Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Hukum dan jenis-jenisnya

Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politicon, yang berarti bahwa


manusia dalam hidupnya membutuhkan manusia lain. Sebagai mahkluk sosial, manusia
tidak mampu hidup sendiri, sehingga agar dapat bertahan hidup, manusia membutuhkan
manusia lainnya. Selain itu Tuhan menganugerahi kelebihan dan sekaligus kekurangan
pada setiap manusia, agar manusia dapat hidup dengan saling melengkapi satu sama lain.
Untuk menjaga agar kehidupan manusia tetap harmonis, maka diperlukan
aturan-aturan, yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Aturan-aturan ini harus dipatuhi
bersama, sehingga jika ada manusia yang melanggar, maka ia dapat diberi sanksi 1. Dan
yang berwenang memberi sanksi bukanlah sesama manusia juga, melainkan pihak lain
yang dipercaya dan diangkat oleh manusia, yaitu Negara atau pemerintah.
Aturan dimaksud disebut dengan hukum, yang dalam perkembangannya harus
dibedakan pengertiannya dari “norma.” “Hukum” dan “norma” adalah dua istilah yang
berbeda, dimana “hukum” merupakan aturan yang harus dipatuhi dan jika tidak dipatuhi
si pelanggar akan mendapatkan sanksi, sedangkan “norma” tidak harus dipatuhi, dan si
pelanggar juga tidak akan mendapatkan sanksi dari siapapun. Selain itu “norma” juga
memiliki arti dan makna yang belum tentu sama pada setiap Negara, daerah, bahkan pada
setiap manusia, sehingga perumusan sanksi bagi “norma” juga tidak dapat berjalan.
Untuk lebih mendalami makna “hukum” maka perlu dibahas mengenai
pengertian “hukum” dan jenis-jenis hukum. Yang dimaksud dengan “hukum” adalah
aturan-aturan yang dibuat oleh manusia dan harus dipatuhi oleh manusia tersebut dengan
tujuan mewujudkan kehidupan yang aman, teratur dan sejahtera.
Sedangkan pembagian jenis-jenis hukum dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu :
1. Dari segi pembagian klasik :
a. Hukum Publik, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum
antara manusia dengan negaranya yang menyangkut kepentingan umum.
Jadi hukum publik memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
1) Mengatur hubungan hukum antara manusia dengan Negara ;
2) Berkaitan dengan kepentingan umum ;
3) Adanya campur tangan Negara, berupa pemberian sanksi ;
4) Kedudukan antara manusia dengan Negara tidak sejajar, dimana Negara
berada pada posisi yang lebih tinggi dan manusia berada pada posisi yang
lebih rendah.
Contoh Hukum Publik adalah : Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, Hukum Lingkungan dan sebagainya.
b. Hukum Privat, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara
manusia secara perorangan dan menyangkut kepentingan pribadi.
Jadi ciri-ciri Hukum Privat adalah :
1) Mengatur hubungan hukum antara manusia sesamanya ;
2) Berkaitan dengan kepentingan pribadi ;
3) Tidak adanya campur tangan Negara ;

1
Tidak semua hukum memiliki sanksi, karena hukum yang memiliki sanksi adalah hukum yang termasuk
dalam ranah hukum publik, contohnya hukum pidana. Sedangkan hukum yang berada dalam ranah hukum privat
tidak mengenal sanksi.

1
4) Tidak adanya sanksi ;
5) Kedudukan antara manusia (pihak-pihak)adalah sejajar, tidak ada yang lebih
tinggi, dan tidak ada yang lebih rendah.

Contoh Hukum Privat adalah Hukum Perdata.Namun dalam perkembangannya


saat ini, Hukum publik dan hukum privat tidak lagi memiliki perbedaan yang
nyata, karena ada beberapa bagian hukum privat yang telah dimasuki oleh unsur
hukum publik, seperti Hukum Agraria, Hukum Ekonomi, dan hukum Perkawinan.
Unsur publik yang terdapat pada Hukum privat tersebut adalah masuknya campur
tangan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul, seperti pada
kasus sengketa kepemilikan tanah, maka pemerintah menetapkan setiap jengkal
tanah harus didaftar dan disertifikatkan. Begitu pula dalam Hukum Ekonomi,
dimana semua kebijakan ekonomi diatur oleh Negara, mulai dari harga barang-
barang kebutuhan pokok, sampai kepada tariff angkutan. Demikian pula dalam
hukum perkawinan yang semula adalah murni berada dalam ranah hukum privat.
Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, seperti suami berpoligami,
terjadinya nikah siri dan sebagainya maka pemerintah memandang perlu untuk
ikut campur tangan dengan adanya wacana pembuatan peraturan baru bahwa
pelaku-pelakunya akan dapat dikenai tuntutan pidana.

2. Dari segi waktu berlaku :


a. Ius Constitutum, yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku pada saat sekarang,
yaitu semua hukum positif yang sedang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata,
KUHAP, KUHD, Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan
Hidup, Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang
nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, dan sebagainya.
b. Ius Constituendum, yaitu aturan-aturan hukum yang berlaku di masa yang akan
datang, meliputi semua aturan hukum yang akan berlaku, seperti Rancangan
Undang-undang Hukum Pidana, dan semua aturan hukum lain yang rencananya
akan diberlakukan.
3. Dari segi wilayah berlaku :
a. Hukum Internasional, yaitu aturan-aturan hukum yang dibuat oleh Negara-negara
secara bersama-sama, untuk kepentingan bersama dan harus dipatuhi Negara-
negara.
Contoh : Konvensi Hukum Laut 1982, Deklarasi Stockholm 1972, Konvensi
Wina 1969 tentang perjanjian internasional, dan sebagainya.
b. Hukum Nasional, yaitu aturan-aturan hukum yang dibuat oleh suatu Negara dan
berlaku secara nasional bagi warga Negara dari Negara tersebut.
Contoh : Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
tanah, Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan
peraturan-
peraturan lainnya yang sedang berlaku secara nasional.
4. Dari segi wujud :
a. Hukum tertulis, yaitu aturan-aturan hukum yang dibuat dalam bentuk tertulis.
Contoh : Semua Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Konvensi, Deklarasi, dan sebagainya.
b. Hukum tidak tertulis, yaitu aturan-aturan hukum yang dibuat dalam bentuk tidak
tertulis.
Contoh : Hukum Adat, hukum Kebiasaan dan sebagainya.

2
5. Dari segi isi :
a. Lex Generalis, yaitu aturan-aturan hukum yang isinya mengatur tentang suatu
bidang hukum secara umum.
Contoh : KUHPerdata, KUHPidana, dan KUHD.
b. Lex Spesialis, yaitu aturan-aturan hukum yang isinya mengatur suatu bidang
hukum secara khusus.
Contoh : Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-
undang nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan hidup, Undang-undang nomor
5 tahun 2004 tentan Perikanan, dan sebagainya.
Dalam penerapannya, jika terjadi perbenturan antara Lex Generalis
dengan Lex
Spesialis, maka yang harus diberlakukan adalah Lex Spesialis, sesuai dengan
asas Lex
Spesialis derogate lex generalis (hukum yang khusus mengalahkan hukum yang
umum).
6. Dari segi sifat :
a. Hukum memaksa, yaitu aturan-aturan hukum yang mewajibkan pihak yang diatur
untuk mentaatinya, dan jika tidak ditaati, akan diberi sanksi sesuai yang diatur
oleh aturan tersebut.
Contoh : Hukum Pidana, Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang
Narkotika, Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan
sebagainya.
b. Hukum mengatur, yaitu aturan-aturan hukum yang tidak mewajibkan pihak yang
diatur untuk mentaatinya karena aturan tersebut hanya memberikan pengertian
dan syarat-syarat yang ditentukan, namun jika tidak ditaati, tidak ada sanksi yang
bisa diterapkan. Contoh : Hukum Perdata, Undang-undang nomor 5 tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria, Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan sebagainya.
7. Dari segi system:
a. Hukum Anglo Saxon, yaitu aturan-aturan hukum yang menggunakan system
Negara Inggris beserta jajahannya yang berdasarkan Hukum Kebiasaan (Common
Law), sehingga lebih mengutamakan kebenaran materil.
Contoh : system hukum pidana yang menggunakan juri yang diterapkan oleh
Inggris dan Negara-negara jajahannya.
b. Hukum Eropa Kontinental, yaitu aturan-aturan hukum yang menggunakan
system eropa daratan (seperti Perancis, Belanda, Jerman), yang berdasarkan
hukum tertulis, sehingga lebih mengutamakan kebenaran formil.
Contoh : system hukum pidana yang diterapkan di Belanda dan Indonesia yang
mengutamakan asas legalitas dan bukti-bukti formal.
8. Dari segi fungsi :
a. Hukum materil, yaitu aturan hukum yang mengatur dan memaksa sesuai dengan
apa yang sudah dirumuskan dalam Undang-undang atau peraturan lainnya yang
berlaku.
Contoh : Semua aturan yang mengandung ketentuan mengatur dan memaksa
beserta sanksi yang diaturnya, misalnya KUHPerdata, KUHPidana, KUHD, dan
Undang-undang atau peraturan lainnya.

3
b. Hukum formil, yaitu aturan hukum yang mengatur mengenai tata cara melakukan
persidangan, dan aturan yang berlaku di ruang sidang.
Contoh : KUHAP, HIR/Rbg, Hukum Perdata Internasional, dan sebagainya.

B. Pengertian dan Ruang lingkup Hukum Perdata


Berbicara mengenai pengertian Hukum Perdata, banyak ahli hukum perdata yang
menyumbangkan pemikirannya, seperti Prof. Subekti, Prof. Sri Soedewi Maschoen
Sofwan, Prof. Volmar, dan sebagainya. Berikut dibahas definisi yang diberikan oleh
masing-masing ahli tersebut.
1. Prof. Subekti :
Hukum Perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan
perseorangan.2
2. Prof. Volmar :
Hukum perdata adalah aturan-aturan yang memberikan pembatasan dan karena itu
memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam
perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan yang lain dari orang-
orang dalam suatu masyarakat, terutama tentang hubungan keluarga dan hubungan
lalu lintas.3
3. Prof. Sri Soedewi Maschoen Sofwan :
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga Negara
perseorangan yang satu dengan warg Negara perseorangan yang lain.4
4. Prof. Sudikno Mertkusumo :
Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak da kewajiban
perorangan yang satu terhadap yang lain dalam hubungan keluarga dan dalam
pergaulan masyarakat.5

Dari beberapa definisi mengenai Hukum Perdata yang dikemukakan oleh para ahli,
dapat diketahui bahwa Hukum Perdata mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :

1. Hukum yang mengatur kepentingan perorangan;


2. Hukum yang mengatur hubungan hukum antar manusia di dalam suatu masyarakat;
3. Hukum yang berlaku dalam hubungan keluarga;
4. Tidak mengenal adanya sanksi;
5. Tidak mengenal campur tangan pemerintah.

Dari definisi tersebut juga terlihat bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur
hubungan orang perorangan di dalam masyarakat, dimana hubungan tersebut dilakukan
demi kepentingan mereka sendiri dan tidak dicampuri oleh pihak lain.Oleh karena itu,
ruang lingkup Hukum Perdata adalah sebatas bidang-bidang yang diaturnya saja, yaitu
sebatas hubungan orang perorangan. Hubungan perorangan dapat tersebut diatur dalam
ketentuan-ketentuan Hukum Perdata, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.

Adapun ruang lingkup hukum perdata tersebut adalah :

1. Ruang lingkup Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu semua aturan hukum yang
termuat dalam BW (Burgerlijk Wetboek), yang di Indonesia dikenal dengan nama

2
Seperti dikutip dari Abdul Kadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia,
3
Ibid.
4
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, 1991, Hukum Perdata, Hukum Benda
5
Seperti dikutip dari Riduan Syahrani, 2004, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata

4
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata mengatur
mengenai segala sesuatu mengenai orang (buku I), mengenai benda dan hak-hak
kebendaan yang dimiliki orang (buku II), perjanjian antara perorangan (buku III), dan
pembuktian atau daluwarsa yang dipakai dalam sidang peradilan perdata (buku IV).
2. Ruang lingkup Hukum Perdata dalam arti luas, yaitu semua aturan hukum perdata
yang tidak hanya termuat dalam KUHPerdata, tetapi juga dalam Kitab Undang-undang
lainnya yaitu WvK (Wet Boek van Koophandel) yang di Indonesia dikenal dengan
nama Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Selain itu juga termasuk
Hukum Perdata dalam arti luas adalah semua Undang-undang yang mengatur
mengenai hubungan perorangan, seperti Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-undang nomor 5 thun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria,
Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah, dan
sebagainya. Juga termasuk ruang lingkup Hukum Perdata dalam arti luas adalah segala
aturan hukum mengenai perorangan yang diatur dalam Hukum Agama dan hukum
Adat, misalnya seperti Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, dan berbagai hukum Adat dari seluruh penjuru Indonesia.
Dengan jumlah aturan Hukum Perdata yang cukup banyak, maka dikenal
istilah Pluralisme Hukum dalam Hukum Perdata Indonesia. “Plural” berarti banyak
atau lebih dari satu, yang artinya ada lebih dari satu hukum perdata yang berlaku.
Selain dari pada karena jumlah hukum perdata yang lebih dari satu, di zaman
penjajahan Belanda, rakyat atau warga atau penduduk (dahulu disebut “Kawula”) juga
terdiri atas beberapa tingkatan atau golongan penduduk.Untuk setiap golongan
penduduk, diberlakukan hukum perdata yang sesuai dengan golongannya.
Golongan penduduk tersebut adalah :
1. Golongan Eropa, yaitu orang-orang kulit putih yang berasal dari Eropa atau yang
dipersamakan dengan itu. Untuk mereka ini diberlakukan Hukum Perdata.
2. Golongan Timur Asing, yaitu orang-orang yang berasal dari Negara lain, namun
bukan dari Eropa atau yang dipersamakan dengan itu. Golongan Timur Asing
terbagi atas :
a. Orang-orang Cina, yang bagi mereka ini juga berlaku BW.
b. Orang-orang Non Cina, yaitu orang-orang yang berasal dari Negara lain selain
dari Cina, seperti India, dan Arab. Untuk mereka ini berlaku Hukum Adat
mereka masing-masing.
3. Golongan Bumiputra, yaitu orang-orang pribumi atau orang Indonesia asli, yang
bagi mereka diberlakukan Hukum Adat masing-masing, ditambah dengan hukum
Agama masing-masing.

Jadi pada zaman penjajahan Belanda, ada 3 (tiga) macam Hukum Perdata yang berlaku,
yaitu :

1. Hukum Perdata Barat (BW);

2. Hukum Perdata Agama;

3. Hukum Perdata Adat.

Setelah Indonesia merdeka, peraturan tentang golongan penduduk telah dihapuskan,


sehingga bagi semua warga Negara Indonesia berlaku KUHPerdata. Namun pada kenyataannya,
pluralisme hukum Perdata masih terjadi. Walaupun pemerintah Republik Indonesia tidak lagi
membagi penduduknya atas golongan-golongan karena semua adalah warga Negara Indonesia

5
dengan tidak memandang asal usul dan keturunannya, tetapi warga Negara Indonesia, terutama
Indonesia asli, masih menggunakan Hukum Agama dan Hukum Adatnya. Dalam bidang hukum
perkawinan dan pewarisan, warga Negara Indonesia tidak menggunakan ketentuan KUHPerdata,
melainkan tetap menggunakan ketentuan Hukum Agama dan Hukum Adat. Oleh karena itu, di
zaman kemerdekaan sekarangpun masih terjadi pluralisme hukum. Hukum Perdata sekarang ini
juga terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu KUHPerdata, Hukum Perdata Adat, dan Hukum Perdata
Agama.

Dengan demikian diketahui bahwa pluralisme hukum yang terjadi di zaman penjajaha
Belanda disebabkan karena Pemerintah Hindia Belanda membagi penduduk atas beberapa
golongan, dan Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan golongan masing-masing.
Di zaman kemerdekaan, pluralisme hukum terjadi karena sikap bangsa Indonesia yang tidak mau
melepaskan diri dan tetap mempertahankan hukum Agama dan hukum Adatnya. Hal ini
disebabkan karena bangsa Indonesia yang masih sangat menjunjung tinggi agama dan adat
beserta hukum-hukum yang mengaturnya.

C. Sumber-sumber Hukum Perdata


Dalam ilmu hukum, pada umumnya dikenal 2 macam sumber hukum, yaitu :
1. Sumber hukum formil, yaitu tempat dimana kekuatan hukum diperoleh. Hukum
memperoleh kekuatannya melalui bukti tertulis, yang artinya hukum tertulis mempunyai
kekuatan hukum yang pasti dan kuat. Oleh karena itu contoh dari sumber hukum formal
adalah semua ketentuan dan aturan yang tertulis.
2. Sumber hukum materil, yaitu tempat dimana materi dan substansi hukum diperoleh.
Hukum diambil dan dibuat dari tingkah laku dan pola hidup masyarakat, karena hukum
adalah produk dari masyarakat. Dengan demikian contoh hukum materil adalah pola
tingkah laku masyarakat, yang sering diwujudkan dalam bentuk kebiasaan, dan
digolongkan sebagai hukum tidak tertulis.

Jadi sumber hukum perdata ada 2 macam, yaitu :

1. Sumber hukum tertulis, yang terdiri dari :


a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata/BW);
b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD/WvK)
c. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yang
mencabut buku II KUHPerdata sepanjang mengenai hak atas tanah, kecuali
hipotek;
d. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
buku I KUHPerdata sepanjang mengenai Perkawinan tidak berlaku lagi;
e. Undang-undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah, yang
mencabut buku II KUHPerdata sepanjang mengenai Hipotek;
f. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
g. Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang
berisi mengenai Perkawinan, Pewarisan dan Perwakafan.
2. Sumber hukum tidak tertulis, yang terdiri dari Hukum Adat dan Kebiasaan.

6
D. Sejarah Hukum Perdata Indonesia

Hukum Perdata dan Pidana Indonesia yang berlaku saat ini (KUHPerdata, KUHP, dan
KUHD) merupakan hukum perdata yang berasal dari Belanda. Karena Belanda menjajah
Indonesia (selama sekitar 350 tahun), maka Belanda membawa berbagai hal ke Indonesia,
termasuk hukum. Belanda memperoleh hukum ini juga dari Negara yang menjajahnya yaitu
Perancis. Jadi ketika Perancis menjajah Belanda maka diberlakukanlah Hukum Perancis, maka
ketika Belanda menjajah Indonesia maka diberlakukanlah hukum Belanda. Pemberlakuan hukum
dari Negara yang menjajah kepada Negara yang dijajah disebut asas konkordansi.

Sejak tahun 50 SM, di Perancis sudah berlaku 2 macam hukum, yaitu hukum Perancis
kuno di Perancis Utara dan Hukum Romawi kuno di perancis Selatan. Kondisi ini berlangsung
selama berabad-abad, sampai lahirnya Kaisar terbesar Perancis yang jenius, Napoleon Bonparte,
yang memerintah di Perancis. Pada tahun 1804 Napoleon mengesahkan hukum yang dibuatnya
sendiri yang bernama Code Napoleon, atau Code Francais, yang terdiri dari 3 macam hukum,
yaitu :
1. Code Civil, yang kemudian dikenal dengan nama BW atau KUHPerdata;
2. Code Commerciale, yang kemudian dikenal dengan nama WvK atau KUHD;
3. Code Penal, yang kemudian dikenal dengan nama KUHAP.

Ketika Perancis menjajah Belanda, maka oleh Perancis, CodeNapolen juga diberlakukan
di Belanda dengan nama Konenklijk Besluit pada 10 April 1838, dan mulai berlaku pada 1
Oktober 1838. Kemudian Belanda membawa peraturan ini ke Indonesia (dahulu bernama Hindia
Belanda) pada 3 Desember 1847, dan diberlakukan pada 1 Mei 1848 melalui Pengumuman
Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, dan keesokan harinya,


18 Agustus 1945 pemerintah mengesahkan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, yang terdiri
dari Pembukaan sebanyak 4 alinea, Batang Tubuh (isi) sebanyak 37 pasal, Aturan Peralihan
sebanyak 2 pasal dan Aturan Penutup sebanyak 4 pasal. Pasal II Aturan Peralihan berbunyi :
“Segala ketentuan hukum yang berlaku sebelum kemerdekaan, sepanjang belum dibuat
penggantinya yang baru, maka tetap berlaku.”
Berdasarkan pada pasal II Aturan Peralihan6 ini maka semua Code Napoleon masih tetap
berlaku sampai saat sekarang, karena semua peraturan tersebut belum dibuat penggantinya 7.
Dengan demikian Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menjadi Dasar hukum
berlakunya KUHPerdata, KUHD, dan KUHP di Indonesia. Selain itu, KUHPerdata juga dipakai
di Indonesia karena alasan kebutuhan, dimana pemerintah membutuhkan KUHPerdata karena
Indonesia belum mampu menbuat yang baru, walaupun KUHPerdata, KUHD, dan KUHP telah
berumur ratusan tahun. Ironisnya, Belanda dan Perancis yang menjadi tempat asal kesemua
Undang-undang ini, tidak lagi memakainya, dan telah menggantinya dengan yang baru.

E. Sistematika KUHPerdata
6
Dengan dilakukannya amandemen pada UUD 1945, maka Pasal II Aturan peralihan digeser menjadi Pasal
I Aturan Peralihan.
7
Untuk KUHPidana, saat ini pemerintah Indonesia sedang membuat Rancangan KUHP, yang masih belum
selesai.

7
Menurut ilmu hukum materil, sistematika hukum Perdata terdiri dari :
1. Hukum tentang Orang/pribadi (Personnenrecht);
2. Hukum tentang Keluarga (Familierecht);
3. Hukum tentang harta kekayaan (Vermogenrecht);
4. Hukum tentang waris (Erfrecht)
Sedangkan menurut hukum formil (KUHPerdata), sistematikanya adalah :
1. Buku I tentang Orang (van Personnen);
2. Buku II tentang Benda (van Zaken);
3. Buku III tentang Perikatan (van verbintenissen);
4. Buku IV tentang Pembuktian dan daluwarsa (van Beweijs en verjaring).

8
BAB II
HUKUM PRIBADI/ORANG

A. Orang sebagai subjek Hukum Perdata

Kata “orang” berasal dari bahasa Latin Persona, bahasa Perancis personne dan bahasa
Belanda persoon. Namun kata orang atau persoon disini mengandung 2 pengertian, yaitu:
1. Orang dalam arti yang sebenarnya, yaitu manusia (Natuurlijk person);
2. Orang dalam artian hukum, atau yang disamakan dengan orang menurut hukum
(rechtpersoon), yaitu badan hukum yang mencakup di dalamnya Negara, organisasi,
perusahaan dan sebagainya.

Orang, baik dalam arti sebenarnya maupun dalam artian hukum adalah merupakan subjek
hukum Perdata.
Jadi yang dimaksud dengan Subjek Hukum menurut para ahli adalah :
1. Prof. Subekti : Subjek hukum adalah pembawa hak atau subjek dalam hukum, yaitu
orang.
2. Prof. Sudikno : Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan
kewajiban dari hukum.
3. Ridwan Syahrani : Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban.

Pengaturan tentang orang dalam artian sebenarnya (naturlijk persoon) diatur dalam Buku
I bab 1 sampai 18 pada pasal 1 sampai pasal 495 KUHPerdata. 8 Jadi hukum yang mengatur
tentang orang/persoon atau personenrecht adalah : Keseluruhan aturan/kaedah hukum yang
mengatur tentang subjek hukum beserta :
1. Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak perdata;
2. Tentang Akta Catatan Sipil;
3. Tentang Tempat tinggal atau domisili;
4. Tentang Wewenang/kewenangan,
5. Tentang Kecakapan.

Berikut akan dibahas satu persatu.

1. Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak Perdata :


Mengenai ketentuan menikmati dan kehilangan hak-hak perdata diatur dalam pasal 1 sampai
pasal 3. Pasal 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak menikmati hak-hak perdata tanpa
melihat kepada kewarganegaraannya. Artinya setiap orang mempunyai hak yang sama,
walaupun dia berada di Negara lain. Namun pelaksanaan mengenai hal ini tentu berpedoman
kepada ketentuan-ketentuan di setiap Negara.
Pasal 2 menyatakan bahwa anak yang berada dalam kandungan seorang perempuan,
dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Jika dia meninggal
sewaktu dilahirkan, maka dianggaplah dia tak pernah ada. Maksud dari pasal 2 ini adalah
bahwa setiap orang, walaupun masih berada dalam kandungan dianggap memiliki hak yang
sama dengan orang lain yang telah dilahirkan. Misalnya jika seorang bapak akan membagi
harta warisan untuk 3 orang anaknya, sementara anak ke 4 masih berada dalam kandungan,

8
Tugas : Bacalah buku I KUHPerdata dan buatlah sistematikanya beserta pasal-pasalnya!

9
maka si bapak harus membagi rata warisan untuk 4 orang anaknya, karena anak yang di
dalam kandungan dianggap sudah ada, kecuali jika dia meninggal sewaktu dilahirkan.
Sedangkan pasal 3 mengatur mengenai hak perdata seseorang, yang tidak akan hilang
walaupun dia dihukum. Artinya seseorang yang menjalani hukuman penjara masih memiliki
hak-haknya sebagai seorang warga Negara.

2. Tentang Akta Catatan Sipil :


Mengenai Akta Catatan Sipil diatur pada pasal 4 sampai 16 KUHPerdata. Menurut Lie Oen
Hock, Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran,
pencatatan serta pembukuan yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta member
kepastian hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa hukum, yaitu kelahiran, pengakuan
perkawinan, perceraian, pengakuan dan pengesahan anak, dan kematian.
Jadi ada beberapa hal yang dapat dilihat dari definisi tersebut, yaitu :
a. Tugas Lembaga Catatan Sipil adalah :
1) Mendaftarkan;
2) Mencatat;
3) Membukukan;
4) Memberi kepastian hukum; atas
b. Peristiwa hukum, yaitu :
1) Kelahiran;
2) Perkawinan;
3) Perceraian;
4) Pengakuan dan pengesahan anak
5) Kematian.

Adapun macam-macam Akta Catatan Sipil adalah :

a. Akta kelahiran, yang terbagi atas :


1) Akta kelahiran Umum, yaitu akta kelahiran yang dibuat dalam 60 hari kerja
setelah kelahiran;
2) Akta kelahiran Istimewa, yaitu akta kelahiran yang dibuat setelah 60 hari kerja
setelah kelahiran.
b. Akta Perkawinan, terutama bagi pengantin yang beragama selain dari Islam. Untuk
pengantin yang beragama Islam, fungsi Catatan Sipil dilaksanakan oleh KUA (Kantor
Urusan Agama) yang mengeluarkan Buku Nikah.
c. Akta Perceraian, sama seperti akta perkawinan, akta perceraian yang dikeluarkan oleh
Lembaga Catatan Sipil berlaku bagi perceraian pasangan suami istri yang bukan
beragama islam, dan sidang perceraiannya ddilakukan di Pengadilan Negeri dengan
menggunakan ketentuan KUHPerdata. Sementara bagi yang beragama Islam, akta
perceraian diberikan oleh KUA yang melaksanakan fungsi Catatan Sipil, dan
persidangan perceraian dilakukan di Pengadilan Agama dengan menggunakan
ketentuan Kompilasi Hukum Islam.
d. Akta pengakuan dan pengesahan anak, yang biasanya berlaku terhadap anak di luar
kawin, karena sesuai bunyi pasal 42 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, anak yang lahir di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
adalah anak sah. Jadi jika anak lahir diluar perkawinan maka dia termasuk anak tidak
sah. Pengakuan anak artinya pengakuan yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada
seorang anak, dan anak tersebut diakuinya sebagai anaknya, dengan tidak
memandang apakah anak tersebut anak biologisnya atau bukan, dan tidak

10
memandang apakah si laki-laki dan ibu si anak terikat perkawinan atau tidak.
Walaupun pengakuan anak tidak mempunyai akibat hukum, namun menurut pasal 5a
KUHPerdata, anak yang diakui dibolehkan menggunakan nama ayahnya. Sedangkan
pengesahan anak adalah pengesahan yang dilakukan oleh hakim terhadap seorang
anak, bahwa memang benar anak tersebut menjadi anak dari seorang laki-laki secara
sah. Pengesahan anak mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan si anak, yaitu
adanya hak dan kewajiban si bapak terhadap anaknya, dan sebaliknya. Namun jika
seorang anak tidak diakui dan tidak disahkan sebagai anak dari seorang laki-laki
maka anak tersebut hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya saja (pasal 43
ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).
e. Akta kematian, yaitu akta yang menerangkan kematian seseorang dan dibuat 10 hari
setrelah kematian. Dengan adanya akta kematian, maka hak seseorang sebagai subjek
hukum menjadi gugur.

Akta Catatan Sipil memiliki beberapa fungsi, yaitu :

1) Untuk menentukan status hukum seseorang;


2) Sebagai alat bukti di Pengadilan;
3) Untuk memastikan terjadinya peristiwa seperti yang tercantum dalam akta;
4) Untuk menertibkan administrasi kependudukan;
5) Sebagai data bagi perencanaanpembangunan;
6) Untuk mengawasi danmengendalikan kependudukan;

Dan Akta Catatan Sipil dari satu Negara juga berlaku di Negara lain, misalnya jika
seorang warga Negara Indonesia ingin melanjutkan pendidkan di Amerika Serikat,
maka dia harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, yang salah satunya
adalah akta kelahiran. Akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Lembaga Catatan Sipil
Indonesia dapat dipakai di Amerika Serikat.

3. Tentang tempat tinggal atau domisili :

Mengenai domisili diatur daam pasal 17 sampai 25 KUHPerdata. Definisi Domisili diberikan
oleh beberapa ahli, yaitu :

a. Prof. Sri Soedewi Maschoen Sofwan :


Domisili adalah tempa dimana seseorang selalu hadir dalam melakukan hak dan
kewajibannya.9

b. Prof. Volmar :
Domisii adalah tempat seseorang melakukan perbuatan hukum.10

Jadi tempat tinggal atau domisili seseorang adalah tempat dimana seseorang itu
melakukan perbuatan hukum, yang merupakan hak dan kewajibannya, yang terdiri
dari unsur-unsur :
1) Tempat tertentu, baik sementara maupun tetap;
2) Selalu hadir di tempat tersebut;
3) Melaksanakan hak dan kewajibannya di tempat tersebut;

9
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, op,cit, halaman
10
Ibid

11
Namun kelihatannya definisi ini masih bisa diperdebatkan, mengingat pada masa
sekarang ini kebanyakan orang bekerja di kota besar, namun bertempat tinggal di luar
kota atau di kota kecil. Orang-orang seperti ini diistilahkan sebagai orang yang
“nglaju,” yang berangkat pagi-pagi dari rumahnya, bekerja d kota sampai sore, lalu
kemudian pulang ke rumahnya setelah malam. Terhadap orang-orang seperti ini, yang
melakukan hak dan kewajibannya di kota ketika dia bekerja, lalu pulang ke rumahnya
hanya untuk beristirahat dan tidur, dimanakah domisili mereka yang sebenarnya?

Tempat tinggal atau domisili terdiri atas beberapa jenis, yaitu :


a. Domisili yang sesungguhnya, yang terbagi lagi atas :
1) Domisili sukarela (tidak terikat), yaitu tempat dimana seseorang bertempat
tinggal, namun mempunyai pilihan untuk berdomisili di tempat lain. Contoh :
A yang lahir dan besar di Medan memilih untuk bekerja di Jakarta. Maka
Jakarta adalah domisili A secara sukarela.
2) Domisili wajib (terikat), yaitu tempat dimana seseorang bertempat tinggal,
namun tidak memiliki pilihan untuk berdomisili di tempat lain. Contoh : A
yang lahir dan besar di Medan diangkat menjadi Pegawai Negeri sipil (PNS)
di Pematang SIantar. Maka Pematang Siantar menjadi domisili wajib bagi A.
Atau contoh lain, X yang lahir dan besar di Medan, menikah dengan seorang
laki-laki yang berdomisili dan bekerja di Surabaya. Maka X mengikuti
suaminya ke Surabaya, sehingga Surabaya adalah domisii wajib bagi X.
b. Domisili yang dipilih, terbagi atas :
1) Domisili yang ditentukan oleh Undang-undang, yaitu domisili atau tempat
dimana seseorang bertempat tinggal secara formal karena ditentukan oleh
hakim dalam suatu perkara di Pangadilan, walaupun sesungguhnya dia tidak
berdomisili disitu. Contoh : A dan B suami istri yang hendak bercerai karena
B sebagai suami telah pergi meninggalkan istrinya dan tidak diketahui dimana
tempat tinggalnya. Jika A mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan, maka
Hakin akan memanggil si suami di tempat tinggal yang diperkirakan oleh
hakim, walaupun sesungguhnya dia tidak berdomisili disitu.
2) Domisili yang dipilih dengan bebas, yaitu domisili yang betul-betuk dipilih
dengan bebas oleh si pelaku. Contoh : A lahir, besar dan bersekolah di
Medan, kemudian ingin bekerja di kota lain, misalnya Bandung, maka
Bandung adalah domisili yang dipilih, walaupun dia belum mendapat
pekerjaan di Bandung.

Manfaat dan pentingnya domisili adalah :

a. Untuk menentukan pengadilan yang berwenang mengadili;


b. Untuk kepentingan administrasi

4. Tentang Wewenang :
Wewenang adalah suatu hak atau kekuasaan yang dimiliki oleh setiap subjek hukum untuk
melakukan perbuatan hukum.
Setiap subjek hukum atau orang memiliki hak untuk melakukan perbuatan hukum, dan
semua subjek hukum atau orang memiliki wewenang/kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum. Kewenangan juga sering disebut dengan kewenangan berhak atau
kewenangan hukum atau kewenangan bertindak, yang artinya kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum. Kewenangan berhak dimiliki sejak subjek hukum masih berada dalam

12
kandungan ibunya (pasal 2 KUHPerdata) dan kemudian dilahirkan hidup. Namun
kewenangan berhak akan berakhir jika subjek hukum meninggal dunia (pasal 3
KUHPerdata).
Kewenangan berhak dapat dibatasi/tidak berlaku karena :
a. Tingkah laku, contoh seorang yang pemarah dan sedang emosi dilarang untuk
menandatangani perjanjian;
b. Jenis kelamin, contoh : lowongan pekerjaan yang hanya boleh diisi oleh orang
yangberjenis kelamin tertentu, misalnya pekerjaan pengeboran minyak lepas pantai hanya
dilakukan oleh laki laki;
c. Tiada di tempat, contoh : seorang murid yang tidak mendapat tugas karena tidak hadir;
d. Kewarganegaraan, contoh : seorang warga asing dilarang mengikuti Pemilu;
e. Jabatan, contoh : seorang pegawai dilarang mengikuti sayembara berhadiah
yangdilakukan perusahaan tempat dia bekerja.

5. Tentang Kecakapan :
Kecakapan adalah suatu kemampuan dari subjek hukum untuk melakukan perbuatan hukum.
Tidak semua subjek hukum memiliki kecakapan, walaupun semua subjek hukum memiliki
kewenangan. Kecakapan sering juga disebut dengan cakap berbuat, yang artinya cakap
berbuat hukum.
Untuk dapat disebut sebagai cakap, subjek hukum harus memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Dewasa/sudah menikah;
b. Sehat akal dan pikiran;
Jadi jika seorang subjek hukum sudah dewasa atau sudah menikah dan sehat akal
pikirannnya maka dia digolongkan sebagai orang cakap hukum, yang artinya dia dapat
melakukan perbuatan hukum. Namun jika dia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut,
melainkan termasuk diantara orang seperti diatur pasal 1330 KUHPerdata, yaitu :
1) Belum dewasa/belum menikah;
2) Berada di bawah pengampuan11 (karena dungu, idiot, gila, mata gelap, pemboros);
3) Istri (telah dicabut melalui Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 1963)12;
Orang-orang seperti bunyi pasal 1330 diatas digolongkan sebagai orang yang tidak
cakap hukum, dan tidak boleh melakukan perbuatan hukum, walaupun sesungguhnya
mereka adalah subjek hukum, yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum.
Jadi semua orang (naturlijk persoon dan recht persoon) adalah subjek hukum. Semua
subjek hukum memiliki kewenangan atau wewenang atau berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Namun tidak semua subjek hukum yang memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum itu adalah cakap hukum, karena ada subjek hukum yang
walaupun memiliki kewenangan tetapi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Jika subjek hukum yang tidak cakap berbuat melakukan perbuatan hukum maka
perbuatan tersebut :
1) Dapat dibatalkan, artinya perbuatan hukum dapat dibatalkan jika ada pihak-pihak
yang berkepentingan merasa keberatan dengan perbuatan hukum tersebut;
2) Batal demi hukum, artinya perbuatan hukum batal dan dianggap tidak pernah ada
karena undang-undang mengaturnya demikian.
11
Pengampuan berarti perlindungan, artinya orang-orang yang tidak sehat akal dan pikirannya, harus
dilindungi kepentingannya oleh orang yang menjadi pengampunya/pelindungnya.
12
Menurut pasal 1330 KUHPerdata, istri adalah orang yang tidak cakap hukum, sehigga jika akan
melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh suaminya. Namun ketentuan itu telah dicabut oleh SEMA nomor
3/1963 yang memberikan kedudukan yang sama antara istri dan suami di depan hukum.

13
Dengan demikian, hukum melarang seseorang yang tidak cakap hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, karena perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum. Namun demikian, hukum tetap memberikan jalan keluar bagi subjek hukum yang
wenang berhak namun tidak cakap hukum ini, yaitu dengan cara :

a. Perwalian, yang diatur dalam pasal 331 sampai pasal 418 KUHPerdata jo. Pasal 50
sampai 54 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Perwalian adalah pengawasan atas seorang anak yang tidak berada di bawah
pengawasan orang tuanya (pasal 50 Undang-undang nomor 1 tahun 1974).
Anak yang dapat dilindungi di bawah perwalian harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1) Berumur di bawah 18 tahun
2) Belum menikah;
3) Tidak berada di bawah kekuasaan orang tua;

Perwalian dilakukan dengan tujuan untuk menjaga si anak beserta harta bendanya,
karena biasanya anak yang berada di bawah perwalian memiliki sejumlah harta
karena :
1) Kedua orang tuanya telah meninggal dunia;
2) Kedua orang tuanya masih hidup tetapi tinggal atau bekerja di kota atau Negara
lain;
3) Salah satu orang tuanya masih hidup tetapi berada dalam kondisi tidak cakap
hukum (gila, idiot, sakit, dan sebagainya).

Perwalian dapat terjadi dan sah secara hukum apabila dilakukan dengan cara :
1) Ditunjuk oleh kedua orang tua atau salah satu orang tua sebelum mereka
meninggal (dengan surat wasiat atau lisan) atau sebelum bepergian ke kota atau
Negara lain untuk tinggal atau bekerja disana, dengan diketahui oleh 2 orang
saksi (pasal 51 ayat 1)
2) Ditunjuk oleh hakim/pengadilan apabila orang tua tidak menunjuk wali bagi si
anak.
Jadi agar seorang anak yang tidak mempunyai orang tua atau tidak tinggal
bersama orang tua, dan tergolong sebagi orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum, dapat melakukan perbuatan hukum melalui bantuan walinya,
dan perbuatan itu sah menurut hukum.

b. Pendewasaan atau pelunakan (handlinchting), yang diatur dalam pasal 419 sampai
432 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan pendewasaan adalah suatu cara untuk
meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum dewasa (21
tahun).
Pasal 330 KUHPerdata mengatur bahwa orang yang belum berumur 21 tahun
digolongkan sebagai belum dewasa , sehingga tidak cakap hukum. Namun orang
yang belum dewasa ini dapat menjadi cakap hukum sehingga boleh melakukan
perbuatan hukum dengan cara melakukan pendewasaan.
Cara-cara melakukan pendewasaan adalah :
1) Mengajukan permohonan kepada presiden dengan syarat sudah berumur 20 tahun
yang dibuktikan dengan akta kelahiran, (pasal 420 dan 421);
2) Melakukan pernikahan dengan seizin orang tua (pasal 330 jo. pasal 424);

14
3) Mengajukan permohonan ke pengadilan negeri dengan syarat sudah berumur 18
tahun, namun dengan izin orang tua (pasal 426);

Pendewasaan yang dilakukan pada nomor 1 dan 2 disebut sebagai pendewasaan


sempurna, yang membuat si anak menjadi dewasa penuh dan mempunyai kedudukan
yang sama dengan orang dewasa (pasal 424), sedangkan pendewasaan yang
dilakukan sesuai nomor 3 adalah pendewasaan yang disebut pendewasaan terbatas,
karena si anak hanya dianggap dewasa untuk perbuatan hukum tertentu saja (pasal
426), misalnya si anak dianggap sudah cukup dewasa untuk membuat SIM (Surat
Izin Mengemudi).

c. Pengampuan, (curatele) yang diatur dalam pasal 433 sampai pasal 458 KUHPerdata,
yang berbunyi : Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit
otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun kadang-kadang cakap
menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan
karena keborosannya (pasal 433).
Jadi, pengampuan adalah suatu lembaga yang dibuat oleh Hukum Perdata untuk
melindungi orang dewasa yang tidak mampu atau lebih sering tidak mampu
menggunakan pikirannya, sehingga mereka tergolong sebagai orang tidak cakap
hukum. Agar dapat melakukan perbuatan hukum mereka harus dibantu oleh
pengampunya. Jika orang yang diampu (curandus) melakukan perbuatan hukum,
maka akibat hukumnya adalah perbuatan tersebut dapat dibatalkan.
Pengampuan hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan, dimana hakim berwenang
menunjuk orang yang berhak menjadi pengampu (curator) dan orang yang dapat
diampu.
Orang-orang yang boleh mengajukan permohonan pengampuan :
1) Keluarga sedarah (pasal 434 ayat 1);
2) Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, dan keluarga semenda
garis menyamping (pasal 434 ayat 2);
3) Suami terhadap istri atau sebaliknya (pasa 434 ayat 3) ;
4) Diri sendiri (pasal 434 ayat 4);
5) Kejaksaan (pasal 435).

B. Badan Hukum
Aturan tentang Badan Hukum terdapat dalam Buku III KUHPerdata mengenai Perikatan,
khususnya pada pasal 1653 sampai dengan pasal 1665. Badan Hukum juga mempunyai
kedudukan yang sama dengan orang sebagai subjek hukum yang diberikan oleh hukum,
sehingga disebut sebagai Recht Persoon atau Legal Person.
Badan Hukum adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban menurut hukum,
dan dapat melakukan perbuatan hukum, sehingga dapat menggugat dan digugat di depan
Pengadilan.

Menurut KUHPerdata, Badan Hukum dipersamakan dengan Perkumpulan, yang dibentuk


melalui sebuah perjanjian, sehingga pengaturan tentang Badan Hukum ini dimasukkan ke dalam
Buku III. Sedangkan pengertian Badan Hukum, diberikan oleh beberapa ahli hukum, yaitu :
1. Prof. Wirjono Prodjodikoro :

15
Badan Hukum adalah suatu badan yang dapat bertindak dalam hukum, mempunyai hak dan
kewajiban dan kepentingan-kepentingan hukum lain terhadap orang lain atau badan lain.13
2. Prof. Sri Soedewi Maschoen Sofwan :
Badan Hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama mendirikan suatu badan
(perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu.14
3. Prof. Soemitro :
Badan Hukum adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta kekayaan, hak serta
kewajiban seperti orang-orang pribadi.15

Jadi dari beberapa definisi di atas dapat dilihat ada beberapa unsur yang harus dipenuhi
untuk dapat disebut sebagai Badan Hukum, yaitu :

1. Merupakan perkumpulan yang teratur;


2. Memiliki tujuan tertentu;
3. Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari milik pribadi;
4. Memiliki hak dan kewajiban;
5. Dapat melakukan perbuatan hukum (menggugat dan digugat).

Di Indonesia, aturan-aturan yang dipakai untuk mendirikan badan Hukum bersumber


dari :

1. KUHD;
2. Undang-undang Koperasi.

Jenis-jenis Badan Hukum ada beberapa macam :

1. Dilihat dari segi bentuknya, terbagi atas :


a. Badan Hukum Privat, yaitu badan hukum yang didirikan oleh perorangan secara pribadi
dengan tujuan memenuhi kepentingan pribadi. Contoh : PT (Perseroan Terbatas),
Yayasan, dan sebagainya.
b. Badan Hukum Publik, yaitu badan hukum yang didirikan oleh masyarakat secara
bersama-sama untuk kepentingan bersama pula. Contoh : Negara, Pemerintah daerah
(Propinsi, Kabupaten, Kota), Partai politik, Organisasi Masyarakat (Ormas), Lembaga
Swadaya masyarakat (LSM), Kementrian, dan Instansi-instansi lainnya.

2. Dilihat dari segi aturan pendirian, terbagi atas :


a. Badan Hukum Perdata Barat, yaitu badan Hukum yang didirikan berdasarkan aturan-
aturan yang berasal dari Hukum Perdata Barat, seperti KUHPerdata dan KUHD. Contoh :
PT, CV, Firma, Trust, dan sebagainya.
b. Badan hukum Perdata Adat, yaitu Badan hukum yang didirikan berdasarkan aturan
hukum Perdata Adat. Contoh : Koperasi, Bank Simpan Pinjam, Bank Perkreditan Rakyat
(BPR).

3. Dilihat dari segi sifat dan tujuannya, terdiri dari :


a. Badan hukum Ekonomi, yaitu Badan hukum yang didirikan dengan tujuan
mengumpulkan laba yang sebanyak-banyaknya (motif ekonomi). Contoh : Perusahaan.

13
Wirjono Prodjodikoro, …
14
Sri Doedewi Maschoen Sofwan, op. cit, halaman..
15
Soemitro, …

16
b. Badan hukum Politik, yaitu Badan Hukum yang didirikan untuk kepentingan politik.
Contoh : Partai politik, Ormas, dan lain-lain.
c. Badan hukum Sosial, yaitu badan hukum yang didirikan untuk kepentingan social, contoh
: Yayasan, LSM, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan lain-lain.
d. Badan hukum Agama, yaitu badan Hukum yang didirikan untuk kepentingan
kemaslahatan umat suatu agama. Contoh : MUI, NU, Muhammadiyah, Walubi, PGI, dan
sebagainya.
e. Badan hukum Profesi, yaitu badan hukum yang dibuat oleh orang-orang dengan profesi
tertentu dengan tujuan mengembangkan profesi tersebut. Contoh : INI (IKatan Notaris
Indonesia), IDI (Ikatan Dokter Indonesia), KAI (Kongres Advokat Indonesia), dan
sebagainya.
f. Badan hukum Kesukuan/kekeluargaan, yaitu badan hukum yang didirikan karena
persamaan suku atau adanya pertalian darah di antara anggotanya, demi kepentingan
sosial dan silaturahmi. Contoh : IKMM (IKatan Keluarga Masyarakat Minangkabau),
Organisasi marga-marga tertentu, dan sebagainya.

C. Soal-soal :
1. Apa yang dimaksud dengan subjek Hukum? Jelaskan pendapat Saudara!
2. Siapa saja subjek hukum itu? Jelaskan dengan lengkap!
3. Apakah semua orang dapat menjadi subjek hukum? Jelaskan!
4. Dimana diatur tentang subjek hukum? Jelaskan dengan lengkap!
5. Jelaskan maksud dari pasal 2 KUHPerdata!
6. Apa yang dimaksud dengan Catatan Sipil? Jelaskan dengan lengkap!
7. Apa saja jenis akte yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil? Jelaskan!
8. Jelaskan hubungan antara Catatan Sipil dengan KUA!
9. Bagaimana kedudukan seorang anak yang tidak diakui oleh ayahnya? Dimana hal ini
diatur? Jelaskan!
10. Apa yang dimaksud dengan domisili? Apa fungsinya dan dimana diatur? Jelaskan!
11. Apa yang dimaksud dengan domisili wajib? Jelaskan dan berikan contoh!
12. Apa yang dimaksud dengan cakap hukum? Jelaskan dengan contoh!
13. Jelaskan hubungan antara subjek hukum, kewenangan berhak, dan cakap hukum!
14. Apakah kewenangan berhak dapat dibatasi? Jelaskan dengan contoh!
15. Apa yang dimaksud dengan tidak cakap hukum? Siapa orang yang tidak cakap
hukum? Jelaskan!
16. Apa yang dimaksud dengan perwalian? Dimana diatur? Jelaskan dengan lengkap!
17. Apa yang dimaksud dengan pendewasaan? Dimana diatur? Jelaskan dengan contoh!
18. Apa yang dimaksud dengan pengampuan? Dimana diatur? Jelaskan dengan contoh!
19. Apa yang dimaksud dengan Badan Hukum? Dimana diatur? Jelaskan!
20. Jelaskan jenis-jenis Badan Hukum beserta contohnya!

17
BAB III

HUKUM KELUARGA (FAMILIERECHT)

A. Pengertian dan asas Hukum Keluarga


Pengertian Hukum keluarga menurut beberapa ahli adalah :
1. Ali Afandi :
Hukum Keluarga adalah keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang
berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.16
2. Tahir Mahmud :
Hukum Keluarga diartikan sebagai prinsip-prinsip hukum yang diterapkan berdasarkan
ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal umum yang menyangkut peraturan keluarga,
seperti kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan
sebagainya.17
3. Ensiklopedia Indonesia :
Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan
keluarga, yaitu peraturan kekuasaan orang tua, perwalian dan perkawinan.
4. Salim HS :
Hukum keluarga adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur hubungan hukum
mengenai perkawinan, perceraian, harta benda perkawinan, kekuasaan orang tua,
pengampuan dan perwalian.18

Peraturan mengenai hukum keluarga diambil dari bermacam sumber, yaitu :


a. Hukum tertulis, terdiri dari :
1) Buku I KUHPerdata,
2) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan;
3) Undang-undang nomor 32 tahun 1954 tentang Nikah, Talak, Rujuk;
4) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
nomor 1 tahun 1974;
5) Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 jo. Peraturan pemerintah nomor 45 tahun
1990 tentang Izin kawin/cerai bagi PNS;
6) Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

b. Hukum tidak tertulis, yaitu hukum Adat dan Kebiasaan.

Berdasarkan pada peraturan-peraturan tersebut, maka dapat dilihat ada beberapa asas
yang menjadi landasan hukum keluarga, yaitu :

1) Asas monogamy, yaitu asas yang mengatur bahwa seorang laki-laki hanya boleh
beristri satu, dan sebaliknya. Hal ini diatur dalam pasal 27 KUHPerdata, dan pasal
3 ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Namun perlu dijelaskan disini
bahwa asas monogamy yang dianut oleh KUHPerdata adalah asas monogamy
mutlak, sedangkan asas monogamy yang dianut Undang-undang nomor 1 tahun
1974 adalah monogamy bersyarat, yang syaratnya diatur dalam pasal 3 ayat 2,
pasal 4 dan 5) ;

16
Ali Afandi,…
17
seperti dkutip dari Ridwan Syahrani, op cit,
18
Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW),…

18
2) Asas konsensual, yaitu asas mengatur bahwa setiap perkawinan harus dilakukan
berdasarkan persetujuan pihak-pihak. Hal ini diatur dalam pasal 26 KUHPerdata
dan dalam pasal 6 ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Asas konsensual
juga berbeda maknanya antara ketentuan KUHPerdata dengan Undang-undang
nomor 1 tahun 1974, dimana menurut KUHPerdata konsensual diperlukan dalam
perkawinan karena perkawinan adalah sebuah perjanjian yang membutuhkan
kesepakatan/persetujuan pihak-pihak (sesuai pasal 1320 KOHPerdata).
Sedangkan konsensual dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974
menitiberatkan pada adanya kawin paksa ;
3) Asas Persatuan bulat, yaitu asas yang mengatur mengenai harta benda perkawinan
yang menjadi milik bersama jika diperoleh selama perkawinan, sepanjang pihak-
pihak tidak membuat perjanjian perkawinan19. Hal ini diatur dalam pasal 119
KUHPerdata, dan pasal 35 ayat 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974;
4) Asas Proporsional, yaitu asas yang mengatur hak dan kewajiban suami istri yang
sejajar dan sama menurut hukum. Hak dan kewajiban yang sama ini diatur dalam
pasal 31 Undang-undang nomor 1 tahun 1974. KUHPerdata tidak mengatur
mengenai hak dan kewajiban yang sama antara suami istri, karena menuru
KUHPerdata, seorang istri adalah orang yang tidak cakap hukum (lihat lagi pasal
1330 jo. Pasal 110 KUHPerdata);
5) Asas tidak dapat dibagi, yaitu asas yang mengatakan bahwa jika suami istri
menjadi wali dari anak-anak yang bersaudara, maka perwalian itu harus dilakukan
oleh satu orang saja. Hal ini diatur pada pasal 331 KUHPerdata, sedangkan
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tidak mengatur hal itu, hanya mengatur
perwalian secara umum.

B. Hubungan darah dan semenda


Ketentuan mengenai hubungan darah dan semenda diatur dalam pasal 290 sampai 297
KUHPerdata, namun tidak diatur alam Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Hubungan
darah berarti hubungan yang timbul berdasarkan keturunan. Menurut Prof. Subekti hubungan
darah atau Kekeluargaan sedarah adalah suatu pertalian keluarga dimana yang satu
merupakan keturunan yang lain atau mempunyai nenek moyang yang sama.
Menurut pasal 290 ayat 2 KUHPerdata, pertalian keluarga sedarah dihitung dengan jumlah
kelahiran, tiap kelahiran disebut dengan derajat. Setiap derajat dihubungkan dengan garis.
Garis keturunan ada 2 macam, yaitu :
1. Garis lurus, yaitu garis yang menghubungkan penderajatan, dimana yang satu merupakan
keturunan yang lain. Contoh : A seorang bapak, memiliki anak bernama B, dan B
memiliki anak bernama C. Maka garis yang menghubungkan A, B, dan C adalah garis
lurus. B adalah derajat ke 2, dan C adalah derajat ke 3 dari A,
2. Garis menyamping, yaitu garis yang menghubungkan penderajatan, dimana yang satu
bukan keturunan yang lain, namun mempunyai nenek yang sama. Contoh : A seorang
Bapak memiliki 2 anak, yaitu B dan C. lalu B memiliki anak yang bernama D, dan C
memiliki anak bernama E. Maka antara B dengan E, dan C dengan D adalah keturunan
garis menyamping. B dan C merupakan derajat ke2, dan D dan E merupakan derajat ke 3
dari A (diatur pasal 291).

Adanya hubungan darah mengakibatkan lahirnya hak dan kewajiban, yaitu :


19
Hal ini harus dipisahkan dari harta bawaan yang dikuasai masing-masing. Jika pihak-pihak mengadakan
perjanjian perkawinan (diatur dalam pasal 139 KUHPerdata dan pasal 29 Undang-undang nomor 1 tahun 1974),
maka harta perkawinan diatur berdasarkan kesepakatan di dalam perjanjian tersebut.

19
1. Hak dan kewajiban orang tua kepada anaknya, yang diatur dalam pasal 45, 47, 48 dan
49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebelumnya ketentuan
mengenai hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya juga diatur dalam pasal 298
sampai dengan pasal 329 KUHPerdata.
Kewajiban orang tua kepada anaknya adalah :
a. Wajib mendidik dan memelihara anak-anaknya sampai menikah, walaupun
perkawinan kedua orang tua tersebut putus (pasal 45);
b. Melakukan kekuasaan kepada anaknya sampai umur 18 tahun atau belum menikah
dalam hal melakukan perbuatan hukum (pasal 47);
c. Dilarang memindahkan hak barang-barang tetap milik anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum menikah, kecuali kepentingan si anak
menghendakinya (pasal 48);
d. Membiayai keperluan anaknya walaupun kekuasaan orang tuanya dicabut (pasal
49)20

Kewajiban orang tua terhadap anaknya merupakan hak anak terhadap orang tuanya.

Kewajiban anak kepada orang tua, terdiri dari :


a. Menghormati orang tua dan wajib mentaati kehendak mereka yang baik (pasal 46
ayat 1);
b. Memelihara orang tuanya sesuai kemampuannya, bila orang tuanya tidak mampu
lagi mencari nafkah (pasal 46 ayat 2). Kewajiban memelihara orang tua setelh anak
mampu ini disebut dengan alimentasi.

Kewajiban anak terhadap orang tua ini juga menjadi hak orang tua terhadap anak.

Selain hubungan darah, dikenal juga hubungan semenda. Hubungan semenda adalah
hubungan pertalian keluarga yang diakibatkan karena perlawinan. Hubungan semenda diatur
pasal 295 sampai 297 KUHPerdata, dan tidak diatur dalam Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan. Hubungan semenda terbentuk antara orang-orang yang melakukan
perkawinan dengan keluarga suami atau istrinya. Contoh : A menikah dengan B, maka C
yang orang tua dari A menjadi semenda dari B (mertua), begitu pula sebaliknya. Hubungan
semenda juga berlaku terhadap adik atau kakak ipar.

Akibat hukum dari hubungan darah dan semenda adalah :

1. Untuk menentukan pembagian warisan;


2. Untuk menentukan larangan menikah;
3. Untuk menentukan kewenangan pemberian nafkah;
4. Untuk bahan bukti di pengadilan.

C. Perkawinan

Pengaturan mengenai perkawinan diatur oleh Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
yang khusus berlaku bagi umat Islam, walaupun sesungguhnya KUHPerdata mengatur
megnenai perkawinan pada buku I pasal 26 sampai pasal 118. Namun karena telah keluarnya
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden nomor 1

20
Kekuasaan orang tua terhadap anaknya dapat dicabut oleh hakim jika orang tua tersebut melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya, atau berkelakuan bururk sekali (pasa 49 ayat 1)

20
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, maka dinyatakan buku I KUHPerdata
sepanjang mengenai perkawinan, tidak berlaku lagi.

1. Pengertian perkawinan
Ada beberapa pengertian perkawinan, yaitu :
a. Menurut Pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan :
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.
b. Pasal 26 KUHPerdata ;
Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungannya
perdata.
c. Menurut Ali Afandi :
Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan, maksudnya persetujuan yang
mempunyai cirri-ciri tertentu.21
d. Scholten :
Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara.22
e. K. Wantjik Saleh :
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri.23

Dari berbagai definisi di atas terlihat bahwa ada perbedaan pandangan antara Undang-
undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan para ahli hukum perdata Indonesia
di satu pihak, dengan KUHPerdata dan ahli hukum perdata Belanda di pihak lain.
Perbedaan tersebut menjadi salah satu penyebab kenapa buku I KUHPerdata sepanjang
mengenai perkawinan tidak berlaku lagi bagi bangsa Indonesia.

2. Syarat-syarat perkawinan
Untuk melaksanakan perkawinan, pasal 6 sampai 12 Undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan mengatur tentagn syarat-syarat perkawinan, yaitu :
a. Syarat intern, yaitu syarat yang harus dipenuhi dan menyangkut pihak-pihak
mempelai, yaitu :
1) Persetujuan kedua pihak (pasal 6 ayat 1;
2) Izin dari orang tua jika mempelai belum berumur 21 tahun (pasal 6 ayat 2);
3) Telah berumur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita (pasal 7 ayat 1);
4) Kedua pihak berstatus “tidak kawin” (pasal 9);
5) Bagi wanita janda, telah melewati masa idah (pasal 11);
6) Tidak ada larangan kawin karena hubungan darah atau semenda (pasal 8);
7) Tidak ada larangan kawin karena wanita adalah bekas istri yang telah 2 kali
diceraidan telah menikah dan dicerai lagi dengan lelaki lain (pasal 10).

b. Syarat ekstern, yaitu syarat yang menyangkut formalitas dan adminisratif yang juga
harus dipenuhi oleh pihak-pihak, yaitu :
1) Mengajukan permohonan pada pegawai NTR (Nikah, Talak, Rujuk) atau Catatan
Sipil (bagi non muslim);
21
Ali Afandi,….
22
Scholten,….
23
K. Wantjik Saleh, 1986, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, halaman

21
2) Pengumuman oleh Pegawai KUA atau Catatan Sipil tentang rencana perkawinan
tersebut;
3) Pengisian surat-surat permohonan lainnya.

Jika syarat-syarat tersebut telah dipenuhi, maka perkawinan dapat dilangsungkan. Untuk
sahnya perkawinan tersebut,maka syarat-syaratnya adalah :

a. Telah dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan masing-masing (pasal 2 ayat


1);
b. Dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 ayat 2).

Adapun tujuan dari pencatatan perkawinan ini adalah :

a. Memberi kepastian hukum;


b. Menjadi bukti bagi keturunan;
c. Sebagai dasar bagi pembagian harta atau tunjangan nafkah.

3. Larangan perkawinan
Selain dari mengatur tentang syarat-syarat perkawinan, Undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan juga mengatur tentang larangan perkawinan yang diatur dalam
pasal 8 sampai pasal 11, yaitu :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah (pasal 8 ayat
a);
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping (pasal 8 ayat b);
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, menantu, anak tiri, bapak tiri, atau ibu tiri
(pasal 8 ayat c);
d. Berhubungan susuan (pasal 8 ayat d);
e. Berhubungan saudara dengan istri (kakak, adik, bibi, keponakan, jika suami beristri
lebih dari seorang (pasal 8 ayat e);
f. Mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain, dilarang kawin (pasal 8
ayat f).
g. Seorang yang masih terikat perkawinan dengan istri/suaminya (pasal 9);
h. Seorang laki-laki dengan perempuan yang telah dicerainya sebanyak 2 kali, dan
perempuan itu belum menikah dan dicerai dengan laki-laki lain (pasal 10);
i. Seorang laki-laki dengan seorang janda yang belum menjalani atau mengakhiri masa
idah (pasal 11).

Selain dari larangan kawin yang diatur Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, Instruksi presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga
menambahkan aturan larangan kawin, yaitu antara orang-orang :

a. Laki-laki yang telah mempunyai 4 orang istri dalam waktu yang bersamaan;

b. Laki-laki muslim dengan wanita non muslim, atau sebaliknya wanita muslim dengan
laki-laki non muslim.

4. Pencegahan dan pembatalan perkawinan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 13 sampai 21


mengatur mengenai pencegahan perkawinan, dan pasal 22 sampai 28 mengenai

22
pembatalan perkawinan. Pencegahan perkawinan berarti suatu upaya untuk
merintangi/menghalangi suatu perkawina sebelum perkawinan itu terjadi. Pencegahan
dapat dilakukan jika :

a. Dianggap ada pihak yang tidak memenuhi syarat, yaitu syarat-syarat intern (pasal 13).
b. Salah satu calon pengantin berada di bawah pengampuan, yang dianggap nantinya
dapat menyengsarakan pihak lain (pasal 14 ayat 2).

Pihak-pihak yang boleh mengajukan pencegahan adalah :

a. Anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah (pasal 14 ayat 1);
b. Wali nikah (pasal 14 ayat 1);
c. Wali (pasal 14 ayat 1);
d. Pengampu (pasal 14 ayat 1);
e. Istri/suami dari calon pengantin (pasal 15);
f. Pejabat yang ditunjuk jika pasal 7, 8, 9, 10, 11 dan 12 tidak dipenuhi pihak-pihak
(pasal 16);

Sedangkan prosedur pencegahan perkawinan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Diajukan ke Pengadilan dengan memberitahukan kepada pegawai pencatat


perkawinan (pasal 17 ayat 1);
b. Pegawai pencatat perkawinan memberitahukan mengenai pencegahan tersebut kepada
calon mempelai (pasal 17 ayat 2);
Pencegahan perkawinan dapat dicabut oleh pihak yang mengajukan pencegahan atau
hakim (pasal 18), namun perkawinan belum boleh dilangsungkan jika pencegahan
belum dicabut (pasal 19). Dan pegawai pencatatan dilarang untuk membantu atau
melangsungkan perkawinan tersebut bila ia mengatahui adanya pelanggaran pasal 7,
8, 9, 10, 11, dan 12 (pasal 20).

Sedangkan pembatalan perkawinan dapat dilakukan jika perkawinan yang sudah


berlangsung tersebut dianggap tidak memenuhi syarat-syarat, seperti :
a. Pengantin melanggar ketentuan syarat-syarat intern (pasal 22);
b. Pengantin masih terikat dengan perkawinan sebelumnya (pasal 24);
c. Perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang
(pasal 26 ayat 1);
d. Perkawinan tidak disaksikan oleh 2 orang saksi (pasal 26 ayat 1);
e. Pengantin wanita tidak memiliki wali nikah, atau wali nikah bukan orang yang
berwenang (pasal 26 ayat 1);
f. Perkawinan dilakukan di bawah ancaman (pasal 27 ayat 1);
g. Adanya salah sangka dari suami/istri mengenai keadaan suami/istri (pasal 27 ayat 2).

Pihak-pihak yang boleh mengajukan pembatalan adalah :

23
a. Anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami/istri yang menikah
lagi (pasal 23 ayat a);
b. Suami/istri yang suami/istrinya menikah lagi (asal 23 ayat b);
c. Pejabat yang berwenang (pasal 23 ayat c);
d. Pejabat yang ditunjuk sesuai pasal 16 ayat 1 (pasal 23 ayat d);
e. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut atau orang yang mengetahui adanya cacat dalam perkawinan
tersebut (pasal 23 ayat d).

Sedangkan pihak-pihak yang dilarang melakukan pembatalan perkawinan adalah :

a. Anggota keluarga dalam garis keturunan menyamping;


b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan sebelumnya;
c. Orang lain yang bukan keluarga.

Prosedur pembatalan perkawinan sama dengan prosedur pencegahan perkawinan


(pasal 25), dan hak pembatalan perkawinan oleh istri/suami menjadi gugur jika suami
istri tersebut telah hidup bersama dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
sah (pasal 26 ayat 2). Demikian pula dalam hal perkawinan yang dilakukan dengan
ancaman atau perkawinan dimana suami/istri salah sangka dengan keadaan
suami/istrinya, namun mereka telah hidup bersama selama 6 bulan dan tidak
menggunakan haknya untuk membatalkan perkawinan, maka hak pembatalan
perkawinannya menjadi gugur (pasal 27 ayat 3).

Pasal 28 mengatur tentang akibat hukum dari pembatalan perkawinan, yaitu :

a. Pembatalan dimulai sejak dimulainya perkawinan (pasal 28 ayat 1);


b. Anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tetap sebagai anak Sah (pasal 28
ayat 2a);
c. Harta perkawinan diatur sesuai itikad baik pihak-pihak (pasal 28 ayat 2b);

Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam menentukan
bahwa sebuah perkawinan, batal demi hukum jika :
a. Perkawinan dilakukan seorang laki-laki yang sudah memiliki 4 orang istri;
b. Perkawinan dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita yang pernah
dicerainya 2 kali dan belum menikah dan dicerai oleh laki-laki lain;
c. Perkawinan dilakukan oleh orang-orang yang berhubungan darah dan semenda, yaitu :
1) Dalam garis keturunan lurus ke atas dank e bawah;
2) Dalam garis keturunan menyamping;
3) Berhubungan sesusuan;
4) berhubungan dalam garis keturunan lurus ke atas atau kesamping dengan istrinya
(berlaku bagi laki-laki yang akan berpoligami).

5. Perjanjian perkawinan

24
Hal lain yang cukup penting untuk dibahas dalam perkawinan adalah mengenai
perjanjian perkawinan yang diatur dalam pasal 29 Undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan dan pasal 45 sampai 51 Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991.
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon mempelai
sebelum perkawinan dilangsungkan mengenai harta benda selama perkawinan. Syarat-
syarat perjanjian perkawinan adalah :
a. Perjanjian dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan (pasal 29 ayat 1);
b. Perjanjian harus dibuat atas persetujuan bersama (pasal 29 ayat 1);
c. Perjanjian dibuat di depan dan disahkan pegawai pencatat perkawinan (pasal 29 ayat
1);
d. Perjanjian tidak boleh melanggar norma-norma agama, hukum dan kesusilaan (pasal
29 ayat 2);
e. Perjanjian berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (pasal 29 ayat 3);
f. Perjanjian tidak dapat dirubah selama perkawinan berlangsung, kecuali ada
persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga (pasal 29 ayat 4).

6. Akibat perkawinan
Terjadinya perkawinan akan menimbulkan berbagai akibat hukum, yaitu :
a. Adanya hak dan kewajiban suami istri (pasal 30 sampai 34 Undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan), yaitu :
1) Memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal 30);
2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
(pasal 31 ayat 1);
3) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat 2);
4) Suami adalahkepala keluarga dan istri ibu rumah tangga (pasal 31 ayat 3).
5) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (pasal 32 ayat 1);
6) Rumah tempat kediaman dimaksud ditentukan bersama oleh suami istri (pasal 32
ayar 2);
7) Suami istri wajib saling mencintai, hormt menghormati setia dan member bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain (pasal 33);
8) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1);
9) Istri wajib mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2);
10) Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan (pasal 34 ayat 3).
b. Masalah harta benda dalam perkawinan, yang diatur dalam pasal 35 sampai 37
Undang-udang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35
ayat 1);
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-
masing sepanjang pihak-pihak tidak menentukan lain (pasal 35 ayat 2).
3) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak (pasal 36 ayat 1);

25
4) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta benda tersebut
(pasal 36 ayat 2).
5) Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing (pasal 37).

Jadi ada 2 macam harta dalam perkawinan, yaitu :

1) Harta bersama yang merupakan harta milik bersama dan diperoleh selama
perkawinan. Terhadap harta bersama, pihak-pihak dibolehkan mengaturnya melalui
perjanjian perkawinan,
2) Harta bawaan, yang berasal dari :
a) Bawaan masing-masing yang diperoleh sebelum perkawinan dilangsungkan,
b) Hadiah, hibah atau warisan yang diperoleh pihak-pihak, baik sebelum perkawinan
maupun selama perkawinan dilangsungkan.
Terhadap harta bawaan ini, masing-masing pihak berhak sepenuhnya mengurus
sendiri.

c. Adanya hak dan kewajiban orang tua kepada anak dan hak dan kewajiban anak
kepada orang tua (diatur pasal 45 sampai 49 yang isinya sudah dibahas dalam materi
sebelumnya).

D. Putusnya perkawinan

Menurut pasal 38 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, putusnya


perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Kematian salah satu pihak;
2. Perceraian;
3. Keputusan pengadilan.24
Jika perkawinan putus karena kematian salah satu pihak, maka ada beberapa hal yang timbul
sebagai akibat kematian tersebut, yaitu :
1. Status perkawinan pihak yang ditinggalkan yaitu duda atau janda;
2. Terhadap harta dan utang piutang dari pihak yang meninggal diwariskan kepada pihak
yang masih hidup, kecuali pihak-pihak sebelum perkawinan membuat perjanjian
perkawinan, maka terhadap harta dan utang piutang tersebut diatur menurut perjanjian
perkawinan tersebut,
3. Terhadap anak-anak, maka pihak yang masih hidup berkewajiban untuk memelihara
anak-anak tersebut.

Sedangkan jika perkawinan putus akibat perceraian pengaturannya diatur dalam pasal 39
sampai 41 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan pasal 118 sampai
122 Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam. Syarat-syarat
perceraian adalah :

24
Yang dimaksud dengan Pengadilan adalah : (1)Pengadilan agama bagi mereka yang beragama Islam;(2)
Pengadilan umum (negeri) bagi mereka yang bukan Islam (pasal 65 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan).

26
1. Hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan (pasal 39 ayat 1);
2. Pengadilan terlebih dulu mendamaikan pihak-pihak (pasal 39 ayat 1);
3. Harus ada cukup alasan bahwa di antara suami istri tidak dapat hidup rukun sebagai
suami istri (pasal 39 ayat 2).

Perceraian terbagi atas 2 jenis, yaitu :

1. Cerai talak, yaitu cerai yang dilakukan atas permintaan suami. Talak terbagi atas :
a. Talak raj’I, yaitu yang dijatuhkan suami kepada istri, namun mereka masih bisa rujuk
selama masa idah (takal 1 dan 2);
b. Talak bain sughran, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang
mengakibatan mereka tidak boleh rujuk, tetapi jika ingin jadi suami istri lagi, dapat
menikah kembali;
c. Talak bain qubra, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri untuk kedua kalinya,
jika ingin menikah kembali si istri harus menikah dulu dengan orang lain;
d. Talak suny, yaitu talak yang dijatuhan sebelum istri digauli;
e. Talak bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan sebelum istri digauli, lalu kemudian digauli,
sehingga talak ini disebut talak larangan.
2. Cerai gugat, yaitu cerai yang dilakukan atas permintaan istri.

Menurut pasal 110 Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam alasan-alasan yang dapat diajukan agar terjadi perceraian adalah sebagai berikut:

a. Salah satu berbuat zina, pemabuk, pemadat, atau penjudi;


b. Salah satu pergi meninggalkan pihak lain tanpa izin selama 2 tahun;
c. Salah satu mendapat hukuman penjara minmal 5 tahun;
d. Salah satu berbuat kejam dan menganiaya pihak lain;
e. Salah satu mendapat cacat atau penyakit yang menyebabkannya tidak dapat
melakukan kewajiban;
f. Terus menerus terjadi perselisihan/tidak ada kecocokan lagi;
g. Salah satu pihak pindah agama;
h. Suami melanggar ta’lik talak.

Sedangkan prosedur perceraian diatur pada pasal 40 Undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan. Pasal 40 ayat 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan bahwa gugatan perceraian hanya dapat diajukan kepada
Pengadilan. Mengenai tata cara prosedurnya, diatur dalam pasal 129 sampai 148 Instruksi
presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Akibat terjadinya perceraian ada beberapa hal yang timbul, yaitu :

1. Bekas suami istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,


semata-mata berdasarkan kepentingan anak (pasal 41 ayat 1);
2. Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka diselesaikan melalui
Pengadilan (pasal 41 ayat 1);
3. Bekas suami bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak mereka (pasal 41 ayat 2);
4. Jika bekas suami tidak mampu memikul beban kewajiban tersebut, maka Pengadilan
akan membebankannya kepada bekas istri (pasal 41 ayat 2);
5. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri (pasal 41 ayat 3).

27
Perkawinan yang putus karena keputusan pengadilan, berarti bahwa perkawinan
dibatalkan karena sebab-sebab seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Hal lain yang diatur Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
mengenai :

1. Perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia, yang diatur pasal 56. Pemerintah
mengakui keabsahan perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia antara :
a. Dua orang warga Indonesia;
b. Seorang warga Negara Indonesia dengan seorang warga Negara asing.

Setelah kembali ke Indonesia, dalam waktu 1 tahun, mereka yang melakukan


perkawinan di luar Indonesia, wajib mendaftarkan perkawinan tersebut di kantor
pencatatan perkawinan terdekat (pasal 56 ayat 2).

2. Perkawinan campuran yang diatur pasal 57, sampai dengan pasal 62. Menurut pasal
57 perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang dilakukan di
Indonesia namun tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan, salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia dan pihak lain
berkewarganegaraan asing.25
Jika terjadi perkawinan campuran, seorang warga Negara Indonesia dapat mengikuti
kewarganegaraan suami atau istrinya, dan dapat pula membawa suami atau istrinya
menjadi warga Negara Indonesia (pasal 58). Dan perkawinan campuran yang
dilakukan di Indonesia harus tunduk pada Undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, sehingga semua tata cara, akibat hukum, perceraian dan akibat
hukumnya tunduk kepada Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

E. Soal-soal
1. Buatlah pengertian hukum keluarga menurut pandapat Saudara!
2. Jelaskan dengan lengkap tempat pengaturan hukum keluarga!
3. Jelaskan dengan lengkap asas-asas hukum keluarga!
4. Jelaskan dengan lengkap hubungan keluarga yang diatur dalam hukum keluarga!
5. Bagaimana cara menetukan pihak-pihak alam hukum keluarga? Jelaskan dengan
lengkap!
6. Jelaskan dengan lengkap akibat hukum yang terjadi karena adanya hubungan
keluarga!
7. Apa yang dimaksud dengan alimentai? Jelaskan dengan lengkap!
8. Jelaskan dengan lengkap tempat pengaturan hukum perkawinan Indonesia!
9. Jelaskan dengan lengkap syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsunkan
perkawinan!
10. Jelaskan dengan lengkap syarat sah perkawinan!
11. Apa yang dimaksud dengan larangan perkawinan? Dimana diatur? Jelaskan
dengan lengkap!
12. Jelaskan dengan lengkap akibat hukum yang timbul jika orang-orang yang
dilarang kawin melakukan perkawinan!
13. Apa yang dimaksud dengan pencegahan perkawinan? Jelaskan dengan lengkap!
25
Istilah perkawinan campuran sudah sering dipergunakan di Indonesia. Di zaman penjajahan Belanda,
perkawinan yang terjadi antara golongan penduduk yang berbeda disebut sebagai perkawinan campuran, misalnya
perkawinan yang terjadi antara golongan pribumi/bumiputra dengan golongan timur asing atau golongan timur
asing dengan golongan Eropa.

28
14. Dalam hal apa sebuah perkawinan dapat dicegah? Jelaskan dengan lengkap!
15. Apa yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan? Dimana diatur? Jelaskan
dengan lengkap!
16. Mengapa suatu perkawinan dapat dibatalkan? Jelaskan dengan lengkap!
17. Apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan? Dimana diatur? Jelaskan
dengan lengkap!
18. Apa akibat hukum dari dibuatnya perjanjian perkawinan? Jelaskan dengan
lengkap!
19. Apa yang dimaksud dengan putusnya perkawinan? Dimana diatur? Jelaskan
dengan lengkap!
20. Jelaskan dengan lengkap akibat hukum yang timbul jika terjadi putusnya
perkawinan!
21. Jelaskan dengan lengkap hak dan kewajiban yang timbul pada bekas suami
kepada bekas istri jika terjadi perceraian!
22. Jelaskan dengan lengkap akibat hukum yang timbul jika terjadi putusnya
perkawinan karena kematian salah satu pihak!
23. Apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran? Jelaskan dengan lengkap!
24. Apa perbedaan perkawinan campuran di zaman penjajahan Belanda dengan
perkawinan campuran di zaman sekarang? Jelaskan dengan lengkap!
25. Hukum apa yang berlaku jika warga Negara Indonesia menikah di luar negeri?
Jelaskan dengan lengkap!

DAFTAR BACAAN

1. Afandi, Ali,

29
2. Harahap, Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian,
3. HS, Salim, 2002, Pengantar Hukum Perdata tertulis (BW),
4. Maschoen Sofwan, Sri Soedewi, 1991, Hukum Perdata, Hukum Benda,
5. Muhammad, Abdul Kadir, 1993, Hukum Perdata Indonesia,
6. Prodjodikoro, Wirjono,
7. Saleh, K. Wantjik, 1986, Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta.
8. Setiawan, R, 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung.
9. Simanjuntak, 1999, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia,
10. Subekti, R, 1991, Hukum Perjanjian ,Intermasa, Jakarta.
11. -------------, 1989, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung.
12. ------------- dan Tjiptosudibjo, 1984, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT
Pradnya Paramita, Jakarta.
13. Suryodiningrat, RM, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung.
14. Syahrani, Ridwan, 2004, Seluk-beluk dan asas-asas hukum Perdata,

30

Anda mungkin juga menyukai