Anda di halaman 1dari 22

Fase Tidur

Oleh : Eka Putri Ramadhani

NIM : 192303102178

Kelas : 2.B

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER KAMPUS PASURUAN

2021/2022
Pola Tidur
Pengertian Tidur
Tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya.
Tidur memiliki tahapan yakni tidur yang sangat ringan sampai tidur yang sangat
dalam. (Guyton, 2012)

Tipe Tidur
Tidur Gelombang Lambat
Tahap tidur ini begitu tenang dan dapat dihubungkan dengan penurunan
tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetatif tubuh lain. Pada tidur
gelombang lambat sangat jarang ditemui adanya mimpi. Apabila seseorang
mengalami mimpi pada saat tidur gelombang lambat, biasanya mimpi yang
dialami oleh seseorang tersebut tidak bisa diingat.

Tidur REM ( Tidur Paradoksikal, Tidur Desinkronisasi)


Dalam keadaan tidur malam yang normal, tidur Rapid Eye Movement
(REM) biasanya muncul sekitar 5 sampai 30 menit dan biasanya muncul setiap 90
menit. Durasi tidur REM sangat ditentukan oleh keadaan seseorang, apabila
seseorang sangat mengantuk maka waktu tidur REM berjalan sangat singkat
bahkan tidak ada. Sebaliknya apabila seseorang tidur dalam keadaan yang
nyenyak durasi tidur REM bisa makin lama.
Terdapat beberapa hal yang sangat penting dalam tidur REM :
1. Tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh
yang aktif.
2. Seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur
gelombang lambat, namun seseorang terbangun spontan dipagi hari sewaktu
episode tidur REM.
3. Tonus otot diseluruh tubuh sangat berkurang dan ini menunjukkan adanya
hambatan yang kuat pada area pengaturan otot di spinal.
4. Frekuensi denyut jantung dan pernapasan biasanya menjadi irreguler, dan ini
merupakan sifat dari keadaan tidur dengan mimpi.
5. Walaupun ada hambatan yang sangat kuat pada otot perifer, masih timbul
pergerakan otot yang tidak teratur.
6. Pada tidur REM, otak menjadi sangat aktif dan metabolisme di seluruh otak
meningkat sebanyak 20%.
Selama 1 hari (24 jam), manusia mempunyai waktu tidur normal, yaitu
selama 6 hingga 10 jam. Pola tidur manusia dipengaruhi oleh umur. Hal ini dapat
dilihat dengan terdapatnya gambaran yang khas pada kelompok usia, yaitu :
1. Kelompok Usia Bayi
Pada kelompok usia bayi, secara keseluruhan memiliki waktu tidur yang
lebih lama dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Pada bayi baru lahir,
durasi tidur total dalam sehari adalah 14-16 jam. Tidur fase REM pada bayi
merupakan fase yang sangat lama dari total tidur dengan mengorbankan fase
NREM tahap tiga.
2. Kelompok Usia Anak dan Remaja
Pada kelompok usia anak dan remaja dibedakan menjadi:
- Infant (anak usia 3-11 bulan) membutuhkan tidur 12 – 14 jam/ hari dan 20
– 30% tidur REM
- Toodler (anak usia 1-3 tahun) membutuhkan tidur 11 – 12 jam/ hari dan
25% tidur REM
- Preschooler (anak usia 3-5 tahun) membutuhkan tidur 11 jam dan 20%
tidur REM
- Usia sekolah (anak usia 6-10 tahun) tidur 10 jam/ hari dan 18,5% tidur
REM,
- Adolescent (anak usia 10-17 tahun) membutuhkan tidur 8,5 jam/ hari dan
20% tidur REM
3. Kelompok Usia Dewasa
Pada kelompok usia dewasa, terjadi beberapa tahapan, yaitu :
– Fase NREM tahap satu, dianggap sebagai transisi antara bangun dan tidur. Fase
ini terjadi setelah jatuh tertidur dan selama periode ini, biasanya terjadi 2-5%
dari total waktu tidur.
– Fase NREM tahap dua, terjadi selama periode tidur dan terjdi 45-55% dari
waktu tidur total.
– Fase NREM tahap tiga, terjadi pada sepertiga pertama malam dan merupakan
5-15% dari total waktu tidur. REM merupakan 20-25% dari waktu tidur total
dan terjadi pada 4-5 episode sepanjang malam.
4. Kelompok Usia Lanjut
Pada kelompok ini, tidur yang terjadi pada fase NREM tahap dua akan
meningkat, sedangkan pada fase NREM tahap tiga, waktu tidur akan berkurang
(Japardi, 2002)
Aktivitas tidur dikontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu oleh SAR
dan BSR. SAR terletak dalam mesenfalon dan dibagian atas dari pons fase s.
Fungsi SAR adalah memberi stimulus visual, pendengaran, nyeri dan sensori raba,
kemudian untuk mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran serta menerima
stimulus dari korteks serebri, termasuk rangsangan proses berfikir dan emosi.
Pada keadaan sadar, SAR akan melepaskan hormon katekolamin seperti
norepinefrin, sedangkan pada keadaan tidur, BSR akan mengeluarkan hormon
serotonin yang berasal dari sel khusus pada pons dan batang otak. (Sherwood,
2013)

Tahapan Tidur
Fase Non- REM
Pada fase NREM ini juga terbagi dalam empat tahap, yakni :
– Tahap 1
Ini merupakan tahap awal individu memulai untuk tidur dari fase terjaga.
Dalam tahap 1 ini akan berlangsung dengan waktu yang sangat singkat, antara 5
hinga 10 menit. Rata-rata orang tertidur pada menit ketujuh. Tahap ini dimana
sangat mudah terganggu dari rangsangan luar karena tahap yang sangat mudah
untuk individu terbangun. Awal fase tahap ini ditandai dengan kelopak mata
tertutup, diiringi dengan berkurangnya tonus otot serta akan terlihat pergerakan
bola mata ke kanan dan ke kiri. Pada tahap ini individu bisa merasakan adanya sensasi seperti
tersentak atau terjatuh karena adanya kontraksi otot yang timbul
secara spontan. Stadium tidur yang paling ringan didapatkan adanya aktivitas
teratur, tegangan rendah, frekuensi 3-7 siklus per detik dan pada
electroencephalography (EEG) terlihat gelombang theta.

– Tahap 2
Tahap yang merupakan lanjutan tahap 1. Pada tahap ini bisa dikatakan
bahwa individu tersebut mulai tertidur. Biasanya tahapan ini berlangsung antara
10-30 menit. Otot tonus yang mulanya berkurang, sekarang menjadi lebih
berkurang (rileks), detak jantung menjadi lambat secara perlahan, aktivitas yang
dilakukan oleh otak pun akan menjadi singkat dan cepat namun berirama (Sleep
Spindle) dan terdapat komplek K trifasik pada EEG serta gerakan dari bola mata
terhenti. Suhu tubuh pun ikut turun secara perlahan. Individu yang sudah berada
pada tahap ini agak susah dibangunkan.

– Tahap 3 dan 4
Kedua tahap ini merupakan tahapan yang paling dalam dari NREM.
Individu akan susah dibangunkan. Namun perbedaan dari kedua tahapan ini
adalah kedalaman tidur individu tersebut. Pada tahapan ini, ketika individu
tersebut diberi rangsangan dari luar agar dia bangun dari tidurnya, maka pada saat
dia terbangun, akan mengalami diorientasi sesaat dikarenakan aktivitas otak
sangat lambat, sehingga membutuhkan beberapa menit untuk dilakukannya
penyesuaian terhadap lingkungan. Pada bagian yang paling dalam dari tahap ini
ialah aliran darah akan lebih banyak diarahkan menuju otot dengan tujuan agar
energi fisik pada tubuh terisi kembali. Pada rekaman EEG juga terdapat perbedaan
antara tahap 3 dan 4. Pada tahap 3 gelombang yang muncul ialah gelombang deltanamun
kurang dari 50%, sedangkan pada tahap 4 gelombang delta muncul lebih
dari 50%. (Sleepdex, 2014)
Selama tahapan Deep Sleep dari fase NREM, tubuh akan melakukan
pembentukan ulang (regeneration) dan memperbaiki sel-sel tubuh serta
memperkuat dari kekebalan tubuh individu tersebut.

Fase REM
Pada fase REM, biasanya akan dimulai ketika memasuki menit ke 70
hingga 90 menit setelah individu tertidur. Fase REM merupakan fase yang lebih
dalam dibandingkan dengan NREM. Selama fase REM, akan terjadi pergerakan
bola mata atau bisa disebut berkedut serta pola pernapasan menjadi tidak teratur
dan juga irama jantung menjadi meningkat. REM merupakan fase saat individu
bisa merasakan mimpi. Otak akan memberikan perintah pada otot-otot tubuh
untuk tidak bergerak, khususnya untuk ekstremitas pada individu tersebut. Saat
individu mengalami mimpi, ektremitas tidak bergerak.
Siklus dari fase NREM dan REM ini terjadi berulang selama individu
tertidur, setidaknya individu tersebut melewati 3 tahapan dalam NREM sebelum
memasuk fase REM. Biasanya perputaran dari fase NREM ke fase REM
mebutuhkan waktu berkisar 1 ingga 2 jam, dan pada orang yang tidur normal,
siklus ini bisa berulang sekitar 3 hingga 4 kali dalam satu malam (Sleepdex, 2014)
Waktu tidur dapat dibagi tiga bagian yaitu sepertiga awal, sepertiga
tengah, sepertiga akhir. Pada orang normal, sepertiga awal tidur lebih banyak
dalam fase 3 dan 4, sepertiga tengah lebih banyak tidur dangkal (fase 2) serta
sepertiga akhir lebih banyak fase REM. Siklus tidur pada tiap individu berbeda
dan relatif dipengaruhi oleh usia, sebagai contoh pola tidur pada laki – laki muda(20 – 29
tahun ), pertengahan (40-49 tahun) dan tua (70 – 90 tahun) akan
memberikan gambaran pola tidur yang berbeda.
Pertambahan umur seseorang dapat menyebabkan total waktu tidur
menurun sedangkan waktu terjaga tetap. Pada orang tua tidur sering terlihat
gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda
15% waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan
pada orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu
28 % dari pascapubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan
bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya
kesegaran sesuai bertambahnya usia (Sleepdex, 2009).

Pola Tidur
Seseorang pasti memiliki pola tidur yang berbeda-beda, tergantung
dengan aktivitas yang dilakukannya. Pola tidur juga ditentukan oleh keadaan
biologis seseorang yang terletak di bagian dalam otak.
Seseorang yang memiliki pola tidur yang teratur dalam hidupnya akan
memiliki kualitas tidur yang lebih baik dan dalam melakukan aktivitas terlihat
lebih prima. Sedangkan seseorang yang memiliki pola tidur yang berubah-ubah
tiap harinya, memiliki kualitas tidur yang buruk dan juga dalam melakukan
aktivitas terlihat lebih lesu.

Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap menghadapi hidup baru
setelah bangun tidur. Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu
yang diperlukan untuk memulai tidur, kedalaman tidur dan ketenangan (Septiyadi,
2007). Kualitas tidur dapat dinilai dengan menggunakan The Pittsburgh Sleep Quality Index
(PSQI). PSQI menggunakan 7 komponen untuk menilai kualitas
tidur dari seseorang, antara lain :
– Penilaian terhadap lama waktu tidur
– Kualitas tidur
– Masa laten tidur
– Gangguan tidur
– Efisiensi tidur
– Disfungsi tidur pada siang hari
– Penggunaan obat tidur ( Kunert & Kolkhorst, 2007).
Jadi apabila salah satu dari ketujuh hal tersebut mengalami gangguan,
maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan terhadap kualitas tidur. Untuk
penilaian lama waktu waktu tidur dapat dinilai dari waktu tidur yang sebenarnya
dialami seseorang pada malam hari. Pada penilaian terhadap kualitas tidur dinilai
bagaimana seseorang menilai rata-rata kualitas tidurnya. Pada masa laten tidur,
akan dilakukan penilaian dimulai dari berapa menit yang diperlukan seseorang di
tempat tidur sebelum akhirnya tertidur dan apakah orang tersebut tidak dapat tidur
selama 30 menit. Pada penilaian gangguan tidur, dinilai dengan cara apakah
seseoran terbangun dari tidurnya pada saat tengah malam atau bangun pagi yang
terlalu cepat, bangun tidur untuk pergi ke kamar mandi, kesulitan saat bernafas,
batuk atau mendengkur, merasa kedinginan, kepanasan, mengalami mimpi buruk,
merasa sakit dan alasan lainnya yang mengganggu tidur.
Penilaian terhadap efisiensi tidur dinilai ketika seseorang biasanya
memulai tidur pada malam hari dan ketika seseorang biasanya bangun di pagi
hari, serta dinilai juga ketika sesorang tertidur pulas dimalam hari. Selanjutnyapenilaian
terhadap disfungsi tidur pada siang hari yang dimulai dengan melihat
seberapa sering timbul masalah yang mengganggu anda terjaga sadar saat
mengikuti pelajaran di sekolah, makan, dan berkativitas sosial, serta dinilai juga
seberapa banyak masalah yang membuat seseorang tidak antusias untuk
menyelesaikan pekerjaannya serta yang terakhir, pada penilaian terhadap
penggunaan obat tidur hanya ditunjukkan pada penilaian seberapa sering
seseorang mengkonsumsi obat-obatan yang berguna untuk membantu proses
tidurnya. (Wavy, 2008)
Kuisioner PSQI terdiri dari 9 pertanyaan dengan masing-masing
pertanyaan memiliki skor 0-3. Total skor diperoleh dengan menjumlahkan skor
komponen 1-7 dengan rentang 0-21. Skor diatas 5 mengindikasikan pola tidur
yang buruk. Kuisioner ini telah diuji validitas dan reabilitas (Cronbach’s alpha)
yaitu 0,83 (Smyth, 2012).

Kuantitas Tidur
Kuantitas tidur adalah keseluruhan waktu tidur yang dimiliki individu
( Konzier et all, 2004). Jumlah waktu tidur yang dibutuhkan setiap individu
berbeda-beda sesuai dengan tahap perkembangannya, dari bayi sampai lansia.
Seseorang dengan kuantitas tidur yang tergolong normal (usia dewasa tengah 6-8
jam) belum menjamin untuk mendapatkan waktu tidur yang berkualitas.
Perkembangan Emosi
Perkembangan
Pengertian
Perkembangan adalah berkembangnya kemampuan (skill) dalam
struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam poka yang teratur dan dapatdiramalkan
sebagai hasil dari proses pematangan.(Soejatmiko, 2001) Disini
menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel, organ-organ, dan sistem organ
yang berkembang sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.
Perkembangan meliputi perkembangan fisik, perkembangan emosi,
perkembangan kognitif, perkembangan psikososial (Patmonodewo, 2008). Dalam
proses perkembangan anak usia prasekolah ada hal yang melekat pada ciri-ciri
anak tersebut. Pertama pada ciri fisik, anak usia prasekolah terlihat lebih aktif
sehingga memerlukan kontrol pada tubuhnya untuk istirahat yang cukup. Kedua
pada ciri sosial, pada tahap ini anak usia prasekolah lebih cepat bersosialisasi
dengan teman-temannya. Ketiga pada ciri emosi, anak usia prasekolah cenderung
untung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sedangkan pada
ciri perkembangan kognitif anak usia prasekolah umumnya terampil dalam
berbahasa.

Aspek Perkembangan
Dalam pemantauan perkembangan memiliki empat aspek dasar yang
dinilai, yaitu :
a) Perkembangan kemampuan gerak kasar
Semua gerakan yang mungkin dilakukan oleh seluruh tubuh.
Perkembangan motorik diartikan sebagai perkembangan dari unsur kematangan
dan pengendalian gerak tubuh, yang mana perkembangan tersebut erat kaitannya
dengan perkembangan pusat motorik di otak. Disebut gerakan kasar bila gerakan
yang dilakukan melibatkan sebagian besar bagian tubuh dan biasanya
memerlukan tenaga karena dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar, misalnya : gerakan
membalik dari telungkup menjadi telentang, gerakan duduk, berdiri,
berjalan, dan lain-lain.
b) Perkembangan kemampuan bicara, bahasa, dan kecerdasan
Sebagai makhluk sosial, anak akan selalu berada diantara atau bersama
orang lain. Agar dicapai saling pengertian, maka diperlukan kemampuan
berkomunikasi. Pada bayi, kemampuan kata-kata atau komunikasi aktif belum
dapat dilakukan, sehingga menyatakan perasaan dan keinginannya dilakukan
melalui tangisan dan gerakan. Kesanggupan mengerti dan melakukan apa yang
diperintahkan oleh orang lain disebut komunikasi pasif.
Komunikasi aktif dan pasif perlu dikembangkan secara bertahap. Anak
dilatih untuk mau dan mampu berkomunikasi aktif (berbicara, mengucapkan
kalimat, menyanyi, dan lain-lain) serta berkomunikasi pasif (anak mampu
mengerti orang lain).
c) Perkembangan kemampuan gerak halus
Hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh
otot-otot kecil, tetepi memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya : gerakan
mengambil suatu benda yang hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk,
menggunting, gerakan menempel, dan lain-lain
d) Perkembangan kemampuan bergaul (sosialisasi) dan mandiri
Pada awal kehidupannya, seorang anak bergantung pada orang lain
dalam hal pemenuhan kebutuhannya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut berubah
dalam jumlah maupun derajat kualitasnya sesuai dengan bertambahnya umur
anak. Dengan makin mampu anak melakukan gerakan motorik, anak terdorong untuk
melakukan sendiri berbagai hal dan terdorong untuk bergaul dengan orang
lain selain anggota keluarganya sendiri.

Faktor yang Mempengaruhi


Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak secara
keseluruhan pada garis besarnya ialah :

a) Faktor Dalam (internal)


Faktor genetik herediter konstitusional menentukan sifat bawaan anak
tersebut yang memang menjadi ciri khas yang biasanya diturunkan dari orang
tuanya. Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses
tumbuh kembang anak. Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor
bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa.

b) Faktor Luar (eksternal)


Faktor lingkungan merupakan salah satu dari faktor eksternal. Faktor
lingkungan yang dimaksud adalah suasa dimana anak tersebut berasa. Lingkungan
merupakan faktor yang cukup menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan.
Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan,
begitu sebaliknya. Lingkungan ini merupakan lingkungan “bio-psiko-sosial” yang
mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi dampai akhir hayatnya.
Selain lingkungan, pola tidur juga merupakan faktor eksternal yang
berpengaruh dalam tumbuh kembang individu terlebih pada anak-anak. Terdapat
dampak dua arah yang saling mempengaruhi antara masalah tidur dan
perkembangan anak. Gangguan tidur meningkatkan bebas pengasuhan dan stress
yang terjadi dalam keluarga. Gangguan tidur juga ikut berkontribusi dalam
rendahnya derajat kesehatan umum. Stress yang terjadi dalam keluarga dapat
dikaitkan dengan kurangnya kualitas tidur pada anak usia prasekolah. Selain itu, ada
hubungan antara tidur dan perkembangan pada anak-anak. Gangguan tidur
pada anak-anak dapat dikaitkan dengan gangguan kognitif, verbal, perhatian,
swadaya dan masalah.

Emosi
Pengertian
Menurut William Kames (dalam Wegde, 1995), emosi adalah
kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila kita berhadapan dengan
objek tertentu dalam lingkungannya.

Fungsi Emosi
Berhubungan dengan fungsi emosi, Coleman dan Mammen
menyebutkan, setidaknya ada empat fungsi emosi :
1. Emosi adalah sebagai pembangkit energi (energizer)
Tanpa emosi, kita tidak sadar atau mati. Hidup berarti merasai, mengalami,
bereaksi, dan bertindak. Emosi membangkitkan dan memobilisai energi kita;
marah menggerakkan kita untuk menyerang, takut menggerakkan kita untuk lari,
dan cinta mendorong kita untuk mendekat dan bermesraan.
2. Emosi adalah pembawa informasi (messenger)
Bagaimana keadaan diri kita dapat diketahui dari emosi kita. Jika marah,
kita mengetahui bahwa kita dihambat atau diserang orang lain, sedih berarti kita
kehilangan sesuatu yang kita senangi, bahagia berarti memperoleh sesuatu yang
kita senangi, atau menghindar dari hal yang dibenci.
3. Emosi bukan saja pembawa informasi dalam komunikasi intrapersonal, tetapi
juga membawa pesan dalam komunikasi interpersonal 19 Ungkapan emosi dapat
diketahui secara universal. Dalam retorika diketahui bahwa 3 pembicaraan yang menyertakan
seluruh emosi dalam pidato dipandang lebih hidup, dinamis, dan lebih menyenangkan.
4. Emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.
Kita mendambakan kesehatan dan mengetahuinya ketika kita merasa sehat
walafiat. Kita mencari keindahan dan mengetahui bahwa kita memperolehnya
ketika kita merasakan kenikmatan estetis dalam diri kita.

Pengelompokan Emosi
Emosi menurut (Syamsu Yusuf: 2008, 117) dapat dikelompokkan
dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris da emosi kejiwaan (psikis)
1. Emosi sensoris, yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar
terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan lapar.
2. Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan,
diantaranya:
a. Perasaan Intelektual, yaitu emosi yang mempunyai sangkut paut dengan ruang
lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk; 1) rasa yakin dan
tidak yakin terhadap suatu hal karya ilmiah, 2) rasa gembira karena mendapat
suatu kebenaran, 3) rasa puas karena dapat menyelesaikan persoalan-persoalan
ilmiah yang harus dipecahkan.
b. Perasaan Sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungn dengan orang lain,
baik bersifat perseorangan maupun kelompok. Wujud perasaan ini, seperti a) rasa
solidaritas, b) persaudaraan, c) simpati, d) kasih sayang dan sebagianya.
c. Perasaan Susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan
buruk atau etika (moral). Contohnya; a) rasa tanggung jawab, b) 7 rasa bersalah
apabila melanggar norma, c) rasa tenteram dalam mentaati norma.
d. Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkaitan erat dengan
keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun kerohanian.
e. Perasaan Ketuhanan, Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Tuhan,
dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan) untuk mengenal Tuhannya.
Dengan Kata lain, manusia dianugerahi insting religius (naluri beragama). Karena
memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai Homo Divinans dan Homo
Religius, yaitu sebagai makhluk yang berkeTuhanan atau makhluk beragama.

Mekanisme Emosi
Proses terjadinya emosi dalam diri seseorang menurut Lewis and Rose
Blum ada 5 tahapan yaitu :
a. Elicitors yaitu adanya dorongan peristiwa yang terjadi contoh : peristiwa banjir,
gempa bumi maka timbulah perasaan emosi seseorang.
b. Receptors yaitu kegiatan yang berpusat pada sistem syaraf contoh : akibat
peristiwa banjir tersebut maka berfungsi sebagai indera penerima.
c. State yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek fisiologi contoh :
gerakan reflex atau terkejut pada sesuatu yang terjadi.
d. Experission yaitu terjadinya perubahan pada rasiologis. Contoh: tubuh tegang
pada saat tatap muka.
Menurut Syamsuddin Kelima komponen tadi digambarkan dalam 3
variabel yaitu:
a. Variabel Stimulus: rangsangan yang menimbulkan emosi.
b. Variabel Organismik: Perubahan fisiologis yang terjadi saat mengalami emosi.
c. Variabel Respon : Pada sambutan ekspresik atas terjadinya pengalaman emosi
(Reza dkk, 2010)

Perkembangan emosi pada anak usia sekolah


Perkembangan emosi pada anak melalui beberapa fase yaitu :
a. Pada bayi hingga 18 bulan
1) Pada fase ini, bayi butuh belajar dan mengetahui bahwa lingkungan di
sekitarnya aman dan familier. Perlakuan yang diterima pada fase ini berperan
dalam membentuk rasa percaya diri, cara pandangnya terhadap orang lain serta
interaksi dengan orang lain. Contoh ibu yang memberikan ASI secara teratur
memberikan rasa aman pada bayi.
2) Pada minggu ketiga atau keempat bayi mulai tersenyum jika ia merasa nyaman
dan tenang. Minggu ke delapan ia mulai tersenyum jika melihat wajah dan suara
orang di sekitarnya.
3) Pada bulan keempat sampai kedelapan bayi mulai belajar mengekspresikan
emosi seperti gembira, terkejut, marah dan takut. 11 Pada bulan ke-12 sampai 15,
ketergantungan bayi pada orang yang merawatnya akan semakin besar. Ia akan
gelisah jika ia dihampiri orang asing yang belum dikenalnya. Pada umur 18 bulan
bayi mulai mengamati dan meniru reaksi emosi yang di tunjukan orang-orang
yang berada di sekitar dalam merespon kejadian tertentu.
b. 18 bulan sampai 3 tahun
1) Pada fase ini, anak mulai mencari-cari aturan dan batasan yang berlaku di
lingkungannya. Ia mulai melihat akibat perilaku dan perbuatannya yang akan
banyak mempengaruhi perasaan dalam menyikapi posisinya di lingkungan. Fase ini anak
belajar membedakan cara benar dan salah dalam mewujudkan
keinginannya.
2) Pada anak usia dua tahun belum mampu menggunakan banyak kata untuk
mengekspresikan emosinya. Namun ia akan memahami keterkaitan ekspresi
wajah dengan emosi dan perasaan. Pada fase ini orang tua dapat membantu anak
mengekspresikan emosi dengan bahasa verbal. Caranya orang tua menerjemahkan
mimik dan ekspresi wajah dengan bahasa verbal.
3) Pada usia antara 2 sampai 3 tahun anak mulai mampu mengekspresikan
emosinya dengan bahasa verbal. Anak mulai beradaptasi dengan kegagalan, anak
mulai mengendalikan prilaku dan menguasai diri.
c. Usia antara 3 sampai 5 tahun
1) Pada fase ini anak mulai mempelajari kemampuan untuk mengambil inisiatif
sendiri. Anak mulai belajar dan menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan
anak lain, bergurau dan melucu serta mulai mampu merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain.
2) Pada fase ini untuk pertama kali anak mampu memahami bahwa satu peristiwa
bisa menimbulkan reaksi emosional yang berbeda 12 pada beberapa orang.
Misalnya suatu pertandingan akan membuat pemenang merasa senang, sementara
yang kalah akan sedih.
d. Usia antara 5 sampai 12 tahun
1) Pada usia 5-6 anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku. Anak
mempelajari konsep keadilan dan rahasia. Anak mulai mampu menjaga rahasia.
Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan untuk menyembunyikan
informasi.
2) Anak usia 7-8 tahun perkembangan emosi pada masa ini anak telah
menginternalisasikan rasa malu dan bangga. Anak dapat menverbalsasikan
konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah usia anak, anak semakin
menyadari perasaan diri dan orang lain.
3) Anak usia 9-10 tahun anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial
dan dapat berespon terhadap distress emosional yang terjadi pada orang lain.
Selain itu dapat mengontrol emosi negatif seperti takut dan sedih. Anak belajar
apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut sehingga belajar beradaptasi
agar emosi tersebut dapat dikontrol (Suriadi & Yuliani, 2006).
4) Pada masa usia 11-12 tahun, pengertian anak tentang baik-buruk, tentang
norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi
bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia kanak-kanak awal.
Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau aturan-aturan dapat
diubah tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku tersebut. Nuansa
emosi mereka juga makin beragam.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi


a. Keadaan anak
Keadaan individu pada anak, misalnya cacat tubuh ataupun kekurangan
pada diri anak akan sangat mempengaruhi perkembangan emosional, bahkan akan
berdampak lebih jauh pada kepribadian anak. Misalnya: rendah diri, mudah
tersinggung, atau menarik diri dari lingkunganya.
b. Faktor belajar
Pengalaman belajar anak akan menentukan reaksi potensial mana yang
mereka gunakan untuk marah. Pengalaman belajar yang menunjang
perkembangan emosi antara lain:
1) Belajar dengan coba-coba
Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam
bentuk perilaku yang memberi pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberi
kepuasan.
2) Belajar dengan meniru
Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi
orang lain, anak bereaksi dengan emosi dan metode yang sama dengan orangorang yang
diamati.
3) Belajar dengan mempersamakan diri
Anak meniru reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan
yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang
ditiru. Disini anak hanya meniru orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan
emosional yang kuat dengannya.
4) Belajar melalui pengondisian
Dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal memancing reaksi
emosional kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan
mudah dan cepat pada awalawal kehidupan karena anak kecil kurang menalar,
mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
5) Belajar dengan bimbingan dan pengawasan
Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi
terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap
rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan
dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang
membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan (Fatimah, 2006)
c. Konflik – konflik dalam proses perkembangan
Setiap anak melalui berbagai konflik dalam menjalani fase-fase
perkembangan yang pada umumnya dapat dilalui dengan sukses. Namun jika anak
tidak dapat mengamati konflik-konflik tersebut, biasanya mengalami gangguan gangguan
emosi.
d. Lingkungan keluarga
Salah satu fungsi keluarga adalah sosialisasi nilai keluarga mengenai
bagaimana anak bersikap dan berperilaku. Keluarga adalah lembaga yang pertama
kali mengajarkan individu (melalui contoh yang diberikan orang tua) bagaimana
individu mengeksplorasi emosinya. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan
utama bagi perkembangan anak. Keluarga sangat berfungsi dalam menanamkan
dasar-dasar pengalaman emosi, karena disanalah pengalaman pertama didapatkan
oleh anak. Keluarga merupakan lembaga pertumbuhan dan belajar awal (learning
and growing) yang dapat mengantarkan anak menuju pertumbuhan dan belajar
selanjutnya. Gaya pengasuhan keluarga akan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan emosi anak. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan
keluarga yang emosinya positif, maka perkembangan emosi anak akan menjadi
positif. Akan tetapi, apabila kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan
emosinya negatif seperti, melampiaskan kemarahan dengan sikap agresif, mudah
marah, kecewa dan pesimis dalam menghadapi masalah, maka perkembangan
emosi anak akan menjadi negatif (Syamsu, 2008). Keterkaitan secara teoritik
antara lingkungan keluarga dengan pengungkapan emosi juga dijelaskan oleh
Goleman (2000), yang meninjau terjadinya proses pengungkapan emosi sejak
awal yaitu pada masa anak-anak. Goleman (2000) menjelaskan bahwa cara-cara yang
digunakan orang tua untuk menangani masalah anaknya memberikan
pelajaran yang membekas pada perkembangan emosi anak. Gaya mendidik orang
tua yang mengabaikan perasaan anak, yang tercermin pada persepsi negatif orang
tua terhadap emosi, emosi anak dilihat sebagai gangguan atau sesuatu yang selalu
direspon orang tua dengan penolakan. Pada masa dewasa, anak tersebut tidak
akan menghargai emosinya sendiri yang menimbulkan keterbatasan dalam
mengungkapkan emosinya. Sebaliknya, pada keluarga yang menghargai emosi
anak yang dibuktikan dengan penerimaan orang tua terhadap ungkapan emosi
anak, pada masa dewasa nanti anak akan menghargai emosinya sendiri sehingga
ia mampu mengungkapkan emosinya pada orang lain.

Hubungan Antara Pola Tidur Dengan Perkembangan Emosi


a. Syaraf Emosional Otak
Sejauh ini, dua penelitian telah meneliti efek dari kurang tidur pada emosi
menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI). Dalam studi
sebelumnya, kurang tidur individu dipamerkan meningkat secara signifikan
aktivasi amigdala (besarnya 60% lebih besar) dalam menanggapi rangsangan
emosional yang negatif dibandingkan dengan kelompok kontrol beristirahat
(Yoo et al., 2007). Selain itu, hasil menunjukkan penurunan konektivitas antara
amigdala dan korteks prefrontal medial (daerah yang telah ditemukan untuk
terlibat dalam kontrol penghambatan dengan proyeksi penghambatan kuat
untuk amigdala) di kurang tidur relatif terhadap kontrol (tidur normal)
kelompok. Hasil ini menunjukkan bahwa kurang tidur dapat mengganggu
regulasi emosi dengan menurunkan proses penghambatan top-down dari reaksi
emosional. Dalam studi kedua yang digunakan fMRI untuk menyelidiki
manifestasi dari link ini di jaringan otak emosional, reaksi terhadap rangsangan
positif diperiksa (Gujar et al., 2011). Peneliti menemukan bahwa kurang tidur
reaktivitas diperkuat seluruh jaringan otak reward mesolimbic dalam
menanggapi gambar emosional yang positif. Perubahan neuroanatomical
diungkapkan perilaku, dengan peningkatan jumlah rangsangan dinilai sebagai
menyenangkan dalam kelompok kurang tidur. Temuan ini melengkapi data
mengenai kenaikan neurokimia aktivitas dopamin dalam jaringan otak yang
memberi imbalan yang relevan berikut kurang tidur akut (Volkow et al., 2009).
Temuan ini juga konsisten dengan penelitian mengenai manfaat yang mungkin
emosional kurang tidur pada pasien yang menderita depresi berat (Gillin et al.,
2001). Secara keseluruhan, data fMRI memberikan bukti awal mengenai peran
penting tidur dalam mengatur fungsi otak emosional.
b. Hubungan Mekanisme Tidur REM
Dalam memeriksa peran tidur jaringan otak REM afektif yang mendasarinya
telah menerima perhatian khusus. Studi Neuro-pencitraan telah menunjukkan
peningkatan signifikan dalam aktivitas dalam jaringan otak ini selama tidur
REM (Walker dan van der Helm, 2009). Selanjutnya, bukti klinis menunjukkan
bahwa hampir semua psikiatri dan neurologi gangguan mood afektif
berhubungan dengan perubahan dalam tidur REM (Baglioni et al, 2010; Benca
et al, 1992; Lee dan Douglass, 2010). Atas dasar literatur empiris dan klinis ini,
beberapa model telah diajukan, menunjukkan bahwa tidur REM berfungsi
sebagai modulator dari proses otak afektif. Karena karakteristik
neuroanatomical, neurofisiologis, dan neurokimia, tidur REM telah
dihipotesiskan untuk menawarkan lingkungan biologis optimal, di mana pengalaman
emosional negatif diperbaiki, sehingga menguntungkan "terapi"
hasil (Levin dan Nielsen, 2009; Walker, 2009; Walker dan van der Helm,
2009). Sebuah studi baru-baru memberikan dukungan untuk ini kerangka
teoritis. Ditemukan bahwa tidur REM selama tidur siang, sebagai lawan dari
tidur siang tanpa tidur REM, mungkin membalikkan peningkatan progresif
dalam pengalaman ketakutan sepanjang hari, dan pada saat yang sama
meningkatkan peringkat rangsangan positif (Gujar et al., 2011). Beberapa studi
telah menghasilkan hasil yang kontras mengenai konsekuensi emosional tidur
REM. Misalnya, McNamara et al. (2010), menemukan bahwa setelah bangun
dari tidur REM dibandingkan dengan tidur non-REM, depresi / peserta cemas
menunjukkan peningkatan diri penilaian negatif dan pengurangan diri penilaian
positif. Selain itu, produksi yang lebih besar dari emosional, kenangan negatif
dengan isyarat netral ditemukan setelah REM dibandingkan dengan terbangun
tidur non-REM baik untuk individu sehat dan depresi / cemas. Temuan yang
dilaporkan oleh Lara-Carrasco et al. (2009) juga mengaitkan tidur REM
dengan reaktivitas tinggi terhadap rangsangan negatif. Persentase yang lebih
tinggi dari kurang tidur REM dalam penelitian ini mengakibatkan adaptasi
yang lebih baik terhadap rangsangan negatif relatif terhadap REM lebih rendah
persentase kurang tidur. Tidur REM sangat berhubungan dengan fungsi
emosional, meskipun tampaknya bahwa hubungan yang tidak langsung atau
searah. Menariknya, Riemann et al. (2012) baru-baru ini telah memperkirakan
bahwa tidur REM "ketidakstabilan" mendasari pengalaman subjektif dari tidur
yang terganggu pada pasien insomnia, yang sering terjelaskan oleh perubahan
obyektif dalam parameter tidur. Telah menyarankan bahwa fragmentasi
meningkat dari tidur REM, karakteristik pasien ini, dapat membuat kognisi
negatif bangun seperti lebih mudah diakses oleh persepsi sadar dan memori,
sehingga menciptakan pengalaman tidur non-restoratif. Selain itu, fragmentasi
tidur REM dapat mengganggu fungsi jaringan otak emosional selama tahap
tidur ini, kemungkinan memberikan kontribusi untuk lebih emosional dan
gangguanl kognitif.
c. Proses informasi Emosi
Penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa membangkitkan emosi
rangsangan diingat lebih baik daripada yang netral, baik di laboratorium dan
dalam kehidupan nyata (Walker, 2009). Bukti terbaru telah muncul,
menunjukkan bahwa selama tidur kenangan yang diubah dengan cara yang
emosional adaptif. Bukti juga telah menghasilkan mengenai hubungan positif
antara tidur REM dan bias konsolidasi terhadap fitur negatif dari adegan yang
kompleks. Selanjutnya, besarnya bias konsolidasi ini tampaknya ditentukan
oleh waktu tidur, dan dimaksimalkan ketika tidur berikut segera setelah belajar
(Payne et al., 2012). Oleh karena itu, kurangnya waktu tidur mempengaruhi
keadaan emosional individu. Selain itu, tidur tampaknya selektif
mempengaruhi encoding kenangan baru, sehingga membentuk profil kenangan
emosional (Walker dan van der Helm, 2009). Misalnya, kurang tidur
ditemukan merusak encoding kenangan emosional netral dan terutama positif,
sedangkan rangsangan emosional yang negatif tidak signifikan dipengaruhi
oleh kurangnya tidur (Walker dan Tharani, 2009). Temuan ini menyarankan
perubahan selektif dalam memori, dimana kurang tidur individu cenderung
untuk mengingat pengalaman negatif, tapi lupa, atau memperhatikan kurangdari yang positif.
Pengaruh tidur pada emosional juga di modifikasi oleh fitur
lain dari pengolahan informasi emosional. Beberapa studi telah dikaitkan
gangguan tidur dengan dikompromikan pengenalan ekspresi wajah. Kurang
tidur telah ditemukan untuk merusak wajah. Temuan serupa baru-baru ini
menunjukkan pada anak-anak dan remaja awal, menunjukkan bahwa kualitas
tidur yang buruk diprediksi kinerja yang lebih rendah di wajah-emosi tugas
pengolahan informasi, tetapi tidak di wajah tugas pengolahan informasi netral
dari waktu ke waktu (Soffer-Dudek et al., 2011). Sejalan dengan itu, Killgore
et al. (2008) menunjukkan efek yang merugikan dari kurang tidur pada
kapasitas dilaporkan dewasa 'untuk memahami emosi baik pada diri sendiri dan
orang lain. Dengan demikian, tampak bahwa kurangnya tidur dikompromikan
memiliki efek merugikan pada persepsi dan pengolahan rangsangan emosional,
dan akibatnya pada pengalaman emosional.
d. Proses Hubungan Energi Dengan Kewaspadaan
Dalam upaya untuk menjelaskan konsekuensi emosional negatif kurang tidur,
Zohar et al. (2005) menekankan potensi defisit pasokan energik dan mencatat
bahwa sangat penting untuk memperhitungkan konteks di mana emosi timbul.
Dalam studi lapangan memanjang yang dirancang dengan baik, daripada
menggunakan random sampling dari kondisi emosional, para peneliti
menggunakan metodologi pengalaman-sampling. Warga menerima panggilan
telepon secara acak kali selama hari kerja mereka, isyarat mereka untuk
melaporkan keadaan berubah baru-baru ini, dan untuk menilai respon
emosional konsekuen mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah
peristiwa mengganggu, kurang tidur meningkatkan emosi negatif. Namun, efek
yang sama tidak ditemukan ketika peristiwa seperti itu tidak dilaporkan
sebelum evaluasi emosi. Pengaruh kurang tidur mempengaruhi terbalik, dengan
efek nol dalam konteks peristiwa tujuan meningkatkan, sebagai lawan
peningkatan positif mempengaruhi dengan tidak adanya peristiwa tersebut.
Para penulis menekankan pentingnya analisis tergantung pada konteks di
bidang penilaian emosional, dan ditafsirkan temuan ini berdasarkan model
kognitif-energi, menunjukkan bahwa tidur diinduksi perubahan persediaan
energik diperlukan untuk reaksi emosional self-regulation pengaruh (Zohar et
al., 2003). Yakni, ketika kurang tidur dan menghadapi situasi memuaskan,
tingkat energi yang rendah mungkin tidak cukup untuk mencapai kepuasan
yang optimal, sedangkan menghadapi situasi yang menantang menyebabkan
tingkat inflasi negatif mempengaruhi (Zohar et al., 2005).

Anda mungkin juga menyukai