakit. Berkas
permohonan survei akreditasi rumah sakit dapat diunduh dari situs KARS
(www.kars.or.id). Dimana kedua belah pihak (rumah sakit dan KARS) membuat
persiapan untuk pelaksanaan survei. Untuk membantu rumah sakit
12

mempersiapkan diri, KARS menyediakan beberapa jenis kegiatan seminar,


lokakarya (workshop), bimbingan dan survei simulasi akreditasi. Persiapan rumah
sakit untuk akreditasi rumah sakit sebagai berikut:
a. Pimpinan rumah sakit mengisi berkas permohonan survei akreditasi dan hasil
self asesmen (minimal capaian 80% untuk setiap BAB) dan mengirimkan ke
KARS paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jadwal survei yang diinginkan.
Untuk akreditasi ulang, surat permohonan survei yang dilengkapi dengan isian
berkas permohonan survei harus diterima KARS 3 (tiga) bulan sebelum habis
masa berlaku sertifikat.
b. Survei akreditasi dapat dilaksanakan apabila pimpinan tertinggi dirumah sakit
(Direktur Utama/Kepala) sudah memenuhi ketentuan pasal 34 undang-undang
No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit yaitu:
1) Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai
kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan.
2) Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus
berkewarganegaraan Indonesia.
3) Pemilik rumah sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala rumah sakit.
c. Pemimpin rumah sakit menandatangani perjanjian kontrak survei dan
mengirimkan ke KARS selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum pelaksanaan
kerja.
d. Pimpinan rumah sakit menandatangani surat pernyatan tentang kesediaan
pemimpin tertinggi rumah sakit untuk berada di rumah sakit selam proses
survei dan mengirimkan kembali ke KARS paling lambat 10 hari kerja
sebelum pelaksanaan survei.
e. Setelah pemberitahuan jadwal survei dari KARS makan rumah sakit harus:
1) Segera melunasi biaya survei akreditasi paling lambat 10 (Sepuluh) hari
kerja sebelum pelaksanaan survei. Bukti transfer di kirimkan dengan
faksimil atau e-mail ke KARS.
2) Menghubungi sekretariat Komisi Akredistasi rumah sakit, untuk melakukan
koordinasi dan membahas rencana pelaksanaan survei di rumah sakit
tersebut.
13

3) Bila diperlukan rumah sakit mengirimkan e-file (digital) kebijakan,


pedoman dan SPO yang terlampir ke KARS untuk di telaah terlebih dahulu
oleh surveior.
4) Mempersiapkan dokumen yang diperlukan pada waktu survei ditempat,
antara lain sebagai berikut:
a) Struktur Organisasi Rumah Sakit.
b) Daftar akurat dari pasien yang menerima pelayanan pada saat
pelaksanaan survei, termasuk diagnosa, umur, unit pelayanan, dokter
penanggung jawab pelayanan (DPJP) dan tanggal dirawat.
c) Program peningkatan mutu dan keselamatan pasien, monitoring dan data
indikator yang harus ada
d) Panduan praktek klinis, alur klinis ( clinical pathwya).
e) Proaktif kajian resiko, seperti Failure Mode And Effect Analysis
(FMEA), Hazard Vulnerubility Analysis (HVA) dan Infection Control
Risk Assessment (ICRA).
f) Rencana rumah sakit (misalnya facility management and safety plan)
g) Kebijakan dan prosedur yang dipersyaratkan, dokumen tertulis atau
bylaws.
h) Daftar operasi dan tindakan invasif yang dicarakan pada waktu survei,
termasuk operasi dikamar operasi, day surgery, kateterisasi jantung,
endoskopi/kolonoskopi dan fertilisasi in vitro.
i) Contoh formulir semua rekam medis
j) Daftar kebijakan, prosedur, pedoman dan program yang dibutuhkan.
5) Memberitahu dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota
tanggal pelaksanaan survei akreditasi rumah sakit.
Persiapan komisi akreditasi rumah sakit sebagai berikut:
a. KARS menerima aplikasi permohonan survei dari rumah sakit dan hasil self
asesmen rumah sakit serta perjanjian kontrak dan surat pernyataan Direktur
rumah sakit.
b. KARS memberitahu tanggal pelaksanaan survei, biaya survei yang dilampiri
jadwal acara kegiatan survei, yang dikirimkan ke rumah sakit paling lambat
10 hari sebelum tanggal pelaksanaan survei.
14

c. KARS menetapkan tim surveior akreditasi rumah sakit dengan jumlah tim 3-7
orang surveior, masa survei 2-4 hari, tergantung besar dan kompleksitas
rumah sakit.
d. KARS menetapkan Ketua Tim Surveior Akreditasi Rumah Sakit
e. KARS memberitahu nama dan nomor HP kontak person dari rumah sakit ke
ketua tim survei.
f. Ketua tim survei mempunyai tugas sebagai berikut:
1) Menghubungi rumah sakit paling lambat 3 hari sebelum survei untuk
koordinasi dan membahas rencana pelaksanaan survei akreditasi di rumah
sakit tersebut.
2) Menetapkan area dan jenis pelayanan yang dicakup dalam telaahan dan
mengharuskan keberadaan staf yang terlibat di setiap kegiatan survei.

2.1.5 Tim Farmasi dan Terapi (TFT)


Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Tim Farmasi dan Terapi (TFT)
yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan
Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan obat di Rumah Sakit yang
anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di
Rumah Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila
diperlukan. TFT harus dapat membina hubungan kerja dengan komite lain di
dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan obat.Ketua
TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker. Apabila diketuai
oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker namun apabila diketuai oleh
Apoteker sekretarisnya adalah dokter. TFT harus mengadakan rapat secara teratur
sedikitnya 2 bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam
satu bulan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 TFT
mempunyai tugas:
1. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di Rumah Sakit;
2. Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam FRS;
3. Mengembangkan standar terapi;
4. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat;
5. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional;
15

6. Mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;


7. Mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
8. Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di Rumah
Sakit.

2.1.6 Tim Terkait Penggunaan Obat di Rumah Sakit


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 Tim lain yang
terkait dengan tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat di bentuk sesuai dengan
peran dan kebutuhan. Adapun peran Apoteker dalam Tim lain yang terkait
penggunaan obat di Rumah Sakit antara lain:
1. Tim Pengendalian Infeksi Rumah Sakit;
2. Tim Keselamatan Pasien rumah Sakit;
3. Tim Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit;
4. Tim Perawatan paliatif dan bebas nyeri;
5. Tim Penanggulangan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndromes);
6. Tim Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS);
7. Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA);
8. Tim Transplantasi;
9. Tim PKMRS; atau
10. Tim Rumatan Metadon.

2. 2 Gambaran Umum Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu departemen atau unit atau
bagian di suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang Apoteker dan dibantu
oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, tempat atau fasilitas
penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan
kefarmasian, yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri.
2.2.1 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Sakit
16

Pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mencakup penyelenggaraan


pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi
sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
meliputi:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan Pelayanan Kefarmasian yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi;
2. Melaksanakan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien;
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai guna memaksimalkan efek terapi dan
keamanan serta meminimalkan risiko;
4. Melaksanakan Komunikasi, Edukasi dan Informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien;
5. Berperan aktif dalam Tim Farmasi dan Terapi;
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan Pelayanan
Kefarmasian;
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan FRS.

Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:


1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai;
a. Memilih Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
b. Merencanakan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai secara efektif, efisien dan optimal;
c. Mengadakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan
yang berlaku;
d. Memproduksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit;
e. Menerima Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
17

sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku;


f. Menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian;
g. Mendistribusikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit;
h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu;
i. Melaksanakan pelayanan obat “unit dose”/dosis sehari;
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan
dan Bahan Medis Habis Pakai (apabila sudah memungkinkan);
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai yang sudah tidak dapat digunakan;
m. Mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai;
n. Melakukan administrasi pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan Resep atau permintaan Obat;
b. melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. melaksanakan rekonsiliasi Obat;
d. memberikan informasi dan edukasi penggunaan Obat baik berdasarkan
Resep maupun Obat non Resep kepada pasien/keluarga pasien;
e. mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai;
f. melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain;
g. memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya;
h. melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
1) Pemantauan efek terapi Obat;
2) Pemantauan efek samping Obat;
3) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
i. melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
18

j. melaksanakan dispensing sediaan steril


1) Melakukan pencampuran Obat suntik
2) Menyiapkan nutrisi parenteral
3) Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik
4) Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil
k. melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga kesehatan
lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit;
l. melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

2.2.2 Struktur Organisasi IFRS


Instalasi farmasi menetapkan struktur organisasi sesuai dengan ruang lingkup
pelayanan farmasi dan sumber yang ada. Terutama sumber daya manusia. Struktur
organisasi tersebut harus menggambarkan garis tanggung jawab dan wewenang,
koordinasi serta alur komunikasi. Struktur organisasi umumnya terdiri atas
berbagai unit fungsional yaitu:
- Pengadaan/pembeliaan/penyimpanan;
- Produksi dan pengemasan;
- Sentra sterilisasi;
- Penyediaan dan pelayanan obat PRT;
- Penyediaan dan pelayanan obat PRJ;
- Pelayanan klinik untuk penderita dan program rumah sakit;
- Sentra informasi obat/keracunan;
- Jaminan mutu dan dokumentasi sistem mutu;
- Pendidikan/pelatihan;
- Penelitian; dan
- Laboratorium pengujian mutu serta laboratorium farmakokinetika.
Uraian fungsi dari tiap unit fungsional tersebut harus terdokumentasi dalam
panduan mutu, demikian juga uraian tugas seluruh staf pengelola. Tiap unit
fungsional dalam struktur organisasi tersebut dikelola oleh seorang apoteker
penanggung jawab yang di sebut dengan manajer teknis, dibantu oleh beberapa
penyedia. Manajer teknis adalah seorang apoteker yang telah berpengalaman
19

dalam seluruh tugas dan fungsi IFRS terutama dalam unit fungsional yang di
pimpinnya.

Perwakilan manajemen untuk jaminan mutu yang disebut dengan manajer mutu,
adalah seorang apoteker tertentu yang dipilih dan diberikan wewenang untuk
mengelola dan memantau, mengevaluasi, dan mengkoordinasikan proses sistem
manajemen mutu. Manajer mutu harus melapor kepada kepala IFRS dan
mengkomunikasikan kepada konsumen serta pihak lainnya tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan sistem manajemen mutu. Manajer mutu bertanggung jawab
untuk mendesain dan mengembangkan sistem mutu yang sesuai dengan kebijakan
mutu IFRS. Memfasilitasi penerapan sistem, mengkoordinasikan seluruh kegiatan
menuju pencapaian tujuan mutu, memantau keefektifan dari sistem mutu melalui
audit terorganisasi tentang unjuk kerja mutu dan melaporkan kepada kepala IFRS,
serta merupakan penghubung dengan pihak eksternal seperti badan sertifikasi.

2.2.3 Sumber Daya Manusia


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 Instalasi
farmasi harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai
dengan beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan
instalasi farmasi rumah sakit. Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)
berdasarkan pekerjaan yang dilakukan.
1. Kualifikais SDM instalasi farmasi diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari:
1) Apoteker
2) Tenaga Teknis Kefarmasian
b) Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari:
1) Operator Komputer/ teknisi yang memahami kefarmasian
2) Tenaga Administrasi
3) Pekarya/pembantu pelaksana
2. Persyaratan SDM
Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pelayanan
20

Kefarmasian harus dibawah supervisi Apoteker. Instalasi Farmasi Rumah Sakit


harus dikepalai oleh seorang Apoteker yang merupakan Apoteker penanggung
jawab seluruh pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Kepala Instalasi Farmasi
Rumamh Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di instalasi
farmasi rumah sakit minimal 3 (tiga) tahun.
3. Beban Kerja dan Kebutuhan
a. Beban Kerja
Dalam perhitungan beban kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang
berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan yaitu:
1) Kapasitas tempat tidur dan Bad Occupancy Rate (BOR)
2) Jumlah dan jenis kegitan farmasi yang dilakukan (manajemen, klinik
dan produksi);
3) Jumlah resep atau formulir permintaan obat (floor stock) perhari; dan
4) Volume sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
b. Perhitungan Beban Kerja
Perhitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan
kefarmasian dirawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmais klinik dengan aktifitas pengkajian resep, penelurusan
riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, pematauan terapi obat,
pemberian informasi obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya
dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien.
Perhitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada pelayanan
kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktifitas pengkajian resep, penyerahan
obat, Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya
dibutuhkan tenaga Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.
Kebutuhan tenaga Apoteker juga diperlukan untuk pelayanan farmasi yang
lain seperti di unit logistik medik/distribusi, unit produksi steril/aseptic
dispensing, unit pelayanan informasi obat dan lain-lain tergantung pada
jenis aktifitas dan tingkat cakupan pelayanan yang dilakukan oleh instalasi
21

farmasi. Diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk


kegiatan pelayanan kefarmasian di ruang tertentu yaitu:
1) Unit Gawat Darurat;
2) Intensive Care Unit (ICU)/ Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)/
Neonatus Intensive Care Unit (NICU)/ Pediatric Intensive Care Unit
(PICU);
3) Pelayanan Informasi Obat.
c. Pengembangan staf dan program pendidikan
Peran Kepala Instalasi Farmasi dalam pengembangan staf dan program
pendidikan meliputi:
1) Menyusun program orientasi staf baru, pendidikan dan pelatihan
berdasarkan kebutuhan pengembangan kompetensi SDM.
2) Menentukan dan mengirim staf sesuai dengan spesifikasi pekerjaan
(tugas dan tanggung jawabnya) untuk meningkatkan kopetensi yang
diperlukan.
3) Menentukan staf sebagai narasumber/pelatih/fasilitator sesuai dengan
kopetensinya.
d. Penelitian dan Pengembangan
Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian mandiri atau
berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi harus melakukan
pengembangan Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan situasi
perkembangan kefarmasian terkini. Apoteker juga dapat berperan dalam
Uji Klinik Obat yang dilakukan di Rumah Sakit dengan mengelola Obat-
Obat yang diteliti sampai dipergunakan oleh subyek penelitian dan
mencatat Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) yang terjadi
selama penelitian.

2.2.4 Sarana dan Peralatan


a. Sarana
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016, Fasilitas ruang
harus memadai dalam hal kualitas dan kuantitas agar dapat menunjang fungsi dan
22

proses pelayanan kefarmasian, menjamin lingkungan kerja yang aman untuk


petugas, dan memudahksn sistem komunikasi Rumah Sakit.
a. Fasilitas utama dalam kegiatan pelayanan di instalasi farmasi, terdiri dari:
1) Ruang kantor/Administrasi, terdiri dari:
a) Ruang pimpinan
b) Ruang staf
c) Ruang kerja/ Administrasi Tata Usaha
d) Ruang pertemuan
2) Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan Medis
Habis Pakai.
Rumah Sakit harus mempunyai ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai yang disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan serta harus memperhatikan kondisi sanitasi,
temperatur, sinar/cahaya, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk
menjamin mutu produk dan keamanan petugas terdiri dari:
a) Kondisi umum untuk ruang penyimpanan:
(1)Obat jadi
(2) Obat produksi
(3) Bahan baku obat
(4) Alat kesehatan
b) Kondisi khusus untuk ruang penyimpanan:
(1)Obat termolabil
(2)Bahan laboratorium dan reagensia
(3)Sediaan farmasi yang mudah terbakar
(4)Obat/ bahan obat berbahaya (narkotik/psikotropik)
3) Ruang distribusi sedian farmasi alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai terdiri dari distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai rawat jalan (apotek rawat jalan) dan rawat inap
(satelit farmasi). Ruang distribusi terdiri dari:
a) Ruang distribusi untuk pelayanan rawat jalan. Dimana ada ruang
khusus/ terpisah untuk penerimaan resep dan peracikan.
23

b) Ruang distribusi untuk pelayanan rawat inap, dapat secara sentralisasi


maupun desentralisasi dimasing-masing ruang rawat inap.
4) Ruang konsultasi/konseling obat
Harus ada sebagai sarana untuk Apoteker memberikan konseling pada
pasien dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien.
5) Ruang pelayanan informasi obat
PIO dilakukan diruang tersendiri dengan dilengkapi sumber informasi
dan teknologi, komunikasi berupa bahan pustaka dan telepon.
6) Ruang produksi
7) Ruang aseptic dispensing
8) Laboratorium farmasi
b. Prasarana
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016, peralatan yang
paling sedikit harus tersedia:
a. Peralatan untuk penyimpanan, peracikan dan pembuatan obat baik steril, dan
nonsteril maupun aseptic/steril;
b. Peralatan kantor untuk administrasi dan arsip;
c. Kepustakaan yang memadai untuk melaksanakan PIO;
d. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika;
e. Lemari pendingin dan pendingin ruangan untuk obat yang termolabil;
f. Penerangan, sarana air, ventilasi dan sistem pembuangan limbah yang baik;
g. Alarm.

Macam-macam peralatan:
1) Peralatan kantor
2) Peralatan sistem komputerisasi
3) Peralatan produksi
4) Peralatan aseptic dispensing
5) Peralatan penyimpanan
a. Peralatan penyimpanan kondisi umum;
b. Peralatan penyimpanan kondisi khusus;
c. Peralatan pendistribusian/pelayanan;
d. Peralatan konsultasi;
24

e. Peralatan PIO;
f. Peralatan Ruang Arsip

2.2.5 Cakupan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan
farmasi klinik. Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait. Apoteker
khususnya bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan
paradigma pelayanan kefarmasian dari orientasi produk menjadi orientasi
pasien.Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan farmasi klinik. Kegiaatan
tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan peralatan.

2. 3 Pengelolaan Perbekalan Farmasi


Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin
seluruh rangkaian kegiatan perbekalan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta
memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan Alat Kesehatan,
Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit harus dilakukan
oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat Kesehatan yang dikelola oleh
Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat medis habis pakai/peralatan non
elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu jantung, implan, dan
stent. an formularium, pengadaan, dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bertujuan untuk mengutamakan
25

kepentingan pasien melalui Instalasi Farmasi Rumah Sakit.Kegiatan pengelolaan


Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi :
2.3.1 Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan:
a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. Standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang telah ditetapkan
c. Pola penyakit
d. Efektifitas dan keamanan
e. Pengobatan berbasis bukti
f. Mutu
g. Harga
h. Ketersediaan di pasaran.

2.3.2 Perencanaan Kebutuhan


Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya
kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan
untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara
lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan harus
mempertimbangkan:
a. Anggaran yang tersedia;
b. Penetapan prioritas;
c. Sisa persediaan;
d. Data pemakaian periode yang lalu;
e. Waktu tunggu pemesanan; dan
f. Rencana pengembangan.
26

2.3.3 Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari
pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan
dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi
kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran. Untuk memastikan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan
dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan tenaga
kefarmasian.

2.3.4 Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat
pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan
barang harus tersimpan dengan baik.

2.3.5 Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas
dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud
meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban,
ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai.
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label
yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka,
tanggal kadaluarsa dan peringatan khusus;
27

b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk


kebutuhan klinis yang penting;
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada
area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang
kurang hati-hati; dan
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang dibawa
oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.

Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa obat disimpan secara benar dan
diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda
khusus bahan berbahaya;
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan
tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.

Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan,


dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan
disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen.
Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike)
tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah
terjadinya kesalahan pengambilan obat. Rumah Sakit harus dapat menyediakan
lokasi penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat
penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan
pencurian.

2.3.6 Pendistribusian
28

Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka


menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien
dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin
terlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan. Sistem distribusi di unit
pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi
Farmasi.
2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan.
3) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang
mengelola (di atas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan
kepada penanggung jawab ruangan.
4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock
kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
5) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan
interaksi obat pada setiap jenis obat yang disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai berdasarkan resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui
Instalasi Farmasi.
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai berdasarkan resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal
atau ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dose ini
digunakan untuk pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
29

Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis


Habis Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau
b + c atau a + c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk pasien
rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian obat dapat
diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock
atau resep individu yang mencapai 18%. Sistem distribusi dirancang atas dasar
kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan:
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada; dan
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi.

2.3.7 Pemusnahan dan Penarikan Perbekalan Farmasi


Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai bila:
a. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. Telah kadaluarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan
atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan
d. Dicabut izin edarnya.

2.3.8 Pengendalian dan Administrasi


a. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama
dengan Tim Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit. Tujuan pengendalian
30

persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
adalah untuk:
a. Penggunaan obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
b. Penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi;
Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai.
b. Administrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi
terdiri dari:

1. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang meliputi
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, pendistribusian,
pengendalian persediaan, pengembalian, pemusnahan dan penarikan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pelaporan dibuat secara periodik yang dilakukan Instalasi Farmasi dalam
periode waktu tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau pertahun).
Jenis-jenis pelaporan yang dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang
berlaku.
2. Administrasi Keuangan
Apabila Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus mengelola keuangan maka
perlu menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi keuangan
merupakan pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya,
pengumpulan informasi keuangan, penyiapan laporan, penggunaan
laporan yang berkaitan dengan semua kegiatan Pelayanan Kefarmasian
secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan, triwulanan,
semesteran atau tahunan.
31

3. Administrasi Penghapusan
Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar
dengan cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai kepada pihak terkait sesuai
dengan prosedur yang berlaku (Permenkes 72Tahun 2016).

2. 4 Pelayanan Farmasi Klinis


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016, Pelayanan farmasi
klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien
dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya
efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
2.4.1 Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian
Resep, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi.
Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian obat (medication error).Kegiatan ini untuk menganalisa
adanya masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus
dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian
resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis
baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
a. Nama, umur, jenis kelamin, Berat Badan dan tinggi badan pasien.
b. Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter
c. Tanggal resep
d. Ruangan/unit asal resep
Persyaratan farmasetik:
a. Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan
32

b. Dosis dan jumlah obat


c. Stabilitas; dan
d. Aturan dan cara penggunaan;
Persyaratan klinis meliputi
a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat;
b. Duplikasi pengobatan;
c. Kontraindikasi dan
d. Interaksi obat

2.4.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat pasien.Tahapan penelusuran riwayat penggunaan
obat :
a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam medik/pencatatan
penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan obat;
b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh tenaga
kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan;
c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD);
d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;
e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan obat;
f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;
g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang
digunakan;
h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat;
i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat;
j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan
minum obat (concordance aids)
k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan
dokter; dan
33

l. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif yang


mungkin digunakan oleh pasien.

2.4.3 Rekonsiliasi Obat


Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan
obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya
kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan
dosis atau interaksi obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada
pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang
perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan
primer dan sebaliknya.Tujuan dilakukannya rekonsiliasi obat adalah:
a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien;
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi
dokter; dan
c. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.

2.4.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat,
profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit. PIO
bertujuan untuk:
a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di
lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit;
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, terutama
bagi Tim Farmasi dan Terapi;
c. Menunjang penggunaan obat yang rasional.

2.4.5 Konseling
Konseling obat adalah suatu aktifitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi
obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling
34

untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat
dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau
keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien
dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan untuk
mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko Reaksi Obat Yang Tidak
Dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan Cost-effectiveness yang pada akhirnya
meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety).Secara khusus
konseling obat ditujukan untuk :
a. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;Membantu pasien
untuk mengatur dan terbiasa dengan obat;
b. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat dengan
penyakitnya;
c. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
d. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat;
e. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi;
f. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
g. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling obat:
1. Kriteria Pasien:
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil
dan menyusui);
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi,
dan lain-lain);
c. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus
(penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/off);
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
phenytoin);
e. Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi); dan
f. Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
35

2. Sarana dan Peralatan:


a. Ruangan atau tempat konseling; dan
b. Alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling).

2.4.6 Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis
pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat
dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional,
dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan
lainnya.Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik
atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa
disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).

2.4.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan
PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi:
a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, Reaksi
Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan
c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat.

2.4.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap
respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping
obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi.Monitoring Efek Samping Obat bertujuan untuk :
a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat,
tidak dikenal, frekuensinya jarang;
36

b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
saja ditemukan;
c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan / mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO;
d. Meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki; dan
e. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki

2.4.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan obat
yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.Tujuan EPO
yaitu:
a. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat;
b. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu;
c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat; dan
d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
Pelaksanaan EPO:
a. Membentuk tim EPO
b. Mengkaji data pola penggunaan obat
1. Menetapkan obat yang akan dilakukan EPO
2. Menetapkan penyebab
3. Menetapkan lingkup kerjanya
4. Evaluasi data
a) Kajian masalah kekurangan pelayanan
b) Siapa yang bertanggung jawab
c. Identifikasi obat
1. Standar penetapan atau kategori obat
2. Mekanisme SMF
3. Mekanisme matriks
4. Ringkasan dasar pemilihan obat
a) Obat diketahui atau dicurigai menyebabkan ROM
b) Obat dipakai pengobatan ROM
c) Obat sering digunakan mahal
37

d) Obat toksik
e) Obat paling efektif
f) Obat evaluasi formularium
g) Obat berbahaya bagi pasien misalnya antikoagulan
h) Obat yang dipilih oleh RS
d. Mengembangkan kriteria penggunaan obat
e. Mengumpulkan dan mengorganisir data
1. Rekam medik
2. Sumber data:
a) Permintaan non formularium
b) Obat khusus
c) Obat tertentu
d) Laporan laboratorium
e) Rekaman pemberian obat
f) Laporan ROM
g) Laporan peristiwa kejadian
f. Mengevaluasi data
g. Mengambil tindakan untuk solusi masalah
1. Tindak lanjut dari PFT
2. Tindakan edukasi
h. Mengkaji keefektifan tindakan yang diambil
i. Mengkomunikasikan informasi kepada individu atau kelompok yang tepat
dirumah sakit.

2.4.10 Dispensing Sediaan Steril


Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan
teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi
petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan
pemberian obat. Dispensing sediaan steril bertujuan:
a. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan;
b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
38

d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat

2.4.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)


Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD
bertujuan:
a. Mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.
Kegiatan PKOD meliputi:
a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan Kadar
Obat dalam Darah (PKOD);
b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar
Obat dalam Darah (PKOD); dan
c. Menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan
memberikan rekomendasi.

2. 5 Formularium Rumah Sakit


Formularium Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis,
disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang ditetapkan oleh Pimpinan Rumah
Sakit. Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep,
pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap
Formularium Rumah Sakit harus secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan
dan kebutuhan Rumah Sakit.

Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan


pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar dihasilkan
Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan
pengobatan yang rasional. Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:
a. membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik Fungsional
(SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik;
39

b. mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi;


c. membahas usulan tersebut dalam rapat Tim Farmasi dan Terapi (TFT), jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar;
d. mengembalikan rancangan hasil pembahasan Tim Farmasi dan Terapi (TFT),
dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik;
e. membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF;
f. menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit;
g. menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan
h. melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan
melakukan monitoring.

Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit:


a. mengutamakan penggunaan Obat generik;
b. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan
penderita;
c. mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;
d. praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;
e. praktis dalam penggunaan dan penyerahan;
f. menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien;
g. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan
biaya langsung dan tidak langsung; dan
h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based
medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang
terjangkau.

2. 6 Tenaga Kefarmasian
Tenaga kefarmasian terdiri atas:
a. Apoteker
b. Tenaga Teknis Kefarmasian
Tenaga kefarmasian melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada:
40

a. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan
baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang
memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi
dan pengawasan mutu;
b. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan melalui
Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan
alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota; dan/atau
c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek, instalasi farmasi
rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperuntukkan bagi:
a. Apoteker berupa STRA; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK.
Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat izin praktik; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian wajib memenuhi
persyaratan:
a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki
surat izin praktek;
c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah
memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian bekerja; dan
d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian.
STRA, STRA Khusus, dan STRTTK tidak berlaku karena:
41

a. habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang oleh yang bersangkutan atau
tidak memenuhi persyaratan untuk diperpanjang;
b. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. permohonan yang bersangkutan;
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut oleh Menteri atau pejabat kesehatan yang berwenang.

2. 7 Peran Apoteker
Peran farmasis yang di gariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “seven stars
pharmacist” meliputi :
1. Pemberi Pelayanan
Dalam memberikan pelayanan mereka harus dengan mutu yang tinggi serta
memandang pekerjaan mereka sebagai bagian dan terintegrasi dengan sistem
pelayanan kesehatan dan profesi lainnya.
2. Pembuat Keputusan
Penggunaan sumber daya yang tepat , bermanfaat , aman dan tepat guna seperti
SDM, obat-obatan, bahan kimia, perlengkapan, prosedur dan pelayanan harus
merupakan dasar kerja dari Apoteker. Pada tingkat lokal dan nasional apoteker
memainkan peran dalam penyusunan kebijaksanaan obat-obatan. Pencapaian
tujuan ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi, menyintesa informasi
dan data serta memutuskan kegiatan yang paling tepat.
3. Komunikator
Apoteker merupakan posisi ideal untuk mendukung hubungan antara dokter dan
pasien dan untuk memberikan informasi kesehatan dan obat-obatan pada
masyarakat. Dia harus memiliki ilmu pengetahuan dan rasa percaya diri dalam
berintegrasi dengan profesi lain dan masyarakat. Komunikasi itu dapat dilakukan
secara verbal ( langsung ) non verbal , mendengarkan dan kemampuan menulis.
4. Manager
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya ( SDM, fisik dan keuangan), dan
informasi secara efektif . Mereka juga harus senang dipimpin oleh orang lainnya,
apakah pegawai atau pimpinan tim kesehatan. Lebih-lebih lagi teknologi
42

informasi akan merupakan tantangan ketika apoteker melaksanakan tanggung


jawab yang lebih besar untuk bertukar informasi tentang obat dan produk yang
berhubungan dengan obat serta kualitasnya.
5. Belajar Seumur Hidup
Adalah tak mungkin memperoleh semua ilmu pengetahuan di sekolah farmasi
dan masih dibutuhkan pengalaman seorang apoteker dalam karir yang lama.
Konsep-konsep, prinsip-prinsip , komitmen untuk pembelajaran jangka panjang
harus dimulai disamping yang diperoleh di sekolah dan selama bekerja. Apoteker
harus belajar bagaimana menjaga ilmu pengetahuan dan ketrampilan mereka
tetapup to date.
6. Pengajar
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan pelatihan
generasi berikutnya dan masyarakat. Sumbangan sebagai guru tidak hanya
membagi ilmu pengetahuan pada yang lainnya, tapi juga memberi peluang pada
praktisi lainnya untuk memperoleh pengetahuan dan menyesuaikan ketrampilan
yang telah dimilikinya.
7. Pemimpin
Dalam situasi pelayanan multi disiplin atau dalam wilayah dimana pemberi
pelayanan kesehatan lainnya ada dalam jumlah yang sedikit, apoteker diberi
tanggung jawab untuk menjadi pemimpin dalan semua hal yang menyangkut
kesejahteraan pasien dan masyarakat. Kepemimpinan apoteker melibatkan rasa
empati dan kemampuan membuat keputusan , berkomunikasi dan memimpin
secara efektif. Seseorang apoteker yang memegang peranan sebagai pemimpin
harus mempunyai visi dan kemampuan memimpin.

2. 8 Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,


Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Narkotik adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat/bahan atau obat, baik alamiah
43

maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh


selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan
kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses
produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norepherine/phenylpropanolamine,
ergotamin, ergometrine, atau potasium permanganat.

Peredaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi terdiri dari Penyaluran


dan Penyerahan.
1. Penyaluran
Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi
Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
a. Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya
dilakukan berdasarkan:
1) Surat pesanan, atau
2) Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk
Pesanan dari Puskesmas.
b. Surat pesanan hanya dapat berlaku untuk masing-masing Narkoita,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
c. Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk (satu) jenis Narkotika.
d. Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan
untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi.
e. Surat pesanan harus terpisah dari pesanan barang lain.
f. Penyaluran Narkotika Golongan 1 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan
PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika Kepada
Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk untuk kebutuhan laboratorium.
2. Penyaluran Narkotika, Psikotropika , dan Prekursor dalam Bentuk Bahan Baku
a. Narkotika dalam Bentuk Bahan Baku
44

1) Penyaluran Narkotika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan olrh
perusahaan PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika
kepada Industri Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan
2) Penyaluran Narkotika hanya dilakukan berdasarkan surat pesanan dari
Apoteker penanggung jawab produksi dan/atau Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan.
b. Psikotropika dalam Bentuk Bahan Baku
1) Penyaluran Psikotropika dalam bentuk bahan baku hanya dapat dilakukan
oleh PBF yang memiliki izin sebagai IT Psikotropika kepada Industri
Farmasi dan/atau Lembaga Ilmu Pengetahuan.
2) Penyaluran Psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan
dari Apoteker Penanggung Jawab produksi dan/atau kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan.
c. Prekursor Farmasi dalam Bentuk Bahan Baku
1) Penyaluran Prekursor Farmasi berupa zat/bahan pemula/bahan kimia atau
produk antara/produk ruahan hanya dapat dilakukan oleh PBF yang
memiliki izin IT Prekursor Farmasi Kepala Industri Farmasi dan/atau
Lembaga Ilmu Pengetahuan.
2) Penyaluran Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat
pesanan dari Apoteker Penanggung Jawab produksi dan/atau Kepala
Lembaga Ilmu Pengetahuan.
3. Penyaluran Narkotika, Psikotropika , dan Prekursor dalam Bentuk Obat Jadi
Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat
jadi hanya dapat dilakukan oleh :
a. Industri Farmasi kepada PFB dan Instalasi Farmasi Pemerintah
b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi
Farmasi Klinik, Instalasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan
c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
Industri Farmasi, untuk penyaluran narkotika
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi Pemerintah
Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Instalasi
Farmasi Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian
45

e. Instalasi farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah Sakit


milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik Pemerintah Daerah
dan Puskesmas
f. Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan, PBF dapat menyalurkan
Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas kepada Toko Obat.
4. Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan oleh
Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi
dengan :
a. Surat pesanan
b. Faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat :
1) Nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
2) Bentuk sediaan
3) Kekuatan
4) Kemasan
5) Jumlah
6) Tanggal kadaluarsa
7) Nomor batch
Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dilakukan
melalui jasa pengangkutan hanya dapat membawa Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam surat pesanan,
faktur, dan/atau surat pengantar barang yang dibawa pada saat pengiriman
5. Penyerahan
a. Penyerahan Narkotia, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk obat jadi
b. Dalam hal penyerahan dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh
Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian
c. Penyerahan dilakukan secara langsung sesuai dengan standar pelayanan
kefarmasian
46

d. Dikecualikan dari ketentuan, penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk


golongan obat bebas terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis
Kefarmasian.
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apoteker kepada Dokter hanya
dapat dilakukan dalam hal :
a. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan
Psikotropika melalui suntikan; dan/atau
b. Dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada
apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang.
Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Dokter kepada pasien hanya dapat
dilakukan dalam hal :
a. Dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan
Psikotropika melalui suntikan
b. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan
c. Dokter menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Psikotropika melalui suntikan
d. Dokter menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada Apotek
berdasarkan surat penugasan dari pejabat yang berwenang.
6. Penyimpanan
Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas
produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu
menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi :
a. Gudang Khusus harus memenuhi persyaratan :
1) Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai pintu yang dilengkapi
dengan pintu jeruji dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda
2) Langit-langit dapat terbuat dari tembok beton atau jeruji besi
3) Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi
4) Gudang tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker
penanggungjawab
47

5) Kunci gudang dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab dan pegawai


lain yang dikuasakan.
b. Ruang Khusus harus memenuhi persyaratan :
1) Dinding dan langit-langit terbuat dari bahan yang kuat
2) Jika terdapat jendela atau ventilasi harus dilengkapi dengan jeruji besi
3) Mempunyai satu pintu dengan 2 (dua) buah kunci yang berbeda
4) Kunci ruang khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/ Apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan
5) Tidak boleh dimasuki oleh orang lain tanpa izin Apoteker penganggung
jawab/Apoteker yang ditunjuk
c. Lemari Khusus harus memenuhi persyaratan :
1) Terbuat dari bahan yang kuat
2) Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang
berbeda
3) Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi
Farmasi Pemerintah
4) Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk
apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Klinik, dan Lembaga Ilmu pengetahuan
5) Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab /
Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
7. Pemusnahan
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan
dalam hal :
a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau
tidak dapat diolah kembali;
b. Telah kadaluarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan.
d. Dibatalkan izin edarnya; atau
e. Berhubungan dengan tindak pidana.
48

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan


tahap sebagai berikut :
a. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian / pimpinan lembaga / dokter praktik perorangan menyampaikan
surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada :
1) Kementrian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi
Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat
2) Dinas Kesehatan Provinsi dan/ atau Balai Besar/ Balai Pengawas Obat
dan Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga
Ilmu Pengetaahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi, atau
3) Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan/ atau Balai Besar/ Balai Pengawas
Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi PemerintahKabupaten/
Kota, Dokter, atau Toko Obat.
b. Kementrian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas
Kesehatan Provinsi, Balai Besar/ Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota menetapkan petugas di
lingkungannya menjadi saksi pemusnahansesuai dengan surat permohonan
sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
d. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum
dilakukan pemusnahan.
Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/ fasilitas pelayanan
kefarmasian/ pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan yang melaksanakan
pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat
Berita Acara Pemusnahan. Berita Acara Pemusnahan memuat :
a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;
b. Tempat pemusnahan;
c. Nama penanggung jawab fasilitas produksi/ fasilitas distribusi/ fasilitas
pelayan kefarmasian/ pimpinan lemabaga / dokter praktik perorangan;
49

d. Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/ sarana
tersebut;
e. Nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
dimusnahkan;
f. Cara pemusnahan; dan
g. Tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/ failitas distribusi/ fasilitas
pelayanan kefarmasian/ pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan dan
saksi.
8. Pencatatan dan Pelaporan
a. Pencatatan paling sedikit terdiri atas :
1) nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi
2) jumlah persediaan
3) tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
4) jumlah yang diterima
5) tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran / penyerahan
6) jumlah yang disalurkan / diserahkan
7) nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran /
penyerahan dan
8) paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,
dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara terpisah paling
singkat 3 (tiga) tahun.
b. Pelaporan paling sedikit terdiri atas :
1) nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi;
2) jumlah persediaan awal dam akhir bulan;
3) tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
4) jumlah yang diterima;
5) tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;
6) jumlah yang disalurkan; dan
50

7) nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan


persediaan awal dan akhir.
BAB III TINJAUAN KHUSUS RSJ PROVINSI JAWA BARAT

3. 1 Lokasi
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat berlokasi di Jalan Kolonel Masturi KM.7
Cisarua Kabupaten Bandung Barat.Lokasinya yang cukup strategis di lingkungan
masyarakat yang tergolong menengah dengan pemandangan alam dan udara yang
sejuk cocok untuk perawatan gangguan kejiwaan.

3. 1. 1 Kedudukan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dalam


Pemerintahan Provinsi Jawa Barat
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat secara administratif bernaung di bawah
pengelolaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai lembaga teknis daerah yang
berbentuk Rumah Sakit Khusus milik Pemerintah Daerah. Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Jawa Barat ini merupakan unsur penunjang Pemerintah Daerah,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

3. 1. 2 Sejarah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat


Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor
23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Daerah Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, maka 2 (dua) Rumah Sakit Jiwa, yakni Rumah Sakit Jiwa
Bandung yang berlokasi di Jalan RE Martadinata (Riau ) No. 11 Bandung dan
Rumah Sakit Jiwa Cimahi yang berlokasi di Jalan Kolonel Masturi Km 7 Cisarua
Kabupaten Bandung Barat digabung menjadi satu Rumah Sakit Jiwa yang
bernama Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Sejarah kepemimpinan
(Direktur) Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut :
Tahun 2009 – 2010 : dr. Hj. Baniah Ptriwati, MM.
Tahun 2010 – 2017 : dr. H. Encep Supriandi, Sp.KJ, M.Kes.
Tahun 2017 – Februari 2018 : dr. RR. Endang Noersita Daim, MPH.
Maret 2018 – sekarang : dr. H. Riza Putra, Sp.KJ

51
52

Adapun tempat pelayanan kesehatan jiwa dilakukan pada dua tempat, yaitu:
a. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat berlokasi di Jalan Kolonel Masturi
KM 7 Cisarua kabupaten Bandung Barat, memberikan pelayanan IGD 24
jam, Rawat Jalan, Rawat Inap Jiwa dan NAPZA, pelayanan penunjang
kesehatan, rehabilitasi pasien mental, rehabilitasi NAPZA, pelayanan
pendidikan dan penelitian kesehatan jiwa.
b. Satuan Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas (Gedung Graha Atma)
berlokasi di Jalan RE. Martadinata (Riau) 11 Bandung, yang memberikan
pelayanan Rawat Jalan dan Pusat Pelayanan Konsultasi Kesehatan Jiwa
Dewasa, lansia, anak remaja, psikologi dan psikometri, penyakit dalam, gigi
dan mulut.

3. 1. 3 Visi, Misi, Tata Nilai dan Motto RSJ Provinsi Jawa Barat
Visi
Mewujudkan Rumah Sakit Jiwa unggulan di Indonesia yang nyaman, berkualitas,
dan inovatif.
Misi :
a. Mengembangkan pelayanan unggulan kesehatan jiwa anak dan remaja,
rehabilitasi NAPZA serta kampung walagris sebagai pusat pemberdayaan
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan Orang Dengan Masalah Kejiwaan
(ODMK) berbasis pemulihan secara komperhensif.
b. Meningkatkan layanan kesehatan jiwa melalui kompetensi tenaga profesional
yang inovatif dan kolaboratif.
c. Mengembangkan Rumah Sakit Jiwa yang nyaman berbasis ramah lingkungan.
d. Mengembangkan Rumah Sakit Pendidikan yang handal dan bermutu.
Tata Nilai :
a. Kebersamaan;
b. Profesionalisme (empati, keterbukaan, cepat tanggap, tanggungjawab);
c. Kejujuran;
d. Disiplin; dan
e. Inovasi
Motto :
53

“Kami Peduli Kesehatan Jiwa Anda”


3. 1. 4 Tujuan dan Sasaran
Tujuan :
a. Menyediakan pelayanan kesehatan jiwa komprehensif;
b. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan jiwa berstandar internasional;
c. Meningktkan pelayanan pendidikan dan penelitian kesehatan jiwa;
d. Memiliki SDM yang profesionalisme;
e. Meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai
Sasaran :
a. Terselenggaranya layanan administrasi dan manajemen professional;
b. Meningkatnya pelayanan rujukan kasus jiwa psikotik dan non psikotik;
c. Meningkatnya sarana, prasarana dan peralatan bagi pengembangan pelayanan
kesehatan jiwa;
d. Terselenggaranya layanan administrasi dan manajemen professional
e. Meningkatnya sarana, prasarana dan peralatan bagi pengembangan pelayanan
kesehatan jiwa

3. 1. 5 Tugas Pokok dan Fungsi RSJ Provinsi Jawa Barat


Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 59 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok,
Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja RS Jiwa Provinsi Jawa Barat, Rumah
Sakit Jiwa mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut :
A. Tugas Pokok
Menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan khusus jiwa paripurna, meliputi
preventif, promotif, kuratif dan rehabilitative serta pendidikan, pelatihan,
penelitian dan pengembangan kesehatan jiwa.
B. Fungsi
Dalam menyelenggarakan tugas pokok Rumah Sakit Jiwa mempunyai fungsi:
1. Penyelenggaraan pengaturan, perumusan kebijakan teknis dan pengendalian
kesehatan jiwa;
2. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa dan penunjang lainnya;
3. Penyelenggaraan rujukan kesehatan jiwa;
4. Penyelenggaraan kegiatan dalam kesehatan jiwa lainnya;
54

5. Penyelenggaraan tugas lain sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.


3. 2 Struktur Organisasi
3. 2. 1 Struktur Organisasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
Dalam menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya, Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Jawa Barat memiliki struktur organisasi yang terdiri atas :
1. Direktur
2. Wakil Direktur SDM, Keuangan dan Umum membawahkan :
a. Bagian Sumber Daya Manusia dan Perencanaan, membawahkan :
1) Sub. Bagian Kepegawaian dan Pembangunan SDM
2) Sub. Bagian Perencanaan, Pelaporan dan Pemasaran
b. Bagian Keuangan dan Akuntansi, membawahkan :
1) Sub. Bagian Perbendaharaan dan Mobilisasi Dana
2) Sub. Bagian Akuntansi dan Verifikasi
c. Bagian Umum, membawahkan :
1) Sub. Bagian Tata Usaha
2) Sub. Bagian Rumah Tangga, Perlengkapan dan Pemeliharaan
3. Wakil Direktur Pelayanan
a. Bidang Pelayanan Medik, membawahkan :
1) Seksi Pengembangan Pelayanan Medik
2) Seksi Pendayagunaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Medik
b. Bidang Pelayanan Keperawatan, membawahkan :
1) Seksi Pengembangan Pelayanan Keperawatan
2) Seksi Pendayagunaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Keperawatan
c. Bidang Pelayanan Penunjang, membawahkan :
1) Seksi Pelayanan Penunjang Medik dan Non Medik
2) Seksi Peningkatan Mutu Pelayanan dan Kerohanian
4. Kelompok Jabatan Fungsional, terdiri dari :
a. Instalasi Diklit
b. Instalasi Rekam Medik
c. Instalasi Sistem Informasi Manajeman RS (SIM RS)
d. Instalasi Pemasaran
e. Instalasi Pemeliharaan
55

f. Instalasi Kesehatan Lingkungan


g. Instalasi Laundry
h. Instalasi Keswara
i. Instalasi Elekro Medis
j. Instalasi Rehabilitasi Mental
k. Instalasi Gawat Darurat
l. Instalasi Keswamas
m. Instalasi Rawat Jalan
n. Instalasi Rawat Jiwa Intensif
o. Instlasi Rehabilitasi NAPZA
p. Instalasi Radiologi
q. Instalasi Laboratorium
r. Instalasi Gizi
s. Instalasi Farmasi

3. 2. 2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi


Jawa Barat
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Instalasi Farmasi dibantu oleh:
a. Penanggungjawab Administrasi dan umum bertanggung jawab dalam
pelaksanaan tertib administrasi dan kegatan umumdi Instalasi Farmasi
b. Penanggungjawab Pengelolaan Perbekalan Farmasi bertanggung jawab dalam
perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi.
c. Penanggungjawab Pelayanan Farmasi Klinik bertanggung jawab dalam
kegiatan pelayanan farmasi klinik yang ada di RSJ Provinsi Jawa Barat
d. Penanggung jawab Manajemen Mutun dan Sumber Daya Manusia
bertanggung jawab dalam kegiatan peningkatan mutu pelaynan dan sumber
daya manusia yang ada di Instalasi Farmasi
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat memiliki struktur
organisasi sebagai berikut:
a. Kepala IFRS : Eka Prasetyawati, S.Si.,Apt
b. P.J Administrasi IFRS : Usman dan Elly
c. P.J Pengelolaan Perbekalan Farmasi : Saelendra, S.Si.,Apt
56

d. P.J Pelayanan Farmasi Klinik : Dra. Timansari Barus, Apt


e. P.J Manajemen Mutu & SDM : Ardi Yoga, A.Md.Farm

3. 3 Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker


Apoteker wajib menerapkan empat unsur utama dari pelayanan farmasi yaitu :
a. Pelayanan farmasi yang baik,
b. Pelayanan profesi Apoteker dalam proses penggunaan obat,
c. Praktik dispensing yang baik,
d. Pelayanan professional Apoteker yang proaktif dalam berbagai kegiatan
kepanitiaan yang bertujuan untuk peningkatan mutu pelayanan kepada
penderita.
Sebagai seorang pemimpin IFRS, Apoteker harus:
a. Mempunyai kemampuan untuk memimpin,
b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan farmasi,
c. Mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri,
d. Mempunyai kemampuan untuk melihat masalah, manganalisa, dan
memecahkan masalah.
Sebagai tenaga fungsional, seorang Apoteker bertugas:
a. Memberikan pelayanan kefarmasian,
b. Melakukan akuntabilitas praktek kefarmasian,
c. Mengelola manajemen praktis,
d. Memberikan informasi/ berkomunikasi tentang kefarmasian,
e. Melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengembangan,
f. Melaksanakan penelitian dan pengembangan bidang farmasi klinik.

3. 4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi


3. 4. 1 Pemilihan Perbekalan Farmasi
Pemilihan obat di rumah sakit mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional
(DOEN), sesuai dengan kelas rumah sakit, Formularium Rumah Sakit,
57

Formularium Jaminan Kesehatan bagi masyarakat. Formularium yang digunakan


di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat disusun oleh Sub Komite Farmasi dan
Terapi dan ditetapkan oleh Direktur untuk dijadikan acuan dalam pemilihan
perbekalan farmasi oleh Instalasi Farmasi.

3. 4. 2 Perencanaan Perbekalan Farmasi


Perencanaan perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa disusun
untuk kebutuhan satu tahun kedepan menggunakan metode konsumsi dengan
mempertimbangkan penggunaan tahun sebelumnya, buffer stock, lead time dan
sisa perbekalan farmasi yang masih tersedia di Gudang Farmasi. Daftar
perencanaan perbekalan farmasi dibuat oleh Kepala Instalasi Farmasi dan
ditetapkan oleh Direktur. Daftar perencanaan tersebut diajukan kepada Direktur
melalui Kepala Bidang Penunjang Medik.

3. 4. 3 Pengadaan Perbekalan Farmasi


Sebelum diberlakukan E-Purchasing:
a. Pengadaan Perbakalan Farmasi Melalui Pembelian Langsung
Pembelian langsung dilakukan bila terjadi kekosongan obat yang sangat
diperlukan diluar prosedur rutin.
b. Pengadaan Obat Melalui Penunjukan Langsung
Pengadaan Perbekalan Farmasi untuk obat-obatan generik (harga ditetapkan
Menteri Kesehatan) yang prosesnya mengacu pada Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010.
c. Pengadaan Obat Melalui Lelang
Pengadaan Perbekalan Farmasi mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010.
d. Pengadaan Obat Melalui (Droping) Hibah
Pengadaan perbekalan farmasi melalui droping dilaksanakan melalui
persetujuam Direktur Rumah Sakit. Dalam prosesnya, Direktur Rumah Sakit
menerima surat pengiriman perbekalan farmasi dari pihak pemberi hibah,
kemudian Direktur akan memberi surat tugas kepada tim penerima/
pemeriksa barang untuk memeriksa perbekalan farmasi sesuai dengan surat
58

pengiriman untuk kemudian diserahkan ke Instalasi Farmai untuk dkelola dan


disimpan.
Setelah diberlakukan E-Purchasing :
a. E-Purchasing
E-Purchasing adalah tata cara pembelian Barang/Jasa melalui sistem katalog
elektronik. Berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah No.17 Tahun 2012 Tentang E-Purchasing, E-
Catalogue sendiri adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar,
jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai Penyedia
barang/Jasa Pemerintah. Untuk perbekalan farmasi yang tidak terdapat dalam
E-Catalogue, pengadaannya dilakukan dengan 2 jalur:
b. Penunjukkan langsung, bila total kebutuhannya kurang dari Rp.200.000.000,-
c. Lelang, bila total kebutuhannya lebih dari Rp.200.000.000,-

3. 4. 4 Penerimaan Perbekalan Farmasi


Penerimaan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat di serahkan ke bagian
penerimaan di gudang. Bagian penerimaan gudang melakukan pemeriksaan
perbekalan farmasi yang diterima dengan kriteria pemeriksaan seperti kondisi
barang, jumlah, spesifikasi, mutu, waktu pengiriman, harga yang tertera pada
kontrak atau surat pesanan, tanggal kadaluarsa dan nomor batch.

3. 4. 5 Penyimpanan Perbekalan Farmasi


Penyimpanan perbekalan farmasi Rumah Sakit Jiwa dilakukan dengan prinsip
FEFO dan FIFO dengan memperhatikan sifat dari perbekalan farmasi tersebut dan
disertai dengan sistem informasi mengenai ketersediaannya. Dalam prinsipnya,
penyimpanan di satelit farmasi dan di gudang farmasi adalah sama. Pada satelit
farmasi rawat inap dan rawat jalan obat disimpan berdasarkan kategorinya, yaitu
obat jiwa dan obat umum kemudian disusun berdasarkan bentuk sediaannya.
Sedangkan di gudang farmasi obat disusun berdasarkan alfabetis dan bentuk
sediaanya.
59

Obat-obat yang memiliki sifat termolabil seperti vaksin, disimpan di dalam lemari
pendingin (chiller) untuk menjamin suhu penyimpanannya tetap memenuhi syarat
yakni 2-8o C. Penyimpanan untuk obat golongan psikotropika di dalam lemari
khusus psikotropika dan selalu terkunci. Lemari penyimpanannya berupa lemari
dengan pintu ganda dengan kunci yang berbeda. Penyimpanannya dilakukan
berdasarkan bentuk sediaan, alfabetis dan dengan menerapkan sistem First Expire
First Out, serta dilengkapi kartu kontrol barang (kartu stok). Kunci lemari khusus
dipegang oleh Apoteker / Tenaga Teknis Kefarmasian yang mendapat wewenang
sesuai jadwal kerja.

3. 4. 6 Pengemasan Kembali Perbekalan Farmasi


Pengemasan kembali perbekalan farmasi yang dilakukan di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit Jiwa diantaranya adalah pembuatan obat racikan yang dikemas
kembali dalam bentuk kapsul ataupun puyer, yang dilakukan sesuai dengan resep
yang diterima.

3. 4. 7 Distribusi Perbekalan Farmasi


Sistem distribusi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat adalah metode
desentralisasi, dimana dilakukan oleh beberapa cabang Instalasi Farmasi dirumah
sakit yaitu satelit rawat jalan, satelit rawat inap dan satelit UGD. Alur
pendistribusian dari permintaan bagian satelit farmasi ke bagian gudang dilakukan
setiap 10 hari, namun dalam keadaan darurat dapat dilakukan permintaan diluar
jadwal tersebut. Untuk distribusi perbekalan farmasi yang dilakukan di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat diklasifikasikan berdasarkan
distribusi ke pasien dilakukan sebagai berikut :
a. Untuk pasien rawat jalan, IFRS menggunakan sistem distribusi resep
perorangan. Pasien atau keluarga pasien membawa resep langsung ke
Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk langsung dilayani sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan. Satelit Farmasi Rawat Jalan di RSJ Provinsi
Jawa Barat, melayani resep pasien BPJS, JPKMM, GAKINDA dan resep
umum.Selain dilakukan pengkajian resep terhadap resep yang masuk, petugas
satelit farmasi rawat jalan harus memeriksa kelengkapan dokumen lain untuk
60

pasien BPJS, JPKMM dan GAKINDA. Untuk resep BPJS, dokumen yang
disertakan diantaranya adalah fotokopi kartu BPJS, Surat Elegibilitas Peserta
BPJS dan Bukti Pelayanan oleh Tim Medis. Sedangkan untuk resep JPKMM
dan GAKINDA, hanya menyertakan surat Jaminan Pelayanan dan Bukti
Pelayanan saja. Setelah dilakukan telaah resep dan pemeriksaan terhadap
dokumen penyerta, petugas farmasi akan memberikan nomor antrian kepada
pasien atau pendamping pasien, kemudian akan dilakukan input resep pada
SIM RS.
b. Untuk pasien rawat inap, IFRS menggunakan sistem distribusi dosis unit
dimana obat dan BMHP dikemas dalam satu kantong/wadah untuk sekali
penggunaan obat (dosis), sehingga siap untuk diberikan ke pasien (ready to
administer). Obat yang sudah dikemas per dosis tersebut diantarkan setiap
hari pukul 14.00 WIB dan disimpan di lemari obat pasien di ruang rawat
untuk persediaan tidak lebih dari 24 jam.
Sementara itu, penyaluran perbekalan farmasi dari gudang farmasi ke bagian
pelayanan IFRS Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan:
a. Penyerahan perbekalan farmasi ke instalasi pelayanan dari gudang
farmasi.Penyerahan perbekalan farmasi dilakukan kepada instalasi atau satelit
yang melakukan pelayanan sesuai permintaan dan sudah disetujui Kepala
Bidang terkait.
b. Permintaan perbekalan farmasi bagian pelayanan IFRS (satelit farmasi) ke
gudang farmasi.
Permintaan perbekalan farmasi dilakukan untuk menjamin ketersediaan
perbekalan farmasi di bagian pelayanan dan menjamin tertib
administrasi.Permohonan permintaan dilakukan atas dasar data persediaan akhir di
setiap satelit.

3. 5 Pelayanan Farmasi Klinik


Dilakukan oleh Apoteker dan diberikan kepada semua pihak yang terkait
yaitupasien, dokter, perawat, dan keluarga pasien. Kegiatan pelayanan farmasi
klinis yang dilakukan antara lain :
61

3.5.1 Pengkajian dan Pelayanan Resep


Pengkajian dan pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan
disertai pemberian informasi. Dalam hal pemeriksaan harus disesuaikan antara
etiket dengan resep dan obat yang telah disiapkan. Apabila pasien tidak akan
mengambil obat seluruhnya atau pasien meminta untuk dibuatkan copy resepnya,
maka pihak IFRS harus membuatkan copy resepnya kepada pasien. Pada setiap
tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan
pemberian obat (medication error). Kegiatan ini untuk menganalisa adanya
masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait, obat harus dikonsultasikan
kepada dokter penulis resep. Pengkajian dan pelyanan resep dilakukan oleh
Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker harus melakukan pengkajian
resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan
klinis, sedangkan tenaga teknis kefarmasian terbatas hanya dalam aspek
administrasi dan farmasetik baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.

3.5.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat


Bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat yang pernah/
sedang digunakan. Kegiatan ini dapat diperoleh melalui wawancara pasien,
kelaurga/pelaku rawat atau melihat data rekam medik pasien. Penelusuran riwayat
penggunaan obat dilakukan oleh Apoteker.

3.5.3 Rekonsiliasi Obat


Bertujuan untuk membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah
didapat pasien agar tehindar dari kesalahan obat. Pada tahap ini dilakukan
pengumpulan data, apabila ditemukan ketidakcocokan maka apoteker melakukan
konfirmasi kepada dokter, dan kegiatan ini harus didokumentasikan, setelah itu
barulah apoteker menyampaikan informasi mengenai obat yang diberikan.

3.5.4 Pelayanan Informasi Obat


62

Pelayanan informasi obat kepada pasien rawat inap di RS Jiwa Provinsi Jawa
Barat berupa edukasi terhadap informasi obat yang digunakan oleh pasien rawat
jalan maupun rawat inap. Pelayanan informasi obat dilakukan oleh Apoteker.
Informasi yang disampaikan terkait obat yang diberikan meliputi :
1. Kegunaan obat yang sedang dikonsumsi
2. Cara pakai obat, dan memberikan informasi agar selalu meminum obat
denganair putih. Serta agar meminum obat tepat waktu sesuai dengan waktu
yang ditetapkan
3. Efek samping yang mungkin timbul dan cara penanganannya
4. Informasi penyimpanan obat.

3.5.5 Konseling
Konseling di RS Jiwa Provinsi Jawa Barat dilakukan untuk pasien rawat jalan
maupun rawat inap atas inisiatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau
keluarganya. Konseling dilakukan untuk meingkatkan kepatuhan pasien,
mengoptimalkan terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak dikehendaki
dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan obat bagi pasien (patient safety). Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.

3.5.6 Visite
Visite di RS Jiwa Provinsi Jawa Barat dilakukan oleh apoteker dan tim medis
lainnya untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji
masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi atau efek samping obat
yang tidak dikehendaki.

3.5.7 Pemantauan Terapi Obat


Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah kegiatan untuk memastikan terapi obat
yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien.PTO dilakukan oleh Apoteker. PTO
dilakukan terhadap pasien dengan terapi polifarmasi, pasien geriatri, pasien
pediatri, pasien dengan gangguan ginjal, dan pasien yang mendapatkan obat
dengan indeks terapi sempit. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi
63

dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).


Langkah-langkah yang diambil dalam melakukan PTO yaitu:
1. Tentukan kasus yang diambil
2. Tentukan metode yang akan diambil, misalnya : SOAP
3. Tentukan masalah medis
4. Tentukan tujuan terapi pasien
5. Lakukan assessment

3.5.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak
dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim. Bertujuan mendeteksi adanya kejadian
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ESO), mengidentifikasi serta mengevaluasi
laporan ESO, mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO kepada TFT serta
dilaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional. MESO dilakukan
oleh Apoteker dengan kolaboratif tenaga medis lainnya dalam koordinasi TFT.

3.5.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)


Program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan dalam
menilai kerasionalan terapi obat melalui evaluasi data penggunaan obat baik
secara kualitatif dan kuantitatif.. Tujuan EPO mendapatkan gambaran saat ini atas
pola penggunaan obat, kemudian dibandingkan pola periode waktu tertentu,
memberikan masukan untuk perbaikan dan menilai pengaruh intervensi atas pola
penggunaan obat.

3.5.10 Dispersing Sediaan Steril


Kegiatan dispensing sediaan steril di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Jawa Barat belum dilakukan oleh IFRS, tetapi dilakukan oleh tim dokter dan
perawat. Kegiatan ini bertujuan menjamin agar pasien menerima obat sesuai
dosis, steril dan stabil, serta melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta
menghindari kesalahan pemberian obat.

3.5.11 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)


64

Kegiatan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) yang dilakukan dalam
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat belum dilakukan oleh
IFRS. Dengan adanya PKOD dapat mengetahui kadar obat dalam darah, dan
memberikan rekomendasi terapi atas PKOD.

3. 6 Administrasi Keuangan
Dalam hal administrasi, Instalasi Farmasi melakukan pengarsipan atau
pendokumentasian seluruh hasil kegiatan yang dilakukan dalam bentuk
laporan.Baik itu laporan harian, bulanan, dan tahunan.Seluruh laporan yang
dikerjakan oleh petugas farmasi dilaporkan kepada Kepala Instalasi Farmasi untuk
kemudian di laporkan kembali pada manajemen dan untuk disimpan sebagai arsip.
Untuk mendukung ketertiban pengarsipan atau kokumentasi, Direktur Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Surat Keputusan mengenai
Prosedur Tetap Pengarsipan dan Dokumentasi. Laporan yang dibuat di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat diantaranya :
a. Laporan yang dikerjakan setiap hari :
1) Laporan pengeluaran obat per hari
Laporan ini bersisi item dan jumlah obat yang terpakai per hari dalam
format excel. jumlah obat-obatan yang keluar setiap harinya untuk
kemudian dipindahkan ke kartu stok. Kartu stok disini digunakan untuk
mencatat mutasi obat (penerimaan, pengluaran, hilang, rusak atau
kadaluwarsa). Data yang nanti diperoleh dari kartu stok digunakan untuk
menyusun laporan, perencanaan pengadaan dan sebagai pembanding
terhadap keadaan fisik obat yang tersedia.
2) Laporan harian
Laporan ini berisi jumlah lembar resep masuk setiap harinya yang
diklasifikasikan berdasarkan kriteria berikut ini:
a) Resep Rawat Jalan BPJS
b) Resep Rawat Jalan Umum
c) Resep IGD BPJS
d) Resep IGD Umum
e) Resep Rawat Inap BPJS
65

f) Resep Rawat Inap Umum


Pengerjaannya dilakukan per shift oleh petugas farmasi yang bertugas
pada shift tersebut. Laporan ini merupakan acuan atau dasar untuk
membuat laporan bulanan.
Selain berisi jumlah lembar resep, laporan ini memuat:
a) Jumlah item resep keseluruhan,
b) Jumlah item resep berdasarkan klasifikasi:
- Generik,
- Non Generik,
- Non Formularium,
- AKHP (Alat Kesehatan Habis Pakai).
c) Jumlah item resep yang tidak terlayani, berdasarkan klasifikasi:
- Generik,
- Non Generik,
- Non Formularium,
- AKHP (Alat Kesehatan Habis Pakai)
3) Laporan penulisan obat generik per dokter
Laporan ini berfungsi sebagaialat bantu untuk membuat Laporan Bulanan
Penggunaan Obat Generik Berdasarkan Dokter yang menulisnya, yang
kemudian akan dilaporkan setiap bulannya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota. Tujuan pembuatan laporan ini adalah untuk memantau/ menilai
jumlah penulisan obat generik yang ditulis seorang dokter. Format laporan
ini terdiri dari:
- Nama Dokter,
- Bulan dan tanggal,
- Jumlah lembar resep yang dirulis dokter yang bersangkutan,
- Jumlah item resep dari resep yang ditulis oleh dokter yang bersangkutan,
- Jumlah item resep obat generik yang ditulis oleh dokter yang
bersangkutan
b. Catatan atau rekapan resep perhari :
1) Rekapan resep rawat jalan
- Rawat Jalan BPJS,
66

- Rawat Jalan Umum


2) Rekapan resep UGD
- IGD BPJS,
- IGD Umum
3) Rekapan resep rawat inap
- Rawat Inap BPJS,
- Rawat Inap Umum
4) Rekapan resep karyawan
Rekapan Resep ini dibuat oleh tenaga administrasi yang bertugas di Instalasi
Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan SIM
RS yang telah disediakan. Rekapan ini memuat:
- Tanggal di inputnya resep/ tanggal resep,
- Nama Pasien,
- Nomor Rekam Medis pasien,
- Nama perbekalan farmasi,
- Jumlah perbekalan farmasi,
- Aturan pakai perbekalan farmasi,
- Total harga resep
Untuk resep karyawan dibuat buku catatan obat karyawan yang ditulis
secara manual. Formatnya hampir sama dengan rekapan resep yang di input
menggunakan soft ware yang tersedia di IFRS, namun tidak terdapat total
harga. Buku catatan ini digunakan sebagai bukti penyerahan atau tanda
terima obat karyawan.
c. Laporan bulanan
Laporan bulanan yang dibuat IFRS Provinsi Jawa Barat diantaranya:
1) Laporan Bulanan, yang merupakan rekap per bulan dari laporan harian
resep rawat jalan, rawat inap dan resep IGD yang berisi jumlah lembar
resep, jumlah item resep, jumlah item resep berdasarkan klasifikasi obat
(generik, non generik, non formularium, AKHP), jumlah item obat yang
tidak terlayani dengan klasifikasi yang sama.
2) Laporan Sisa Stok Akhir Bulan,
3) Laporan Narkotik dan Psikotropik,
67

4) Laporan Akuntabilitas IFRS,


5) Laporan Bulanan Penulisan Obat Generik Per Dokter,
6) Laporan Penggunaan Antibiotik,
7) Laporan Penggunaan Injeksi
Pengklaiman resep Jaminan Sosial dilakukan oleh bagian keuangan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.Sedangkan untuk resep umum, IFRS tidak
melayani pembayaran.Transaksi pembayaran hanya dilakukan di loket
pembayaran. Dalam hal keuangan, seluruh pendapatan Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Jawa Barat di setor ke kas Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat
karena saat ini Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat sudah berbentuk Badan
Layanan Umum Daerah yang dapat mengelola keuangannya sendiri.
BAB IV TUGAS KHUSUS
TEMUAN OBAT DI RUANG PERAWATAN

Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka


menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien
dengan tetap menjaga mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu. Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat telah menggunakan system unit dosis dalam
pendistribusiannya, dimana system unit dosis ini berdasarkan resep perseorangan
yang disiapkan dalam unit dosis tunggal untuk penggunaan satu kali dosis per
pasien.

System distribusi unit dosis ini sangat dianjurkan untuk pasien rawat inap
mengingat dengan system ini tingkat kesalahan pemberian obat dapat
diminimalkan dibandingkan dengan system floor stock. Pendistribusian system
floor stock adalah persediaan perbekalan farmasi di ruang rawat. Dimana dengan
system ini ada beberapa kerugian terhadap perbekalan farmasi apabila terdapat
diruang perawatan yaitu :
1) Resiko kesalahan pemberian obat
2) Meningkatkan resiko terjadinya kerusakan obat karena cara penyimpanan
yang tidak benar
3) Meningkatkan persediaan obat diruang perawatan sehingga besar
kemungkinan terjadi penumpukan stok obat diruang perawatan
4) Memperbesar kemungkinan kebocoran obat karena tidak adanya pengawasan
dari pihak farmasi dan menjadi tidak terkendali.
Sehingga Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat menggunakan system unit dosis
dalam pendistribusiannya kepada pasien rawat inap agar tetap menjaga keamanan,
efikasi dan kualitas obat. Untuk menerapkan atau mendukung system ini maka
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat melakukan pemeriksaan
kesetiap ruang perawatan untuk temuan adanya obat yang terdapat atau disimpan

68
69

dalam ruang perawatan setiap tahunnya. Adapun temuan obat yang didapatkan
diruang perawatan dapat dilihat pada tabel 4.1.

Adanya temuan obat yang disimpan di ruang perawatan ini dapat disebabkan
karena pasien tidak ingin minum obat atau pasien telah diperbolehkan pulang dan
dibawa oleh keluarga, sehingga obat tidak sempat diminum dan di biarkan berada
di ruang perawatan dan tidak dikembalikan ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Dengan adanya obat di ruang perawatan dapat terjadi penyalahgunaan obat oleh
oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, terutama terhadap obat-obat yang
masuk kedalam obat jiwa yang bersifat adiktif. Untuk tindak lanjut yang
dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, obat-obat
yang ditemukan ini ditarik dan direkap untuk kemudian dibuat laporannya dan
diarsipkan.

Tabel 4. 1 Daftar Temuan Perbekalan Farmasi di Ruang Perawatan RS Jiwa


Provinsi Jawa Barat

NO Nama Obat Jumlah ED Ruangan

1 ABILIFY 15 MG 1 Apr-21 ELANG


2 ALLOPURINOL 100 MG 3 - ELANG
3 AMITRIPTYLINE 25 MG 1 - ELANG
4 AMLODIPINE 5 MG 1 - ELANG
5 CARBAMAZEPINE 3 - ELANG
6 CEFADROXIL 500 1 - ELANG
7 CETIRIZINE 10 MG 1 - ELANG
8 CHLORPROMAZINE 6 - ELANG
9 CLOZAPINE 100 MG 8 - ELANG
10 CLOZAPINE 25 MG 42 Feb-21 ELANG
11 CURCUMA TAB 1 - ELANG
12 DEPAKOTE ER 250 MG 5 - ELANG
13 DEPAKOTE ER 500 MG 5 - ELANG
14 DIAZEPAM 5 MG 7 - ELANG
15 HALOPERIDOL 5 MG 6 - ELANG
16 LORAZEPAM 2 MG 2 - ELANG
17 MERLOPAM 0,5 1 - ELANG
18 METFORMIN 850 MG 1 - ELANG
19 NEW ANTIDES 4 - ELANG
20 OLANZAPINE 10 MG 1 - ELANG
70

21 OLANZAPINE 10 MG 1 - ELANG
22 ORALIT 5 Jul-23 ELANG
23 PAPAVERINE TAB 1 - ELANG
24 PARACETAMOL 500 1 - ELANG
25 PIROXICAM 10 MG 2 - ELANG
26 RISPERIDONE 2 MG 91 Jun-21 ELANG
27 RISPERIDONE 3 MG 10 - ELANG
28 SANDEPRIL 50 MG 1 - ELANG
29 SEROQUEL XR 300 4 - ELANG
30 SEROQUEL XR 400 4 - ELANG
31 SERTALINE 50 MG 1 - ELANG
32 STELOSI 5 MG 10 - ELANG
33 THF 2 MG 7 - ELANG
34 TRIFLUOPERAZINE 2 - ELANG
35 VITAMIN B COMPLEX 1 - ELANG
36 BD ALKOHOL SWAB 8 Sep-23 GELATIK
37 CARBAMAZEPINE 1 - GELATIK
38 CLOZAPINE 100 MG 5 - GELATIK
39 CLOZAPINE 25 MG 4 - GELATIK
40 CURCUMA TAB 1 - GELATIK
41 DIAZEPAM 5 MG 7 - GELATIK
42 DIAZEPAM INJEKSI 17 Jan-20 GELATIK
43 DIAZEPAM INJEKSI 6 Nov-22 GELATIK
44 DIPHENHYDAMINE INJEKSI 17 Aug-22 GELATIK
45 GENTAMYCIN SULFAT ED 1 Nov-21 GELATIK
46 HALOPERIDOL 5 MG 6 - GELATIK
47 LODOMER DROP 1 Apr-21 GELATIK
48 LODOMER INJEKSI 17 Aug-22 GELATIK
49 LORAZEPAM 2 MG 3 - GELATIK
50 NEEDLE 24 8 Mar-23 GELATIK
51 OLANZAPINE 10 MG 1 - GELATIK
52 OLANZAPINE 5 MG 1 - GELATIK
53 ORALIT 18 Feb-23 GELATIK
54 RISPERIDONE 2 MG 15 - GELATIK
55 RISPERIDONE 3 MG 4 - GELATIK
56 SARUNG TANGAN NON STERIL 2 - GELATIK
57 SEROQEL XR 400 1 - GELATIK
58 SERTALINE 50 MG 1 - GELATIK
59 SPUIT 3CC 29 Mar-24 GELATIK
60 STELOSI 1 - GELATIK
61 TRIHEXYPHENIDYL 2 MG 15 - GELATIK
62 WATER FOR INJEKSI 16 Aug-24 GELATIK
63 ZYPREXA 10 MG 4 - GELATIK
71

64 ZYPREXA INJEKSI 1 Jan-20 GELATIK


65 ZYPREXA INJEKSI 5 Feb-20 GELATIK
66 ZYPREXA INJEKSI 4 Dec-20 GELATIK
67 ABILIFY 10 MG 1 − RAJAWALI
68 ABILIFY 15 MG 1 − RAJAWALI
69 ALKOHOL SWAB 2 − RAJAWALI
70 AMITRIPTYLINE 25 MG 1 − RAJAWALI
71 AMLODIPINE 5 MG 1 − RAJAWALI
72 AMOXICILLIN 1 − RAJAWALI
73 ASAM MEFENAMAT 1 − RAJAWALI
74 AZITROMISIN 1 − RAJAWALI
75 CEFADROXIL 500 4 Jul-20 RAJAWALI
76 CEFIXIME 200 MG 2 − RAJAWALI
77 CETIRIZINE 10 MG 5 − RAJAWALI
78 CHLORPROMAZINE 100 MG 20 Mei-19 RAJAWALI
79 CLINDAMYCIN 7 − RAJAWALI
80 CLOZAPINE 100 MG 6 − RAJAWALI
81 CLOZAPINE 25 MG 10 − RAJAWALI
82 COTRIMOXAZOLE 4 − RAJAWALI
83 CURCUMA TAB 18 Jan-21 RAJAWALI
84 DEPAKOTE ER 250 MG 1 − RAJAWALI
85 DIAZEPAM 5 MG 9 − RAJAWALI
86 DIAZEPAM INJEKSI 5 Jan-20 RAJAWALI
87 DIAZEPAM INJEKSI 7 Nov-22 RAJAWALI
88 DIFENHIDRAMINE INJEKSI 7 Sep-22 RAJAWALI
89 DOMPERIDONE 2 − RAJAWALI
90 HALOPERIDOL 1,5 MG 5 − RAJAWALI
91 HALOPERIDOL 5 MG 75 − RAJAWALI
92 KETOPROFEN 1 May-21 RAJAWALI
93 LEVOFLOXACIN 4 − RAJAWALI
94 LINCOMYCIN 3 − RAJAWALI
95 LODOMER INJ 5 Aug-22 RAJAWALI
96 LODOMER INJESI 3 Aug-22 RAJAWALI
97 LORAZEPAM 2 MG 22 Sep-22 RAJAWALI
98 MECOBALAMIN 1 − RAJAWALI
99 MERLOPAM 0,5 MG 3 − RAJAWALI
100 METRONIDAZOLE 2 − RAJAWALI
101 NEEDLE 24 41 Mar-23 RAJAWALI
102 NEUROBION 1 − RAJAWALI
103 NEW ANTIDES (ATTAPULGITE) 1 − RAJAWALI
104 OMEPRAZOLE 1 − RAJAWALI
105 PARASETAMOL 4 − RAJAWALI
106 PHENOBARBITAL 30 MG 3 − RAJAWALI
72

107 PHENYTOIN 100 MG 1 − RAJAWALI


108 PROLEPSI 1 − RAJAWALI
109 RESPIREX SYR 1 Sep-20 RAJAWALI
110 RISPERIDONE 1 MG 1 − RAJAWALI
111 RISPERIDONE 2 MG 27 Jun-21 RAJAWALI
112 RISPERIDONE 3 MG 7 − RAJAWALI
113 SEROQUEL 400 MG 2 − RAJAWALI
114 SERTRALINE 50 MG 5 Aug-21 RAJAWALI
115 SPUIT 3CC 79 − RAJAWALI
116 STELOSI 5 MG 11 Jun-23 RAJAWALI
117 STESOLID RECTAL TUBE 2 − RAJAWALI
118 TRIFLUOPERAZINE 3 − RAJAWALI
119 TRIHEXYPHENIDYL 2 MG 31 Aug-20 RAJAWALI
120 VITAMIN B COMPLEX 5 − RAJAWALI
121 WFI 61 Sep-23 RAJAWALI
122 ZYPREXA 10 MG 2 − RAJAWALI
123 ZYPREXA 5 MG 4 − RAJAWALI
124 ZYPREXA INJEKSI 11 Feb-20 RAJAWALI
125 ZYPREXA INJEKSI 6 Aug-19 RAJAWALI
126 ZYPREXA INJEKSI 55 Jan-20 RAJAWALI
127 RESPIREX SYR 1 Sep-20 MERPATI
128 ABILIFY DISCMELT 15 MG 1 MERPATI
129 ALCOHOL SWAB BD 2 Sep-20 MERPATI
130 AMLODIPINE 5 MG 2 MERPATI
131 AMOXICILLIN 500 MG 1 MERPATI
132 CHLORPROMAZINE HCL 2 MERPATI
133 CLOZAPIN 100 MG 1 MERPATI
134 CURCUMA 2 MERPATI
135 DEPAKOTE 500 MG 2 MERPATI
136 DEPAKOTE ER 250 MG 5 MERPATI
137 HALOPERIDOL 5 MG 3 Aug-20 MERPATI
138 KETOPROFEN 100 MG 9 May-20 MERPATI
139 LORAZEPAM 2 MG 4 MERPATI
140 MERLOPAM 0,5 MG 1 MERPATI
141 METHYL PREDNISOLONE 2 MERPATI
142 NEEDLE 24 2 Mar-20 MERPATI
143 NEUROBION 1 MERPATI
144 NEW ANTIDES 3 MERPATI
145 PARASETAMOL 4 Apr-20 MERPATI
146 RANITIDIN 2 MERPATI
147 RISPERIDONE 2 MG 3 MERPATI
148 RISPERIDONE 3 MG 13 MERPATI
149 SCABIMITE 2 Aug-20 MERPATI
73

150 SEROQUEL 200 MG 6 MERPATI


151 SEROQUEL 400 MG 2 MERPATI
152 SERTRALINE 50 MG 1 MERPATI
153 TRIHEXYPHENIDYL 2 MG 1 MERPATI
154 VITAMIN B COMPLEX 1 Apr-20 MERPATI
155 VITAMMIN C 2 MERPATI
156 WFI 3 Feb-20 MERPATI
157 WFI 1 Aug-20 MERPATI
158 ZYPREXA INJEKSI 2 Jan-20 MERPATI
159 ZYPREXA INJEKSI 2 Des-20 MERPATI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah dilakukan
diRumahSakitJiwaProvinsiJawa Barat selama bulan Januari-Februari 2020, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat merupakan rumah sakit Pemerintah
Provinsi Jawa Barat yang termasuk kategori Rumah Sakit Khusus kelas A.
2. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dimulai dari
pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, penghapusan dan pemusnahan, pencatatan dan
pelaporan serta administrasi.
3. Pemberian obat untuk rawat jalan diberikan obatnya untuk penggunaan satu
bulan sedangkan untuk pemberian obat rawat inap untuk satu minggu dan
diberikan kepada pasien dengan bantuan perawat serta diterapkan dalam
sistem unit dose.

5. 2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan sebagai masukan yang kiranya dapat
bermanfaat bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat yaitu:
1. Untukmeningkatkanmutupelayanan,
terutamapelayananfarmasiklinikdiperlukanpenambahanjumlahtenagaapoteker
sehinggaterapipasiendapattercapaidengantepat, efektif, danaman.
2. Perlunya peningkatansaranainformasiobatkepada pasien dan keluarga pasien,
sepertipenyediaanbrosur-brosurobat, majalahkesehatan, dan lain-lain
untukmeningkatkanpengetahuankesehatan.
3. Pelaksanaan pelayanan farmasi
kliniklebihditingkatkandandilakukansecaraterjadwal agar
terapipasiendapattercapaidengantepat, efektif, danaman.

74
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016, tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Tentang


Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang


Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang,


Akreditasi Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Jakarta.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012, tentang Perubahan


Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang atau Jasa Pemerintah, Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009, tentang


Pekerjaan Kefarmasian, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang


Organisasi Perangkat Daerah, Presiden Republik Indonesia, Jakarta.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Rumah Sakit Daerah Provinsi Jawa Barart, Gubernur Jawa
Barat, Bandung.

Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 59 Tahun 2009 Tentang Tugas Pokok,
Fungsi, Rincian Tugas Unit dan Tata Kerja Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa
Barat, Gubernur Jawa Barat, Bandung.

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 17


Tahun 2012 Tentang E-Purchasing, Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia Jakarta.

75
LAMPIRAN 1

76
DENAH RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI JAWA BARAT

LAMPIRAN 2
STRUKTUR ORGANISASI RUMAH SAKIT JIWA JAWA BARAT

77
78
LAMPIRAN 3
STRUKTUR IFRS JIWA PROVINSI JAWA BARAT

Direktur
Dr. Rr. Endang Noersita Daim, MPH

Wadir Pelayanan
Dr. H. RizaPutra,Sp.KJ

Ka. Instalasi Farmasi


EkaPrasetyawati, S.Si., Apt.

PJ Administrasi IFRS
AsepHeryadi

PJ Pengelolaan Sediaan Farmasi PJ Pelayanan Farmasi Klinik PJ Managemen Mutu & SDM
Saelendra, S.Si.,Apt Dra. Timan Sari Barus,Apt. Ardi Yoga, A.Md.Farm

Staff/TTK

79
LAMPIRAN 4
PELAYANAN KEFARMASIAN

80
LAMPIRAN 5
BON PERMINTAAN BARANG

81
LAMPIRAN 6
KARTU STOK OBAT

82
LAMPIRAN 7
NOTA PENJUALAN

83
LAMPIRAN 8
ETIKET DAN PENGEMAS

84
LAMPIRAN 9
SALINAN RESEP

85
LAMPIRAN 10
FORM KONSELING

86
LAMPIRAN 11
BOX OBAT UDD

87
LAMPIRAN 12
LEMARI UDD DI RUANG INAP

88
LAMPIRAN 13
e-PURCHASING (SISTEM PENGADAAN SECARA ELEKTRONIK)

89
LAMPIRAN 14
FORM SERAH TERIMA OBAT & ALKES

90
LAMPIRAN 15
FORM REKONSILIASI TERAPI

91
LAMPIRAN 16
CONTOH SOP

92
LAMPIRAN 17
FORM LAPORAN VISITE

93
94
LAMPIRAN 18
FORM MESO

95

Anda mungkin juga menyukai