Anda di halaman 1dari 7

Budi Utomo adalah pelopor gerakan perempuan di Indonesia.

Gerakan emansipasi wanita pada


awalnya diawali oleh transformasi personal seperti Kartini dan Dewi Sartika. Belakangan, gerakan
tersebut menemukan arah yang jelas setelah reformasi yang dilakukan oleh Budi Utomo. Perempuan
menciptakan tradisi baru dengan tidak mengecualikan diri tetapi menjelajahi dunia luar, sehingga
perempuan Indonesia bisa menyuarakan reformasi yang arif sesuai karakter bangsa. Salah satu
tantangannya adalah tradisi Indonesia yang membuat perempuan mengekang diri di bawah stigma
pembatasan diri karena harus mengikuti takdir. Karenanya, kodrat menjadi perempuan jangan
sampai menjadi batasan yang mengekang diri. Dengan cara demikian, anak-anak muda jaman
sekarang akan mampu menjunjung harkat dan martabatnya dengan karakternya tanpa memandang
status dan jenis kelamin (Printina, KR: 2017).

Diskriminasi terhadap perempuan pada masa penjajahan dapat diamati dari cara kolonial Belanda
merekrut perempuan menjadi gundik (istilah yang digunakan untuk pekerja seks pada masa
penjajahan). Apalagi mereka sering hamil dan melahirkan bayi keturunan Belanda-Indonesia
keturunan campuran yang tidak diterima secara hukum baik sebagai warga negara Belanda maupun
Indonesia. Oleh karena itu, mereka membangun komunitas diaspora di Papua dan menciptakan
tradisi baru “Tong-Tong Fair” untuk mengamankan jati diri dan mendapatkan pengakuan (Marlene
Voor de, 2009: 368).Budi Utomo memusatkan gerakannya pada kesetaraan masyarakat, hal ini
terlihat pada gerakan perempuan di Indonesia. Beberapa organisasi perempuan didirikan pada
tahun 1915 oleh Dewi Sartika (1884-1947), di antaranya adalah seorang budi (Penajam Pikiran) di
Bandung dan Semarang yang didirikan oleh Budi Wanito (Pikiran Perempuan) yang bertujuan
memperjuangkan kemajuan dan emansipasi perempuan.

Gerakan perempuan tak tinggal diam melihat ketidakadilan pada perempuan. Oleh karena itu,
beberapa gerakan perempuan didirikan setelah Sumpah Pemuda pada Oktober 1928. Peringatan
Hari Ibu pada 22 Desember 19281 di Yogyakarta yang bertempat di Gedung Wanitatama merupakan
bukti reformasi gerakan perempuan di Indonesia (Soewondo, 1955: 128). Salah satu isu yang
diangkat dalam kongres perempuan Indonesia adalah kondisi kehidupan perempuan Indonesia yang
terkungkung oleh budaya patriarki yang bertumpu pada nilai-nilai feodal (Suryochondro, 1984).
Beberapa organisasi perempuan yang berpartisipasi dalam kongres tersebut adalah Wanita Oetomo
(Wanita Berprestasi), Aisyah, Poetri Indonesia (Wanita Gentlew Indonesia), Wanita Katolik (Wanita
Katolik), Wanito Moeljo (Wanita Bangsawan) dan Wanita di Sarekat Indonesia (Sarekat Indonesia),
Jog Islamienten Bond. dan Wanita Taman Siswa (Wieringa, 1988.12). Beberapa tokoh gerakan
perempuan yang menonjol adalah Nyi (Ibu, Jawa) Hadjar Dewantara dari Wanita Taman Siswa, Ibu
Soekonto dari Wanita Oetomo dan Sujatin Kartowijono dari Poetri Indonesia (Prasetyo, 1998: 17).

Gerakan perempuan ini tidak lagi terlihat setelah domestikasi rezim Orde Baru. Dengan demikian
generasi muda saat ini dapat memetik pelajaran bahwa meskipun perempuan tidak dapat
menyuarakan aspirasinya secara revolusioner, namun mampu menginspirasi generasi muda melalui
karakter yang dimiliki dan hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Selain itu, peran
perempuan tidak lepas dari perjuangan gerakan Budi Utomo yang didominasi oleh laki-laki.

METODE :

Metode penelitian artikel ini adalah studi pustaka dengan analisis sejarah, dimana penulis
mengumpulkan data melalui kritik sumber, menganalisisnya dengan menafsirkan sumber dan tulisan
sejarah, serta menerapkan pendekatan feminisme untuk memperkuat tulisan sejarah (Syamsuddin,
2007: 86).

Tahapan metode sejarah tidak dapat diatur kembali atau dibalik dengan mengedepankan
interpretasi kritik, atau historiografi. Semua jenis tulisan sejarah atau penelitian sejarah
mengedepankan sumber sejarah sebagai syarat mutlak yang harus tersedia. Tanpa sumber sejarah,
cerita masa lalu tidak dapat direkonstruksi oleh sejarawan (Hamid, et al., 2011: 43). Tahapan dalam
penulisan artikel ini adalah: heuristik atau pengumpulan data, verifikasi atau validasi sumber,
interpretasi, dan historiografi (Abdurrahman, 1999: 55). Pada tahap terakhir (historiografi), data
digabungkan untuk menjelaskan peran Budi Utomo dalam perkembangan organisasi di era
pergerakan nasional, dalam hal ini organisasi perempuan (Voeger, 1997: 4).

HASIL PEMBAHASAN

Kaum muda revolusioner Indonesia abad ke-20 menyadari bahwa satu-satunya cara melawan
penjajahan dan imperialisme hanyalah dengan mengakui kemampuan yang mereka miliki, yaitu
politik. Namun, untuk bisa melakukannya, mereka dituntut memiliki ilmu dan pengalaman yang
cukup untuk bisa mengetahui kelemahan lawan. Pemahaman tentang kebangsaan mulai tumbuh di
Indonesia yang diprakarsai oleh para sarjana yang mendapat kesempatan pendidikan. Politik etis
berpengaruh terhadap upaya perbaikan wilayah jajahan, meskipun dalam praktiknya tetap ditujukan
untuk mengeruk sumber daya jajahan. Belanda juga berperan dalam mengenalkan nasionalisme
kepada masyarakat adat (in-landers) dengan mendirikan sekolah untuk rakyat. Pada tahun 1893
didirikan Eerste Klass Indlandsche Scholen (Sekolah Bumi Putera Angka Satu) yang diperuntukkan
bagi masyarakat adat kaum bangsawan dan priyayi, dan Tweede Klass Inslandsche Scholen (Sekolah
Bumiputera Angka Dua) untuk masyarakat adat yang miskin (Ricklefs, 2008: 37 ).

Strategi ini juga dilakukan oleh gerakan Budi Utomo yang digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo,
seorang ulama yang merasa bertanggung jawab atas segala bentuk penjajahan yang menimpa
negaranya. Hal ini ia sadari saat berkunjung ke Sekolah STOVIA (salah satu lembaga pendidikan
penghasil priyayi Jawa rendahan). Bersama rekan-rekannya di STOVIA (Soetomo dan Goenawan
Mangunkusomo), Dr. Wahidin melakukan eksplorasi di pulau Jawa untuk menggalang dana
pendidikan. Budi Utomo percaya bahwa mengumpulkan orang-orang terpelajar akan memungkinkan
mereka untuk membebaskan negaranya dari segala macam penjajahan dan penjajahan. Kurniadi
(1987: 12) menegaskan bahwa generasi muda adalah aset bangsa yang memiliki kemampuan
membangun negara melalui pendidikan. Berdirinya organisasi Budi Utomo tidak terlepas dari peran
Dr. Wahidin Sudirohusodo yang memberikan nasehat kepada Soetomo untuk membentuk organisasi
berbasis gerakan (Komandoko, 2008: 8).

Budi Utomo memberikan kesempatan kepada pemuda Indonesia untuk mengikuti kegiatan
pendidikan sebagai salah satu visi berorganisasi. Salah satu alasan berdirinya Budi Utomo adalah
karena tumbuh kembang kelompok terpelajar di daerah, yang pada waktu itu sangat terlambat
dibandingkan dengan pemerintah pusat (Soedarto, 1978: 26). Perkembangan pendidikan pada masa
lalu banyak dipengaruhi oleh Belanda karena pada saat itu Belanda datang ke Nusantara secara
kooperatif dengan raja-raja, kemudian pengaruh Belanda terhadap pendidikan di Yogyakarta
diterapkan secara sistematis seperti perdagangan, budaya, pertanian. , bahasa, budaya dan hukum.
Sampai saat ini keberadaan sekolah peninggalan Belanda di Yogyakarta tetap terjaga dan lestari,
contohnya SMA Negeri 3 Yogyakarta, SMA Negeri 11 Yogyakarta, SMP Negeri 5 Yogyakarta
(Bambang Soewando, 1977: 140).

Setelah berhasil mengumpulkan dana yang cukup untuk membangun sebuah gerakan, pada tanggal
20 Mei 1908 di Jalan Abdulrahman Saleh Jakarta 26, mereka mendirikan sebuah komunitas bernama
Budi Utomo yang diketuai oleh Soetomo. Pada awal terbentuknya Budi Utomo adalah organisasi
yang diperuntukkan hanya sebagai organisasi budaya yang terbatas pada masyarakat Jawa dan
Madura. Namun pada awal perkembangan organisasi, keanggotaannya sudah mencakup seluruh
masyarakat Indonesia tanpa memandang suku dan agama. Selain itu, organisasi Budi Utomo
merupakan organisasi masyarakat adat Jawa yang pertama yang dibentuk dalam sistem modern,
sehingga kongres pertama banyak menarik perhatian pers di seluruh Hindia Belanda (Nagazumi,
1972: 73).

Gerakan nasionalisme abad ke-20 di Indonesia dipelopori oleh tokoh-tokoh bangsa, salah satunya
Budi Utomo (Suwarno, 2011: 1). Perasaan dan cita-cita yang sama yang dialami oleh negara-negara
di Asia karena berbagai pemberontakan yang menimpa negaranya membuat penduduk asli merasa
diperlakukan tidak adil. Beberapa pengaruh yang menggerakkan masyarakat ke arah nasionalisme
adalah pemberontakan Boxer di China dan perlawanan Filipina melawan Spanyol (Wiharyanto, 2015:
19). Gerakan nasionalis memiliki kesadaran yang sama dalam menempatkan loyalitas tertinggi
individu terhadap bangsa dan tanah airnya. Prinsip yang dijunjung adalah kebersamaan, persatuan
dan demokrasi (Mangunhardjana, 1985: 33). Anak-anak muda yang berkesempatan masuk sekolah
Hindia Belanda disebut kelas terpelajar.

Budi Utomo adalah organisasi pergerakan nasional yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 dan
organisasi tersebut mendorong para ulama untuk terlibat. Beberapa surat kabar menegaskan bahwa
ada keinginan yang berkembang di kalangan elit adat untuk memperjuangkan kepentingan mereka
sendiri. Namun semenjak kehadiran Dr. Wahidin telah terjadi beberapa reformasi untuk memajukan
pendidikan dan kesadaran di kalangan masyarakat Jawa, dan hal tersebut menjadi penyokong utama
berdirinya Budi Utomo. Sutomo juga menegaskan istilah Budi Utomo saat menanggapi penjelasan
Dr. Wahidin dalam bahasa Jawa yang mengatakan 'puniko pedamelan ingkang sae, mbutekaken budi
ingkang utami' (Sungguh perbuatan yang baik, menunjukkan akhlak yang mulia.). Mendengar
perkataan Dr. Wahidin, Suraji teman Sutomo menamai organisasi yang baru didirikan itu Budi Utomo
(Tirtoprodjo, 1984: 12).

Organisasi Budi Utomo tidak hanya dikenal sebagai salah satu organisasi nasional pertama di
Indonesia, tetapi juga sebagai salah satu organisasi yang bertahan paling lama hingga proklamasi
kemerdekaan Indonesia (Suhartono, 1994: 32).

Dari catatan Budi Utomo terlihat sangat jelas bahwa ada beberapa reformasi yang dikenalkan oleh
Budi Utomo berupa kesadaran lokal yang dirumuskan dalam organisasi modern, khususnya
organisasi perempuan yang menyebabkan terjadinya reformasi sosial politik di Indonesia. Visi dan
misi Budi Utomo bertujuan agar taraf hidup dan kesetaraan gender menjadi visi yang jelas dari
gerakan perempuan yang akan didirikan pada era tersebut. Gerakan (organisasi) perempuan
melahirkan kaum feminis yang memahami isu-isu perempuan dan berbagai ideologi feminis. Ideologi
feminis mengandung ide-ide yang menggambarkan seksisme dalam masyarakat dan bagaimana
kondisi tersebut dapat dihilangkan di kemudian hari. Salah satu contoh seksisme adalah gagasan
tentang peran domestik perempuan. Gagasan tentang peran domestik perempuan telah diserang
oleh kalangan feminis karena mengacu pada citra konservatif kondisi sosial perempuan (Jurnal
Perempuan: 1998). Landasan dari setiap ideologi feminis adalah nilai dan sasaran yang
memungkinkan tercapainya kondisi sosial yang ideal bagi perempuan. Ideologi feminis terdiri dari
berbagai macam ideologi, antara lain; feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, dan
feminisme sosial. Di Indonesia, feminisme liberal dan feminisme sosial dikenal merespon isu-isu
kebijakan kolonial dan pengaruhnya terhadap perempuan dan masyarakat (Fakih, 1997: 73).

Beberapa tahun setelah Budi Utomo berdiri, pada tahun 1912 didirikan organisasi perempuan
pertama di Jakarta yang bernama Putri Mardika. Organisasi ini memperjuangkan pendidikan bagi
perempuan dan mendorong mereka untuk itu perempuan memperoleh pengakuan di depan umum,
membebaskan diri dari rasa takut dan menempatkan mereka pada posisi yang setara dengan laki-
laki dalam hal pekerjaan (Wieringa, 1999: 105).

Sebelum Budi Utomo berdiri, para pemimpin gerakan perempuan menitikberatkan misi
memperjuangkan posisi perempuan dalam perkawinan dan kehidupan keluarga, meningkatkan
keterampilan dan pengetahuan untuk memperkuat perannya sebagai pengambil keputusan dalam
kehidupan berkeluarga (Pringgodani, 1970: 20-21) . Hal tersebut diperjelas oleh cita-cita besar Raden
Ajeng Kartini (1879-1904) bahwa perempuan Indonesia saat itu harus bebas dari persoalan kawin
paksa dan poligami. Himbauan ini juga disebabkan oleh pengalaman pedihnya sendiri karena Kartini
dikawinkan paksa dengan seorang bupati poligami bernama RMAA Djojodhiningrat. Memang Kartini
juga memiliki keinginan besar untuk membebaskan perempuan Indonesia melalui pendidikan.
Terbukti, dua kali Kartini menulis tentang pendidikan. Dalam suratnya tertanggal 11 Oktober 1901, ia
menulis (Kartini: 1987: 76):

Menurut ayahku, menjadi guru adalah pilihan terbaik bagiku ... Di mana lagi aku bisa menyebarkan
mimpiku dengan cara yang lebih baik selain itu, sebagai pendidik bagi gadis-gadis muda yang akan
menjadi ibu di masa depan? ...

Kemudian dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon pada 21 Januari 1901, Kartini menulis:

Dari perempuanlah manusia menerima pendidikan pertama mereka ... dan semakin jelas bagi saya
bahwa pendidikan yang pertama kali kita terima bukanlah sesuatu yang tidak berarti untuk seluruh
kehidupan. Dan bagaimana ibu-ibu daerah bisa mendidik anak-anaknya jika mereka sendiri tidak
berpendidikan? ... Tidak hanya bagi perempuan tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia akankah
pendidikan memberikan manfaat bagi anak perempuan. Hal senada juga dirasakan para perempuan
pionir yang berjuang pasca gerakan Budi Utomo. Hal itu dibuktikan dengan menambah bidang
pengajaran dan meningkatkan ketrampilan perempuan. Oleh karena itu, visi baru pendidikan lahir
setelah reformasi Budi Utomo dilanjutkan oleh Dewi Sartika.

Peran kedua Budi Utomo yang sangat menonjol terlihat dalam gerakan perempuan termasuk
Kongres Wanita. Awalnya kongres tersebut diadakan untuk memperkuat gerakan yang dimulai dari
Kongres Pemuda yang telah dilaksanakan sebelumnya sebelum Kongres Wanita Indonesia. Kongres
Pemuda yang saat ini dikenal dengan nama Hari Sumpah Pemuda yang diselenggarakan pada tanggal
28 Oktober 1928 merupakan cikal bakal Kongres Wanita Indonesia yang dibentuk pada tanggal 22
Desember 1928 (tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Ibu). Tak heran jika pembaharuan pola
pikir perempuan progresif Indonesia juga bersumber dari gerakan laki-laki Indonesia Budi Utomo.
Sejak itu semakin banyak bermunculan organisasi perempuan yang visinya hampir sama dengan
organisasi gerakan nasional pada umumnya yaitu sosial politik dan budaya. Setelah berdirinya
organisasi wanita pertama bernama Putri Mardika (Wanita Mandiri) Pawiyatan Wanito didirikan di
Magelang pada tahun 1915.

Pengaruh gerakan perempuan Indonesia dalam politik sudah terbukti sejak masa kebangkitan
nasional. Mereka merancang rencana dan program mulai dari tingkat nasional hingga daerah.
Mereka juga memberi wawasan kepada kelompok-kelompok kecil perempuan tentang bagaimana
berpartisipasi dalam suatu organisasi, sehingga menjadi anggotanya. siap menjalankan tugasnya.
Seperti yang ditunjukkan oleh Persatuan Perempuan Indonesia atau Persatuan Perempuan Indonesia
(PPI) yang merangkul gerakan-gerakan kecil menjadi satu kesatuan dalam federasi gerakan
perempuan (Kartini: 1987: 76).

Dalam programnya, gerakan perempuan mengajak seluruh anggotanya aktif dan peka terhadap
masalah politik, membentuk komite untuk menghapus perdagangan perempuan, menyelesaikan
masalah di dalam gerakan perempuan, memelihara gerakan masing-masing, menjalin hubungan baik
dengan gerakan lain, dan banyak berperan dalam perempuan. gerakan selama era kebangkitan
nasional.

Seiring dengan berdirinya berbagai organisasi nasional dan partai politik, gerakan perempuan dalam
bentuk organisasi mulai dibentuk, baik sebagai sayap (bagian dari organisasi perempuan yang sudah
ada) maupun pembentukan organisasi tersendiri yang dilakukan oleh perjuangan perempuan dalam
satu sektor di tingkat tertentu.

Semangat organisasi perempuan juga muncul beberapa bulan setelah dibacakan Sumpah Pemuda
dalam Kongres Pemuda 1928. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya Kongres Wanita Pertama di
Yogyakarta. Sekitar seribu orang menghadiri resepsi resmi dimulainya Kongres Wanita yang pertama
kali diadakan di Yogyakarta (Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita: 124) pada tanggal 22
Desember 1928 (tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Ibu Nasional mulai dari saat ini). saat
perempuan Indonesia mendapatkan kesadaran untuk mempromosikan status mereka di
masyarakat). Berbagai persoalan yang bermula dari berbagai organisasi yang diangkat menjadi topik
diskusi, seperti Aisyah, Wanita Utomo, Wanita Taman Siswa, Wanita Katolik, dan organisasi kecil
lainnya pada masa itu (Blacburn, 2007: 11).

Pengaruh Kongres Wanita pada tahun 1928 memunculkan organisasi istri lainnya; salah satu yang
paling menonjol saat itu adalah Sedar Wives. Organisasi tersebut berjuang agar perempuan
Indonesia berperan aktif dalam politik, meningkatkan kondisi kerja yang baik bagi pekerja
perempuan dan mendukung pendidikan nasional bagi pekerja perempuan.

Tindakan kebangsaan yang telah dilakukan oleh gerakan perempuan sejak awal abad ke-20 antara
lain mendidik perempuan, memperhatikan kondisi anak yatim dan janda, kawin anak, reformasi
kaidah perkawinan dalam Islam, meningkatkan kesadaran akan pentingnya jati diri. -harga di antara
wanita
Perjuangan tidak berhenti sampai di situ; pada tahun 1930 diadakan kongres di Surabaya. Kongres
tersebut melahirkan wacana-wacana baru seperti perdagangan perempuan dan hak suara
perempuan (Kowani, 1978: 38), juga mendirikan kantor informasi kerja bagi perempuan dan
memprakarsai penelitian tentang sanitasi di pedesaan dan tentang angka kematian anak yang tinggi.

Pada tahun 1930-an banyak organisasi wanita berjuang melawan paksaan dari selir yang
mengeksploitasi anak di bawah umur. Organisasi Putri Budi Sedjati membangun asrama bagi
perempuan dan anak perempuan yang “terlantar” dan melatih mereka agar terampil dalam
menjahit, memasak, dan keterampilan lainnya sehingga mereka dapat menjadi pembantu rumah
tangga yang terampil (Indisch Vrouwenjaarboek 1936: 12).

Salah satu kesepakatan kongres perempuan pertama saat itu adalah penetapan Hari Ibu tanggal 22
Desember, dan sejak tahun 1950 ditetapkan sebagai Hari Raya Nasional. Inilah momentum
bersejarah yang bisa dirasakan oleh gerakan perempuan Indonesia hingga saat ini (Blacburn, 2007:
12).

Setelah Kongres Wanita Nasional Indonesia pertama, kongres nasional berikutnya diadakan di tiga
kota, yaitu di Jakarta (1935), Bandung (1938), dan Semarang (1941). Musyawarah nasional yang
sering dilakukan telah meningkatkan jiwa nasionalisme organisasi perempuan Indonesia lainnya
(Blacburn, 2007: 12).

Pada kongres 1935, Kongres Perempuan Indonesia (KPI) dibentuk, dan PPII dibubarkan. Meskipun
fokus perhatian mereka pada perempuan miskin, keanggotaan mereka masih terdiri dari kelas atas,
dan tuntutan yang mereka sampaikan sebagian besar mengungkapkan kepentingan perempuan
kelas atas (Weirenga, 1998: 12). Sejak saat itu, gerakan nasional, khususnya gerakan perempuan,
berkembang pesat, dan juga ada tanda-tanda semangat nasionalisme yang tumbuh. Antusiasme
terlihat pada awal pendudukan Jepang. Ada beberapa gerakan perempuan yakni Serikat Perempuan
Serikat Rakyat (PSI) dan Sedar Istri (Sedar Isteri) yang menentang pemerintah kolonial Belanda.
Mereka juga memperhatikan perjuangan anti-kapitalisme (Blacburn, 2007: 13).

Pada tahun 1935 isu tuntutan hak pilih perempuan diangkat untuk pertama kalinya dalam kongres.
Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial yang membuka peluang bagi perempuan
Indonesia tanpa hak suara (Vreede-de Stuers, 1960: 95). Untuk alasan inilah kampanye dilakukan
dan perempuan dilibatkan di Volksaard. Saat itu, perempuan pertama yang belajar di Belanda
sebagai pengacara adalah Maria Ulfa. Sejak saat itu hak suara bagi perempuan dibuka (Locher-
Scholten: 2000). Dalam perkembangan selanjutnya, muncul sekelompok pemerhati tenaga kerja
wanita yang diketuai oleh Ibu Sujatin. Bersama rombongan, Bu Sujatin pergi ke Lasem untuk
menyelidiki kondisi para buruh batik yang sebenarnya adalah buruh sandera. Kelompok perempuan
ini memprotes kondisi kerja pekerja perempuan, dan juga membahas nasib perempuan penghibur
dan selir laki-laki pemilik usaha batik (Rambe, 1983: 43).

Pada tahun 1940 untuk pertama kalinya, sebuah asosiasi bernama Perkumpulan Pekerja Perempuan
Indonesia (Asosiasi Pekerja Wanita Indonesia) dibentuk di Jakarta. Anggota paguyuban terdiri dari
perempuan yang bekerja di perkantoran, baik pemerintah maupun swasta, seperti guru, perawat,
pegawai kantoran, dan lain sebagainya. Namun jika dilihat dari kegiatannya, organisasi tersebut
belum dapat dikatakan sebagai organisasi profesi, karena pada umumnya kegiatannya difokuskan
pada pendidikan keterampilan perempuan dan pemajuan nasionalisme. Ini Kegiatannya tidak jauh
berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh gerakan perempuan lainnya.

Kesimpulan

Peran penting Budi Utomo dalam memajukan gerakan perempuan Indonesia, di antaranya adalah 1)
memotivasi lahirnya gerakan perempuan Indonesia pertama, Putri Mardika (Perempuan Merdeka);
2) mentransformasikan visi perempuan melalui peningkatan status perempuan di bidang sosial,
budaya dan politik; 3) mendorong pertumbuhan pesat organisasi perempuan yang didirikan antara
tahun 1928 dan 1940, mulai dari Putri Mardika (Perempuan Mandiri) hingga Persatuan Pekerja
Wanita Indonesia di Jakarta.

Dari pembahasan tersebut kita dapat mempelajari makna menjadi tontonan kehidupan bangsa, dan
bahwa tanggung jawab membangun masyarakat dan bernegara adalah tugas kita bersama tanpa
memandang status kita, jenis kelamin atau apapun. Oleh karena itu, sulit bagi bangsa untuk tumbuh
tanpa mendalami atau mengenal gerakan pemuda selama gerakan nasional. Tanpa pemuda dan
tanpa perempuan Indonesia, bangsa ini tidak akan pernah ada.

Anda mungkin juga menyukai