Anda di halaman 1dari 48

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN

KEPATUHAN BEROBAT PASIEN HIPERTENSI DI


PUSKESMAS CIPONDOH

Pembimbing :

dr. Rina Farida Ariyani

Disusun oleh :

dr. Bunga Gladis Citra Ayu

INTERNSHIP PUSKESMAS CIPONDOH

PERIODE 14 JUNI – 5 OKTOBER 2019


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengantar
Kota Tangerang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Banten,
berada di sebelah barat dari Ibu Kota Negara Indonesia, DKI Jakarta. Kota
Tangerang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang di sebelah utara dan barat,
dengan Kota Tangerang Selatan di sebelah selatan, serta berbatasan dengan DKI
Jakarta di sebelah Timur. Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan dan 104
kelurahan, dengan jumlah penduduk pada tahun 2017 diperkirakan sebesar
1.651.428 jiwa dengan luas wilayah 153,93 km 2 dengan kepadatan penduduk
sekitar 10.728 jiwa/km2.
Salah satu Kecamatan pada wilayah Kota Tangerang adalah Kecamatan
Cipondoh. Kecamatan Cipondoh berbatasan dengan Kecamatan Batuceper dan
Kalideres di sebelah utara, Kecamatan Pinang dan Karangtengah di sebelah
selatan, Kecamatan Cengkareng di sebelah Timur, dan Kecamatan Tangerang di
sebelah barat. Kecamatan Cipondoh memiliki luas 18,52 km2, dengan kepadatan
penduduk sekitar 6.646 jiwa/km2. Kecamatan Cipondoh terdiri dari 10 Kelurahan,
diantaranya adalah Kelurahan Cipondoh, Cipondoh Indah, Cipondoh Makmur,
Gondrong, Kenanga, Ketapang, Petir, Poris Plawad, Poris Plawad Indah, dan
Poris Plawad Utara.
Dengan mengacu pada PP No.22 tahun 2002 tentang Otonomi Daerah,
sistem pemerintahan telah mengalami perubahan kebijakan tata pemerintahan
diseluruh lini, baik dari tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten. Di era
desentralisasi, pemberian otonomi dimaksudkan untuk mempercepat proses
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Pemerintah Pusat memberikan
kewenangan kepada daerah untuk menentukan dan bertanggung jawab pada
pembangunan di daerahnya sendiri, termasuk di Daerah Kota Tangerang.
Peningkatan pelayanan kesehatan merupakan salah satu prioritas
pembangunan daerah di Kota Tangerang dan sebagai fokus utama ditekankan
pada upaya-upaya khusus untuk meningkatkan Umur Harapan Hidup (UHH)
sebagai salah satu indikator dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Pembangunan kesehatan juga tidak terlepas dari komitmen Indonesia sebagai
warga masyarakat dunia untuk ikut merealisasikan tercapainya Sustainable
Development Goals (SDGs). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan
harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagipembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang
berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Kesehatan adalah hak
asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi untuk mencapai keberhasilan
pembangunan bangsa.
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran
serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Dengan kata lain Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas
pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya.
Mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014,
salah satu jenis Puskesmas adalah Puskesmas Non Rawat Inap, yang hanya
melakukan pelayanan kesehatan rawat jalan, yakni observasi, diagnosis,
pengobatan, dan atau pelayanan kesehatan lainnya tanpa dirawat inap kecuali
pertolongan persalinan normal.
1.2 Gambaran Umum Puskesmas Cipondoh

Puskesmas Cipondoh merupakan salah satu upaya pemerintahan


Kecamatan Cipondoh untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan oleh
pemerintahan Kota Tangerang. Puskesmas Cipondoh terletak di Jl. KH. Hasyim
Ashari No 1 RT 01 RW 01, Kelurahan Cipondoh, Kecamatan Cipondoh, Kota
Tangerang. Puskesmas Cipondoh bediri sejak Pemerintahan Kabupaten
Tangerang, lalu menjadi Kota Administratif dan mulai tanggal 28 Februari 1993
menjadi Pemerintahan Kota Tangerang.
Sebagai Unit Pelayanan Terpadu, Puskesmas Cipondoh memiliki Visi,
Misi, dan Tujuan sebagai pedoman pencapaian sasaran yang telah ditentukan.
Adapun Visi dari Puskesmas Cipondoh adalah “Puskesmas dengan Pelayanan
Terpadu dan Berkualitas Menuju Tangreang Sehat”, dengan harapan bahwa
Puskesmas Cipondoh dapat memberi pelayanan prima yang berorientasi kepada
pelanggan dan berbasis Pendekatan Keluarga, dengan ketersediaan sumber daya
yang lengkap, serta menjangkau seluruh lapisan masyarakat, agar masyarakat
Tangerang mendapatkan pelayanan prima.
Misi dari Puskesmas Cipondoh adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan Pelayanan Kesehatan Dasar
2. Memberdayakan peran serta masyarakat untuk hidup sehat secara
mendiri
3. Menggalang kemitraan dengan pihak swasta dan lintas sektoral
Dengan Tujuan sebagai berikut:
1. Terwujudnya pelayanan prima, yaitu cepat tepat dan akurat
2. Terwujudnya pelayanan yang memenuhi kaidah keselamatan
pasien (patient safety).
3. Terwujudnya perbaikan dan pengembangan berkesinambungan.
4. Terwujudnya sumber daya manusia yang kompeten dan mampu
bersaing serta berorientasi kepada pelayanan pelanggan.
5. Terwujudnya hubungan kerja yang harmonis antara atasan dan
bawahan, serta sebaliknya dan sesama karyawan.
Gambar 1. Puskesmas Cipondoh (tahun 2013)
Puskesmas Cipondoh terletak di sentral pusat masyarakat Kota Tangerang
wilayah Timur. Lokasi ini sangat strategis dan mudah dijangkau karena berada di
sebelah Timur kota Tangerang. Kecamatan Cipondoh memiliki 10 Kelurahan dan
dari ke 10 kelurahan tersebut wilayah kerja puskesmas Cipondoh meliputi 3
kelurahan yaitu Cipondoh, Cipondoh Makmur dan Kenanga. Setiap kelurahan
merupakan dataran rendah yang terdiri dari tanah darat dengan luas 544 Ha.
Topografi wilayah UPT Puskesmas Cipondoh sebagian besar merupakan
dataran rendah yang terbentang dari selatan ke utara. Wilayah UPT Puskesmas
Cipondoh secara umum beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin musim.
Sebagai daerah tropis, UPT Puskesmas Cipondoh memiliki musim kemarau dan
musim hujan yang diselingi oleh musim panca roba, dengan curah hujan berkisar
antara 1 – 437 mm. Curah hujan yang paling rendah terjadi pada Bulan September
yaitu sebesar 1 mm, sedangkan curah hujan yang paling tinggi terjadi pada Bulan
Januari sebesar 437 mm. Suhu maksimum berkisar antara 29,90C – 33,90C dan
suhu minimum berkisar antara 22,70C – 25,60C. Temperatur tertinggi terjadi di
Bulan Desember dan terendah terjadi pada Bulan September dengan kelembaban
udara berkisar antara 73 hingga 82 persen.
Gambar 2. Wilayah kerja Puskesmas Cipondoh
Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Cipondoh tahun 2018 adalah
72.224 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 34.275 jiwa dan penduduk perempuan
33.479 jiwa. Kelurahan Cipondoh Makmur memiliki penduduk terbanyak sebesar:
30.864 jiwa, sedangkan Kelurahan Kenanga memiliki penduduk paling sedikit,
yaitu 14.605 jiwa. Jumlah penduduk dan luas wilayah kerja masing-masing
kelurahan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Cipondoh sebagaimana terlihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel 1. Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Cipondoh Tahun
2018
LUAS JUMLAH JML PENDUDUK
JML
No KELURAHAN WIL/
RW RT LK PR JML KK
Ha
1 Cipondoh 239 12 66 13.346 13.318 26.755 7.050
Cipondoh
2 148 12 83 15.526 15.338 30.864 8.864
Makmur
3 Kenanga 157 6 35 7.399 7.206 14.605 3.683
Jumlah 544 30 184 34.275 33.479 72.224 19.597

Sumber daya UPT Puskesmas Cipondoh dapat dijabarkan dengan tabel di


bawah ini:

Tabel 2. Rekapitulasi Sumber Daya UPT Puskesmas Cipondoh


STATUS TENAGA
NO. JENIS
PNS THL JUMLAH
1. Dokter Umum 3 0 3
2. Dokter Gigi 1 1 2
3. Pelaksana Keperawatan
SPK 2 0 1
D3 Keperawatan 4 4 8
4. Pelaksana Kebidanan
D3 Kebidanan 7 6 13
5. Pelaksana Farmasi
S1 Farmasi Apoteker 2 1 3
6. Administrasi
S1 Non Kesehatan 0 1 1
SMA/SMK 0 18 18
SMP 0 2 2
7. Analis Kesehatan
D3 Analis Kesehatan 1 1 2
8. Pelaksana Gizi
D3 Gizi 2 0 2
10. Pelaksana Kesling
AKL 1 0 1
12. Promosi Kesehatan
S1 Kesehatan Masyarakat 1 0 1
13. Pekarya Kesehatan
SPPU 1 0 1
JUMLAH 25 35 60

Jenis pelayanan kesehatan primer yang dilaksanakan di Puskesmas


Cipondoh meliputi poli umum, poli gigi, poli anak, poli Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), poli KB, poli paru TB, poli gizi dan Unit Gawat Darurat. Terdapat pula
poli khusus penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti hipertensi
dan diabetes mellitus.
Selain pelayanan di dalam gedung, Puskesmas Cipondoh juga melakukan
pelayanan di luar gedung, yaitu berupa Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM),
dengan fokus kerja berupa berkoordinasi dengan Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu), Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu), dan pembinaan-pembinaan
dengan sasaran bervariasi sesuai kebutuhan, dari masyarakat awam, anak sekolah,
hingga kader posyandu atau posbindu terkait.
Adapun kegiatan pokok yang dijalankan oleh Puskesmas Cipondoh adalah
sebagai berikut:
1. Upaya Kesehatan Wajib Puskesmas, meliputi :
a. Promosi Kesehatan Masyarakat
b. Kesehatan Lingkungan
c. Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana
d. Perbaikan Gizi Masyarakat
e. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Tidak Menular
dan Penyakit Menular serta Pengobatan
2. Upaya Kesehatan Pengembangan Puskesmas :
a. Upaya Kesehatan Sekolah
b. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
c. Upaya Kesehatan Jiwa
d. Kesehatan Usia Lanjut
e. Kesehatan dan Gizi Balita
Tabel 3. Daftar 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Cipondoh Tahun 2018

No. Nama Penyakit Jumlah


Penyakit

1. Essential (primary) hypertension 5939

2. Acute upper respiratory infection, unspecified 5167

3. Supervision of other normal pregnancy 2302

4. Dyspepsia 1899

5. Myalgia 1864

6. Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infectious


1013
origin

7. Influenza with other respiratory manifestations, virus not


958
identified

8. Non-insulin-dependent diabetes mellitus 861

9. Acute pharyngitis, unspecified 843

10. Necrosis of pulp


719

1.3 Latar Belakang


Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih dari 90 mmHg pada
dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat atau tenang. Hipertensi sering disebut sebagai silent killer
karena gejala yang ditimbulkan sangat bervariasi pada masing-masing
individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejala
yang dapat timbul adalah sakit kepala atau rasa berat di tengkuk, pusing
berputar atau vertigo, jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan
kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan. Hipertensi juga sering
menyebabkan komplikasi pada organ lain seperti otak, jantung, dan ginjal
apabila tidak terkontrol dengan baik dan berlangsung dalam jangka waktu
yang lama.1

Prevalensi mortalitas dan morbiditas hipertensi itu sendiri cukup


besar. Hipertensi diperkirakan menyebabkan 7,5 juta kematian (sekitar
12,8% dari total kematian tahunan) dengan prevalensi secara global sekitar
40% di tahun 2008, pada usia 25 tahun dan keatas.2 Menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, total prevalensi hipertensi di Indonesia
sebesar 26,5% dengan tingkat terkontrolnya hipertensi sekitar 0,7%.
Hipertensi juga merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia pada
semua umur dengan proporsi kematian 6,8%.3

Kepatuhan, atau dalam bahasa inggris disebut adherence, berdasarkan


WHO didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku seseorang - minum obat,
mengikuti diet, dan/ atau menjalankan perubahan gaya hidup - sesuai
dengan rekomendasi yang disepakati dari penyedia layanan kesehatan.
Negara maju memiliki tingkat kepatuhan berkisar 50% terhadap terapi
jangka panjang pada populasi umum dan pada negara berkembang, tingkat
kepatuhan tersebut jauh lebih rendah. Kepatuhan adalah fenomena
multidimensi yang ditentukan dengan lima faktor atau dimensi, yaitu
faktor sosioekonomi dari pasien itu sendiri, faktor yang berhubungan
dengan sistem dan tim pelayanan kesehatan, faktor yang berhubungan
dengan kondisi pasien, faktor yang berhubungan dengan terapi yang
dijalani, dan faktor yang berhubungan dengan pasien itu sendiri.4

Kepatuhan berobat dalam pengobatan hipertensi sangat dibutuhkan.


Sekitar 75% pasien tidak mencapai tekanan darah terkontrol yang optimal.
Kepatuhan berobat yang rendah telah diidentifikasi sebagai penyebab
utama dalam tidak tercapainya pengontrolan tekanan darah, dimana
kepatuhan berobat yang baik memperbaiki tekanan darah dan mampu
menurunkan komplikasi dari hipertensi. Faktor-faktor yang mungkin
berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien hipertensi adalah faktor
demografik seperti usia dan edukasi, pemahaman dan persepsi mengenai
hipertensi, cara penyampaian pengobatan dari pemberi layanan kesehatan,
hubungan antara pasien dan ahli pelayanan kesehatan, pengaruh dari
sistem kesehatan, dan obat antihipertensi yang kompleks.4

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kepatuhan berobat


pasien hipertensi dan hubungannya dengan tingkat pengetahuan mengenai
penyakit hipertensi di Puskesmas Cipondoh. Penelitian ini diharapkan
dapat meningkatkan kepatuhan berobat pada pasien hipertensi, sehingga
meningkatkan angka terkontrolnya pasien hipertensi.

1.4 Rumusan Masalah


1. Prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 26,5%, dengan tingkat
hipertensi terkontrol pada masyarakat hanya sebesar 0,7% berdasarkan
data Riskesdas 2013.
2. Tingkat kepatuhan berobat pasien hipertensi di negara berkembang
kurang dari 50%.
3. Hipertensi merupakan satu dari sepuluh penyakit yang banyak
ditemukan di Puskesmas Cipondoh.

1.5 Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana tingkat pengetahuan mengenai penyakit hipertensi pada
pasien hipertensi yang berobat di Puskesmas Cipondoh?
2. Bagaimana tingkat kepatuhan pasien hipertensi yang berobat di
Puskesmas Cipondoh?
3. Adakah hubungan antara pengetahuan mengenai hipertensi dengan
kepatuhan pasien hipertensi yang berobat di Puskesmas Cipondoh?

1.6 Tujuan
Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai penyakit
hipertensi dengan kepatuhan berobat pada pasien hipertensi di Puskesmas
Cipondoh periode Juli-Agustus 2019.
1.7 Manfaat
1.7.1 Bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah menemukan hubungan antara
tingkat pengetahuan pasien mengenai hipertensi dan kepatuhan berobatnya, serta
memberikan perhatian lebih dalam edukasi bagi pasien dengan hipertensi.

1.7.2 Bagi Pasien


Manfaat penelitian ini bagi pasien adalah meningkatkan kepatuhan berobat
dan mencegah progresivitas penyakit hipertensi yang dapat menyebabkan
penurunan kualitas hidup pada pasien-pasien dalam lingkup Puskesmas Cipondoh.

1.7.3 Bagi Puskesmas


Manfaat penelitian ini bagi Puskesmas Cipondoh adalah hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam meningkatkan kepatuhan
berobat pasien hipertensi di Puskesmas Cipondoh.
1.8 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini merupakan analisis mengenai pengaruh
hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan berobat pasien hipertensi di
Puskesmas Cipondoh. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan data
primer dari kuesioner yang dilakukan terhadap pasien hipertensi yang berobat ke
Poliklinik Puskesmas Cipondoh pada 1 Juli – 1 Agustus 2019.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIPERTENSI
2.1.1 Definisi
Menurut Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure VIII, hipertensi adalah suatu keadaan
dimana tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 90
mmHg.5

Hipertensi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang


mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat
sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkanya.6

Hipertensi Menurut Profil Dinas Kesehatan Jawa Tengah tahun 2012 adalah
suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang memberi
gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga timbul kerusakan
lebih berat seperti stroke (terjadi pada otak dan berdampak tinggi pada
kematian), penyakit jantung koroner (terjadinya kerusakan pembuluh darah
jantung) serta penyempitan ventrikel kiri/ bilik kiri (otot jantng).7

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VIII pada pasien dewasa (usia ≥ 18
tahun) berdasarkan pengukuran tekanan darah rata-rata atau pada dua atau
lebih kunjungan klinis. Klasifikasi tekanan darah mencakup beberapa
kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120
mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mmHg. Berikut adalah tabel
yang menunjukkan klasifikasi hipertensi:
Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi

Pre-hipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit, tetapi


mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung
meningkat ke klasifikasi hipertensi di masa yang akan datang. Ada dua
tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi
obat, yaitu hipertensi tingkat pertama dan kedua.5

Selain itu dikenal juga istilah krisis hipertensi. Krisis hipertensi merupakan
suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi
yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ
target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah > 180/ 120 mmHg.5

Krisis hipertensi dikategorikan menjadi hipertensi emergensi dan hipertensi


urgensi. Pada hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai
dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif, sehingga
tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit – jam) untuk
mencegah kerusakan organ target lebih lanjut, sedangkan pada hipertensi
urgensi tidak ditemukan adanya kerusakan target organ tertentu sehingga
tekanan darah diturunkan secara bertahap.5

2.1.3 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dapat dikelompokan menjadi dua
golongan yaitu:
1. Hipertensi Esensial atau Primer terjadi pada lebih dari 90% - 95% pasien.
Hipertensi esensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui
secara pasti atau idiopatik. Beberapa mekanisme yang menjelaskan
terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum ada teori yang
menegaskan patogenesis hipertensi primer tersebut.

Mekanisme tersebut melibatkan beberapa sistem dalam pengaturan tekanan


darah. Sistem saraf adrenergik baik sentral maupun perifer, sistem
pengaturan ginjal, sistem pengaturan hormon dan pembuluh darah adalah
sistem-sistem yang mempengaruhi tekanan darah. Faktor-faktor yang
diketahui memiliki pengaruh antara lain adalah faktor-faktor lingkungan
seperti asupan natrium, obesitas, pekerjaan, asupan alkohol. Hipertensi
merupakan salah satu kelainan genetik kompleks yang paling umum
ditemukan dan diturunkan pada rata-rata 30% keturunannya. Namun, faktor
keturunan ini dipengaruhi oleh penyebab-penyebab yang multifaktorial
sehingga setiap kelainan genetik yang berbeda dapat memiliki manifestasi
hipertensi sebagai salah satu ekspresi fenotipnya.7

2. Hipertensi Renal atau Sekunder terjadi pada kurang dari 10% penderita
hipertensi dan disebabkan oleh gangguan hormonal, diabetes, ginjal,
penyakit pembuluh darah, penyakit jantung, atau disebabkan oleh obat-obat
tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus,
disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular
adalah penyebab sekunder yang paling sering.7

2.1.4 Diagnosis
Diagnosis yang akurat merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan
hipertensi. Di pelayanan kesehatan primer/ puskesmas, diagnosis hipertensi
ditegakkan oleh dokter, setelah mendapatkan peningkatan tekanan darah
dalam minimal dua kali pengukuran dengan jarak satu minggu. Diagnosis
hipertensi ditegakkan bila tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg, namun apabila
salah satu dari sistolik maupun diastolik meningkat, sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis hipertensi.8
2.1.5 Tanda dan Gejala
Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Ada
kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita
hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya, justru sebagian
besar penderita hipertensi tidak merasakan adanya gejala penyakit. Tidak
semua penderita hipertensi mengenali atau merasakan keluhan maupun
gejala, sehingga hipertensi sering dijuluki sebagai pembunuh dian-diam
(silent killer). Keluhan-keluhan yang sering dialami penderita hipertensi
antara lain: sakit kepala, gelisah, jantung berdebar-debar, pusing,
penglihatan kabur, rasa sakit di dada, mudah lelah, dan lain-lain.8

2.1.6 Komplikasi
Peningkatan tekanan darah sistemik menyebabkan jantung harus bekerja
lebih berat untuk mengkompensasinya. Pada awalnya, jantung akan
mengalami hipertrofi ventrikel yang konsentris, yaitu meningkatnya
ketebalan dinding otot jantung. Namun, pada akhirnya kemampuan
ventrikel ini akan semakin menurun, sehingga ruang ventrikel jantung akan
ikut membesar. Pembesaran jantung ini lama-kelamaan akan mengakibatkan
gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina pektoris juga dapat
terjadi pada penderita hipertensi yang disebabkan oleh kombinasi dari
kelainan pembuluh darah koroner dan peningkatan kebutuhan oksigen
sebagai akibat dari peningkatan massa jantung. Iskemia dan infark miokard
akan terjadi pada tahap lanjut dari perjalanan penyakit tersebut, yang dapat
mengakibatkan kematian.8

Efek neurologis jangka panjang dari hipertensi dapat dibagi menjadi efek
pada sistem saraf pusat dan efek pada retina. Oklusi atau perdarahan
merupakan penyebab dari timbulnya efek-efek neurologis ini. Infark
serebral merupakan akibat dari proses aterosklerosis (oklusi) yang sering
ditemukan pada pasien hipertensi. Sedangkan perdarahan serebral adalah
hasil dari peningkatan tekanan darah yang kronis sehingga mengakibatkan
terjadinya mikroaneurisma. Mikroaneurisma ini sewaktu-waktu dapat pecah
dan menimbulkan perdarahan.8

Sakit kepala yang sering terjadi di pagi hari, pusing, vertigo, tinnitus,
pingsan, dan penglihatan kabur merupakan gejala-gejala hipertensi yang
berasal dari efek neurologis. Efek neurologis paling ditakutkan terjadi pada
penderita hipertensi adalah kematian dan kebutaan.8

Aterosklerosis yang terjadi pada arteriol aferen, eferen, serta kapiler


glomerulus merupakan penyebab yang paling umum dari kelainan ginjal
oleh karena hipertensi. Akibatnya, terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus
dan juga disfungsi dari tubulus ginjal. Proteinuria dan hematuria
mikroskopis terjadi oleh karena kerusakan glomerulus. Kematian oleh
karena hipertensi, 10% di antaranya diakibatkan oleh gagal ginjal.8

2.1.7 Faktor Risiko


1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah, yaitu:
 Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya
umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar. Pada usia lanjut,
hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah
sistolik. Kejadian ini disebabkan oleh perubahan struktur pada
pembuluh darah besar.7
 Jenis Kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi. Pria
mempunyai risiko sekitar 2,3 kali lebih tinggi mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan perempuan,
karena pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung
meningkatkan tekanan darah. Namun setelah memasuki menopause,
prevalensi hipertensi pada perempuan meningkat.7
 Keturunan (Genetik) dimana riwayat keluarga yang menderita
hipertensi (faktor keturunan) juga meningkatkan risiko hipertensi,
terutama hipertensi primer (esensial). Faktor genetik juga berkaitan
dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel.7
2. Faktor risiko yang dapat diubah, yaitu:
 Kegemukan (obesitas), berat badan, dan indeks masa tubuh (IMT)
berkolerasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah
sistolik dimana risiko untuk menderita hipertensi pada orang-orang
gemuk 5 kali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan seorang
dengan berat badan normal. Sedangkan, pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20 - 30% memilki berat badan lebih (overweight).7
 Merokok. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk melalui aliran
darah dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi. Merokok akan
meningkatkan denyut jantung, sehingga kebutuhan oksigen otot-otot
jantung bertambah.7
 Kurang aktivitas fisik. Olahraga yang teratur dapat membantu
menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi
ringan. Dengan melakukan olahraga aerobik yang teratur tekanan
darah dapat turun, meskipun berat badan belum turun.
 Konsumsi garam berlebihan. Garam menyebabkan penumpukan
cairan dalam tubuh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak
dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume tekanan darah.7
 Dislipidemia atau kolesterol merupakan faktor penting dalam
terjadinya aterosklerosis, yang kemudian mengakibatkan
peningkatan tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah
meningkat.7
 Konsumsi alkohol berlebih diduga meningkatkan kadar kortisol,
volume sel darah merah, dan kekentalan darah yang berperan dalam
peningkatan tekanan darah.7
 Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, marah, dendam,
rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal
melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih
cepat serta kuat, sehingga tekanan darah meningkat.7
2.1.8 Terapi atau Tata Laksana
1. Terapi Non Farmakologis
Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan cara pengendalian faktor
risiko yaitu asupan gizi seimbang, menurunkan berat badan, mengurangi
asupan garam, meningkatkan aktivitas fisik/ olah raga, mengurangi
konsumsi alkohol, dan berhenti merokok. Modifikasi faktor risiko tersebut
dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.2 Modifikasi Gaya Hidup

Edukasi tentang cara minum obat di rumah, perbedaan antara obat-obatan


yang harus diminum untuk jangka panjang (misalnya untuk mengontrol
tekanan darah) dan jangka pendek untuk menghilangkan gejala (misalnya
untuk mengatasi mengi), cara kerja tiap-tiap obat serta dosis yang digunakan
untuk tiap obat dan berapa kali minum sehari sangat penting dalam
pengendalian hipertensi. Pemberian obat anti hipertensi merupakan
pengobatan jangka panjang. Kontrol pengobatan dilakukan setiap 2 minggu
atau 1 bulan untuk mengoptimalkan hasil pengobatan. Penjelasan penting
lainnya adalah tentang pentingnya menjaga kecukupan pasokan obat-obatan
dan minum obat teratur seperti yang disarankan meskipun tak ada gejala.
Individu dan keluarga perlu diinformasikan juga agar melakukan
pengukuran kadar gula darah, tekanan darah, dan periksa urin secara teratur.
Pemeriksaan komplikasi hipertensi dilakukan setiap 6 bulan atau minimal 1
tahun sekali.

2. Terapi Farmakologis
Menurut Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular dalam pedoman
teknis penemuan dan tatalaksana hipertensi 2006 mengemukakan beberapa
prinsip pemberian obat anti hipertensi sebagai berikut:
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan
penyebabnya.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya
komplikasi
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
anti hipertensi
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
pengobatan seumur hidup.
5. Jika tekanan darah terkontrol maka pemberian obat antihipertensi di
puskesmas dapat diberikan disaat kontrol dengan catatan obat yang
diberikan untuk pemakaian selama 30 hari bila tanpa keluhan baru.

Untuk penderita hipertensi yang baru didiagnosis (kujungan pertama) maka


disarankan untuk melakukan kontrol ulang sebanyak 4 kali dalam sebulan
atau seminggu sekali, apabila tekanan darah sistolik >160 mmHg atau
diastolik >100 mmHg sebaiknya diberikan terapi kombinasi setelah
kunjungan kedua (dalam dua minggu).

Beberapa jenis obat antihipertensi yang sering digunakan, yaitu:


 Diuretik terdiri dari 4 subkelas yang digunakan sebagai terapi hipertensi
yaitu tiazid, loop, penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Bila
dilakukan terapi kombinasi, diuretik menjadi salah satu terapi yang
direkomendasikan.
 Penghambat beta (Beta Blocker) memiliki kekanisme kerja dengan cara
menurunkan laju nadi dan daya pompa jantung. Obat golongan beta
blocker dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner, prevensi
terhadap serangan infark miokard ulangan, dan gagal jantung. Jenis obat
ini tidak dianjurkan pada penderita asma bronkial.
 Golongan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) dan
angiotensin receptor blocker (ARB). Penghambat angiotensin
converting enzyme (ACE inhibitor/ ACEI) menghambat kerja ACE
sehingga terjadi gangguan pada perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II (vasokontriktor). Sedangkan angiotensin receptor blocker
(ARB) menghalangi ikatan zat angiotensin II pada reseptornya. Baik
ACEI maupun ARB mempunyai efek vasodilatasi, sehingga dapat
meringankan beban jantung. ACEI dan ARB diindikasikan terutama
pada pasien hipertensi dengan gagal jantung, diabetes melitus, dan
penyakit ginjal kronik.
 Golongan Calcium Channel Blockers (CCB) menghambat masuknya
kalsium ke dalam sel pembuluh darah arteri, sehingga menyebabkan
dilatasi arteri koroner dan juga arteri perifer. Ada dua kelompok obat
CCB, yaitu dihidropiridin dan nondihidropiridin, keduanya efektif untuk
pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Secara keseluruhan, CCB
diindikasikan untuk pasien yang memiliki faktor risiko tinggi penyakit
koroner dan untuk pasien-pasien diabetes.
 Golongan antihipertensi lain, yaitu penggunaan penyekat reseptor alfa
perifer, obat-obatan yang bekerja sentral, dan obat golongan vasodilator
pada populasi lanjut usia sangat terbatas, karena efek samping yang
signifikan
Gambar 2.1 Algoritma Penanganan Hipertensi

Tabel 2.3 Rekomendasi untuk Follow Up


2.2 PENDIDIKAN
2.2.1 Definisi
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat, diselenggarakan dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pendidikan menuntut manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya,


sehingga dapat digunakan untuk mendapatkan informasi dengan tujuan
meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
maka akan semakin mudah seseorang untuk dapat menerima informasi,
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan menambah luas
pengetahuan. Pengetahuan yang baik akan berdampak pada penggunaan
komunikasi secara efektif.9

Menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


terdapat 3 tingkatan dalam proses pendidikan yaitu:
1. Tingkat pendidikan dasar yaitu tidak sekolah, pendidikan dasar (SD/ SMP/
Sederajat)
2. Tingkat pendidikan menengah yaitu SMA dan sederajat
3. Tingkat pendidikan tinggi yaitu perguruan tinggi atau akademi.

Penelitian menunjukan tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat


kepatuhan pasien hipertensi dalam menjalani pengobatan.

2.3 Perilaku dalam Kesehatan


2.3.1 Konsep Perilaku
Perilaku dalam pandangan biologi merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah
suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Perilaku dan gejala perilaku yang
tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan
lingkungan merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk
perilaku manusia.10

2.3.2 Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon individu terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, serta lingkungan. Adapun stimulus terdiri dari 4 unsur
pokok yaitu sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan.

Masalah kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor perilaku (behavior


cause) dan faktor non perilaku (non behaviour cause). Perilaku sendiri
ditentukan atau terbentuk oleh 3 faktor utama yaitu:
1. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor sebelum
terjadinya suatu perilaku, yang menjelaskan alasan dan motivasi untuk
berperilaku. Hal-hal yang termasuk dalam faktor predisposisi adalah
pengetahuan, keyakinan, nilai sikap, dan demografi (umur, jenis kelamin,
pekerjaan, pendidikan).10
2. Faktor-faktor Pendukung (enabling factors), agar terjadi perilaku tertentu,
diperlukan perilaku pemungkin, suatu motivasi yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana
kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi,
jamban, dan sebagainya.10
3. Faktor-faktor Pendorong (reinforcing factors), merupakan faktor perilaku
yang memberikan peran dominan bagi menetapnya suatu perilaku yaitu
keluarga, petugas kesehatan dan petugas lain yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.10

2.3.3 Perilaku Kepatuhan


A. Pengertian
Kepatuhan adalah sebagai perilaku untuk menaati saran-saran dokter
atau prosedur dari dokter tentang penggunaan obat, yang sebelumnya
didahului oleh proses konsultasi antara pasien (dan keluarga pasien
sebagai orang kunci dalam kehidupan pasien) dengan dokter sebagai
penyedia jasa medis. Kepatuhan terapi pada pasien hipertensi
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan mengingat hipertensi
merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikendalikan.11

Kepatuhan seorang pasien yang menderita hipertensi tidak hanya


dilihat berdasarkan kepatuhan dalam meminum obat antihipertensi
tetapi juga dilihat dari peran aktif pasien dan kesediaanya untuk
memeriksakan diri ke dokter sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
Keberhasilan dalam pengendalian tekanan darah tinggi merupakan
usaha bersama antara pasien dan dokter yang menanganinya.12

Dimatteo, Dinicola, Thorne dan Kyngas melakukan penelitian dan


mendiskusikan bahwa ada dua faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor
internal meliputi karakter si penderita seperti usia, sikap, nilai sosial,
dan emosi yang disebabkan oleh penyakit. Adapun faktor eksternal
yaitu dampak dari pendidikan kesehatan, interaksi penderita dengan
petugas kesehatan (hubungan diantara keduanya) dan tentunya
dukungan dari keluarga, petugas kesehatan dan teman.13

B. Pengukuran Tingkat Kepatuhan


Keberhasilan pengobatan pada pasien hipertensi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu peran aktif pasien dan kesediaanya untuk
memeriksakan ke dokter sesuai dengan jadwal yang ditentukan serta
kepatuhan dalam meminum obat antihipertensi. Kepatuhan pasien
dalam mengonsumsi obat dapat diukur menggunakan berbagai metode,
salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode MMAS-8
(Modifed Morisky Adherence Scale).
Morisky secara khusus membuat skala untuk mengukur kepatuhan
dalam mengkonsumsi obat dengan delapan item yang berisi
pernyataan-pernyataan yang menunjukan frekuensi kelupaan dalam
minum obat, kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan
dokter, kemampuan untuk mengendalikan dirinya untuk tetap minum
obat.14
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori

Faktor risiko yang Faktor risiko yang dapat diubahTingkat pengetahuan hipertensi

tidak dapat diubah

Obesitas Merokok
Usia Jenis kelamin Kurang aktivitas fisik
Genetik Konsumsi garam berlebihan Dislipidemia

Gangguan pada sistem saraf adrenergik, sistem pengaturan ginjal, sistem pengaturan
hormon dan pembuluh darah

Tingkat kepatuhan berobat


Hipertensi

Hipertrofi ventrikel Mikro aneurisma Disfungsi tubulus Retinopati hipertensif

Gagal Perdarahan Gagal ginjal Kebutaan


jantung intraserebral

Kematian
3.2 Kerangka Konsep
Tingkat pengetahuan hipertensi
Kepatuhan berobat

Faktor perancu:
- Usia
- Jenis kelamin
- Tingkat pendidikan

1.3 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Kategori

1. Hipertensi Suatu keadaan Pemeriksaan Sphygmo Hipertensi Numerik -


dimana tekanan tekanan darah m derajat 1 = Nominal
darah sistolik ≥ anoneter TDS 140-159
140 mmHg dan mmHg atau
tekanan TDD 90-99
diastolik ≥ 90 mmHg.
mmHg. Hipertensi
derajat 2 =
TDS ≥ 160
mmHg atau
TDD ≥ 100
mmHg.
(JNC VIII)

2. Tingkat Ketaatan Wawancara Kuesioner Kepatuhan Kategorik -


kepatuhan responden rendah (jika Ordinal
berobat dalam
skor < 6),
melakukan
pengobatan kepatuhan
hipertensi sesuai sedang (jika
dengan
skor antara 6-
ketentuan yang
diberikan oleh 7), dan
dokter, meliputi: kepatuhan
1.Rutin kontrol tinggi (jika
tekanan darah skor = 8).
ke dokter
(Morisky, D.
2.Kepatuhan
konsumsi obat & Munter, P,
Menggunakan 2009)
kuesioner
Morisky
Medication
Adherence Scale
yang terdiri dari
8 buah
pertanyaan
3. Tingkat Kemampuan Wawancara Kuesioner Rendah (jika Kategorik -
pengetahua responden untuk skor ≤ 5), Ordinal
n hipertensi menjawab 10
Tinggi jika
pertanyaan
kuesioner skor > 5.
dengan benar (Azwar, 2012)
seputar:
Pengertian,
tanda dan gejala,
penyebab, dan
penatalaksanaan

3.4 Hipotesis
Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai hipertensi dengan
kepatuhan berobat pasien hipertensi di Puskesmas Cipondoh.

3.5 Variabel
3.5.1 Variabel Dependen
Kepatuhan berobat.

3.5.2 Variabel Independen


Tingkat pengetahuan hipertensi
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Studi


Jenis penelitian yang kami lakukan adalah penelitian kuantitatif dengan desain
penelitian cross sectional atau studi potong lintang dimana penelitian ini
meliputi observasi yang dilakukan dalam satu waktu tertentu. Variabel yang
diamati adalah tingkat kepatuhan berobat dengan MMAS (Morisky
Medication Adherence Scale) dan tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan
berobat hipertensi.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Cipondoh yang terletak di Jl. KH.
Hasyim Ashari No.67, Cipondoh, Kec. Tangerang, Kota Tangerang, Banten
15148. Penelitian dilakukan di Balai Pengobatan (BP). Waktu penelitian
dilakukan mulai dari 1 Juli sampai 1 Agustus 2019.

4.3 Populasi Penelitian


Populasi pada penelitian ini adalah pasien hipertensi di Indonesia. Populasi
terjangkau pada penelitian ini adalah pasien hipertensi yang melakukan
pemeriksaan dan pengobatan pada tanggal 1 Juli sampai 1 Agustus 2019 di Balai
Pengobatan Puskesmas Cipondoh. Sampel penelitian adalah pasien-pasien yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


4.4.1 Kriteria Inklusi
Semua pasien yang telah terdiagnosis hipertensi.

4.4.2 Kriteria Eksklusi


1. Pasien yang tidak bersedia untuk mengikuti penelitian
2. Pasien penyandang penyakit lain yang dapat menyebabkan gangguan sensoris
3. Pasien yang sulit berkomunikasi.
4.5 Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini diambil dengan rumus analitik komparatif
kategorik tidak berpasangan sebagai berikut:

n = sampel
Zα = 5%, hipotesis dua arah sehingga deviat baku alfa = 1,96 dengan tingkat
kemaknaan 95%
Zβ = deviat baku dengan kekuatan uji penelitian (power) 80% = 0,842
Q=1-P
Q1 = 1 - P1
Q2 = 1 - P2
P = (P1 + P2)/ 2
P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P1= 13/ (13 + 7) = 0.65 Q1 = 0.35
P2 = 22/ (22 + 42) = 0.34 Q2 = 0.66
P = 0.495 Q = 0.505
P1 – P2 = 0.31
n= (1.96 (2 x 0.495 x 0.505) + 0.842 √(0.65 x 0.35) + (0.34 x 0.66 ))2
(0.65 - 0.34)2
n= (1.38 + 0.55)2
0.3 2
n= 41.3

Dari hasil perhitungan statistik maka jumlah sampel yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah 41 sampel.

4.6 Instrumen dan Cara Penelitian


Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan
melakukan wawancara secara langsung kepada responden. Dalam hal ini, peneliti
menggunakan kuesioner yang telah disusun sesuai dengan faktor-faktor yang akan
diteliti agar tujuan penelitian ini tercapai. Faktor-faktor tersebut meliputi tingkat
kepatuhan berobat dengan MMAS (Morisky Medication Adherence Scale) dan
tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan berobat hipertensi.

4.7 Alur Penelitian

persiapan penelitian

persetujuan puskesmas cipondoh untuk melakukan penelitian

identifikasi subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi

informed consent

bersedia untuk berpartisipasi

pengumpulan dan pengambilan sampel dengan metode konsekutif

melakukan wawancara langsung dengan menggunakan instrumen kuesioner

hasil dicatat dalam kuesioner lalu diklasifikasikan sesuai kategori dan dicatat dalam tabel
analisis data penelitian

Cara Kerja Penelitian:


1. Persiapan Penelitian
Untuk tim peneliti, terdiri dari tim pengumpul data, tim pengolah data, dan
koordinator penelitian. Masing-masing anggota tim peneliti menandatangani
pernyataan untuk berpartisipasi pada penelitian ini. Setelah tim peneliti
terbentuk, maka tim peneliti akan meminta izin kepada Puskesmas Cipondoh
untuk melaksanakan penelitian ini.

2. Identifikasi Subjek Penelitian


Peneliti akan mencari subjek yaitu pasien hipertensi yang berdomisili di
wilayah kerja Puskesmas Cipondoh yang sedang melakukan pemeriksaan dan
pengobatan hipertensi. Kemudian, subjek akan dijelaskan mengenai penelitian
yang akan dilakukan dan diminta persetujuannya untuk mengisi data dan
dianamnesis. Apabila subjek tidak bersedia untuk mengisi data dan
dianamnesis, maka peserta dieksklusi dari potensi menjadi sampel penelitian.
Sedangkan, jika peserta tidak memenuhi kriteria eksklusi tersebut maka
peserta dijelaskan lebih lanjut mengenai penelitian yang akan dilakukan dan
diminta kesediaannya untuk mengikuti penelitian dengan menandatangani
lembar informed consent.

3. Informed Consent
Informed consent dilakukan oleh peneliti atau staf peneliti yang telah terlatih
di Puskesmas Cipondoh. Kesediaan untuk ikut serta dalam penelitian
didokumentasikan dengan menandatangani formulir persetujuan.

4. Pencatatan data dan pengisian kuesioner


Dilakukan pencatatan data subjek penelitian yaitu nama, usia, alamat, status
pekerjaan, dan tingkat pendidikan terakhir pasien. Setelah itu dilakukan
pengisian kuesioner yang disusun oleh peneliti. Kuesioner tersebut terdiri atas
18 pertanyaan mengenai kepatuhan berobat dengan MMAS (Morisky
Medication Adherence Scale) dan tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan
obat hipertensi. Data yang didapatkan dari kuesioner ini akan dicatat secara
manual lalu akan diserahkan kepada tim pengolah data yang akan
memasukkan data ke dalam sistem komputer dengan menggunakan software
Microsoft Excel dan SPSS versi 24.0.

5. Pembagian Kelompok
Setelah peserta menandatangani informed consent dan menjalani seluruh
rangkaian wawancara dengan lengkap dan benar maka peneliti akan
memproses data tersebut. Data yang akan benar-benar diproses merupakan
data yang dimasukkan ke dalam sistem komputer. Data yang diproses tersebut
sudah tidak lagi menyertakan nama responden.
6. Analisis Data
Setelah didapatkan data diri peserta dan hasil pengisian kuesioner maka semua
data dikumpulkan menjadi satu. Tugas ini merupakan tanggung jawab dari tim
pengolah data, setelah itu data akan dimasukkan ke dalam komputer untuk
dianalisis lebih lanjut.

Variabel yang diamati adalah tingkat kepatuhan berobat dengan MMAS


(Morisky Medication Adherence Scale) dan tingkat pengetahuan terhadap
kepatuhan berobat hipertensi. Masing-masing variabel akan dijabarkan dengan
nilai kategorik.

Untuk analisis data, digunakan tabel 2x2 yang ditunjukkan sebagai berikut:
Tingkat Pengetahuan Kepatuhan Obat

Rendah Sedang-Tinggi

Rendah a B

Tinggi c D

4.8 pengelolahan Data dan Uj statistik


Pengolahan data menggunakan aplikasi Microsoft Excel dan SPSS versi 24.0.
Data yang didapatkan akan dikumpulkan dan diproses, namun terlebih dahulu
dipastikan kelengkapan jawaban pada kuesioner yang diisi.

Variabel Kategori Hasil skor


Tingkat Pengetahuan Baik 6-10
Buruk 0-5
Kepatuhan Berobat Baik 5-8
Buruk 0-4
Tipe analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat, analisis
bivariat, dan analisis multivariat. Analisis univariat ini dilakukan untuk
mengetahui distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel,
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian, serta mengetahui
karakteristik dari para responden.

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara masing-masing


variabel independen dan variabel dependen, apabila ada hubungan yang
bermakna. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square dengan p
value < 0.05 yang berarti ada hubungan yang signifikan.

4.9 Etika
Pada penelitian ini, sebelum responden diwawancarai, peneliti akan
memberikan pengarahan tentang tujuan dan manfaat dari penelitian ini.
Responden pun akan menandatangani formulir informed consent yang
menyatakan bahwa responden setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian
dan beberapa hal yang perlu diketahui oleh responden terkait pelakasanaan
penelitian adalah:
 Identitas peserta akan dirahasiakan
 Penelitian akan mengambil data dari peserta melalui wawancara secara
langsung untuk memperoleh data usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan
terakhir, status pekerjaan, lama menderita hipertensi, tingkat pengetahuan
hipertensi, akses ke pelayanan kesehatan, dukungan keluarga, motivasi
berobat, peran tenaga kesehatan, serta kepatuhan berobat.
 Bila peneliti menugaskan stafnya untuk pengambilan data, peneliti akan
menjamin bahwa staf tersebut mengerti tentang etika penelitian terutama
tentang kerahasiaan.
 Penelitian ini aman dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan apapun.
Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau yang membuat responden
tidak nyaman, diharapkan agar responden segera melapor kepada peneliti.
 Segala bentuk hasil dari penelitian ini akan dimusnahkan menurut
peraturan yang berlaku setelah penelitian selesai.
4.10 Organisasi Penelitian
Peneliti
Dr. Bunga Gladis Citra Ayu
Pembimbing
dr. Rina Farida

4.11 Jadwal Penelitian


01/07/2019- 08/07/2019- 01/08/2019- Disesuaikan
08/07/2019 01/08/2019 17/08/2019
Penyusunan proposal X
Pengambilan data X X
Penyelesaian akhir X
Publikasi X

4.12 Anggaran Penelitian


Harga satuan Biaya
No. Komponen Satuan Jumlah
(Rp.) (Rp.)
Pembuatan makalah
1 eksemplar 15.000 3 45.000
penelitian
2 Alat tulis set 10.000 1 10.000
2 Fotokopi kuesioner lembar 250 100 25.000
Biaya tak terduga (10%) 25.000
Total (Rp.) 105.000

4.13 Penulisan dan Pelaporan Penelitian


Hasil penelitian ini akan diajukan untuk dipresentasikan kepada seluruh karyawan
terutama praktisi kesehatan di Puskesmas Cipondoh.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Cipondoh, dengan tujuan untuk


mengetahui statistik pasien-pasien yang menderita hipertensi. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Maret - April 2019 dengan waktu pengambilan sampel di
Puskesmas Cipondoh lebih kurang selama 1 (satu) bulan.

5.1 Karakteristik Responden


5.1 Karakteristik Demografik Pasien Hipertensi di Puskesmas Cipondoh
Dari hasil penelitian didapatkan gambaran karakteristik responden yang
berkunjung ke Puskesmas Cipondoh seperti pada tabel 5.1 dan 5.2. Berdasarkan
Jenis kelamin, sebagian besar jenis kelamin pasien adalah perempuan dengan
proporsi 43 dari 62 pasien (69.4%), dan laki-laki 19 dari 62 pasien (30.6%).
Apabila kita melihat dari usia, usia pasien dikelompokkan menjadi dua kelompok
yaitu kelompok usia < 60 tahun (Usia Menengah) dan kelompok usia > 60 tahun
(Usia Lanjut atau lansia), berdasarkan pembagian tersebut maka kelompok usia
menengah adalah 42 dari 62 pasien (67.7%) dan pada kelompok usia lanjut
terdapat 20 dari 62 pasien (32.3%). Tingkat pendidikan terakhir pasien cukup
bervariasi, dengan 24 pasien (38.7%) sekolah sampai SD, 22 pasien (35.5%)
tidak sekolah, 8 pasien (12.9%) sekolah sampai SMP/ MTS, dan 8 pasien (12.9%)
sekolah sampai SMA/ SMK. Tingkat pengetahuan tentang hipertensi pada pasien
di Puskesmas Cipondoh masih terbagi rata yakni 31 pasien (50%) memiliki
tingkat pengetahuan baik, dan 31 pasien (50%) memiliki tingkat pengetahuan
yang buruk. Kepatuhan berobat pada pasien juga terbagi cukup rata, dengan 32
pasien (51.6%) memiliki tingkat kepatuhan buruk dan 30 pasien (48.4%) memiliki
tingkat kepatuhan baik.
Tabel 5.1. Gambaran Karakteristik Sosio-Ekonomi Responden di Puskesmas
Cipondoh Bulan Juli - Agustus 2019
Variabel Frekuensi Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 19 30.6
Perempuan 43 69.4

Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 22 35.5
SD/Sederajat 24 38.7
SMP/Sederajat 8 12.9
SMA/Sederajat 8 12.9

Usia
<60 tahun 42 67.7
>60 tahun 20 32.3

Tingkat Pengetahuan
Baik 31 50
Buruk 31 50

Kepatuhan Berobat
Buruk 32 51.6
Baik 30 48.4
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Usia Responden di Puskesmas Cipondoh
Bulan Juli - Agustus 2019
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid 23.00 1 1.6 1.6 1.6
38.00 1 1.6 1.6 3.2
42.00 1 1.6 1.6 4.8
45.00 1 1.6 1.6 6.5
46.00 2 3.2 3.2 9.7
47.00 3 4.8 4.8 14.5
48.00 3 4.8 4.8 19.4
49.00 4 6.5 6.5 25.8
50.00 3 4.8 4.8 30.6
51.00 1 1.6 1.6 32.3
52.00 3 4.8 4.8 37.1
53.00 6 9.7 9.7 46.8
54.00 2 3.2 3.2 50.0
55.00 3 4.8 4.8 54.8
56.00 1 1.6 1.6 56.5
57.00 4 6.5 6.5 62.9
58.00 1 1.6 1.6 64.5
59.00 2 3.2 3.2 67.7
60.00 1 1.6 1.6 69.4
61.00 3 4.8 4.8 74.2
62.00 3 4.8 4.8 79.0
63.00 1 1.6 1.6 80.6
64.00 1 1.6 1.6 82.3
65.00 1 1.6 1.6 83.9
66.00 2 3.2 3.2 87.1
67.00 1 1.6 1.6 88.7
68.00 2 3.2 3.2 91.9
70.00 1 1.6 1.6 93.5
72.00 1 1.6 1.6 95.2
73.00 2 3.2 3.2 98.4
74.00 1 1.6 1.6 100.0
Total 62 100.0 100.0

5.2 Hubungan Faktor-faktor dengan Kepatuhan Berobat


a. Hubungan Jenis Kelamin dengan kepatuhan berobat
Dari hasil penelitian didapatkan hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan
berobat sesuai tabel 5.3. Sesuai hasil tabel didapatkan bahwa dari 30 pasien
dengan kepatuhan berobat baik, 10 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 20
pasien berjenis kelamin perempuan, sedangkan dari 32 pasien dengan
kepatuhan rendah didapatkan 9 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 23
pasien berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan uji pearson chi square
didapatkan bahwa hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan berobat
tidak signfikan dengan P Value: 0.657.
Distribusi frekuensi jenis kelamin menunjukkan bahwa sebagian kunjungan
pasien ke Balai Pengobatan Puskesmas Cipondoh adalah perempuan (69,4%)
dengan sisa 30,6% laki-laki. Jumlah populasi perempuan yang lebih banyak
pada sampel memungkinkan terjadinya bias, namun hasil analisis dengan
SPSS menunjukkan hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan berobat
tidak signifikan (P Value: 0.657), sehingga jenis kelamin pada penelitian ini
tidak menjadi faktor perancu.

Tabel 5.3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Berobat Responden


di Puskesmas Cipondoh Bulan Juli - Agustus 2019

Jenis Kepatuhan Kepatuhan Total


Kelamin Rendah Sedang-Tinggi
N % N % N %
Laki-laki 9 28,1% 10 33,3% 19 30,6%
Perempuan 23 71,9% 20 66,7% 43 69,4%
Total 32 100% 30 100% 62 100%

b. Hubungan Usia dengan kepatuhan berobat


Apabila mengacu kepada tabel 5.4, maka kita dapat melihat bahwa dari 30
pasien dengan kepatuhan berobat baik terdapat 17 pasien usia menengah, dan
13 pasien usia lanjut. Sedangkan dari 32 pasien dengan kepatuhan berobat
buruk didapatkan 25 pasien usia menengah dan 7 pasien usia lanjut.
Berdasarkan uji pearson chi square didapatkan bahwa hubungan antara usia
dengan kepatuhan berobat tidak signfikan dengan P Value: 0.071.
Distribusi frekuensi usia yang bervariasi dengan responden terbanyak
terdapat pada kelompok usia < 60 tahun (67,7%). Terdapat 32 Pasien pada
kelompok usia > 60 tahun. Usia pasien antar sampel bervariasi, dengan usia
termuda 23 tahun, dan usia tertua 74 tahun, dengan median usia 55 tahun. Hal
tersebut menunjukkan persebaran data yang merata antar usia pasien
sehingga, hasil penelitian dapat diaplikasikan untuk semua rentang usia
pasien baik usia tua, maupun usia muda. Pada usia tua ditakutkan dapat
menjadi bias karena pada lansia bisa terjadi demensia sehingga kepatuhan
berobat akan lebih rendah dibandingkan pada usia muda, namun hasil analisis
dengan SPSS menunjukkan hubungan antara usia dengan kepatuhan berobat
tidak signifikan (P Value: 0.071), sehingga usia pada penelitian ini juga tidak
menjadi faktor perancu.

Tabel 5.4. Hubungan Usia dengan Kepatuhan Berobat Responden di


Puskesmas Cipondoh Bulan Juli-Agustus 2019
Status Kepatuhan Kepatuhan Total
Usia Rendah Sedang-Tinggi
N % N % N %
Usia 25 78,1% 17 56,7% 42 67,7%
Menengah
Usia Tua 7 21,9% 13 43,3% 20 32,3%
Total 32 100% 30 100% 62 100%
c. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kepatuhan berobat
Sesuai tabel 5.5, maka kita dapat melihat bahwa dari 30 pasien dengan
kepatuhan berobat baik, terdapat 10 pasien yang tidak sekolah, 13 pasien
sekolah sampai tingkat SD, 2 pasien sekolah sampai tingkat SMP/MTS, dan 5
pasien sekolah sampai tingkat SMA/SMK. Sedangkan dari 32 pasien dengan
kepatuhan berobat buruk, terdapat 12 pasien yang tidak sekolah, 11 pasien
sekolah sampai tingkat SD, 6 pasien sekolah sampai tingkat SMP/MTS, dan 3
pasien sekolah sampai tingkat SMA/SMK. Berdasarkan uji pearson chi
square didapatkan bahwa hubungan antara pendidikan terakhir dengan
kepatuhan berobat tidak signfikan dengan P Value: 0.426.
Distribusi frekuensi tingkat pendidikan menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien yang datang berobat di Puskesmas Cipondoh memiliki tingkat
pendidikan dasar (38,7%) dan sebagian besar lainnya tidak bersekolah
(35,5%). Rendahnya tingkat pendidikan pada populasi sampel menunjukkan
potensi pentingnya melakukan penyuluhan pada pasien hipertensi. Tingkat
pendidikan rendah dapat dikaitkan dengan tingkat kepatuhan berobat yang
lebih rendah, namun hasil analisis dengan SPSS menunjukkan hubungan
antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan berobat tidak signifikan (P
Value: 0.456). Hal tersebut menunjukkan bahwa kepatuhan berobat tidak
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

Tabel 5.5. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kepatuhan Berobat


Responden di Puskesmas Cipondoh Bulan Juli-Agustus 2019
Pendidikan Kepatuhan Kepatuhan Total
Terakhir Rendah Sedang-Tinggi
N % N % N %
Tidak 12 37,5% 10 33,3% 22 35,5%
Sekolah
SD 11 34,4% 13 43,3% 24 38,7%
SMP/MTS 6 18,8% 2 6,7% 8 12,9%
SMA/SMK 3 9,4% 5 16,7% 8 12,9%
Total 32 100% 30 100% 62 100%
d. Hubungan Pengetahuan tentang Hipertensi dengan Kepatuhan
Berobat
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari 30 pasien pasien dengan
kepatuhan baik, sebagian besar pasien (22 pasien, 73.3%) memiliki tingkat
pengetahuan tinggi terhadap hipertensi dan 8 pasien (26.7%) memiliki tingkat
pengetahuan buruk. Di sisi lain, dari 32 pasien dengan tingkat kepatuhan
buruk, sebagian besar pasien (23 pasien, 71.9%) memiliki tingkat
pengetahuan buruk dengan sisa 9 pasien (28.1%) memiliki tingkat
pengetahuan tinggi. Berdasarkan uji pearson chi square didapatkan bahwa
hubungan antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan berobat signfikan
dengan P Value: 0.001, uji estimasi risiko mendapatkan odds rasio pada
tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan berobat adalah 7.028.
Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan menunjukkan bahwa dari 62 pasien
yang datang berobat di Puskesmas Cipondoh, tingkat pengetahuan masih
terbagi rata yakni 31 pasien (50%) memiliki tingkat pengetahuan baik, dan 31
pasien (50%) memiliki tingkat pengetahuan yang buruk. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masih cukup banyak pasien yang memiliki tingkat
pengetahuan yang buruk. Selain itu, hasil analisis dengan SPSS menunjukkan
hubungan antara tingkat pengetahuan tentang hipertensi dengan kepatuhan
berobat cukup signifikan (P Value: 0.001) dengan odds rasio 7.028, hal
tersebut menandakan pasien dengan tingkat pengetahuan yang baik 7 kali
lipat lebih tinggi kemungkinannya untuk patuh dalam berobat dibandingkan
pasien dengan tingkat pengetahuan yang buruk.

Tabel 5.6. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Berobat Responden di


Puskesmas Cipondoh Bulan Juli-Agustus 2019

Status Usia Kepatuhan Kepatuhan Total


Rendah Sedang-Tinggi
N % N % N %
Pengetahuan 25 71,9% 8 26,7% 31 50,0%
Rendah
Pengetahuan 9 28,1% 22 73,3% 31 50,0%
Tinggi
Total 32 100% 30 100% 62 100%

5.3 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini menggunakan kuesioner yang telah divalidasi untuk
menentukan prevalensi dan profil pasien dengan hipertensi di Puskesmas
Cipondoh, Tangerang. Pengambilan data dengan kuesioner memiliki banyak
kelemahan seperti kejujuran responden dan kemampuan responden untuk
fokus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Keterbatasan yang ada
adalah kita belum mengkaji faktor lain yang dapat mempengaruhi kepatuhan
berobat, seperti motivasi pasien itu sendiri, jarak pasien ke fasilitas kesehatan,
dan masalah teknis lainnya. Namun, berdasarkan penelitian ini saja kita dapat
melihat pentingnya memberikan pengetahuan mengenai hipertensi pada
pasien karena hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan pasien untuk
lebih patuh berobat.
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien Balai Pengobatan di
Puskesmas Cipondoh periode Juli-Agustus 2019 maka kesimpulan yang
didapatkan adalah:
 Gambaran karakteristik responden: sebagian besar responden berjenis
kelamin perempuan (69,4%), berpendidikan tamat SD/sederajat (38,7%),
kelompok usia menengah (< 60 tahun) (67,7%), memiliki tingkat
pendidikan baik dan buruk sama ratanya (50%), dan dengan kepatuhan
berobat buruk sedikit lebih tinggi (51,6%).
 Didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
dengan kepatuhan berobat hipertensi, dengan P value : 0,657
 Didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan
kepatuhan berobat hipertensi, dengan P value : 0,071
 Didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan
terakhir dengan kepatuhan berobat hipertensi, dengan P value : 0,426
 Didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan
dengan kepatuhan berobat hipertensi, dengan P value: 0,001

6.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan didalamnya. Untuk itu, penulis memberikan beberapa saran
sebagai bahan pertimbangan dalam penyempurnaan penelitian selanjutnya,
dengan bentuk saran teoritis dan saran praktis.
1. Saran teoritis
a. Dalam melakukan adaptasi terhadap alat ukur penelitian yang sudah ada
(baku dan tervalidasi), sebaiknya penelitian selanjutnya dapat
menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh responden.
b. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan alat ukur
yang lebih muktahir daripada penelitian ini.
2. Saran praktis
a. Pihak Pemerintah
Pemerintah melalui instansi-intansi terkait harus lebih gencar dalam
edukasi pentingnya kepatuhan berobat pada kasus hipertensi di
masyarakat luas.
b. Pihak Puskesmas
i. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan petugas dalam
menangani kasus hipertensi. Untuk jenjang pendidikan formal,
petugas dapat diberikan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikannya ke tahap yang lebih lanjut. Sedangkan untuk
pendidikan non formal, petugas dapat meningkatkan kemampuan
dan keterampilan melalui pelatihan, workshop, seminar, serta
magang di rumah sakit.
ii. Meningkatkan jumlah petugas kesehatan yang berkerja di
Puskesmas Cipondoh.
iii. Mengadakan suatu program khusus yang menekankan pentingnya
pengertian mengenai penyakit hipertensi dan pentingnya kepatuhan
berobat dalam menangani penyakit ini.
iv. Melakukan sosialisasi tentang pentingnya diagnosis awal penyakit
hipertensi dan pengaruh kepatuhan berobat pada ruang tunggu
pasien dapat dalam bentuk poster, slogan, dll.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Pusat Data dan


Informasi Kementerian Kesehatan RI: Hipertensi; 2014.
2. World Health Organization. Global Status Report on Noncommunicable
Diseases. World Health Organization; 2010.
3. Riskesdas. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI; 2013.
4. World Health Organization. Adherence to Long-Term Therapies Evidence for
Action; 2003.
5. Bell K, Twiggs J., Olin BR. Hypertensio: The Silent Killer: Update JNC-8.
Guideline Recommendations. Alabama Pharmacy Association: 2015: 1-8.
6. Puspita, E. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penderita
Hipertensi dalam Menjalani Pengobatan. Semarang: Universitas Negeri
Semarang; 2016.
7. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana
Penyakit Hipertensi, Jakarta: Direktorat pengendalian penyakit tidak menular.
2013.
8. Kotchen T. Hypertensive Vascular Disease. In Fauci, Braunwald, Kasper, et
th
al. Harrison Principles of Internal Medicine. 17 ed. US: McGrawHill. 2008.

9. Ekarini, D. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan Klien


Hipertensi dalam Menjalani Pengobatan di Puskesmas Gondangrejo
Karanganyar. 2011.
10. Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Jakarta: Rineka
Cipta, Jakarta. 2010
11. Noorfatmah Siti, 2012, Kepatuhan Pasien Yang Menderita Penyakit Kronis.
Diakses tanggal 16 Januari 2019 [http://fpsi.mercubuana-yogya.ac.id/wp-
content/uploads/2012/06/Noor-Kepatuhan...pdf]
12. Wawan, A, Dewi M. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Manusia, Nuha Medika, Yogyakarta. 2009.
13. Suwarso, W. Analisis faktor yang Berhubungan dengan Ketidakpatuhan
Pasien Penderita Hipertensi pasa Pasien Rawat Jalan di RSU H. Adam Malik,
Universitas Sumatera Utara, Medan. 2010.
14. Morisky, D. & Munter, P, 2009, New medication adherence scale versus
pharmacy fill rates in senior with hipertention, American Jurnal Of Managed
Care. 2009: 15(1): 59-66

Anda mungkin juga menyukai