Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

Alergi pada anak (Anafilaksis, Alergi Susu


Sapi, Rinitis Alergi)

Oleh :

Ahmad Syarif Hidayat

12100118584

Preseptor :

Wiwiek Setyowulan, dr., Sp.A., M.Kes.

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM PENDIDIKAN
PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNISBA
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH
BANDUNG
2019

1
BAB I

BASIC SCIENCE

1. ALERGI
1.1. Pengertian
Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada suatu zat
(alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi. Namun, sebagian
besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon
imun berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Hal ini bergantung pada berbagai keadaan, termasuk pemaparan antigen, predisposisi
genetik, kecenderungan untuk membentuk IgE dan faktor-faktor lain, misalnya adanya
infeksi saluran nafas bagian atas, infeksi virus, penurunan jumlah sel T-supresor dan
defisensi IgA.
Secara umum penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu:
1. Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara genetik
menunjukkan kepekaan terhadap alergen dengan memproduksi IgE secara
berlebihan.
2. Alergi obat : reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat terhadap obat
tertentu.
3. Dermatitis kontak : reaksi hipersensitivitas IV yang disebabkan oleh zat kimia, atau
substansi lain misalnya kosmetik, makanan, dan lain-lain.
Manifestasi klinik alergi paling sering tampak melalui 3 organ sasaran, yaitu saluran
nafas, gastrointestinal dan kulit.
1.2. Etiologi
Ada beberapa jenis penyebab alergi yaitu :
1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis makanan
dan zat lain.

2
1.3. Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan
mastosit atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen
dengan IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan
degranulasi sel dan penglepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin,
vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat terjadi
kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-
IgE. Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta merangsang
kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas, histamin merangsang
kontraksi otot polos sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas dan
menyebabkan membran saluran nafas membengkak serta merangsang ekskresi lendir
pekat secara berlebihan. Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga
terjadi asma, sedangkan pada kulit, histamin menimbulkan benjolan (urtikaria) yang
berwarna merah (eritema) dan gatal karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah
dan pelebaran pembuluh darah. Pada gastrointestinal, histamine menimbulkan reflek
muntah dan diare.
Manifestasi Klinis
 Asma.
 Urtikaria.
 Diare dan kram abdomen
 Muntah-muntah.
 Dermatitis atopic.

2. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Reaksi hipersensitivitas adalah peningkatan sensitivitas tubuh terhadap antigen yang
pernah terpapar atau terpajankan sebelumnya.
2.1 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas dapat dibedakan berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk
beraksi pada tubuh manusia. Selain itu, ada juga pembagian menurut ilmuan Robert
Coombs dan Philips HH Gell, yang membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4
macam, diantaranya :

3
1. Berdasarkan Waktu

a. Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Reaksi
ini melibatkan ikatan silang antara alergen dan IgE. Manifestasi dari reaksi ini
dapat berupa reaksi anafilaksis.
b. Reaksi Intermediet / Sedang
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan oleh sel NK. Manifestasi dari reaksi ini dapat berupa reaksi transfusi
darah, anemia hemolitik, eritroblastosis fetalis, reaksi arthus, vaskulitis,
glomerulonefritis, AR, dan Lupus
   c. Reaksi Lambat
Reaksi lambat terjadi setelah terpajan antigen dan masih terlihat dalam 48
jam. Reaksi ini melibatkan sitokin yang dikeluarkan oleh sel T untuk
mengaktifkan makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi dari
reaksi ini dapat berupa dermatitis kontak, reaksi M.Tuberkulosis, dan reaksi
penolakan transplantasi organ.

2. Berdasarkan Coombs dan Gell


a. Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi karena
adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi
cepat, reaksi alergi, atau reaksi anafilaksis. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai
berikut :
- Alergen berikatan silang dengan IgE
- Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya
Manifestasi yang ditimbulkan dari reaksi ini berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial
atau dermatitis atopi.
b. Hipersensitivitas Tipe 2
Reaksi hipersensitivitas tipe 2 terjadi karena dibentuknya IgG dan IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai

4
reaksi sitotoksik atau reaksi sitolitik. Reaksi ini terdiri dari 3 jenis mekanisme, yaitu
reaksi yang bergantung pada komplemen, reaksi yang bergantung pada ADCC dan
disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi. Mekanisme singkat dari reaksi tipe 2 ini
sebagai berikut :
- IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel
- Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atau antibodi
- Pengeluaran mediator kimiawi
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa anemia hemolitik autoimun,
eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris.
c. Hipersensitivitas Tipe 3
Reaksi hipersensitivitas tipe 3 terjadi karena pengendapan kompleks imun
(antigen-antibodi) yang susah difagosit sehingga akan mengaktivasi komplemen dan
mengakumulasi leukosit polimorfonuklear di jaringan. Reaksi ini juga dapat disebut
reaksi yang diperantarai kompleks imun. Reaksi ini terdiri dari 2 bentuk reaksi, yaitu :
reaksi Kompleks Imun Sistemik (Serum Sickness) dan reaksi Sistem Imun Lokal
(Arthus). Mekanisme reaksi ini secara umum sebagai berikut :
- Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit
- Mengaktifkan komplemen
- Menarik perhatian Neutrofil
- Pelepasan enzim lisosom
- Pengeluaran mediator kimiawi
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa reaksi Arthus, serum sickness,
LES, AR, glomerulonefritis, dan pneumonitis.
d. Hipersensitivitas Tipe 4
Reaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena diperantarai oleh
sel T CD4+ dan CD8+. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti reaksi
Tuberkulin, reaksi Inflamasi Granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme
reaksi ini secara umum sebagai berikut :
- Limfosit T tersensitasi
- Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T
langsung

5
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa tuberkulosis, dermatitis kontak
dan reaksi penolakan transplant.

Jenis Mekanisme Imun Mekanisme Kerusakan Jaringan dan


Hipersensitivitas Patologik Penyakit
Tipe I IgE Sel mast dan mediatornya  (amin
vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)
Hipersensitivitas cepat
Tipe II IgM, IgG terhadap Opsonisasi & fagositosis sel
permukaan sel atau
Reaksi melalui matriks antigen Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag)
antibodi ekstraseluler atas pengaruh komplemen dan FcR

Kelainan fungsi seluler (misal dalam


sinyal reseptor hormone)
Tipe III Kompleks imun (antigen Pengerahan dan aktivasi leukosit atas
dalam sirkulasi dan IgM pengaruh komplemen dan Fc-R
Kompleks imun atau IgG)
Tipe IV (melalui sel 1. CD4+ : DTH 1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas
T) 2. CD8+ : CTL pengaruh sitokin
2. Membunuh sel sasaran direk,
Tipe IVa inflamasi atas pengaruh sitokin

Tipe Ivb

3. Penegakan Diagnosis Penyakit Alergi


Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-
benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari
alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya
gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.
1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya
keterkaitan penyakit dengan alergi.
2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian
ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan
paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.

6
3) Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun
tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung
jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan
pasien.
5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung
kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan
diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi
dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial.

4. Penatalaksanaan Penyakit Alergi


Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui),
cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan harapan di
masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan
penyebab, bahan pencetus atau antigen.
Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan ketiga.
Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik yang
bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah dengan
penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah penggunaan
imunosupresan.

7
BAB II

CLINICAL SCIENCE

1. ANAFILAKSIS
1.1. Definisi
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang bersifat sistemik, berat, serta
mengancam jiwa. Reaksi ini berlangsung dalam beberapa menit sesudah paparan, dapat
bertahan hingga dua jam atau lebih
1.2. Manifestasi Klinis
Sebagian besar diawali dengan gejala pada kulit atau saluran pernapasan. Gejala
bervariasi, bergantung pada organ yang terkena.
Karakteristik yang khas: onset terjadi segera sesudah paparan alergen, interval waktu
antara beberapa detik hingga 1–2 jam, bergantung pada rute pemberian (i.v. biasanya
lebih cepat) dan derajat sensitisasi. Dapat terjadi manifestasi yang tidak biasa misalnya
sinkop tanpa disertai gejala lain
1.3. Gejala awal yang umum terjadi pada reaksi anafilaksis
Vertigo, pingsan, hipotensi
Urtikaria, angioedema
Gatal pada kulit
Kemerahan pada wajah
Nyeri kepala
Rinitis
Sesak, mengi
Nyeri substernal
Edema saluran respiratori atas
Mual, muntah, diare, nyeri abdomen
1.4. Diagnosis
Anamnesis
Waktu terjadinya onset
Terapi yang sudah diberikan
Lama terjadinya serangan

8
Obat-obatan dalam 6 jam terakhir
Riwayat sengatan binatang
Riwayat atopi penderita

1.5. Pemeriksaan Fisis

9
1.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada anafilaksis yaitu


elektrokardiografi, foto Rontgen toraks, pemeriksaan urea dan elektrolit darah, analisis
gas darah, atau pemeriksaan lainnya sesuai dengan gejala yang timbul Anafilaksis dapat
ditegakkan dengan kriteria berikut:

10
11
Keterangan:

* Kondisi yang mengancam jiwa:

Airway: bengkak, suara serak, stridor

Breathing: takipnea, wheezing, fatigue, sianosis, SpO2 <92%, confusion

Circulation: pucat, telapak tangan lembap (clammy), tekanan darah rendah, pingsan,
koma

12
** Adrenalin pengenceran 1:1.000 (dapat diulangi setiap 5–15 mnt jika tidak ada
perbaikan), tempat penyuntikan terbaik pada daerah anterolateral paha ⅓ tengah. Dosis
diberikan berdasarkan BB: Dosis 0,01 mg/kgBB secara i.m. (1 mg/mL), maks. 0,3 mg.
Pada umumnya penderita berespons pada 1 atau 2 dosis pemberian

*** Cairan infus diberikan kristaloid 20 mL/kgBB. Koloid tidak boleh diberikan karena
dapat menjadi penyebab reaksi anafilaksis

**** Klorfeniramin i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 1–2 mg/kgBB/kali maks. 50 mg
i.v. atau p.o.

***** Hidrokortison i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 4 mg/kgBB/kali maks. 100 mg
i.v. atau prednison 1 mg/kgBB dosis maks. 60–80 mg p.o. atau metilprednisolon dengan
dosis 1 mg/kgBB dengan dosis maks. 60–80 mg i.v.

1.7. Prognosis

Baik apabila penanganannya tepat

Kematian dapat terjadi pada kasus berat.

13
2. Rinitis alergi (RA)

2.1. Definisi

Rinitis alergi (RA) adalah gangguan simtomatis pada hidung, dicetuskan


oleh paparan alergen melalui reaksi hipersensitivitas yang diperantarai IgE (reaksi
hipersensitivitas tipe I), ditandai dengan 4 gejala utama yaitu hidung berair,
tersumbat, dan gatal, serta bersin

2.2. Klasifikasi

Berdasarkan konsensus WHO–ARIA 2008, RA diklasifikasikan


berdasarkan frekuensinya menjadi intermiten dan persisten, serta berdasarkan
berat gejala menjadi ringan dan sedang-berat.

2.3. Faktor Risiko dan Pencetus

Faktor Risiko:

Riwayat atopi pada keluarga

Kadar IgE serum ↑ (>100 IU/mL sebelum usia 6 th)

Kelompok sosioekonomi atas

Tes tusuk kulit (+)

14
Faktor Pencetus:

Tungau: tungau debu rumah, alergen pada kotoran tungau

Serbuk: pohon, rumput, semak-semak, ganggang

Hewan: kucing, anjing, kuda, tikus

Jamur: Alternaria, Cladosporium, Aspergillus

Dicetuskan oleh pekerjaan: tepung, lateks, debu kayu

Diperburuk oleh pekerjaan: asap, udara dingin, formalin, sulfur

dioksida, ammonia.

2.4. Diagnosis

Anamnesis

Konsensus WHO-ARIA 2008 menyatakan bahwa bila ditemukan ≥2


gejala yang terdiri atas hidung berair, tersumbat, dan gatal, serta bersin
yang menetap selama >1 jam dapat dicurigai RA

Pemeriksaan Fisis

Allergic salute: anak sering menggosok hidung dengan telapak tangan

Allergic crease: garis transversal pada sepertiga distal punggung hidung

Dennies-lines: lipatan pada kelopak mata bagian bawah

Allergic shiners: kelopak mata bagian bawah mengalami pembengkakan


dan warna kulit menjadi gelap

Hidung: pembesaran konka disertai sekret hidung

Telinga: efusi kronik

Kulit: tanda-tanda dermatitis atopi terutama di regio malar pada wajah dan
regio fleksor pada lengan dan tungkai

15
Tes Diagnostik

Tes tusuk kulit (TTK)/skin prick test (SPT)

Diagnosis alergi untuk reaksi hipersensitivitas tipe I, dilakukan pada


penderita diduga alergen inhalan sebagai penyebab IgE spesifik serum (RAST)
Tes ini dilakukan bila: (1) kondisi kulit tidak memungkinkan untuk dilakukan
TTK, misalnya dermatografisme berat/dermatitis luas, (2) penderita tidak dapat
menghentikan penggunaan antihistamin (3) terdapat risiko anafilaksis pada
penderita, dan (4) tidak kooperatif untuk dilakukan UTK Pengukuran IgE spesifik
tidak dipengaruhi oleh obat-obatan atau penyakit kulit. Sensitivitas dan
spesifisitas uji ini >85%

2.4 Tatalaksana

Tatalaksana RA meliputi kombinasi terapi lingkungan, farmakoterapi, dan


imunoterapi

1. Terapi Lingkungan

Menghindari alergen pencetus merupakan tatalaksana lini pertama

2. Farmakoterapi

Pilihan medikamentosa bersifat individual disesuaikan dengan kondisi


anak dan respons terhadap pengobatan yang diberikan. Faktor kepatuhan terhadap
pengobatan sangat penting karena pengobatan bersifat jangka panjang. Tabel
berikut menunjukkan beberapa jenis medikamentosa yang digunakan dalam
pengobatan RA serta efeknya terhadap gejala rhinitis.

16
Kortikosteroid intranasal dan oral

Steroid intranasal: flutikason propionat atau mometason furoat, pengobatan lini


pertama pada anak dengan gejala sedang–berat.

Efek terapeutik tercapai dalam waktu 6–8 jam sesudah pemberian, tetapi
mencapai tingkat maks. sesudah pemakaian 2 mgg.

17
Kortikosteroid oral jangka pendek: misalnya prednisolon dosis 0,5 mg/kg/hr,
diberikan pada gejala hidung tersumbat berat yang tidak dapat dikendalikan oleh
farmakoterapi lain, bersamaan dengan makanan di pagi hari selama 5–10 hr.
Penggunaan jangka panjang tidak direkomendasikan

Antihistamin

Antihistamin dapat diberikan p.o. maupun intranasal. Antihistamin intranasal


(misalnya azelastin) memiliki efektivitas yang sama dengan antihistamin oral
dengan onset kerja yang cepat.

18
Kombinasi antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal

Antihistamin dapat dikombinasi dengan kortikosteroid intranasal pada RA


persisten sedang-berat yang tidak mengalami perbaikan sesudah 2–4 mgg
mendapat kortikosteroid intranasal, masih terdapat gejala bersin dan gatal pada
hidung yang menetap.

Mast cell stabilizers

Diberikan 1–2 mgg sebelum paparan antigen. Sediaan topikal, yaitu natrium
kromolin aman digunakan pada anak, karena durasi kerja yang singkat, harus
diberikan 4–6×/hr. Bila dibandingkan dengan antihistamin dan steroid intranasal,
kromolin memiliki efektivitas yang lebih rendah.

Dekongestan oral dan topikal

Dekongestan oral pada anak dapat menyebabkan insomnia, iritabilitas, prestasi


belajar anak ↓, dan dapat menginduksi gangguan jantung pada beberapa anak
Dekongestan topikal (misalnya oxymetazoline hydrochloride) memiliki onset
kerja yang cepat dan berguna untuk mengatasi kongesti akut, tetapi
penggunaannya tidak boleh >10 hr karena penggunaan jangka panjang dapat
mukosa hidung menjadi kering dan mengganggu imunitas alamiah (innate) dari
saluran respiratori di hidung.

Antikolinergik

Onset kerjanya 15–30 mnt dan efektif dalam mengendalikan gejala hidung berair
tetapi tidak efektif untuk gejala rinitis lainnya. Kombinasi dengan steroid
intranasal perlu dipertimbangkan pada penderita yang gejala dominannya hidung
berair

Antagonis reseptor leukotrien (antileukotrien)

Montelukast adalah satu-satunya antagonis reseptor leukotriene yang terbukti


aman dan efektif dalam pengobatan RA pada anak usia >2 th. Bila dibandingkan
dengan antihistamin dan steroid intranasal, montelukast memiliki efektivitas yang
lebih rendah Imunoterapi allergen Imunoterapi alergen adalah satu-satunya
pilihan terapi yang memodifikasi mekanisme dasar alergi dengan cara
menginduksi desensitisasi dan menghasilkan kondisi anergi terhadap suatu
allergen penyebab. Terdapat 2 macam imunoterapi, yaitu imunoterapi s.k.
(subcutaneous immunotherapy/SCIT) dan sublingual (sublingual
immunotherapy/SLIT)

19
Penyulit Sinusitis

Pemeriksaan foto Rontgen: metode Caldwell dan Waters untuk melihat opasitas
pada sinus paranasal Kultur dari sekret hidung atau faring bagian atas untuk
mengidentifikasi bakteri penyebab Pada infeksi virus akan terjadi perbaikan
gejala atau kesembuhan dalam waktu 10 hr sesudah onset penyakit. Pada sinusitis
bakterial akut, bila sesudah 10 hr dari onset penyakit tidak didapatkan perbaikan
gejala (gejala menetap) atau bahkan terjadi perburukan (demam tinggi >38,5 °C
selama 3–4 hr, secret hidung purulen, kongesti hidung, dan nyeri fokal pada
wajah di regiocmaksila atau frontal), merupakan suatu petanda perlunya
pemberiancantibiotic

Antibiotik:

Amoksisilin dosis 40–80 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis, min. 10 hr dan


dihentikan bila sudah tidak bergejala. Bagi anak usia <2 th atau sudah mendapat
antibiotik sebelumnya, diberikan dosis amoksisilin yang lebih tinggi yaitu 90
mg/kgBB/hr

Di daerah dengan tingkat resistensi penisilin yang tinggi dapat diberikan:

Amoksisilin/klavulanat dosis 40–80 mg/kgBB/hr terbagi dalam2 dosis

Sefuroksim 30 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis

Sefdinir 14 mg/kgBB/hr terbagi dalam 1–2 dosis

20
Sefpodoksim 10 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis

Azitromisin, bila alergi penisilin, dosis 10 mg/kgBB/hr selama 3 hr

21
3. ALERGI SUSU SAPI

3.1. Definisi

Alergi susu sapi (ASS) adalah reaksi simpang terhadap protein susu sapi
yang diperantarai reaksi imunologi. World Allergy Organization, yaitu alergi
adalah reaksi hipersensitivitas yang diperankan oleh mekanisme imunologi.
Mekanisme tersebut bisa diperantarai oleh IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I,
reaksi cepat) maupun non-IgE (reaksi hipersensitivitas tipe III atau IV, reaksi
lambat). Alergi susu sapi yang tidak diperantarai IgE lebih sering mengenai
saluran cerna, sementara ASS yang diperantarai IgE dapat mengenai saluran
cerna, kulit, dan saluran napas serta berhubungan dengan risiko tinggi timbulnya
alergi saluran napas di kemudian hari seperti asma dan rinitis alergi.

3.2. Angka Kejadian

Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih
mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian
besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%,
sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah
gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang
bermanifestasi klinis berat.

3.3. Klasifikasi

Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:

1. IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala
klinis timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah mengonsumsi protein
susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah urtikaria, angioedema,
ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis,
bronkospasme, dan anafilaksis. Alergi susu sapi tipe ini dapat didukung dengan
kadar IgE susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau pemeriksaan IgE spesifik/IgE
RAST).

2. Non-IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh
IgE, tetapi diperantarai oleh IgG. Gejala klinis timbul lebih lambat (> 1 jam)
setelah mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul
antara lain adalah allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis,
proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.

3.4. Diagnosis

Anamnesis

22
- Alergi susu sapi dapat menyebabkan beragam gejala dan keluhan, baik pada
saluran cerna, saluran napas, maupun kulit. Luasnya gejala yang timbul dapat
mempersulit pengenalan, menyebabkan misdiagnosis atau kadang-kadang
overdiagnosis.

- Awitan gejala ASS, waktu antar pemberian susu sapi dan timbulnya gejala, dan
jumlah susu yang diminum hingga menimbulkan gejala.

- Riwayat atopi pada orangtua dan saudara kandung perlu ditanyakan. Risiko
atopi meningkat jika ayah/ibu kandung atau saudara kandung menderita atopi, dan
bahkan risikonya lebih tinggi jika kedua orangtua sama-sama penderita atopi.

- Riwayat atau gejala alergi sebelumnya.

Gejala pada saluran cerna

- Edema dan gatal pada bibir, mukosa oral, dan faring terjadi jika makanan yang
mensensitisasi kontak dengan mukosa.

- Muntah dan/atau diare, terutama pada bayi, bisa ringan, melanjut, atau
intractable dan dapat berupa muntah atau buang air besar berdarah. Alergi susu
sapi dapat menyebabkan kolik infantil. Jika hipersensitivitas berat, dapat terjadi
kerusakan mukosa usus, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan
berat badan.

- Konstipasi kronik yang tidak responsif terhadap laksatif.

Gejala pada kulit

- Dermatitis atopi merupakan kelainan kulit paling sering dijumpai pada alergi
susu sapi, menempati urutan kedua setelah gejala saluran cerna. Erupsi yang
kemerahan pada umumnya terjadi setelah sensitisasi 1-2 minggu dan sering
mengalami eksaserbasi.

- Urtikaria dan angioedema.

Gejala pada saluran napas

Rinitis kronis atau berulang, otitis media, batuk kronis, dan mengi merupakan
manifestasi alergi susu sapi yang cukup sering.

Gejala hematologi

Pucat akibat anemia defisiensi karena perdarahan mikro pada saluran cerna.

23
Pemeriksaan fisik

- Kondisi umum: status gizi, status hidrasi, kadang tampak pucat

- Kulit: dermatitis atopi, urtikaria, angioedema

- Saluran napas: tanda rinitis alergi (konka edema dan pucat) atau asma
(mengi), otitis media efusi

- Saluran cerna: meteorismus, skibala, fisura ani

Pemeriksaan penunjang

- Konfirmasi diagnosis ASS sangat penting karena seringkali terdapat


ketidaksesuaian antara gejala yang dikeluhkan orangtua dengan bukti secara
klinis.

- Double-blind, placebo-controlled food challenge (DBPCFC) dianggap sebagai


baku emas. Pada prosedur ini, dilakukan pemberian makanan yang mengandung
alergen dan plasebo dengan metode crossover secara tersamar baik terhadap
pasien maupun evaluator disertai pemantauan reaksi alergi. Metode tersebut lebih
banyak digunakan untuk keperluan riset. Metode yang dapat dilakukan pada
praktik klinis adalah melakukan eliminasi dan uji provokasi terbuka.

- Mengingat risiko terjadinya reaksi alergi saat dilakukannya uji provokasi


makanan (food challenge), maka dapat dipilih pemeriksaan alternatif dengan
efikasi yang sama, seperti: uji cukit kulit (skin prick test, SPT), pengukuran
antibodi IgE serum spesifik terhadap protein susu sapi, dan uji tempel (patch test).

- Kombinasi SPT dan pengukuran antibodi IgE spesifik memiliki nilai duga
positif 95% untuk mendiagnosis ASS yang diperantarai IgE, sehingga dapat
mengurangi perlunya uji provokasi makanan jika yang dicurigai adalah ASS yang
diperantarai IgE.

- Uji cukit kulit dan kadar IgE spesifik tidak berguna dalam diagnosis ASS yang
tidak diperantarai IgE, sebagai alternatif dapat dilakukan uji tempel, atau uji
eliminasi dan provokasi.

- Pemeriksaan laboratorium tidak memberikan nilai diagnostik, tetapi dapat


menunjang diagnosis klinis. Penurunan kadar albumin sugestif untuk enteropati;
hipoproteinemia sering terjadi bersama-sama dengan anemia defisieni besi akibat
alergi susu sapi. Peningkatan trombosit, LED, CRP, dan leukosit tinja merupakan
bukti adanya inflamasi tetapi tidak spesifik, sehingga nilai normal tidak dapat
menyingkirkan ASS. Leukositosis eosinofilik dapat dijumpai pada kedua tipe
ASS.
24
3.5. Diagnosis dan diagnosis banding

Tidak ada gejala yang patognomonik untuk alergi susu sapi. Gejala akibat alergi
susu sapi antara lain pada gastrointestinal (50-60%), kulit (50-60%) dan sistem
pernapasan (20-30%). Gejala alergi susu sapi biasanya timbul sebelum usia satu
bulan dan muncul dalam satu minggu setelah mengkomsumsi protein susu sapi.
Gejala klinis akan muncul dalam satu jam (reaksi cepat) atau setelah satu jam
(reaksi lambat) setelah mengkomsumsi protein susu sapi.

Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE–mediated adalah dengan
melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau uji
RAST).

• Jika hasil positif maka dilakukan eliminasi (penghindaran) makanan yang


mengandung protein susu sapi

• Jika hasil negatif maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung
protein susu sapi.

 Untuk diagnosis pasti dapat dilakukan uji eliminasi dan provokasi

Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi yang diperantarai non IgE–mediated
adalah dengan adanya riwayat alergi terhadap protein susu sapi, diet eliminasi, uji
provokasi makanan, dan kadang-kadang dibutuhkan pemeriksaan tambahan
seperti endoskopi dan biopsi.

Beberapa diagnosis banding yang perlu disingkirkan adalah kelainan metabolism


bawaan, kelainan anatomi, coeliac disease, insufisiensi enzim pankreas (cystic
fibrosis), intoleransi laktosa, keganasan dan infeksi. Keadaan yang menyulitkan
adalah bila terdapat 2 keadaan/penyakit yang terjadi bersamaan. Anak dengan
penyakit refluks gastroesofageal juga alergi terhadap susu sapi sebesar 15-20%.

3.6. Tata laksana

Prinsip utama dalam tata laksana ASS adalah menghindari susu sapi dan
makanan yang mengandung susu sapi sambil mempertahankan diet bergizi dan
seimbang untuk bayi dan ibu yang menyusui. Pada bayi yang diberikan ASI
eksklusif, ibu perlu mendapat penjelasan berbagai makanan yang mengandung
protein susu sapi yang perlu dihindari. Konsultasi dengan ahli gizi perlu
dipertimbangkan. Pada anak yang mendapat susu formula, diberikan susu
pengganti berupa susu terhidrolisis sempurna/ekstensif atau susu formula asam
amino pada kasus yang berat. Susu formula kedelai dapat dicoba untuk diberikan
pada anak berusia di atas 6 bulan apabila susu terhidrolisis ekstensif tidak tersedia
atau terdapat kendala biaya.

25
3.7. Rekomendasi diagnosis dan tata laksana alergi susu sapi

1. Untuk bayi dengan ASI eksklusif:

1.1. Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada
diet ibu selama 2-4 minggu. Lama eliminasi bergantung pada berat
ringannya reaksi alergi.

1.2. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, ibu dapat konsumsi kembali
nutrisi yang mengandung protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali,
maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi. Bila gejala tidak menghilang
setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.

1.3. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian
ASI dapat diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk
turunannya pada makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau
minimal selama 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat
diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah
toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul
kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan
seterusnya.

2. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula:

2.1. Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu
dengan mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu
formula hidrolisat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan
atau sedang) atau susu formula asam amino (untuk kelompok dengan
gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama 2-4 minggu.

2.2. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan


protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan
diagnosis susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka
perlu dipertimbangkan diagnosis lain.

2.3. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian
susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat
ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau
susu formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat).
Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan
atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat
diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah

26
toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali
maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.

2.4. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu
penghindaran protein susu sapi dalam bubur atau biskuit bayi.

3. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat


kendala biaya, maka sebagai alternatif bayi dapat diberikan susu formula
yang mengandung isolat protein kedelai dengan penjelesan kepada orang
tua kemungkinan adanya reaksi silang alergi terhadap protein kedelai pada
bayi. Formula kedelai yang dapat digunakan adalah formula kedelai yang
sudah diformulasikan untuk anak dan tidak boleh menggunakan susu
kedelai segar/murni atau yang dibuat untuk dewasa karena kandungan
nutrisinya tidak sesuai untuk anak.

Indikasi rawat

- Dehidrasi berat

- Gizi buruk

- Anafilaksis

- Anemia yang memerlukan transfusi darah

3.8. Prognosis

Pada umumnya alergi susu sapi tidak menetap, sebagian besar penderita
akan menjadi toleran sesuai dengan bertambahnya usia. Umumnya diketahui
bahwa ASS akan membaik pada usia 3 tahun: sekitar 50% toleran pada usia 1
tahun, 70% usia 2 tahun, dan 85% usia 3 tahun. Pada anak dengan alergi yang
tidak diperantarai IgE, toleransi lebih cepat terjadi yaitu pada usia sekitar 1 tahun
yang dapat dibuktikan dengan memakai metode uji provokasi. Pada anak dengan
alergi yang diperantarai IgE sebaiknya pemberiannya ditunda lebih lama lagi dan
untuk menentukan waktu yang tepat, dapat dibantu dengan panduan tes alergi.

27
Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Asi Eksklusif

28
Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Susu Formula

29
DAFTAR PUSTAKA
 Konsensus penatalaksanaan alergi susu sapi. UKK Alergi & Imunologi,
Gastroenterohepatologi, Gizi & Metabolik IDAI 2009.
 Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
 Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan anak. 2014
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin. Edisi ke 5. Bandung ;
 Tanjung, Azhar. Yunihastuti, Evy. 2007. Prosedur Diagnostik Penyakit
Alergi dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI
 Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium. Jakarta: FKUI.
 Siow JK, Alshaikh NA, Balakrishnan A, Chan KO, Chao SS, Goh LG,
dkk. Ministry of Health clinical practice guidelines: management of
rhinosinusitis and allergic rhinitis. Singapore Med J. 2010; 51(3):190–9.
 Simons FER, ArdussoLRF, Bilò MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring J,
dkk. World Allergy Organization anaphylaxis guidelines: summary. J
Allergy Clin Immunol. 2011;127(3):587–93.e22.

30

Anda mungkin juga menyukai