Anda di halaman 1dari 22

EPISTEMOLOGI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat

Dosen Pengampu:
Ayu Septiani, M.Hum.

Disusun oleh:
Siti Hanifah 180210180004
Eli Nurliah 180210180008
Irma Dwi A. 180210180013
Titi Rahmawati 180210180037
Fahri Fadilah K. 180210180041
Mohamad Rizal 180210180054
Putri Berlian 180710180008
I Putu Gede A. H. 180710180029
Daniel Zetta P. 180710180036
Alya Sabila A. Z. 180710180045

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “EPISTEMOLOGI” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari Ibu Ayu Septiani, M.Hum. pada mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan kami dan
para pembacanya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Jatinangor, Februari 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 RUMUSAN MASALAH 2
1.3 TUJUAN 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 EPISTEMOLOGI 3
2.1.1 PENGERTIAN EPISTEMOLOGI 3
2.1.2 JENIS EPISTEMOLOGI 4
2.2 ILMU PENGETAHUAN 5
2.2.1 PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN 5
2.2.2 KARAKTERISTIK ILMU PENGETAHUAN 9
2.2.3 JENIS ILMU PENGETAHUAN 9
2.2.4 METODE MENEMUKAN ILMU PENGETAHUAN 12
2.3 METODE ILMIAH 13
2.3.1 PENGERTIAN METODE ILMIAH 13
2.3.2 LANGKAH-LANGKAH METODE ILMIAH 15
BAB III PENUTUP 17
3.1 SIMPULAN 17
3.2 KRITIK DAN SARAN 17
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dinamis dan rumitnya kehidupan di dunia ini telah melahirkan sebuah ilmu
yang dinamakan filsafat. Filsafat modern pertama kali ditemukan dan tersebar
mulai abad ke-7 sebelum masehi, yang dikaitkan dengan pemikiran modern
manusia yang semakin maju untuk memahami keadaan dunia dan kehidupan
makhluk hidup, tujuannya adalah agar manusia tidak selalu menghubungkan suatu
hal yang terjadi di dunia kepada hal gaib (Ghani, 2015).
Ilmu filsafat lahir di Yunani. Para ahli menemukan alasan mengapa ilmu
filsafat lahir di Yunani, dan bukan di tempat lain dengan peradaban manusia yang
lebih baik seperti Babilonia, Israel, maupun Mesir. Filsafat lahir di Yunani karena
pada saat itu wilayah Babilonia, Israel, maupun Mesir telah terpengaruh oleh
ajaran agama yang bersifat rohani, sehingga kebebasan berpikir masyarakat
seakan terbatas. Di sisi lain, pada saat itu kepercayaan akan hal gaib masih belum
massif di Yunani, sehingga masyarakatnya memiliki pemikiran yang lebih jauh
dan mengembangkan logikannya untuk menjelaskan apa yang terjadi di dalam
kehidupan. Oleh karena itu banyak filsuf yang lahir di Yunani, misalnya Sokrates,
Plato. Filsif yang paling terkenal, Aristoteles, juga berasal dari Yunani.
Perkembangan ilmu filsafat melahirkan cabang-cabang ilmu filsafat. Ada
berbagai macam cabang ilmu filsafat, tergantung dengan pandangan masing-
masing individu. Namun, secara umum ilmu filsafat dapat dibagi menjadi 1)
logika, 2) epistemologi, 3) etika, dan 4) estetika (Rapar, 1996).
Epistemologi merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membidangi
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah salah satu hal yang terpenting dalam
kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan merukapan sarana atau definisi tentang
alam semesta yang diterjemahkan kedalam bahasa yang bisa dimengerti oleh
manusia (Rahman, 2017). Perkembangan pemikiran dan kemajuan dalam berfikir
manusia telah menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang sangat kompleks.
Kami meengangkat tema epistemologi karena menurut kami pengetahuan
adalah hal yang sangat krusial. Pengetahuan belum tentu dianggap benar dan perlu
dilakukan riset epistemologis untuk mendapatkan pengetahuan yang benar
menurut filsafat. Oleh karena itu, kami membahas dan mengumpulkan data yang
menunjukan cara menunjukan pengetahuan yang benar.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang di atas, diperoleh rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan epistemologi?
2. Apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan?
3. Bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan?
4. Apa yang dimaksud dengan metode ilmiah?
5. Bagaimana cara membuat metode ilmiah?

1.3 TUJUAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1. Mendapatakan pemahaman mengenai epistemologi.
2. Mendapatkan pemahaman mengenai ilmu pengetahuan.
3. Mengetahui cara mendapatkan ilmu pengetahuan.
4. Mendapatkan pemahamaan mengenai metode ilmiah.
5. Mengetahui cara membuat metode ilmiah.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 EPISTEMOLOGI

2.1.1 PENGERTIAN EPISTEMOLOGI


Epistemologi berasal dari 2 (dua) kata dalam Bahasa Yunani
‘episteme’ yang berarti pengetahuan dan ‘logos’ yang berarti ilmu, pikiran,
percakapan. Dari uraian tersebut diperoleh pengertian bahwa epistemologi
adalah ilmu, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.
Sebagai kajian filsafat, epistemologi sering juga disebut sebagai teori
pengetahuan (Sudarminta, 2002).
Epistemologi dijelaskan dengan cara yang berbeda-beda oleh para
tokoh ahli. Menurut Abdul Munir Mulkan, epistemologi adalah segala
macam bentuk aktivitas dan pemikiran manusia yang selalu
mempertanyakan dari mana asal muasal ilmu pengetahuan itu diperoleh.
Menurut Achmad Charris Zubair, epistemologi merupakan suatu ilmu
yang secara khusus mempelajari dan mempersoalkan secara dalam
mengenai apa itu pengetahuan, dari mana pengetahuan itu diperoleh serta
bagaimana cara memperolehnya.
Menurut Jujun S. Suria Sumantri, epistemologi adalah arah berfikir
manusia dalam menemukan dan memperoleh suatu ilmu pengetahuan
dengan menggunakan kemampuan rasio.
Menurut Mujamil Qomar, epistemologi adalah bagian ilmu filsafat
yang secara khusus mempelajari dan menentukan arah dan kodrat
pengetahuan.
Sedangkan menurut Anton Bakker, epistemologi adalah cabang
filsafat yang berurusan mengenai ruang lingkup serta hakikat pengetahuan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan.
Epistemologi atau teori pengetahuan juga dapat diartikan sebagai cabang
filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dasar
beserta pengandaian-pengandaiannya. Secara umum dapat ditegaskan
bahwa orang memiliki pengetahuan.
Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan
dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan,
bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungan dengan kebenaran
dan keyakinan.

2.1.2 JENIS EPISTEMOLOGI


Berdasarkan cara kerja dan metode pendekatannya, epistemologi
dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu epistemologi metafisis, epistemologi
skeptis, dan epistemologi kritis.
Epistemologi metafisis merupakan epistemologi yang mendekati
gejala pengetahuan dengan bertitik tolak pada pengandaian metafisika
tertentu. Epistemologi kategori ini berangkat dari suatu paham tertentu
tentang kenyataan (realitas), kemudian membahas tentang bagaimana
manusia mengetahui kenyataan itu. Kenyataan yang disebut juga “yang ada”
atau being—apakah yang ada itu berupa materi atau ide-ide, dikaji melalui
epistemologi metafisis disertai dengan metode-metode yang digunakan
untuk mengetahuinya.
Pendekatan dengan menggunakan epistemologi metafisis mengalami
kesulitan karena beberapa hal. Pertama, epistemologi metafisis secara tidak
kritis begitu saja mengandaikan bahwa kita dapat mengetahui kenyataan
yang ada, dialami dan dipikirkan. Kedua, pandangan dasar atau metafisika
tentang kenyataan yang dijadikan fondasi epistemologi metafisis juga
kontroversial. Ketiga, pengetahuan sebagai produk epistemologi metafisis
hanya dapat diperoleh oleh dari lapangan dan nilai sebagai sesuatu yang
maya oleh epistemologi metafisis ini.
Epistemologi skeptis bedasarkan pada proposisi pembuktian terlebih
dahulu apa yang dapat diketahui sebagai suatu yang benar-benar riil dan
tidak diragukan. Kebenaran sesuatu harus dibuktikan terlebih dahulu
sehingga dapat diterima. Jika tidak , maka kebenaran itu diragukan.
Kesulitan yang dihadapi dengan pendekatan epistemologi jenis ini terletak
pada kondisi ketika seseorang sudah masuk ke dalam sarang skeptisme dan
konsisten dengan sikapnya, maka tidak akan mudah untuknya menemukan
jalan keluar. Sikap skeptis dalam menghadapi persoalan keilmuan berupa
meragukannya atau mengandaikan bahwa ada pengetahuan dan bahwa
manusia dapat mengetahui sesuatu tetapi pengetahuan itu dapat saja benar
dan mungkin juga salah.
Epistemologi kritis tidak memprioritaskan metafisika atau
epistemologi tertentu, tetapi berangkat dari asumsi, prosedur, dan
kesimpulan pemikiran akal sehat atau asumsi, prosedur, dan keimpulan
pemikiran ilmiah sebagaimana ditemukan dalam kehidupan kemudian
ditanggapi secara kritis. Keyakinan dan pendapat-pendapat yang ada
dijadikan data penyelidikan atau bahan refleksi kritis untuk diuji
kebenarannya berdasarkan nalar sehat. Sikap kritis diperlukan untuk berani
mempertanyakan apa yang selama ini sudah diterima begitu saja tanpa
dinalar atau tanpa dipertanggungjawabkan secara rasional dan kemudian
mencoba menemukan alasan yang masuk akal untuk menerima atau
menolaknya.

2.2 ILMU PENGETAHUAN

2.2.1 PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN


Ilmu (science) termasuk ke dalam pengetahuan (knowledge). Yang
dimaksud dengan ilmu ialah pengetahuan yang diperoleh dengan cara
tertentu yang dinamakan metode ilmiah. Ilmu lahir karena manusia
diberkahi oleh sifat ingin tahu (curiosity). Keingintahuan manusia terhadap
problematika di sekelilingnya dapat menjurus kepada ilmu pengetahuan.
Pengertian pengetahuan lebih luas dari pada ilmu. Pengetahuan adalah
produk pemikiran. Pengetahuan tentang fakta-fakta natural-empirik dimulai
dengan dan berdasar pada pengetahuan indra. Dengan melihat matahari,
bumi, dan benda-benda lain, diketahui keberadaan benda-benda itu.
Demikian pula dengan mendengar, dikenali dan dapat dibedakan suara
seseorang dengan orang lain, bunyi alat musik biola dan gitar, suara sapi
dan harimau. Pengetahuan dapat pula diperoleh melalui satu, dua, atau lebih
cara. Kita dapat mengetahui sesuatu melalui penglihatan dan pendengaran
sekaligus. Orang buta dapat mengetahui bentuk suatu benda melalui rabaan
tangannya. Ia merasakan dan kemudian mengetahui bahwa api panas, es
dingin, air cair, dan batu keras. Di samping itu, pengetahuan dapat pula
diperoleh melalui daya penciuman, misalnya bau kotoran binatang, atau
harum minyak wangi dan bunga.
Dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan persatuan antara
subjek dan objek, yaitu dengan mengetahui subjek menjadi manunggal
dengan objek dan sebaliknya objek manunggal dengan subjek. Ketika
kemanunggalan terjadi sedemikian mendalam, maka pengetahuan itu tidak
sekadar pertemuan antara subjek dan objek, tetapi merupakan suatu
persatuan. Dengan kata lain, terjadi intrinsic union dan bukan sekadar
extrinsic union antara subjek dan objek. Dengan demikian, pengetahuan
pada hakikatnya bersifat relasional, berada di antara suatu hubungan antara
subjek dan objek. Thomas Aquinas, mengikuti tradisi ajaran Aristoteles
seperti dikutip Pranarka, mengatakan “Cognito fit secundum quod cognitum
est alliquo modo in cognosscente,” yang dalam bahasa Inggrisnya berarti
“Knowledge takes place in that a know object is in a certain way present
with in a knowing subject.”
Pengetahuan yang diperoleh melalui indra tidak selamanya dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bumi yang tampak datar, langit
yang terlihat cekung, seakan-akan langit di timur, utara, barat, dan selatan
menyentuh bumi, matahari di siang hari tampak berjalan mengikuti kita
ketika berjalan, demikian pula bulan pada malam hari, merupakan contoh
pengetahuan tidak benar yang ditunjukkan oleh indra. Ambiguitas
kebenaran pengetahuan indra berkenaan dengan pengetahuan yang kita
ketahui dari informasi orang lain atau dari pengalaman sendiri. Babbie
pernah menyatakan:
“Part of what you know could be called your agreement reality:
things you concide to be real because you’ve been told they are
real. Another part is what could be called experiental reality: the
things you know as a function of your direct experience. The first
is a product of what people have told you, the second a product of
your own experience.”
Untuk mencapai kebenaran pengetahuan indrawi dapat dilakukan
melalui penelitian menggunakan metode, langkah-langkah, dan analisis
ilmiah. Dalam hal ini, pengetahuan indra diolah menjadi pengetahuan
ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran sistematik
disertai penelitian atau eksperimen. Melalui ketiga cara ini, pengetahuan
indra tidak lagi diragukan kebenarannya—dalam pengertian relatif berbeda
dengan kebenaran wahyu yang otoritas kebenarannya bersifat absolut-
karena telah memasuki wilayah ilmu pengetahuan (sains).
Pengetahuan ilmiah atau sering disebut dengan ilmu pengetahuan,
menurut Sondang P. Siagian adalah suatu objek ilmiah yang memiliki
sekelompok prinsip, dalil, rumus, yang melalui percobaan yang sistematis
dilakukan berulang kali telah teruji kebenarannya, prinsip-prinsip, dalil-
dalil, dan rumus-rumus mana yang dapat dipelajari dan diajarkan.
Menurut Sutrisno Hadi, pengetahuan ilmiah adalah kumpulan dari
pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang
yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur.
Oleh Soerjono Soekanto, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai
pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan
kekuatan pemikiran dan pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan
ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang
mengetahuinya.
Muhammad Hatta mengartikan ilmu pengetahuan yang teratur tentang
pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama
habitatnya menurut kedudukannya tampak dari luar maupun menurut
bangunannya dari dalam.
Moh. Nasir mendefinisikan ilmu dengan dua arti. Pertama,
pengetahuan yang bersifat umum dan sistematik, pengatahuan dari mana
dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah umum. Kedua,
pengetahuan yang sudah dicoba dan diatur menurut urutan dan arti serta
menyeluruh dan sistematik. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan yang sistematik yang memiliki prinsip-prinsip, dalil-dalil, dan
rumus-rumus yang dapat diuji kebenarannya, dapat dikontrol, bersifat
umum dan menyeluruh.
Menurut J. Maranon, ilmu pengetahuan mencakup lapangan yang
sangat luas, mencakup semua aspek kemajuan manusia secara menyeluruh,
termasuk di dalamnya pengetahuan yang telah dirumuskan secara sistematik
melalui pengamatan dan percobaan yang terus-menerus.
Ilmu pengetahuan menurut V.A Tan, tidak saja merupakan suatu
himpunan pengetahuan yang sistematis, tetapi juga merupakan suatu
metodologi. Ilmu telah memberikan metode dan sistem, yang mana tanpa
ilmu semua itu hanya merupakan suatu kebutuhan saja. Nilai ilmu tidak
terletak dalam pengetahuan yang terkandung saja, sehingga penuntut ilmu
menjadi seorang yang ilmiah, tetapi dalam keterampilan, pandangan, dan
tindak tanduknya.
Dapat dikatakan bahwa pengtahuan ilmiah atau sains merupakan
pengetahuan tentang fakta-fakta, baik natural maupun sosial, yang berlaku
umum dan sistematik. Karena ilmu berlaku umum, maka darinya dapat
disimpulkan pertanyaan-pertanyaan yang didasarkan pada beberapa kaidah
umum pula. Ilmu tidak lain dari suatu pengetahuan yang sudah terorganisasi
serta tersusun secara sistematik menurut kaidah-kaidah umum. Dengan kata
lain, ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematik,
pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut
kaidah-kaidah yang umum. Ilmu pengetahuan ini merupakan akumulasi dari
pengetahuan yang sistematis.
2.2.2 KARAKTERISTIK ILMU PENGETAHUAN
Pengetahuan (knowledge) jika bersifat objektif dan sesuai dengan
kenyataan akan disebut pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan juga bersifat
abstraktif jika di jelaskan secara runtun untuk menghindari kekacauan dan
kekeliruan dalam berpikir.
Ilmu pengetahuan juga harus terdisiplin dalam artian terawasi, tertib,
dan teratur. Dengan penelitian dan pembuktian orang yang berkompeten di
bidangnya maka ilmu pengetahuan akan tersusun dengan jelas dan akan
bertahan lama
Pada dasarnya ilmu pengetahuan juga tidak bersifat mutlak karena
masih bisa dibuktikan dengan cara lain melewati perkembangan penelitian.
Jadi ilmu pengetahuan bersifat tentatif dan sementara.
Ilmu pengetahuan bersifat posteritori bukan proiri karena ilmu
pengetahuan diambil berdasarkan fakta dan data yang ada, bukan hanya
asumsi belaka.
Ilmu pengetahuan itu netral dan terbebas dari nilai-nilai yang
mengganggu rasionalitasnya. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan harus
apa adanya atau realitasnya bukan dari apa yang seharusnya.
Ilmu pengetahuan juga bersifat verifikatif. Hal ini di sebabkan karena
ilmu pengetahuan juga bisa untuk membuktikan ilmu pengetahuan lainnya.
Jadi, ilmu pengetahuan itu sangat berkaitan satu sama lainnya. Ilmu
pengetahuan juga berkembang seiring berjalannya penelitian hingga ilmu
pengetahuan juga bersifat aktif dan tidak pasif.

2.2.3 JENIS ILMU PENGETAHUAN


Filsafat merupakan the mother of science (induk ilmu pengetahuan).
Dalam filsafat tercakup banyak displin ilmu, seperti metafisika, etika,
antropologi, fisika, matematika, dan politik yang pada awalnya merupakan
bagian integral dari kajian filsafat itu tetapi kemudian menjadi disiplin ilmu
pengetahuan tersendiri. Dari sinilah kemudian dapat ditemukan banyak
cabang ilmu pengetahuan, misalnya ilmu pasti, ilmu alam, dan ilmu sosial.
Ketiga cabang ilmu pengetahuan ini kemudian melahirkan cabang-cabang
ilmu pengetahuan baru yang merupakan sub-cabang dari cabang di atasnya
sebagai berikut.
1. Ilmu pasti (matematika), yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari
sifat-sifat nama dan bilangan menurut tanggapan manusia. Ilmu ini
terdiri dari atas 1) ilmu ukur (geometri), yang meliputi ilmu ukur
bidang (planimetri), dan ilmu ukur ruang (stereometri), ilmu ukur sudut
(geniometri), ilmu ukur segitiga (trigonometri), dan ilmu ukur segitiga
bola, dan 2) ilmu bilangan (aritmetika) yang mecakup teori bilangan,
aljabar, dan hitungan deferensial dan integral.
2. Ilmu alam, yaitu ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menemukan
dan merumuskan paham-paham serta hukum-hukum alam untuk
kemudian menciptakan teori secara sistematis berdasarkan paham-
paham dan hukum-hukum alam tersebut. Ilmu ini terbagi mnejadi 1)
ilmu alam bernyawa (biologi) yang mencakup ilmu biologi dan ilmu
kedokteran, dan 2) ilmu alam tak bernyawa yang terdiri atas ilmu fisika,
ilmu kimia, ilmu astronomi, dan ilmu mekanika.
3. Ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang menyelidiki kehidupan
manusia termasuk kehidupan rohaninya, yang mecakup ilmu ketuhanan,
ilmu filsafat, ilmu jiwa, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu
sejarah, ilmu fibliogika, ilmu linguistik, ilmu sastra, dan ilmu kesenian.
Pendekatan interdispliner ataupun multidispliner berbeda dengan
pendekatan disiplinner dilihat dari kegunaan dari hasil (kesimpulan) yang
diperoleh. Pendekatan disipliner biasanya akan menghasilkan urian yang
dalam (depth) dan khas. Pendekatan ini berguna untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan yang bersifat teoritik. Adapun pendekatan interdisipliner
umumnya menghasilkan urian yang luas dan sering sekali secara langsung
berguna untuk hal-hal yang bersifat praktis.
Terdapat dua cara untuk melalakukan klasifikasi bahasa. Pertama,
klasifikasi secara dikotomi, membagi sesuatu dua-dua dengan cara
menyebutkan jenis dan lawannya. Kedua, klasifikasi secara sistematis,
pembagian sesuatu secara terperinci dengan cara menyebutkan semua
bagian yang terdapat dalam suatu hal atau benda yang dibagi. Agar
klasifikasi dapat dilakukan dengan benar, maka perlu diperhatikan beberapa
aturan berikut.
1. Klasifikasi harus koheren.
Semua bagian (kelas) yang dipilah-pilah bersatu pada dalam
keseluruhan. Integritas seluruh bagian seakan tak terpisahkan satu sama
lain. Kesatupaduan bukan seperti tumpukan batu bata yang tak
memiliki perekat yang menguatkan kesatuannya. Klasifikasi harus
dapat menunjukan bahwa setiap bagian saling mendukung dan saling
berhubungan secara kental. Hubungan satu dengan yang lain harus
dapat dilihat secara jelas.
2. Klasifikasi harus lengkap.
Semua bagian diperincikan dan dicakup bukan hanya salah satu
bagian saja. Jika bagian-bagian itu dijumlah, maka tidak kurang dan
tidak lebih dari kesatuan yang dibagikan. Dengan kata lain, klasifikasi
harus merupakan pembagian kelas ke dalam subkelasnya dan bukan
merupakan pembagian induvidu ke dalam bagian-bagiannya.
3. Klasifikasi harus sungguh-sungguh mmemisahkan.
Bagian (kelas) yang satu tidak boleh masuk dalam bagian yang
lain, tidak boleh terjadi tumpang-tindih (overlaping devision) sehingga
kelompok yang satu dapat dengan jelas dibedakan dari kelompok yang
lain.
4. Klasifikasi harus menggunkan dasar atau prinsip yang sama.
Klasifikasi tidak boleh menggunakan lebih dari satu dasar atau
prinsip klasifikasi. Artinya, suatu atribut yang bisa dijadikan prinsip
klasifikasi atau membagi suatu bagian (kelas) ke dalam subkelasnya
tergantung pada dimilikinya atau tidaknya aribut itu. Dengan kata lain,
membuat klasifikasi harus berangkat dari dasar yang tetap dan sama.
Untuk mengklasifikasi manusia atas dasar jenis kelamin, misalnya,
maka akan terbagi atas jenis laki-laki dan perempuan.
5. Jumlah bagian (kelas) yang merupakan bagian dari subkelas harus sma
dengan jumlah kelas itu.
Dengan kata lain, denotasi term yang dibagi harus sama dengan
jumlah denotasi semua subkelasnya. Jika tidak demikian, maka akan
terjadi kesalahan yang berupa pembagian terlalu sempit atau terlalu
luas. Jika satu spesies itu terlalu sempit dan jika klasifikasi itu meliput
kelas-kelas yang tidak termasuk ke dalam term, maka klasifikasi
menjadi terlalu luas.
6. Nama kelas yang dibagi harus berlaku juga untuk tiap-tiap subkelasnya.
Peraturan ini kelanjutan dari poin 4 bahwa jumlah semua subkelas
harus sama dengan jumlah keseluruhannya. Apabila ada subkelas yang
dapat dinamai dengan nama kelas yang dibagi-bagi, maka jumlah
denotasi semua subkelas akan lebih besar daripada denotasi kelas yang
dibagi. Pelanggaran terhadap peraturan ini akan menimbulkan
pembagian secraa fisik atayu secraa metafisika. Pembagian kelas ke
dalam subkelas atau pembagian subkelas ke dalam subkelas berikutnya
haruslah sellau merupakan pembagian ke dalam proximate species-nya,
tidak boleh meloncat-loncat, harus selalu tingkat demi tingkat. Jika ada
suatu subkelas yang dilewati, maka terjadilah pembagian yang terlalu
sempit.
Ilmu pengetahuan dapat diklasifikasi dari berbagai segi. Scheller
melalui trichotomy-nya membagi jenis pengetahuan menjadi tiga, yaitu
pengetahuan instrumental (herrschafswissen), pengetahuan intelektual
(beldungswissen), dan pengetahuan spiritual (erlosungswissen).

2.2.4 METODE MENEMUKAN ILMU PENGETAHUAN


Epistemologi sering dikaitkan dengan metode dan cara-cara
mendapatkan pengetahuan. Menurut W. Gulo, metode untuk memperoleh
pengetahuan, yaitu 1) metode keteguhan (tenacity), yaitu yakin atau teguh
terhadap kebenaran sesuatu, 2) metode otoritas, memperoleh kebenaran dari
sumber yang mempunyai otoritas atau wewenang, 3) metode a priori atau
intuisi, yaitu menerima kebenaran sesuatu berdasarkan intuisi yang
diperolehnya, 4) metode tradisi, menerima kebenaran sesuatu melalui tradisi
yang turun-temurun ada di masyarakat, dan 5) metode trial and error,
memperoleh kebenaran sesuatu dari hasil rangkaian percobaan.
Menurut Kant, terdapat empat cara untuk memperoleh ilmu
pengetahuan, yaitu 1) metode analitis a priori atau melalui hasil analisis
atau pemikiran, 2) metode sintetis a priori, yaitu dari memadukan 2 (dua)
hal yang terpisah dan menggabungkannya dengan pengalaman yang setiap
pribadi, 3) secara analisis aposteriori, yaitu pengetahuan diperoleh melalui
hasil analisis dan tergantung pada adanya pengalaman, dan 5) secara sintetis
aposteriori, yaitu pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil perpaduan dua
hal yang biasanya terpisah dan tergantung pada adanya pengalaman yang
ada sebelumnya.
Dilihat dari segi sumber pengetahuan, terdapat lima cara untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu 1) berdasarkan pada rasio,
artinya bahwa kebenaran diperoleh dengan cara memikirkannya, 2) berdasar
pengalaman yang diperoleh melalui pengalaman empirik, 3) melalui intuisi
dan wahyu, 4) melalui fenomena alam, dan 5) melalui metode ilmiah yang
menyatakan bahwa sumber adalah di samping akal juga pengalaman
empirik

2.3 METODE ILMIAH

2.3.1 PENGERTIAN METODE ILMIAH


Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat
merode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan
dengan metode ilmiah. Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur
atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang
sistematis. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari
peraturan-peratuan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah
merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode
ilmiah.
Metode ilmiah ini pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin
keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu
sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok keilmuan ini
maka perbedaan tersebut sekadar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan
bukan paa struktur berpikir atau aspek metodologisnya.
Hubungan antara metode berpikir ilmiah dan metode ilmiah dilihat
dari ciri-ciri dan proes metode ilmiah. Menurut Suroso Wirodiharjo, yaitu
1. memperoleh keterangan yang cukup dan teliti
2. menggunakan pemikiran yang logis dan teratur
3. menyusun pengetahuan secara sistematis
4. membatasi masalah dengan garis-garis yang tegas
5. menemukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip umum sebagai suatu
teori dasar yang dapat dipercaya untuk digunakan di masa depan, dan
6. menguji dan menunjukkan pokok-pokok dari penemuan-penemuan.
Adapun yang lebih perinci dan aplikatif, menurut Fred N. Kerlinger, yaitu
sebagai berikut.
1. Pada penggunaan pola konseptual dan struktur teoretis dalam
menjelaskan gejala, metode ilmiah menggunakan teori dan konsep
secara ketat dan terkendali.
2. Dalam metode ilmiah, teori dan hipotesis diuji secara sistematis dan
empiris.
3. Pada metode ilmiah, pengamatan terhadap fenomena dilakukan secara
terkendali (terkontrol). Untuk mengetahui sebab-sebab dari suatu
peristiwa melalui metode ilmiah dikumpulkan seperangkat variabel
yang diangkat sebagai variabel kontrol terhadap peristiwa yang
dipelajari. Semua variabel yang tidak termasuk dalam variabel kontrol
dikesampingkan.
4. Pada metode dua ilmiah, dua fenomena yang muncul tidak langsung
dihubungkan dalam suatu hubungan sebab akibat sebelum melalui
penelitian yang dilakukan secara sistematis.
5. Metode ilmiah bersifat empirik dalam arti harus ada penjelasan tentang
hubungan di antara fenomena-fenomena yang dilakukan berdasarkan
kenyataan-kenyataan yang realistis dan mengesampingkan semua hal
yang bersifat metafisika.

2.3.2 LANGKAH-LANGKAH METODE ILMIAH


Langkah-langkah untuk membuat metode ilmiah adalah sebagai
berikut.
1. Perumusah masalah, merupakan pertanyaaan menegenai objek empiris
yang jelas batas-batasnya serta dapat di batas-batasnya serta dapat
diindentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, yang
merupakan argumentasi yang menjeleskan hubungan yang mungkin
terdapat antara bebagai faktor yang saling mengkait dan membentuk
konstelasi permasalahan.
3. Perumusan hipotesis, merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis, yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relearn dengan hepotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah
terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan, yang merupakan penilaian apakah sebuah
hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima, sekiranya dalam
proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis
maka hipotesis yang diterima. Sebaliknya, sekiranya dalam proses
pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka
hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagiam dari
pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni
mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan
ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya pengertian kebenaran
disini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini
belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
BAB III PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Epistemologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat,


karakter dan jenis pengetahuan. Epistemologi atau teori pengetahuan juga dapat
diartikan sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan dasar beserta pengandaian-pengandaiannya. Sedangkan ilmu
pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam
manusia.
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai macam cara. Para ahli
memiliki pendapatnya masing-masing. Secara sederhana, ilmu pengetahuan
dapaat diperoleh dari diri sendiri mau pun dari luar. Dari dalam diri sendiri, ilmu
pengetahuan dapat diperoleh dengan 1) metode keteguhan, dan 2) metode intuisi.
Dari luar, ilmu pengetahuan dapat diperoleh dengan 1) metode otoritas, dan 2)
metode tradisi. Selain itu, ilmu pengetahuan juga dapat diperoleh oleh diri sendiri
dengan cara melakukan percobaan terhadap hipotesis yang dimilikinya, atau
disebut juga dengan metode trial and error.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Metode ilmiah dapat diperoleh melalui 1) perumusah masalah, 2)
penyusunan kerangka berpikir, 3) perumusan hipotesis, 4) pengujian hipotesis,
dan terakhir 5) penarikan kesimpulan.

3.2 KRITIK DAN SARAN


Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, ke depannya
penyusun akan lebih rinci dan detail dalam menjabarkan tentang topik makalah
berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, kami
mempersilahkan pembaca untuk memberikan kritik mau pun saran terhadap
penulisan makalah ini atau memberikan tanggapan terhadap isi dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mansyur, D. G. (2015). Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian.


Devinta, M. S. (n.d.). Epistemologi Pendidikan Menurut Beragam Filsafat Dunia .
Florus, P. (1994). Kebudayaan Dayak Aktuaisasi dan Tranformasi. Jakarta: PT
Grasindo.
Kudel, A. (2012). Suku Dayak. Adel's Blog Story.
Peursen, P. D. (1976). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Prof. Dr. H. Idri, M. (2015). Epistemologi Ilmu Pengetahuan, Ilmu Hadis dan
Ilmu Hukum Islam. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.
Rahmat, M. (2017). Ilmu Administrasi.
Rapar, J. (1996). Pengantar Filsafat.
Suriasumantri, J. S. (2009). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Syarif, M. B. (2009). Filsafat Ilmu: Metode Ilmiah dan Ilmu Alamiah.
ResearchGate, 4.
Taryadi, D. A. (1989). Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R.
Popper . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Utama, I. B. (2013). Filsafat Ilmu dan Logika.
LAMPIRAN

Urutan pemateri:
1. Siti Hanifah 180210180004 (Pemateri 3)
2. Eli Nurliah 180210180008 (Pemateri 9)
3. Irma Dwi A. 180210180013 (Pemateri 4)
4. Titi Rahmawati 180210180037 (Pemateri 5)
5. Fahri Fadilah K. 180210180041 (Pemateri 2)
6. Mohamad Rizal 180210180054 (Pemateri 8)
7. Putri Berlian 180710180008 (Pemateri 10)
8. I Putu Gede A. H. 180710180029 (Pemateri 1)
9. Daniel Zetta P. 180710180036 (Pemateri 6)
10. Alya Sabila A. Z. 180710180045 (Pemateri 7)

Anda mungkin juga menyukai