Oleh :
12100118584
Preseptor :
1
BAB I
BASIC SCIENCE
1. ALERGI
1.1. Pengertian
Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada suatu zat
(alergen) yang memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi. Namun, sebagian
besar para pakar lebih suka menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon
imun berlebihan yang menimbulkan penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Hal ini bergantung pada berbagai keadaan, termasuk pemaparan antigen, predisposisi
genetik, kecenderungan untuk membentuk IgE dan faktor-faktor lain, misalnya adanya
infeksi saluran nafas bagian atas, infeksi virus, penurunan jumlah sel T-supresor dan
defisensi IgA.
Secara umum penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu:
1. Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara genetik
menunjukkan kepekaan terhadap alergen dengan memproduksi IgE secara
berlebihan.
2. Alergi obat : reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat terhadap obat
tertentu.
3. Dermatitis kontak : reaksi hipersensitivitas IV yang disebabkan oleh zat kimia, atau
substansi lain misalnya kosmetik, makanan, dan lain-lain.
Manifestasi klinik alergi paling sering tampak melalui 3 organ sasaran, yaitu saluran
nafas, gastrointestinal dan kulit.
1.2. Etiologi
Ada beberapa jenis penyebab alergi yaitu :
1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis makanan
dan zat lain.
2
1.3. Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan
mastosit atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen
dengan IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan
degranulasi sel dan penglepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin,
vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat terjadi
kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-
IgE. Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta merangsang
kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas, histamin merangsang
kontraksi otot polos sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas dan
menyebabkan membran saluran nafas membengkak serta merangsang ekskresi lendir
pekat secara berlebihan. Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga
terjadi asma, sedangkan pada kulit, histamin menimbulkan benjolan (urtikaria) yang
berwarna merah (eritema) dan gatal karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah
dan pelebaran pembuluh darah. Pada gastrointestinal, histamine menimbulkan reflek
muntah dan diare.
Manifestasi Klinis
Asma.
Urtikaria.
Diare dan kram abdomen
Muntah-muntah.
Dermatitis atopic.
2. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Reaksi hipersensitivitas adalah peningkatan sensitivitas tubuh terhadap antigen yang
pernah terpapar atau terpajankan sebelumnya.
2.1 Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas dapat dibedakan berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk
beraksi pada tubuh manusia. Selain itu, ada juga pembagian menurut ilmuan Robert
Coombs dan Philips HH Gell, yang membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4
macam, diantaranya :
3
1. Berdasarkan Waktu
a. Reaksi Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Reaksi
ini melibatkan ikatan silang antara alergen dan IgE. Manifestasi dari reaksi ini
dapat berupa reaksi anafilaksis.
b. Reaksi Intermediet / Sedang
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24
jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan oleh sel NK. Manifestasi dari reaksi ini dapat berupa reaksi transfusi
darah, anemia hemolitik, eritroblastosis fetalis, reaksi arthus, vaskulitis,
glomerulonefritis, AR, dan Lupus
c. Reaksi Lambat
Reaksi lambat terjadi setelah terpajan antigen dan masih terlihat dalam 48
jam. Reaksi ini melibatkan sitokin yang dikeluarkan oleh sel T untuk
mengaktifkan makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Manifestasi dari
reaksi ini dapat berupa dermatitis kontak, reaksi M.Tuberkulosis, dan reaksi
penolakan transplantasi organ.
4
reaksi sitotoksik atau reaksi sitolitik. Reaksi ini terdiri dari 3 jenis mekanisme, yaitu
reaksi yang bergantung pada komplemen, reaksi yang bergantung pada ADCC dan
disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi. Mekanisme singkat dari reaksi tipe 2 ini
sebagai berikut :
- IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel
- Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atau antibodi
- Pengeluaran mediator kimiawi
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa anemia hemolitik autoimun,
eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris.
c. Hipersensitivitas Tipe 3
Reaksi hipersensitivitas tipe 3 terjadi karena pengendapan kompleks imun
(antigen-antibodi) yang susah difagosit sehingga akan mengaktivasi komplemen dan
mengakumulasi leukosit polimorfonuklear di jaringan. Reaksi ini juga dapat disebut
reaksi yang diperantarai kompleks imun. Reaksi ini terdiri dari 2 bentuk reaksi, yaitu :
reaksi Kompleks Imun Sistemik (Serum Sickness) dan reaksi Sistem Imun Lokal
(Arthus). Mekanisme reaksi ini secara umum sebagai berikut :
- Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit
- Mengaktifkan komplemen
- Menarik perhatian Neutrofil
- Pelepasan enzim lisosom
- Pengeluaran mediator kimiawi
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa reaksi Arthus, serum sickness,
LES, AR, glomerulonefritis, dan pneumonitis.
d. Hipersensitivitas Tipe 4
Reaksi ini dapat disebut juga reaksi imun seluler lambat karena diperantarai oleh
sel T CD4+ dan CD8+. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti reaksi
Tuberkulin, reaksi Inflamasi Granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme
reaksi ini secara umum sebagai berikut :
- Limfosit T tersensitasi
- Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T
langsung
5
Manifestasi yang ditimbulkan oleh reaksi ini dapat berupa tuberkulosis, dermatitis kontak
dan reaksi penolakan transplant.
Tipe Ivb
6
3) Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun
tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung
jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya
dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan
pasien.
5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung
kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan
diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi
dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial.
7
BAB II
CLINICAL SCIENCE
1. ANAFILAKSIS
1.1. Definisi
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas yang bersifat sistemik, berat, serta
mengancam jiwa. Reaksi ini berlangsung dalam beberapa menit sesudah paparan, dapat
bertahan hingga dua jam atau lebih
1.2. Manifestasi Klinis
Sebagian besar diawali dengan gejala pada kulit atau saluran pernapasan. Gejala
bervariasi, bergantung pada organ yang terkena.
Karakteristik yang khas: onset terjadi segera sesudah paparan alergen, interval waktu
antara beberapa detik hingga 1–2 jam, bergantung pada rute pemberian (i.v. biasanya
lebih cepat) dan derajat sensitisasi. Dapat terjadi manifestasi yang tidak biasa misalnya
sinkop tanpa disertai gejala lain
1.3. Gejala awal yang umum terjadi pada reaksi anafilaksis
Vertigo, pingsan, hipotensi
Urtikaria, angioedema
Gatal pada kulit
Kemerahan pada wajah
Nyeri kepala
Rinitis
Sesak, mengi
Nyeri substernal
Edema saluran respiratori atas
Mual, muntah, diare, nyeri abdomen
1.4. Diagnosis
Anamnesis
Waktu terjadinya onset
Terapi yang sudah diberikan
Lama terjadinya serangan
8
Obat-obatan dalam 6 jam terakhir
Riwayat sengatan binatang
Riwayat atopi penderita
9
1.6. Pemeriksaan Penunjang
10
11
Keterangan:
Circulation: pucat, telapak tangan lembap (clammy), tekanan darah rendah, pingsan,
koma
12
** Adrenalin pengenceran 1:1.000 (dapat diulangi setiap 5–15 mnt jika tidak ada
perbaikan), tempat penyuntikan terbaik pada daerah anterolateral paha ⅓ tengah. Dosis
diberikan berdasarkan BB: Dosis 0,01 mg/kgBB secara i.m. (1 mg/mL), maks. 0,3 mg.
Pada umumnya penderita berespons pada 1 atau 2 dosis pemberian
*** Cairan infus diberikan kristaloid 20 mL/kgBB. Koloid tidak boleh diberikan karena
dapat menjadi penyebab reaksi anafilaksis
**** Klorfeniramin i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 1–2 mg/kgBB/kali maks. 50 mg
i.v. atau p.o.
***** Hidrokortison i.m. atau i.v. lambat dengan dosis 4 mg/kgBB/kali maks. 100 mg
i.v. atau prednison 1 mg/kgBB dosis maks. 60–80 mg p.o. atau metilprednisolon dengan
dosis 1 mg/kgBB dengan dosis maks. 60–80 mg i.v.
1.7. Prognosis
13
2. Rinitis alergi (RA)
2.1. Definisi
2.2. Klasifikasi
Faktor Risiko:
14
Faktor Pencetus:
dioksida, ammonia.
2.4. Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis
Kulit: tanda-tanda dermatitis atopi terutama di regio malar pada wajah dan
regio fleksor pada lengan dan tungkai
15
Tes Diagnostik
2.4 Tatalaksana
1. Terapi Lingkungan
2. Farmakoterapi
16
Kortikosteroid intranasal dan oral
Efek terapeutik tercapai dalam waktu 6–8 jam sesudah pemberian, tetapi
mencapai tingkat maks. sesudah pemakaian 2 mgg.
17
Kortikosteroid oral jangka pendek: misalnya prednisolon dosis 0,5 mg/kg/hr,
diberikan pada gejala hidung tersumbat berat yang tidak dapat dikendalikan oleh
farmakoterapi lain, bersamaan dengan makanan di pagi hari selama 5–10 hr.
Penggunaan jangka panjang tidak direkomendasikan
Antihistamin
18
Kombinasi antihistamin oral dan kortikosteroid intranasal
Diberikan 1–2 mgg sebelum paparan antigen. Sediaan topikal, yaitu natrium
kromolin aman digunakan pada anak, karena durasi kerja yang singkat, harus
diberikan 4–6×/hr. Bila dibandingkan dengan antihistamin dan steroid intranasal,
kromolin memiliki efektivitas yang lebih rendah.
Antikolinergik
Onset kerjanya 15–30 mnt dan efektif dalam mengendalikan gejala hidung berair
tetapi tidak efektif untuk gejala rinitis lainnya. Kombinasi dengan steroid
intranasal perlu dipertimbangkan pada penderita yang gejala dominannya hidung
berair
19
Penyulit Sinusitis
Pemeriksaan foto Rontgen: metode Caldwell dan Waters untuk melihat opasitas
pada sinus paranasal Kultur dari sekret hidung atau faring bagian atas untuk
mengidentifikasi bakteri penyebab Pada infeksi virus akan terjadi perbaikan
gejala atau kesembuhan dalam waktu 10 hr sesudah onset penyakit. Pada sinusitis
bakterial akut, bila sesudah 10 hr dari onset penyakit tidak didapatkan perbaikan
gejala (gejala menetap) atau bahkan terjadi perburukan (demam tinggi >38,5 °C
selama 3–4 hr, secret hidung purulen, kongesti hidung, dan nyeri fokal pada
wajah di regiocmaksila atau frontal), merupakan suatu petanda perlunya
pemberiancantibiotic
Antibiotik:
20
Sefpodoksim 10 mg/kgBB/hr terbagi dalam 2 dosis
21
3. ALERGI SUSU SAPI
3.1. Definisi
Alergi susu sapi (ASS) adalah reaksi simpang terhadap protein susu sapi
yang diperantarai reaksi imunologi. World Allergy Organization, yaitu alergi
adalah reaksi hipersensitivitas yang diperankan oleh mekanisme imunologi.
Mekanisme tersebut bisa diperantarai oleh IgE (reaksi hipersensitivitas tipe I,
reaksi cepat) maupun non-IgE (reaksi hipersensitivitas tipe III atau IV, reaksi
lambat). Alergi susu sapi yang tidak diperantarai IgE lebih sering mengenai
saluran cerna, sementara ASS yang diperantarai IgE dapat mengenai saluran
cerna, kulit, dan saluran napas serta berhubungan dengan risiko tinggi timbulnya
alergi saluran napas di kemudian hari seperti asma dan rinitis alergi.
Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih
mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian
besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%,
sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah
gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang
bermanifestasi klinis berat.
3.3. Klasifikasi
1. IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala
klinis timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah mengonsumsi protein
susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah urtikaria, angioedema,
ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis,
bronkospasme, dan anafilaksis. Alergi susu sapi tipe ini dapat didukung dengan
kadar IgE susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau pemeriksaan IgE spesifik/IgE
RAST).
2. Non-IgE mediated, yaitu alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh
IgE, tetapi diperantarai oleh IgG. Gejala klinis timbul lebih lambat (> 1 jam)
setelah mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul
antara lain adalah allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis,
proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.
3.4. Diagnosis
Anamnesis
22
- Alergi susu sapi dapat menyebabkan beragam gejala dan keluhan, baik pada
saluran cerna, saluran napas, maupun kulit. Luasnya gejala yang timbul dapat
mempersulit pengenalan, menyebabkan misdiagnosis atau kadang-kadang
overdiagnosis.
- Awitan gejala ASS, waktu antar pemberian susu sapi dan timbulnya gejala, dan
jumlah susu yang diminum hingga menimbulkan gejala.
- Riwayat atopi pada orangtua dan saudara kandung perlu ditanyakan. Risiko
atopi meningkat jika ayah/ibu kandung atau saudara kandung menderita atopi, dan
bahkan risikonya lebih tinggi jika kedua orangtua sama-sama penderita atopi.
- Edema dan gatal pada bibir, mukosa oral, dan faring terjadi jika makanan yang
mensensitisasi kontak dengan mukosa.
- Muntah dan/atau diare, terutama pada bayi, bisa ringan, melanjut, atau
intractable dan dapat berupa muntah atau buang air besar berdarah. Alergi susu
sapi dapat menyebabkan kolik infantil. Jika hipersensitivitas berat, dapat terjadi
kerusakan mukosa usus, dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan penurunan
berat badan.
- Dermatitis atopi merupakan kelainan kulit paling sering dijumpai pada alergi
susu sapi, menempati urutan kedua setelah gejala saluran cerna. Erupsi yang
kemerahan pada umumnya terjadi setelah sensitisasi 1-2 minggu dan sering
mengalami eksaserbasi.
Rinitis kronis atau berulang, otitis media, batuk kronis, dan mengi merupakan
manifestasi alergi susu sapi yang cukup sering.
Gejala hematologi
Pucat akibat anemia defisiensi karena perdarahan mikro pada saluran cerna.
23
Pemeriksaan fisik
- Saluran napas: tanda rinitis alergi (konka edema dan pucat) atau asma
(mengi), otitis media efusi
Pemeriksaan penunjang
- Kombinasi SPT dan pengukuran antibodi IgE spesifik memiliki nilai duga
positif 95% untuk mendiagnosis ASS yang diperantarai IgE, sehingga dapat
mengurangi perlunya uji provokasi makanan jika yang dicurigai adalah ASS yang
diperantarai IgE.
- Uji cukit kulit dan kadar IgE spesifik tidak berguna dalam diagnosis ASS yang
tidak diperantarai IgE, sebagai alternatif dapat dilakukan uji tempel, atau uji
eliminasi dan provokasi.
Tidak ada gejala yang patognomonik untuk alergi susu sapi. Gejala akibat alergi
susu sapi antara lain pada gastrointestinal (50-60%), kulit (50-60%) dan sistem
pernapasan (20-30%). Gejala alergi susu sapi biasanya timbul sebelum usia satu
bulan dan muncul dalam satu minggu setelah mengkomsumsi protein susu sapi.
Gejala klinis akan muncul dalam satu jam (reaksi cepat) atau setelah satu jam
(reaksi lambat) setelah mengkomsumsi protein susu sapi.
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi tipe IgE–mediated adalah dengan
melihat gejala klinis dan dilakukan uji IgE spesifik (uji tusuk kulit atau uji
RAST).
• Jika hasil negatif maka dapat diberikan kembali makanan yang mengandung
protein susu sapi.
Pendekatan diagnosis untuk alergi susu sapi yang diperantarai non IgE–mediated
adalah dengan adanya riwayat alergi terhadap protein susu sapi, diet eliminasi, uji
provokasi makanan, dan kadang-kadang dibutuhkan pemeriksaan tambahan
seperti endoskopi dan biopsi.
Prinsip utama dalam tata laksana ASS adalah menghindari susu sapi dan
makanan yang mengandung susu sapi sambil mempertahankan diet bergizi dan
seimbang untuk bayi dan ibu yang menyusui. Pada bayi yang diberikan ASI
eksklusif, ibu perlu mendapat penjelasan berbagai makanan yang mengandung
protein susu sapi yang perlu dihindari. Konsultasi dengan ahli gizi perlu
dipertimbangkan. Pada anak yang mendapat susu formula, diberikan susu
pengganti berupa susu terhidrolisis sempurna/ekstensif atau susu formula asam
amino pada kasus yang berat. Susu formula kedelai dapat dicoba untuk diberikan
pada anak berusia di atas 6 bulan apabila susu terhidrolisis ekstensif tidak tersedia
atau terdapat kendala biaya.
25
3.7. Rekomendasi diagnosis dan tata laksana alergi susu sapi
1.1. Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada
diet ibu selama 2-4 minggu. Lama eliminasi bergantung pada berat
ringannya reaksi alergi.
1.2. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, ibu dapat konsumsi kembali
nutrisi yang mengandung protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali,
maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi. Bila gejala tidak menghilang
setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.
1.3. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian
ASI dapat diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk
turunannya pada makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau
minimal selama 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat
diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah
toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul
kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan
seterusnya.
2.1. Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu
dengan mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu
formula hidrolisat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan
atau sedang) atau susu formula asam amino (untuk kelompok dengan
gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama 2-4 minggu.
2.3. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian
susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat
ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau
susu formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat).
Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan
atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat
diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah
26
toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali
maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
2.4. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu
penghindaran protein susu sapi dalam bubur atau biskuit bayi.
Indikasi rawat
- Dehidrasi berat
- Gizi buruk
- Anafilaksis
3.8. Prognosis
Pada umumnya alergi susu sapi tidak menetap, sebagian besar penderita
akan menjadi toleran sesuai dengan bertambahnya usia. Umumnya diketahui
bahwa ASS akan membaik pada usia 3 tahun: sekitar 50% toleran pada usia 1
tahun, 70% usia 2 tahun, dan 85% usia 3 tahun. Pada anak dengan alergi yang
tidak diperantarai IgE, toleransi lebih cepat terjadi yaitu pada usia sekitar 1 tahun
yang dapat dibuktikan dengan memakai metode uji provokasi. Pada anak dengan
alergi yang diperantarai IgE sebaiknya pemberiannya ditunda lebih lama lagi dan
untuk menentukan waktu yang tepat, dapat dibantu dengan panduan tes alergi.
27
Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Asi Eksklusif
28
Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Susu Formula
29
DAFTAR PUSTAKA
Konsensus penatalaksanaan alergi susu sapi. UKK Alergi & Imunologi,
Gastroenterohepatologi, Gizi & Metabolik IDAI 2009.
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan anak. 2014
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin. Edisi ke 5. Bandung ;
Tanjung, Azhar. Yunihastuti, Evy. 2007. Prosedur Diagnostik Penyakit
Alergi dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium. Jakarta: FKUI.
Siow JK, Alshaikh NA, Balakrishnan A, Chan KO, Chao SS, Goh LG,
dkk. Ministry of Health clinical practice guidelines: management of
rhinosinusitis and allergic rhinitis. Singapore Med J. 2010; 51(3):190–9.
Simons FER, ArdussoLRF, Bilò MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring J,
dkk. World Allergy Organization anaphylaxis guidelines: summary. J
Allergy Clin Immunol. 2011;127(3):587–93.e22.
30