Anda di halaman 1dari 21

1.

Etiologi Asma Bronkial


Asma Bronkial terjadi akibat penyempitan jalan napas yang reversibel dalam waktu
singkat oleh karena mukus kental, spasme, dan edema mukosa serta deskuamasi
epitel bronkus/bronkeolus, akibat inflamasi eosinofilik dengan kepekaan yang
berlebihan. Serangan asma bronkhiale sering dicetuskan oleh ISPA, merokok, tekanan
emosi, aktivitas fisik, dan rangsangan yang bersifat antigen/allergen antara lain:
 Inhalan yang masuk ketubuh melalui alat pernafasan misalnya debu rumah,
serpih kulit dari binatang piaraan, spora jamur dll.
 Ingestan yang masuk badan melalui mulut biasanya berupa makanan seperti
susu, telur, ikan-ikanan, obat-obatan dll.
 Kontaktan yang masuk badan melalui kontak kulit seperti obat-obatan dalam
bentuk salep, berbagai logam dalam bentuk perhiasan, jam tangan dll.
Tengah, D. K. P. J. (2014). Profil kesehatan provinsi jawa tengah tahun
2012. Semarang: Dinkes Provinsi Jawa Tengah.

2. Inflamasi Respon Imun


a. Mekanisme (pada penderita asma)
Inflamasi alergik merupakan suatu proses komplek yang melibatkan aktivasi
sel-sel T, terutama melalui presentasi antigen oleh sel-sel dendrit. Pada
aktivasi tersebut, sel-sel T pada penderita asma memproduksi sitokin T-helper
cell type 2 (Th2) yang mengatur pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi
yang lain, termasuk eosinofil dan sel mast.Penguatan respons inflamasi bisa
juga terjadi melalui jalur yang tidak spesifik antigen, seperti neurokinin,
eikosanoid, atau mediator-mediator lain. Selain itu, sel-sel struktural saluran
napas juga memainkan peran aktif pada induksi dan pemeliharaan respons
inflamasi. Peranan sel-sel inflamasi yang lain, termasuk makrofag dan netrofil,
pada airway remodeling juga belum bisa dikesampingkan. Proses fibrosis
saluran napas terkait dengan berbagai sitokin yang diproduksi oleh sel-sel
inflamasi dan sel-sel struktural jalan napas. Diantaranya, TGFβ merupakan
sitokin paling poten dan paling banyak diteliti, yang terutama diproduksi oleh
eosinofil. TGFβ meningkatkan produksi fibroblas dari protein-protein matriks
ekstraseluler seperti kolagen I, kolagen III, dan fibronektin, serta menurunkan
kadar kolagenase pada model in vitro. Matrix metalloproteinases (MMPs)
adalah sekelompok protease yang terlibat dalam degradasi kolagen.
Diantaranya, MMP-9 terkait intensif dengan asma. Ketidakseimbangan antara
MMP-9 dan tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP-1) mendorong ke arah
rasio profibrotik dari MMP-9/TIMP- 1.8 Peranan pencetus lain terhadap airway
remodeling, seperti infeksi bakteri atau virus, masih belum banyak diteliti.
Data-data terakhir dari pasien asma berat, onset-lambat, dan non-atopik
menunjukkan bahwa infeksi Chlamydia pneumoniae mungkin berperan pada
terjadinya obstruksi saluran napas yang menetap. Selain itu, efek dari infeksi
Mycoplasma terhadap deposisi kolagen, baik tersendiri maupun kombinasi
dengan paparan alergen, juga telah diteliti pada hewan coba (Dedi, A. 2008).
(Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

Dedi, A. (2008). Eosinofil dan Patogenesa Asma. Majalah Kedokteran


Nusantara, 41(4), 269-271.
https://www.researchgate.net/publication/45161873_Eosinofil_dan_Patogenes
a_Asma

3. Sistem Respirasi
a. Definisi
Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem organ yang digunakan
untuk pertukaran gas. Organ-organ pernafasan terdiri dari hidung (cavum
nasalis), Faring (tekak), Laring, Trakea (batang tenggorokan), Bronkus,
Alveolus, Pulmo (paru-paru).

b. Fungsi
Fungsi dari sistem respirasi adalah melakukan pertukaran udara yaitu
peristiwa menghirup (inspirasi) atau
pergerakan udara dari luar yang mengandung oksigen (O2) ke dalam tubuh
atau paru-paru serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi ke luar
dari tubuh.

http://digilib.unila.ac.id/11048/15/BAB%20II.pdf

c. Macam-macam Organ (Sebut dan Jelaskan)


Sistem respirasi terdiri dari:
 Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh dihangatkan, disaring dan
dilembabkan
 Saluran nafas bagian bawah
Bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari saluran bagian atas ke
alveoli
 Paru, terdiri dari :
o Alveoli, terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2
o Sirkulasi paru. Pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh
darah vena meninggalkan paru.
 Rongga Pleura
Terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam rongga dada
yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau pleura  viseralis
 Rongga dan dinding dada
Merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur pertukaran gas dalam
proses respirasi

Saluran Nafas Bagian Atas


 Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan
mengalami  tiga hal :
 Dihangatkan
 Disaring
 Dan dilembabkan

Yang merupakan fungsi utama dari selaput


lendir respirasi ( terdiri dari : Psedostrafied
ciliated columnar epitelium yang berfungsi
menggerakkan partikel partikel halus
kearah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu
hidung, sel goblet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan
udara yang masuk,  pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan
udara). Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan
diteruskan ke :
- Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius)
- Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan
faring,terdapat pangkal lidah)
- Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran
makanan)

Saluran Nafas Bagian Bawah

 Laring
Terdiri dari tiga struktur yang penting
- Tulang rawan krikoid
- Selaput/pita suara
- Epilotis
- Glotis

 Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin
tulang rawan        seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan  oleh
membran fibroelastic menempel pada dinding depan usofagus.
 Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini
disebut         carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat
dengan trachea.
Bronchus kanan bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior.
Brochus         kiri terdiri dari : lobus superior dan inferior

Alveoli
Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial
- Membran alveolar :
 Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga
alveoli
 Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan
surfactant
 Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang
saling berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah
dalam rongga endotel
- Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel kapiler,
epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum.

Surfactant
Mengatur hubungan antara cairan dan gas. Dalam keadaan normal surfactant
ini akan  menurunkan tekanan permukaan  pada  waktu ekspirasi, sehingga
kolaps alveoli dapat dihindari.

Sirkulasi Paru
Mengatur aliran darah vena – vena dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
dan mengalirkan darah yang bersifat arterial melaului vena pulmonalis kembali
ke ventrikel kiri.

Paru  
Merupakan  jalinan atau susunan bronhus bronkhiolus, bronkhiolus terminalis,
bronkhiolus respiratoty, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, sistem limfatik.

Rongga dan Dinding Dada


Rongga ini terbentuk oleh:
- Otot –otot interkostalis
- Otot – otot pektoralis mayor dan minor
- Otot – otot trapezius
- Otot –otot seratus anterior/posterior
- Kosta- kosta dan kolumna vertebralis
- Kedua hemi diafragma
Yang secara aktif mengatur mekanik respirasi.

d. Mekanisme Respirasi secara normal


Jelaskan mekanisme respirasi secara normal!
Menurut Kus Irianto (2008), mekanisme terjadinya pernapasan terbagi dua yaitu:

 Inspirasi
Sebelum menarik napas / inspirasi kedudukan diafragma melengkung ke arah
rongga dada, dan otot-otot dalam keadaan mengendur. Bila otot diafragma
berkontraksi, maka diafragma akan mendatar. Pada waktu inspirasi maksimum,
otot antar tulang rusuk berkontraksi sehingga tulang rusuk terangkat. Keadaan
ini menambah besarnya rongga dada. Mendatarnya diafragma dan
terangkatnya tulang rusuk, menyebabkan rongga dada bertambah besar, diikuti
mengembangnya paru-paru, sehingga udara luar melalui hidung, melalui
batang tenggorok (bronkus), kemudian masuk ke paru-paru.
 Ekspirasi
Ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan kontraksi otot untuk
menurunkan intratorakal. Proses ekspirasi terjadi apabila otot antar tulang
rusuk dan otot diafragma mengendur, maka diafragma akan melengkung ke
arah rongga dada lagi, dan tulang rusuk akan 14 kembali ke posisi semula.
Kedua hal tersebut menyebabkan rongga dada mengecil, sehingga udara
dalam paru-paru terdorong ke luar. Inilah yang disebut mekanisme ekspirasi.

Respirasi mencakup dua proses yang terpisah tetapi berkaitan: respirasi selular
dan respirasi eksternal.
o Respirasi selular merujuk pada proses-proses metabolik intrasel yang
dilaksanakan di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan
menghasilkan CO2 selagi mengambil energi dari molekul nutrien.
o Respirasi eksternal merujuk ke seluruh rangkaian kejadian dalam
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel tubuh.
Respirasi eksternal, mencakup empat langkah:
Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan
dari alveoli.
 Udara secara bergantian dimasukkan ke dalam dan dikeluarkan dari
paru sehingga udara dapat dipertukarkan antara atmosfer (lingkungan
eksternal) dan kantong udara (alveolus) paru. Pertukaran ini
dilaksanakan oleh tindakan mekanis bernapas, atau ventilasi. Ventilasi
merupakan proses pergerakan udara keluar-masuk paru secara
berkala, dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 diantara darah kapiler
paru dengan udara atmosfer segar. Ventilasi secara mekanis
dilaksanakan dengan mengubah secara berselang-seling arah gradien
tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui
ekspansi dan penciutan berkala paru.

Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.


 Oksigen berdifusi dari alveoli ke dalam darah kapiler paru karena
tekanan parsial oksigen (Po2) dalam alveoli lebih besar daripada Po2
dalam darah kapiler paru. Dalam jaringan tubuh lainnya, Po2 yang
lebih tinggi dalam darah kapiler daripada dalam jaringan menyebabkan
oksigen berdifusi ke dalam sel-sel di sekitarnya. Sebaliknya, bila
oksigen dimetabolisme dalam sel untuk membentuk karbon dioksida,
tekanan karbon dioksida (Pco2) intrasel meningkat ke nilai yang tinggi,
sehingga menyebabkan karbon dioksida berdifusi ke dalam kapiler
jaringan. Setelah darah mengalir ke paru, karbon dioksida berdifusi
keluar dari darah masuk ke dalam alveoli karena Pco2 dalam darah
kapiler paru lebih besar daripada dalam alveoli. Sehingga,
pengangkutan oksigen dan karbon dioksida oleh darah bergantung
baik kepada difusi maupun aliran darah.
 Darah mengangkut O2 dan CO2 antara paru dan jaringan.
 O2 dan CO2 dipertukarkan antara sel jaringan dan darah melalui
proses difusi menembus kapiler sistemik (jaringan).

4. Asma Bronkial
a. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik tersebut berkaitan dengan
hiperesponsif saluran napas yang menyebabkan gejala episode berulang
berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dada, dan batuk, terutama malam
atau pagi hari. Episode berulang tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi, dan seringkali reversibel dengan/tanpa
pengobatan.

http://jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2012/07/jri-2012-32-2-110.pdf

b. Gejala
Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat
di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari
(PDPI, 2003). Setelah pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan
timbul dispnea, pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk
dan berusaha mengerahkan tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan
utama terletak saat ekspirasi, percabangan trakeobronkial melebar dan
memanjang selama inspirasi namun sulit untuk memaksa udara keluar dari
bronkiolus yang sempit karena mengalami edema dan terisi mukus. Akan
timbul mengi yang merupakan ciri khas asma saat pasien berusaha
memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk produktif dengan
sputum berwarna keputih-putihan (Price & Wilson, 2006).

Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat


dan gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran
tekanan nadi). Pada pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih
berat dan mengancam nyawa, dikenal dengan istilah “status asmatikus”.
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon
terhadap terapi konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24
jam (Smeltzer & Bare, 2002). Asma dapat bersifat fluktuatif (hilang timbul)
yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak mengganggu aktivitas tetapi
dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat
menimbulkan kematian (Depkes, 2009).

Gejala asma dapat diperburuk oleh keadaan lingkungan seperti perubahan


temperatur, terpapar bulu binatang, uap kimia, debu, serbuk, obat-obatan,
olahraga berat, infeksi saluran pernapasan, asap rokok dan stres (GINA,
2005). Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada,
pada asma alergik biasanya disertai pilek atau bersin. Meski pada mulanya
batuk tidak disertai sekret, namun dalam perkembangannya pasien asma
akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih dan terkadang purulen.
Terdapat sebagian kecil pasien asma yang hanya mengalami gejala batuk
tanpa disertai mengi, yang dikenal dengan istilah cough variant asthma
(Sundaru, 2009).

http://erepo.unud.ac.id/9914/3/2c2f339d7f93e3f0a2ac74277d42a0ba.pdf

c. Faktor Pemicu
Faktor pencetus asma adalah semua faktor pemicu dan pemacu ditambah
dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin. Secara umum
faktor pencetus serangan asma adalah:

1. Alergen
Alergen merupakan zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat
menimbulkan serangan asma seperti debu rumah, tungau, spora jamur,
bulu binatang, tepung sari, beberapa makanan laut (Muttaqin, 2008).
Makanan lain yang dapat menjadi faktor pencetus adalah telur, kacang,
bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan dan susu sapi (Depkes RI,
2009).

2. Infeksi saluran pernapasan

Infeksi saluran napas terutama disebabkan oleh virus. Diperkirakan dua


pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi
saluran pernapasan (Muttaqin, 2008). Asma yang muncul pada saat
dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti adanya sinusitis,
polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat Anti-Inflamasi
Non Steroid (AINS), atau dapat juga terjadi karena mendapatkan pemicu
seperti debu dan bulu binatang di tempat kerja yang mengakibatkan
infeksi saluran pernapasan atas yang berulang. Ini disebut dengan
occupational asthma yaitu asma yang disebabkan karena pekerjaan
(Ikawati, 2010).

3. Tekanan jiwa

Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma terutama pada orang


yang agak labil kepribadiannya, ini lebih menonjol pada wanita dan anak-
anak (Muttaqin, 2008). Ekspresi emosi yang dimunculkan secara
berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus asma (Depkes RI, 2009).

4. Olahraga/kegiatan jasmani yang berat

Serangan asma karena exercise (Exercise Induced Asthma/EIA) terjadi


segera setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup berat. Lari cepat
dan bersepeda merupakan dua jenis kegiatan paling mudah menimbulkan
serangan asma (Muttaqin, 2008).

5. Obat-obatan
Pasien asma biasanya sensitif atau alergi terhadap obat tertentu
(Muttaqin, 2008). Obat tersebut misalnya golongan aspirin, NSAID, beta
bloker, dan lain-lain (Depkes RI, 2009)

6. Polusiudara

Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik atau
kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan
oksida fotokemikal serta bau yang tajam (Muttaqin, 2008).

http://erepo.unud.ac.id/9914/3/2c2f339d7f93e3f0a2ac74277d42a0ba.pdf

d. Klasifikasi Asma
Klasifikasi Berdasarkan Tipe Asma
Tipe asma berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi alergi, idiopatik,
dan nonalergik atau campuran (mixed).
a. Asma Alergik/Ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asma dengan
alergen seperti bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari,
makanan, dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airborne dan
musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat
pengobatan eksim atau rinitis alergik. Paparan terhadap alergi
akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya
dimulai sejak kanak-kanak.
b. Idiopatik atau Nonalergik Asma/Intrinsik, tidak berhubungan
secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti
common cold, infeksi saluran napas atas, aktivitas, emosi/stress,
dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan. Beberapa
agen farmakologi, seperti antagonis β-adrenergik dan bahan
sulfat (penyedap makanan) juga dapat menjadi faktor
penyebab. Serangan dari Asma idiopatik atau nonalergik menjadi
lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat
berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini
biasanya dimulai ketika dewasa (>35 tahun).
c. Asma campuran (Mixed Asma), merupakan bentuk Asma
yang paling sering. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua
jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi.

Klasifikasi Berdasarkan Derajat Beratnya Asma


Tabel 1. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Beratnya Asma

Keterangan : APE = Arus Puncak Ekspirasi


VEP = Volume Ekspirasi Paksa
Melyana. 2014. Karakteristik Penderita Asma Bronkial Rawat Inap Di Rumah
Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Diakses pada tanggal
19 Maret 2018.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/46666/Chapter
%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y

e. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang
menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada
asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang
alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E
abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama
melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan
erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen
maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan
antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang
bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik
dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan
adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang
kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga
menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada


selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi
paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat
sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal
yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita
asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi
sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama
serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal
ini bisa menyebabkan barrel chest.

f. Klasifikasi Obat
Klasifikasi obat ada 5 macam
1. Anti alergika

Adalah zat – zat yang bekerja menstabilkan mast cell, hingga tidak pecah dan
melepaskan histamin. Obat ini sangat berguna untuk mencegah serangan asma
dan rhinitis alergis (hay fever). Termasuk kelompok ini adalah kromoglikat. Β-2
adrenergika dan antihistamin seperti ketotifen dan oksatomida juga memiliki efek
ini.

2. Bronkodilator

Mekanisme kerja obat ini adalah merangsang sistem adrenergik sehingga


memberikan efek bronkodilatasi. Termasuk kedalamnya adalah :
 Agonis Reseptor Beta-2 Adrenergik

Mekanisme kerja :
Obat beta2-agonis adalah melalui aktivasi reseptor beta2-adrenergik yang
menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase yang meningkatkan konsentrasi siklik
AMP. Beta2-agonis long acting inhalasi menyebabkan relaksasi otot polos saluran
nafas, meningkatkan klirens mukosiliar, menurunkan permeabilitas vaskuler dan
dapat mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Juga menghambat
reaksi asma segera dan lambat setelah terjadi induksi oleh alergen, dan
menghambat peningkatan respon saluran nafas akibat induksi histamin.

Efek samping :
Stimulasi kardiovaskuler, tremor otot skeletal dan hipokalemi. Mekanisme aksi
dari long acting beta2-agonis oral, sama dengan obat inhalasi. Obat ini dapat
menolong untuk mengontrol gejala nokturnal asma.
Contoh obat Agonis Reseptor Beta-2 Adrenergik:
 Salbutamol

 Salmeterol

 Golongan Theophylline

Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada


penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih
belum diketahui, tetapi mungkin karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap
phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang berakibat
peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi. Teofilin adalah
bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek antiinflamasi.
Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera
setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin
berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada asma.

Efek samping :
Intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ yang berlainan.
Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling sering.
Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek
kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat
pernafasan.

 Contoh obat Golongan Theophylline

 Teofilin

 Antikolinergik

 Obat antikolinergik (contohnya atropin dan ipratropium bromida)

 Ipratropium Bromida

Mekanisme kerja :
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang
akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin.
Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat
sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan
penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus
mukosa hidung.
 Tiotropium Bromida

Mekanisme kerja Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang


biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium
menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot
polos sehingga terjadi bronkodilasi.
 Penstabil sel mast

 Kromolin Natrium

Mekanisme kerja :
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas
intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid.
Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan SRS-A ( Slow
Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal
pada paru-paru tempat obat diberikan.
 Nedokromil Natrium

Mekanisme :
Nedokromil akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator
dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil,
makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat
perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap
antigen terinhalasi.
 Agonis Leukotrien

Contoh obat ini ; montelucas, zafirlucas dan zileuton merupakan obat terbaru
untuk membantu mengendalikan asma. Obat ini mencegah aksi atau
pembentukan leukotrien (bahan kimia yang dibuat oleh tubuh yang menyebabkan
terjadinya gejala-gejala asma).

3. Kartikosteroid

Mekanisme kerja :
Antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa yang
ditawarkan adalah meniadakan efek mediator seperti peradangan. Daya antiradang ini
berdasarkan blokade enzim fosfolipase A2 sehingga membentuk mediator peradangan
prostaglandin dan leukotrien dari asam arakhidonat tidak terjadi. Kortikosteroid
menghambat mekanisme kegiatan alergen yang melalui ige dapat menyebabkan
degranulasi sel mast juga akan meningkatkan reseptor β2sehingga efek βmimetik
diperkuat.
Contoh obat kartikosteroid :
 Metilprednisolon

 Inhalasi Flutikason

 Antihistamin (Ketotifen, Oksatomida, Tiazinamium dan Deptropin)

Obat ini memblokir reseptor histamin sehingga mencegah bronchokonstriksi. Banyak


antihistamin memiliki daya antikolinergika dan sedatif.

4. Antihistamin

5. Ekspektoransia

 Ekspektoransia (KI, NH4Cl, Bromheksin, Asetilsistein)

Efeknya mencairkan dahak sehingga mudah dikeluarkan. Pada serangan


akut, obat ini berguna terutama bila lendir sangat kental dan sukar
dikeluarkan.
Mekanisme :
Kerja obat ini adalah merangsang mukosa lambung dan sekresi saluran napas
sehingga menurunkan viskositas lendir. Sedangkan Asetilsistein
mekanismenya terhadap mukosa protein dengan melepaskan ikatan disulfida
sehingga viskositas lendir

7. Pencabutan Gigi
a. Faktor pertimbangan pada penderita asma
“Pada bidang kedokteran gigi pencabutan tanpa penyuntikan (anestesi topikal)
dan pencabutan dengan penyuntikan (anestesi injeksi) serta pengeboran
adalah keadaan yang paling memicu rasa cemas”, (Wasilah, 2011). Rasa
cemas merupakan masalah yang umum bagi seorang dokter gigi, oleh karena
itu dokter gigi sebaiknya dapat memahami adanya rasa cemas pada pasien
yang akan melakukan ekstraksi gigi. Pendekatan dan pemahaman ini
berpengaruh terhadap keberhasilan rencana ekstraksi yang akan dilakukan.
Emosional stress terutama ekspresi yang ekstrim seperti ketakutan dapat
menyebabkan hiperventilasi dan hipokapnia yang membuat saluran
pernafasan menyempit sehingga penderita terserang asma kembali. Stress
juga menurunkan kemampuan sistem imunitas tubuh untuk melawan bakteri
pathogen (Anggraini, 2017).

Selain itu, pada saat pelaksanaan ekstraksi juga perlu diperhatikan suhu
udara dalam ruangan praktek tersebut, terutama ruangan ber-AC yang disetel
sangat dingin. Udara dingin dapat mempengaruhi saluran pernafasan pasien,
yaitu mengeringkan mucus saluran pernafasan yang berperan sebagai
penyaring bakteri dalam udara pernafasan. Hal ini dapat memicu terjadinya
asma (Anggraini, 2017).

Anggraini, Yenny. 2017. (Repository Universitas Muhammadiyah Purwokerto).


Faktor – Faktor Pemicu (Trigger) Terjadinya Serangan Asma Bronkial di Desa
Kalikajar Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga. Bab 2.
http://repository.ump.ac.id/id/eprint/4520 (diakses 19 Maret 2018)

Wasilah, Niken Probosari. 2011. (J.K.G. Unej). Vol. 8 No. 1:51.


Penatalaksanaan Pasien Cemas pada Pencabutan Gigi Anak dengan
Menggunakan Anestesi Topikal dan Injeksi.

https://jurnal.unej.ac.id/index.php/STOMA/article/view/2087/1691(diakses 19
Maret 2018)

8. KIE
a. Faktor Pemicu (terhadap pencabutan gigi)
Prosedur dental umumnya dianggap sebagai keadaan yang penuh tekanan,
sehingga tidak jarang pasien mengalami kecemasan atau rasa takut yang
berlebihan ketika akan atau sedang berhadapan dengan rangkaian
penatalaksaan pencabutan gigi. Kecemasan dental ini dapat memicu
serangan asma. Pasien harus dibuat nyaman dan santai agar komplikasi
akibat kecemasan dental dapat dihindari (Inra, 2013).

b. Efek Farmakologi Obat Asma (terhadap pencabutan gigi)


Kortikosteroid merupakan obat antiinflamasi yang paten dan banyak
digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini dapat diberikan secara
oral, inhalasi maupun sistemik. Adapun kaitannya dengan prosedur dental,
penting bagi dokter gigi untuk mengetahui apakah seorang penderita
memiliki asma yang terkontrol. Hal penting yang juga perlu diperhatikan pada
penderita asma adalah efek dari obat-obatan yang digunakan. Dosis tinggi
(> 400 mg) steroid inhalasi dapat menyebabkan supresi adrenal dan
menempatkan penderita pada risiko krisis adrenal (Inra, 2013)

Inra, R.A. 2013. Faktor-faktor penyebab penundaan pencabutan gigi di RSGM


Drg. Hj. Halimah daeng sikati FKG Unhas periode april-mei 2013. Skripsi.
Fakulitas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin Makassar. Diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/8237/A.
%20RASDIANTI%20INRA%20P.p
df?sequence=1
DAFTAR PUSTAKA

Tengah, D. K. P. J. (2014). Profil kesehatan provinsi jawa tengah tahun


2012. Semarang: Dinkes Provinsi Jawa Tengah.

Melyana. 2014. Karakteristik Penderita Asma Bronkial Rawat Inap Di Rumah


Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2011-2013. Skripsi.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Diakses pada tanggal
19 Maret 2018.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/46666/Chapter
%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y

Anggraini, Yenny. 2017. (Repository Universitas Muhammadiyah Purwokerto).


Faktor – Faktor Pemicu (Trigger) Terjadinya Serangan Asma Bronkial di Desa
Kalikajar Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga. Bab 2.
http://repository.ump.ac.id/id/eprint/4520 (diakses 19 Maret 2018)

Wasilah, Niken Probosari. 2011. (J.K.G. Unej). Vol. 8 No. 1:51.


Penatalaksanaan Pasien Cemas pada Pencabutan Gigi Anak dengan
Menggunakan Anestesi Topikal dan Injeksi.
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/STOMA/article/view/2087/1691(diakses 19
Maret 2018)

Inra, R.A. 2013. Faktor-faktor penyebab penundaan pencabutan gigi di RSGM


Drg. Hj. Halimah daeng sikati FKG Unhas periode april-mei 2013. Skripsi.
Fakulitas Kedokteran Gigi Universitas Hasanudin Makassar. Diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/8237/A.
%20RASDIANTI%20INRA%20P.p
df?sequence=1

http://digilib.unila.ac.id/11048/15/BAB%20II.pdf
Dedi, A. (2008). Eosinofil dan Patogenesa Asma. Majalah Kedokteran
Nusantara, 41(4), 269-271.
https://www.researchgate.net/publication/45161873_Eosinofil_dan_Patogenes
a_Asma

Anda mungkin juga menyukai