Anda di halaman 1dari 3

Reforma agraria di berbagai negara

Reforma agraria dilaksanakan dengan harapan dapat menampung aspirasi seluruh lapisan masyarakat.
Tapi nyatanya, tidak semua pihak dapat menerima prinsip-prinsip dasar reforma agraria yang
ditetapkan. Hal ini menciptakan kontradiksi antara golongan rakyat miskin yang sebagian besar
merupakan petani tak bertanah dengan golongan elite modern yang merupakan pemilik tanah.
Kecenderungan ini ditunjukkan pada program land reform di Asia tahun 1950 dan 1960-an, di mana
sistem land reform hanya kompromi diantara para elite modern, petani kaya, serta pelaku industri.
Sedangkan golongan buruh tak bertanah tidak terjangkau oleh program ini yang mengakibatkan
mereka terpaksa meninggalkan bidang pertanian dan beralih menjadi buruh industri.
Pelaksanaan reforma agraria tidak terlepas dari kekuatan pendukungnya. Setiap negara yang
melaksanakan reforma agraria memiliki tipe kekuatan yang berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda
pula. Pada negara Mesir, Panama dan Peru, reforma agraria didukung oleh regime penguasa militer
progresif yang bersifat radikal. Regime ini merupakan koordinasi kaum militer dengan kaum
professional dan industrialis, serta mendapatkan dukungan dari rakyat. Prinsip dasar reforma agraria
yang dilaksankannya yaitu meredistribusikan tanah dengan ganti rugi kepada para tuan tanah.
Jepang, Korea, dan Taiwan sebagai representasi negara yang berhasil melaksanakan land reform
didukung oleh Kombinasi antara pemerintah negara setempat dengan tentara pendudukan. Hal ini pun
didorong oleh tekanan dari pemerintah Amerika. Prinsip dasar reforma agraria yang dilaksankannya
yaitu kepemilikan tanah tidak boleh melebihi batas maksimum, kelebihan tanah akan dibagikan
kepada buruh tani atau buruh tak bertanah dengan ganti rugi kepada pemilik semula.
Iran melaksanakan land reform dengan kekuatan autokrasi yang berusaha menjadi modern.
Pelaksanaanya dibantu oleh militer, pegawai negeri, dan dukungan rakyat. Prinsip dasarnya pun tak
terlalu berbeda dengan negara lainnya yaitu tuan tanah mendapat ganti rugi atas alih kepemilikan
tanahnya. Sedangkan di Meksiko dan Bolivia land reform dilandasi oleh revolusi sosial yang
didukung oleh koordinasi kaum profesional, politisi, dan petani untuk menyerbu haciendas (lahan
perkebunan, pertambangan, pabrik). Prinsip dasarnya yaitu menghapus kelas tuan tanah dan tanah
mereka disita.
Reforma agraria di India, Venezuela, Siria, dan Irak didukung oleh kekuatan pemerintahan demokratis
yang dibantu oleh partai politik dominan atau aliansi partai politik mayoritas dengan dukungan
organisasi petani yang terkait dengan partai politik tersebut. Prinsip dasar reforma agraria ini yaitu
pemilik tanah semula mendapat ganti rugi secara partial atas alih kepemilikan tanahnya.
Pengalaman Land Reform di Beberapa Negara Asia
1. Republik Korea Selatan
Korea selatan melaksanakan land reform dalam beberapa tahapan. Tahap I pada tahun 1945 yaitu
dengan menurunkan sewa tanah dari 40-60% menjadi 33% dari toral produksi. Berlanjut pada
tahun 1948, land reform tahap II dilaksanakan dengan meredistribusi tanah bekas milik tentara
Jepang. Tahap III pada tahun 1950-1953, ditetapkan kebijakan redistribusi bagi tanah-tanah
kelebihan (batas maksimum kepemilikan tanah yaitu 3 Ha). Hasil dari program land reform yang
dijalankan yaitu hanya 7% petani tak bertanah dibandingkan sebelum land reform 90% dari lahan
pertanian dimiliki oleh hanya 19% petani dan 50% petani adalah kaum tunakisma. Selain itu,
terjadi peningkatan produktivitas pertanian di tahun 1960-an.
2. Taiwan
Pelaksanaan land reform berlangsung kurang lebih 4 tahun (1949-1953). Pada tahun 1949
dilakukan penurunan tingkat sewa tanah, kemudian disusul dengan penjualan tanah-tanah umum.
Hingga pada tahun 1953, ditetapkan kebijakan redistribusi tanah dengan prinsip land-to-the-
tillers (tanah untuk petani penggarap). Selama pelaksanaannya, land reform ditunjang dengan
stabilitas poleksosbud, penelitian yang cermat, penyuluhan yang baik dan teratur, pengukuran dan
pendaftaran tanah yang teliti, pengembangan sarana perkreditan, dan partisipasi aktif rakyat.
Hasilnya yaitu terjadi pemerataan pendapatan, produktivitas meningkat, sdan produktivitas tanah
tertinggi pada usaha tani yang luasnya < 0.5 Ha.
3. Jepang
Jepang melaksanaan land reform sebanyak dua kali. Tahap I pada tahun 1868, yaitu dengan
menghapusan kekuasan tuan tanah feodal untuk menarik pajak bumi dan menyediakan kredit,
pupuk, bibit, dan input produksi lainnya. Namun program ini gagal dan berujung menguntungkan
pemilik lahan luas. Oleh karena itu, dilaksanakan kembali land reform setelah perang dunia II
dengan prinsip dasar tanah tanah kelebihan (batas maksimum kepemilikan tanah yaitu 1 Ha) harus
dijual kepada pemerintah sesuai harga yang ditetapkan pemerintah dan bekas buruh pada tanah itu
diberi hak kepemilikan dengan harga yang sangat rendah. Program ini menuai hasil positif yaitu
pemerataan pendapatan penduduk desa, dan negative yaitu tercipta fragmentasi tanah dan
ketimpangan tingkat pendapatan penduduk desa dan kota.

4. India
Pelaksanaan land reform di India diarahkan dan dikoordinir oleh pemerintah pusat. Sedangkan
pemerintah daerah yang akan menjalankan program dengan membuat UU untuk daerahnya.
Dalam program yang dijalankan terjadi penghapusan sistem zamindari (sistem perantara dalam
penguasaan tanah), pengaturan masalah hubungan kerja dalam usaha tani atau jaminan hak para
penggarap, penentuan batas penguasaan tanah maksimum, dan konsolidasi penguasaan tanah-
tanah terpencar. Program ini dilaksanakan selama satu tahun (1950-1951).

Pelajaran yang Dapat Dipetik


Berdasarkan pengalaman pelaksanaan land reform di berbagai negara, dapat diambil pelajaran
diantaranya yaitu:
 Ukuran berhasil atau tidaknya suatu reforma agraria dilihat dari tujuannya, dan setiap negara
memiliki tujuan yang berbeda-beda.
 Pelaksanaan land reform ditentukan oleh faktor politik
 Pada program land reform yang berhasil, terdapat lembaga pelaksana dan partisipasi aktif
stakeholder/ kelompok sasaran.
 Risiko yang dihadapi dalam pelaksanaan land reform yaitu timbulnya konflik, protes, dan
tingkat produksi akan menurun sementara.
 Hasil positif mulai terlihat dalam jangka panjang
Pembangunan pertanian haruslah mengkombinasikan faktor-faktor teknis untuk meningkatkan
produksi dengan faktor perbaikan kerangka kerja agar menguntungkan bagi lapisan terendah
masyarakat pedesaan.

Anda mungkin juga menyukai