Anda di halaman 1dari 16

Nilai-nilai Budaya dalam Pengajaran Bahasa di Sekolah

Moh. Nur Arifin


moh.nur.arifin@uinbanten.ac.id

Abstract

Sekolah menjadi salah satu tempat yang baik untuk mengenalkan nilai-nilai
budaya (cultural values) bagi generasi muda. Nilai-nilai budaya itu sangat
berarti dalam masyarakat, karena bertalian dengan norma, keyakinan, adat,
praktik-praktik dan simbol-simbol. Oleh karenanya, nilai-nilai itu perlu dirawat,
dipelihara dan diwariskan kepada generasi muda, baik melalui keluarga,
pendidikan atau organisasi-organisasi masyarakat. Secara praktis, sekolah
manjadi tempat untuk menempa anak-anak muda tentang bagaimana cara
melihat, merasa dan bertindak dalam setiap perilaku. Artikel ini mendiskusikan
bagaimana nilai-nilai budaya ditanamkan dalam diri siswa melalui pengajaran
bahasa di kelas.

Key words: culture, cultural values, pengajaran, bahasa.

Pendahuluan
Setiap kelompok masyarakat memiliki adat, kebiasaan dan keyakinan
yang disepakati dan tertanam dalam diri mereka. Dalam kajian budaya dikenal
dengan istilah cultural values (nilai-nilai budaya). Nilai budaya merupakan
konsep abstrak mengenai masalah besar dan bersifat umum, penting serta
bernilai bagi kehidupan masyarakat. Nilai budaya menjadi acuan tingkah laku
sebagian besar anggota masyarakat yang bersangkutan; berada dalam alam
pikiran mereka dan sulit untuk diterangkan secara rasional. Ia bersifat
langgeng, tidak mudah berubah ataupun tergantikan dengan nilai budaya yang
lain.
Nilai-nilai budaya itu sangat berarti dalam masyarakat, karena bertalian
dengan norma, keyakinan, adat, praktik-praktik dan simbol-simbol. Oleh
karenanya, nilai-nilai itu perlu dirawat, dipelihara dan diwariskan kepada
generasi muda, baik melalui keluarga, pendidikan atau organisasi-organisasi
masyarakat. Dalam perspektif Durkheim, pendidikan, dalam arti sekolah
merupakan salah satu tempat yang baik untuk mengenalkan nilai-nilai (values)
bagi generasi muda. Secara praktis, sekolah manjadi tempat penggemblengan
anak-anak muda tentang bagaimana cara melihat, merasa dan bertindak.
Durkheim menyebut, ‘Society can survive only if there exists among its
members a sufficient degree of homogeneity: education perpetuates and
reinforces this homogeneity by fixing in the child from the beginning the
essential similarities which collective life demands’ (Haralambos, 2013).
Masyarakat dapat bertahan hanya jika ada di antara anggotanya yang memiliki
tingkat homogenitas yang cukup, bertalian dengan hal tersebut, pendidikan

1
perlu mengabdikan dan memperkuat homogenitas itu dengan
memperkenalkan kepada anak sejak dini pentingnya kesamaan tersebut.
Di samping mengembangkan salah satu skill/kompetensi tertentu,
sekolah berkewajiban menanamkan pengetahuan tentang baik dan buruk,
inilah inti dari pengajaran (instruction). Seperti diketahui bersama, sekolah—
dalam arti pendidikan, bukan hanya tempat mentransfer ilmu pengetahuan
kepada siswa, tetapi juga sebagai tempat untuk menanamkan nilai-nilai
(values) ke dalam dirinya. Immanuel Kant dalam Kant on Education menyebut
tiga hal penting yang harus diinternalisasikan pada diri siswa melalui
pendidikan, yaitu a) skill, b) discretion, dan 3) morality (Kant,1900: 95).
Pendidikan skill harus ditanamkan secara serius, bukan hanya sekedar
mengetahui (to know), tetapi juga bisa melakukan (how to do). Skill harus
menjadi karakter yang tertanam dalam diri siswa. Berikutnya adalah diskresi,
bahwa pendidikan itu berhubungan dengan gejala karakteristik dan sifat emosi
siswa. Dalam aktifitas mengajar, guru tidak hanya mengolah kognisi siswa,
tetapi juga suasana hati dan emosinya. Dan terakhir, moralitas adalah aspek
ketiga yang harus ditanamkan dalam diri siswa. Kant menyebut moralitas
sebagai pendidikan karakter yang diawali dengan kemampuan self-control
siswa. Self control is the first step towards the formation of the good character
(Kant, 1900:96)
Dengan kata lain, sekolah menjadi kekuatan integratif bagi masyarakat,
di samping sebagai pusat akademik yang menjalankan fungsinya mentransfer
ilmu pengetahuan dan mengembangkan kompetensi, ia juga memiliki fungsi
sosial, yaitu imparting of knowledge of good judgement and wisdom, misalnya
secara sistematis pendidikan dapat menjadi media untuk menularkan nilai-nilai
budaya kepada anak didik baik melalui kurikulum, kegiatan ekstra kurikuler
dan hubungan informal antarsiswa dan guru. Oleh sebab itu, pendidikan—
dalam arti sekolah menjadi salah satu pilar penting dalam penanaman nilai-
nilai budaya, di samping keluarga dan institusi-institusi sosial lain. Misalnya,
melalui beragam kegiatan di sekolah baik yang wajib diikuti maupun kegiatan-
kegiatan ekstra lain, sikap sosial, seperti kerja sama, semangat tim, ketaatan,
disiplin dan sebagainya dapat ditumbuhkembangkan dengan baik.

Definisi dan Nilai-Nilai Budaya

Budaya memiliki pengertian yang sangat luas sekali. Banyak para ahli
budaya yang memberikan definisi tentang budaya dan membahas
banyak hal yang terkait dengan budaya, termasuk di antaranya
persoalan pendidikan bahasa. Menurut Clifford Geertz, budaya berarti:
...an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbols, a
system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means
of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge
about and their attitudes toward life (Clifford Gertz, 1973:83)

2
Budaya dalam pandangan Geertz adalah pola makna dan konsepsi yang
terdapat dalam simbol-simbol, yang diwariskan secara turun menurun sebagai
alat untuk berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan
tentang sikap mereka terhadap kehidupan. Geertz menilai bahwa budaya
adalah warisan turun menurun yang sangat berharga. disamping sebagai alat
komunikasi antar masyarakat, budaya juga mencerminkan sikap dan identitas
sosial.
Raymond Williams (1921-1988), ahli kajian budaya Inggris, menulis
dalam pengantar buku Culture and Society 1780-1950 definisi budaya secara
lebih luas. Pertama, budaya adalah “...general state or habit of mind”, suasana
dan tradisi alam pikiran. Dengan kata lain, budaya berhubungan erat dengan
hasil karya dan ide manusia. Kedua, Willliams mendefinisikan budaya dengan
“the general state of intellectual development, in society as a whole”. Alam
pertumbuhan intelektual suatu kelompok sosial secara umum. Ketiga, budaya
adalah “the general body of the arts”, kumpulan hasil karya seni. Keempat,
budaya adalah “a whole way of life, material, intellectual and spiritual”. Definisi
terakhir ini lebih inovatif, Williams menyebut budaya sabagai pranata hidup
baik materi, intelektual dan spiritual. (Raymond Williams ,1982:16) Dalam
buku Cultural Theory and Popular Culture, John Storey mengutip secara tidak
langsung definisi budaya Williams seperti berikut; “. . .a general process of
intellectual, spiritual, and aesthetic development.”( Mathew Arnold, 2005:1)
Baldwin et.al. juga mengutip definisi budaya Williams, bahwa budaya adalah
“. ...works and practices of intellectual and especially artistic activity.” (Elaine
Baldwin et.al, 2004:1) Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa budaya adalah keseluruhan sistem hidup meliputi tradisi pikiran,
intelektual, materi, seni dan spiritual yang dimiliki suatu kelompok sosial untuk
kebaikan hidupnya.
Koentjaraningrat (1923-1999), ahli antropologi, mendefiniskan budaya
dengan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal
tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah budaya
karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masayarakat yang
tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri,
beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiolog, atau kelakuan
membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan
kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya, seperti
makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya, juga dirombak olehnya
menjadi tindakan berkebudayaan. Manusia makan pada waktu-waktu tertentu
yang dianggapnya wajar dan pantas, ia makan dan minum dengan alat-alat,
cara-cara dan sopan santun atau protokol yang seringkali sangat rumit, harus
dipelajari dulu dengan susah payah. Dengan demikian,Koentjoroningrat
melihat bahwa budaya itu dibangun dengan cara belajar (Koentjaraningrat,
2009:144-145)
Definisi budaya Koentjaraningrat yang memiliki poin, bahwa budaya
adalah karakter yang dibangun melalui belajar (learned behavior) sejalan
dengan definisi kritis Mathew Arnold, ahli budaya populer, yang secara rinci

3
mendefiniskan budaya dengan “(i) the ability to know what is the best,(ii)what
is the best, (iii) the mental and spiritual application of what is best, (iv) the
pursuit of what is best.” (Koentjaraningrat,2009:18-19) Arnold melihat bahwa
budaya adalah upaya manusia mencapai prestasi kebaikan melalui tata cara
dan alat, yaitu pengetahuan, knowledge. Karena pengetahuan menurut Arnold
dapat mengubah keadaan manusia menuju suasana yang lebih baik dan
berperadaban. Maka, tak heran jika ia menyatakan bahwa culture is body of
knowledge, budaya adalah kumpulan pengetahuan. John Storey dalam
bukunya Cultural Theory and Popular Culture, secara mendalam dan
komprehensif menjelaskan pikiran-pikiran Mathew Arnold tentang budaya ini
dan ia menyimpulkan bahwa budaya adalah “the endeavour to know the best
and to make this knowledge prevail for the good of all mankind”( ibid.). Usaha
serius untuk mengetahui hal-hal terbaik dan upaya menjadikan pengetahuan
sebagai sumber kebaikan bagi semua manusia.
Definisi budaya terus berkembang, artinya para ahli dengan sangat
dinamis dapat terus berusaha membuat definisi budaya dengan sangat
beragam. Hofstede (1994) juga mendefinisikan budaya sebagai pikiran,
perasaan, dan tindakan manusia. Menurutnya, budaya adalah piranti lunak
jiwa manusia (software of the mind). Analogi dari Hofstede sangat menarik. Ia
memakai perumpamaan komputer untuk menjelaskan peran budaya bagi
kehidupan manusia. Peran piranti lunak adalah penentu dari bekerjanya
sebuah komputer tanpanya komputer menjadi tidak berguna, dengan kata lain
piranti lunak-lah yang menentukan kerja sebuah komputer. Hosftede ingin
menegaskan betapa pentingnya budaya dengan menganalogikan budaya
sebagai ‘software of the mind.’ Budaya adalah penggerak manusia. Tanpanya,
manusia sekedar makhluk tanpa makna (Hofstede, 1994: 5).
Setiap budaya suatu kelompok masyarakat mengangung nilai-nilai
yang luhur. Nilai budaya adalah wujud ideal dari kebudayaan dan merupakan
konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat.
Secara fungsional, nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi kepada kehidupan manusia.
Menurut Kluckhohn C. seperti dikutip oleh Koentjaraningrat, ada lima
masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi variasi
sistem nilai budaya, yaitu 1) masalah hakikat dari hidup manusia (selanjutnya
disingkat MH). 2) Masalah hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat
MK); 3) masalah hakikat dari kedudukan manusia yang berhubungan dengan
ruang waktu (selanjutnya disingkat MW), 4) masalah hakikat dari hubungan
manusia dengan alam sekitarnya, dan 5) Masalah hakikat dari hubngan
manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM). Kelima masalah
tersebut sering disebut sebagai orientasi nilai budaya (value orientation)1.
Dalam pandangan Warnanen (1988) dikemukakan bahwa perilaku
manusia yang didasarkan pada nilai-nilai budaya dalam kehidupannya di dunia
dapat dilihat melalui hubungan manusia dengan pribadinya, dengan
masyarakatnya, dengan Tuhannya, dengan alamnya, dan hubungan dalam
mencari kesejahteraan lahir dan batin.2 Pendapat ini menegaskan bahwa
orientasi manusia terhadap nilai budaya akan tergantung pada hakikat

4
kedudukan manusia dalam kehidupannya serta kesadarannya terhadap
keharmonisan hubungan dengan penciptanya yang tumbuh dari
pengakuannya sebagai makhluk yang diciptakan dan memiliki peran khusus
dalam kehidupannya di dunia.
Cara berbagai kebudayaan mengkonsepsikan orientasi nilai budaya
universal dapat berbeda-beda. Kluckhohn dan Strodtbeck, sebagaimana
dikutip oleh Koentjaraningrat3 mengemukakan kemungkinan orientasi nilai
budaya sebagaimana dilihat dalam tabel berikut:
Kerangka Kluckhohn mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup
Yang menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia

Masalah Kemungkinan Variasi Orientasi Nilai Budaya


Dasar Hidup KONSERVATIF TRANSISI PROGRESIF
Hakikat hidup Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk,
(MH) tetapi manusia
wajib berikhtiar
supaya hidup itu
menjadi baik
Hakikat karya Karya itu untuk Karya itu untuk Karya itu untuk
(MK) nafkah hidup kedudukan, menambah kaya
kehormatan, dan
sebagainya
Persepsi Orientasi ke masa Orientasi ke Orientasi ke masa
manusia lalu masa kini depan
tentang waktu
(MW)
Pandangan Manusia tunduk Manusia Manusia berhasrat
manusia kepada alam yang berusaha menguasai alam
terhadap alam dahsyat menjaga
(MA) keselarasan
dengan alam
Hakikat Orientasi kolateral Orientasi vertikal, Individualisme
hubungan (horizontal), rasa rasa menilai tinggi usaha
antara kebergantungan kebergantungan atas kakuatan
manusia pada sesamanya pada tokoh-tokoh sendiri
dengan (berjiwa gotong atasan dan
sesamanya royong) pangkat

Berdasarkan tabel di atas, dapat dikemukakan bahwa berbagai


kebudayaan mengkonsepsikan masalah-masalah universal tersebut dengan
berbagai variasi yang berbeda-beda. Pertama, masalah hakikat dari hidup
manusia terdapat kebudayaan yang memandang bahwa hidup itu buruk, hidup
itu baik, dan hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu
menjadi baik. Kedua, hakikat dari karya manusia, terdapat kebudayaan yang
memandang bahwa karya itu untuk nafkah hidup, karya itu untuk kedudukan,

5
kehormatan, dan sebagainya, dan kebudayaan yang memandang bahwa
karya itu untuk menambah karya. Ketiga, hakikat kedudukan manusia
terhadap waktu, terdapat kebudayaan yang berorientasi ke masa depan,
berorientasi ke masa kini, dan yang berorientasi ke masa lalu. Keempat,
hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, terdapat kebudayaan
yang memandang bahwa manusia harus tunduk kepada alam yang dahsyat,
manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam, dan manusia berhasrat
untuk menguasai alam. Kelima, hakikat dari hubungan manusia dengan
sesamanya, terdapat kebudayaan yang berorientasi kolateral (horizontal), yaitu
rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong), berorientasi
vertikal, yaitu rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan
berpangkat, dan kebudayaan yang berorientasi individualisme, yaitu menilai
tinggi usaha atas kekuatan sendiri.
Selain menunjukkan perberbedaan dalam hal memecahkan masalah
yang bernilai dalam hidup, variasi orientasi nilai budaya juga berarti bahwa
seorang individu dapat menganut suatu pola orientasi nilai budaya dalam satu
lapangan hidup, disamping pola-pola orientasi lain. Kluckhohn dan Strodtbeck
membedakan adanya paling sedikit empat lapangan hidup, yaitu lapangan
hidup keluarga, lapangan hidup sosial, lapangan hidup pekerjaan dan profesi,
dan lapangan hidup agama4
Variasi orientasi nilai budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn dan
Strodtbeck tersebut oleh Felly, diklasifikasikan sebagai nilai budaya
konservatif, nilai budaya progresif dan nilai budaya transisional5. Ketiga
klasifikasi itu adalah sebagai berikut:
1) Orientasi nilai budaya konservatif
Orientasi nilai budaya ini memandang hidup itu buruk, kerja hanya untuk
menjamin kelangsungan hidup, orientasi waktu ke masa lalu, alam
dipersepsikan sangat dahsyat maka manusia harus tunduk terhadap
hukum alam, serta memiliki orientasi sosial vertikal.
2) Orientasi nilai budaya progresif
Orientasi nilai budaya ini memandang hidup itu buruk tetapi harus
diperjuangkan agar lebih baik, kerja semata-mata untuk mendapatkan
prestasi yang tinggi, orientasi waktu ke masa depan, hasrt yang tinggi
untuk menguasai alam, serta memiliki rasa kemandirian yang kuat.
3) Orientasi nilai budaya transisional
Orientasi nilai budaya ini merupakan peralihan dari nilai budaya konservatif
ke nilai budaya progresif. Nilai budaya transisional ini ditandai dengan
memandang hidup itu baik, kerja dilakukan untuk mendapatkan
kedudukan, orientasi waktu ke masa kini, serta memiliki hubungan kolektif
yang kuat.

Wujud Budaya
Talcot Parson bersama A.L. Kroeber dalam The Concept of Culture
and of Social System, seperti dikutip oleh Koentjaraningrat membedakan
wujub budaya sebagai satu rangkaian dan aktivitas manusia yang berpola 6

6
Senada dengan pendapat ini, J.J. Honigmann dalam The Wolrd of Man,
membedakan atas tiga gejala budaya, 1) ideas, 2) activities, 3) artifacts,
Honigmann melihat, bahwa budaya memiliki tiga wujud, yaitu: 1) wujud
kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma,
peraturan dan sebagainya. 2) wujud kebudayaan sebagai sesuatu aktivitas
yang amat kompleks serta tindakan berpola dari kelompok masyarakat. 3)
wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Sistem
demikian ini tidak lain merupakan tatanan norma ideal.7
Wujud pertama, bersifat abstrak dan tidak dapat digambar secara
nyata. Sebagian masih berupa kerangka pemikiran dalam otak, dan sebagian
lain berupa kerangka perilaku yang ideal, yang memberika corak dan jiwa,
serta tatanan kehidupan yang serasi, seimbang dan selaras. Wujud ini di
masyarakat disebut adat istiadat. Adat isitiadat ini bersifat umum dan turun
temurun. Apabila dilanggar akan menimbulkan suatu rasa yang tidak enak
pada benaknya. Para ahli antropologi menyebutnya sebagai sistem budaya
atau cultural system.8 Lokasi wujud budaya ini secara nyata memang tidak
bisa di lihat atau bahkan di potret, namun ide itu dituliskan oleh masyarakat
dimana budaya yang bersangkutan itu hidup dalam karangan atau buku-buku
hasil karya. Bahkan sekarang budaya ideal juga banyak tersimpat dalam CD,
arsip, koleksi mikrofilm, hard disk komputer dan silinder.9
Wujud kedua berupa aktivitas yang amat kompleks serta tindakan
berpola dari kelompok masyarakat. Termasuk dalam kategori ini adalah
tatanan manusia dalam hidup bersosialisasi dan berkomunikasi serta bergaul
di antara sesamanya. Berbeda dengan sistem budaya, wujud budaya yang
satu ini gampang dilihat secara nyata, dapat didokumentasikan karena
nampak pada perilaku manusia sehari-hari.10 Koentjaraningrat menyebut wujud
budaya ini dengan social system mengenai tindakan berpola dari manusia itu
sendiri.
Wujud ketiga berupa benda-benda hasil karya manusia. Wujud budaya
ini lebih konkret dan cenderung tidak memerlukan penjelasan apapun. Benda
hasil kerajinan, misalnya dapat dirasa, disentuh dan dipotret. 11 Ada benda-
benda yang sangat besar seperti pabrik, ada juga benda-benda kecil yang
sangat rumit dan canggih, seperti komputer, atau benda-benda besar yang
bergerak, seperti kapal, atau bangunan hasil seni arsitek, seperti candi.
Seperti telah disebutkan bahwa ketiga wujud budaya diatas sejatinya
bukan hal yang berdiri sendiri. Semua merupakan suatu kerangka yang saling
mengisi. Budaya ideal memberi bentuk dan mengarahkan, budaya aktivitas
melakasanakan upayanya, dan budaya atefak memberikan perwujudan nyata
atas usaha.
Sungguhpun ketiga wujud dari budaya tadi saling berkaitan, tetapi
untuk keperluan analisis perlu diadakan pemisahan antara tiap-tiap wujud itu.
Hal ini sering dilupakan, tidak hanya dalam diskusi-diskusi atau dalam
pekerjaan sehari-hari, ketiga wujud dari budaya tadi sering dikacaukan. Semua
unsur budaya dapat dipandang dari sudut ketiga wujud masing-masing tadi. 12
Pondok Modern Gontor misalnya, sebagai wujud dari lembaga pendidikan
Islam modern di Indonesia, Gontor menjadi salah satu unsur dalam

7
kebudayaan Indonesia secara keseluruhan. Dari kacamata wujud budaya,
Gontor menjadi salah satu unsur kebudayaan yang ideal. Pesantren ini
memiliki cita-cita, norma untuk para guru, santri dan karyawan, aturan ujian,
kode etik, visi misi, baik bersifat alamiyah maupun yang populer dan
sebagainya. Sebaliknya, Gontor sebagai lembaga pendidikan juga terdiri dari
suatu rangkaian aktivitas dan tindakan tempat manusia saling berhubungan
dan berinteraksi dalam melaksanakan berbagai macam hal. Ada guru yang
sedang mengajar dan santri yang sedang mendengarkan dan mencatat, ada
orang yang sedang ujian, menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ada juga santri
latihan menjadi orator dan sebagainya. Namun, terlepas dari itu semua, orang
dapat juga melakukan penelitian tentang Pondok Modern Gontor, tanpa
memperhatikan hal-hal tersebut di atas. Ia hanya memperhatikan Pondok
Modern Gontor sebagai himpunan benda fisik yang harus diinventarisasi.
Itulah sebabnya ia hanya melihat Pondok Modern Gontor sebagai kompleks
gedung, ruang-ruang kelas, deretan bangku-bangku belajar, himpunan buku,
sekumpulan meja tulis, mesin komputer, timbunan dan alat-alat lainnya.

Unsur-Unsur Budaya
Unsur-unsur kebudayaan menurut C Kluckhohn (1962) dalam bukunya 
Universal Categories of Culture in Anthropology Today yang kemudian disebut
cultural universal meliputi yaitu:
1) Peralatan dan perlengkapan hidup ( pakaian, perumahan, alat-alat
produksi, transportasi)
2) Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan,
sistem produksi, distribusi )
3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem
hukum, perkawinan)
4) Bahasa (lisan maupun tertulis)
5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dll)
6) Sistem pengetahuan
7) Religi (system kepercayaan)13
 Budaya universal tersebut menurut C Kluckhohn dapat dijabarkan lagi
kedalam unsur-unsur yang lebih kecil. Sebagai contoh budaya universals
pencaharian hidup dan ekonomi antara lain mencakup kegiatan-kegiatan
seperti pertanian, peternakan, system produksi, dan kesenian misalnya
kegiatan seni tari, seni rupa dan sebagainya.
  Kluckhohn C, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, menyatakan
dalam sebuah kebudayaan banyak hal – hal yang mempengaruhi kualitas dan
terbentuknya budaya tersebut. Suatu sebab terbentuknya budaya oleh
manusia karena manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan nafsu
berupaya untuk memenuhi kebutuhan baik secara jasmani maupun secara
spiritual yang berhubungan kepada Tuhan sang pencipta. Budaya tercipta oleh
lingkungannya, bagaimana manusia menciptakan suatu kebiasaan yang
sesuai dengan tempat dia berada.14
Unsur kebudayaan terbentuk dari apa yang ada dalam kehidupan
sehari– hari, seperti pakaian dan rumah adat dari masing-masing daerah yang

8
menunjukkan perbedaan setiap kelompok. Budaya dalam sistem ekonomi
suatu kelompok tergantung oleh iklim, adaptasi lingkungan, dan sumber daya
alam masing–masing daerah, misalnya di daerah agraris, secara tidak
langsung pekerjaan mereka sebagai seorang petani, di daerah pantai,
masyarakat akan memanfaatkan lahan yang ada yaitu sebagai nelayan, di
tengah kota besar tentunya sama, tidak logis jika di kota besar yang padat
industri modern kemudian penduduknya bertani.
Dalam pandangan Koentjaraningrat, tiap-tiap kebudayaan universal
sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan seperti diuraikan
di atas, yaitu wujudnya berupa sistem budaya, berupa sistem sosial, dan
berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian, sistem ekonomi
misalnya mempunyai wujud sebagai konsep, rencana, kebijaksanaan, adat
istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga mempunyai wujud
yang berupa tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak,
pedagang, ahli transportasi, pengecer dengan konsumen, dan selain itu dalam
sistem ekonomi terdapat pula unsur-unsurnya yang berupa peraltan, komoditi,
dan benda ekonomi. Demikina juga sistem religi misalnya mempunyai wujud
sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus,
neraka, surga dan sebagainya, tetapi juga mempunyai wujud berupa upacara,
baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap
setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan
benda-benda religius.15

Struktur Sistem Budaya


Dari sekian banyak yang dipaparkan oleh Keesing, ia menyimpulkan
makna dari budaya sebagai sistem adaptif, yaitu :
a) Budaya Sebagai Sistem Adaptif
Pertama, setiap pemikiran bahwa apabila kita menguliti lapisan
konvensi kultural maka pada akhirnya kita akan menemukan Primal man dan
keadaan manusia yang bugil di dasarnya, merupakan pemikiran yang steril
dan berbahaya. Kita memerlukan satu model interaksional yang kompleks,
bukan satu lapisan yang sederhana seperti itu.16. Jadi yang dimaksud oleh
Keesing ialah dalam meneliti suatu budaya diperlukan pemikiran yang sangat
serius tidak bisa diungkapan dengan biasa–biasa saja dan sederhana sekali,
apabila kita mencoba untuk meneliti dan mengamati secara lebih dalam maka
yang kita dapatkan ialah sesuatu yang murni, oleh itu dikatakan olehnya “…
merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya…”. Kebudayaan itu bersifat
dinamis namun sangat berhati – hati dalam menentukan bagaimana kemudian
kelanjutannya.
Kedua, baik determinisme ekologis maupun determinisme kultural yang
ekstrem sekarang dapat didukung oleh kepercayaan dan ideologi, tetapi tidak
oleh ilmu pengetahuan yang arif bijaksana. Yang perlu untuk ditelusuri adalah
cara–cara bagaimana garis acuan biologis ditransformasikan dan
dikembangkan ke dalam pola-pola kultural; dan ini memerlukan rencana
penelitian yang imajinatif dan hati–hati dan penyelidikan yang telaten, bukan

9
polemik-polemik dan sensasionalisme. Jadi yang dimaksud Keesing ialah
kebudayaan tidak dapat diukur dalam ilmu pengetahuan, tetapi kebudayaan itu
diukur melalui kepercayan dan ideologi–ideologi masyarakat yang berbudaya.
Dalam meneliti kebudayaan bukanlah untuk mencari suatu ketenaran atau
sensasi melainkan untuk mendapatkan hal-hal yang diperlukan dan berguna
bagi masyarakat luas dengan cara penelitian yang imajinatif dan hati-hati serta
penyelidikan yang telaten.17
b) Budaya sebagai sistem Ideasional
Teori ini adalah teori yang dipegang teguh oleh Keesing dalam setiap
materinya ia menyebutkan tentang Ideasional yaitu budaya berperan sebagai
sistem ide (gagasan), dan teori ini bertolak dengan ahli teori adaptasi tentang
budaya. Ia membedakan tiga cara yang khas dalam mendekati budaya
sebagai sistem ide (gagasan). Pertama, budaya sebagai sebagai istem
kognitif. Artinya, budaya bukan sekedar untuk hiasan saja dalam kehidupan
seseorang, tetapi dengan mempelajari budaya, kita juga turut mempelajari
suatu pengetahuan. Oleh karena itu Keesing mengatakan bahwa budaya tidak
didukung oleh ilmu pengetahuan yang arif bijaksana sebab dengan
kebudayaan itulah kita mempelajari suatu ilmu pengetahuan yang arif
bijaksana itu. Keesing mengatakan satu tema besar yang lain pada 15 tahun
terakhir ini adalah kemunculan antropologi kognitif yang ekplisit yang disebut
etnografi baru, ethnoscience, ethnograpic seemantics. Dalam prakteknya,
etnografi baru ini pada dasarnya satu pengkajian terhadap sistem klasifikasi
penduduk setempat (folk classification). Ia pun berpendapat bahwa
perkembangan penelitian yang terus menerus terhadap pengetahuan kultural
ini dapat menghasilkan penglihatan yang lebih dalam.
Kedua, budaya sebagai sistem struktural, artinya yang mempengaruhi
susunan atau tatanan yang terpola secara kultural ialah pikiran (mind). Struktur
pemikiran-pemikiran yang meliputi tentang bahasa, adat istiadat yang berbeda
antara masyarakat itu dipandang sebagai budaya, yaitu bersifat universal yang
semua masyarakat di dunia ini punya akan kebudayaan tersebut, daripada
sistem budaya yang bersifat lokal. Oleh karena itu setiap budaya pada masing-
masing masyarakat berbeda di seluruh dunia karena pikiran mereka yang
menyebabkan kebudayaan itu berbeda satu sama lain. Paham ini didasarkan
pada teori strukturalisme Claude Levi Strauss, ahli antropologi Perancis.18
Ketiga, budaya sebagai sistem simbolik. Jalan lain dalam membahas
kebudayaan adalah dengan cara memandang kebudayaan-kebudayaan
sebagai sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama. Aliran ini berasal
dari tradisi humanistis di bidang kritik sastra dan filsafat yang mendalami
simbol, makna, dan metafor.19

Belajar Bahasa dan budaya


Mempelajari sebuah bahasa tak dapat dilepaskan dari mempelajari
bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai salah
satu artefak (Clark, 1997) bagi penggunanya, bahasa berfungsi sebagai alat
untuk mengekspresikan dan mereproduksi budaya. Selain sebagai alat untuk
menyampaikan gagasan, secara praksis, bahasa sangat berhubungan erat

10
dengan konteks dan situasi masyarakat penggunanya. Cook-Gumpers
(2007:13) meyakini bahwa perbedaan interpretasi pada komunikasi dua
budaya yang berbeda, tidak hanya disebabkan oleh faktor semantik dan
grammar, tetapi juga oleh situasi sosial. Artinya, seseorang yang mempelajari
bahasa asing, Inggris misalnya, secara tidak langsung ia harus memahami
budaya masyarakat penuturnya. Dengan kata lain, belajar sebuah bahasa
harus disertai dengan pemahaman budaya bahasa penuturnya.
Dewasa ini, dalam pembelajaran bahasa asing, kemampuan berbicara
dengan fasih, menyerupai penutur asli, bukan lagi hal yang paling utama,
tetapi pemahaman terhadap budaya bahasa yang dipelajari terbukti berperan
penting dalam menentukan keberhasilan penyampaian pesan dan terjalinnya
komunikasi yang lancar antara penutur dan lawan bicara. Oleh karenanya,
pembelajar bahasa asing harus juga memiliki kompetensi apa yang Byram
(1991) sebut dengan istilah Intercultural communicative competence,
Baumgratz (1987) dengan istilah transactional communicative competence dan
Nostrand (1991) menyebutnya cultural competence. Dengan demikian, ahli-
ahli bahasa ini semakin menguatkan posisi penting budaya dalam pengajaran
bahasa.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahasa dan budaya adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa bukan sekedar rangkaian kata
penyambung makna, tetapi kata Ernst Cassirer (1994) bahasa adalah media
untuk memahami gejala-gejala sosial, ekspresi-ekspresi budaya dan piranti
untuk hidup bersama dengan yang lain. Jika kita cermati kompetensi Inti
pelajaran bahasa Inggris pada tingkat SMP/MTs dan SMA/MA, kompentensi
antarbudaya tidak disebut secara eksplisit, namun menurut hemat penulis
kompetensi itu tersirat pada KI “..berinteraksi secara efektif dengan lingkungan
sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia. Oleh karenanya, guru, sebagai fasilitator bahasa asing
siswa, harus mampu menerjemahkan Kompetensi Inti tersebut ke dalam
proses kegiatan belajar bahasa di kelas.
Istilah kompetensi komunikatif pertama kali diperkenalkan pada kajian
sosiolinguistik dan linguistik antropologi. Hymes (1986) dan Saville-Troike
(1989) memiliki definisi yang sama atas istilah ini. ‘what a speaker needs to
know in order to be able to communicate appropriately within a particular
speech community’(Liddicoat, 2003:10). Selanjutnya, istilah kompetensi
komunikatif berkembang secara cepat terutama ketika para ahli membuat
definisi istilah language competence yang jauh lebih luas dari definisi
Chomsky di tahun 1965an. Ia menyebut kompetensi bahasa ‘...consisted
solely of the ability to form any and all of the grammatical sentences of a
language’. Definisi kompetensi bahasa Chomsky ini dianggap belum cukup,
karena ia melihat keterampilan bahasa hanya dari satu sudut saja, yaitu tata
bahasa (grammar) dan mengabaikan keterampilan lain, seperti kemampuan
memahami situasi dari setiap pola bahasa sehingga mampu digunakan untuk
menafsirkan pesan-pesan bahasa.
Pada pengajaran bahasa modern, Inggris misalnya, istilah kompetensi
antarbudaya memang sangat kompleks untuk didefinisikan. Michael Byram

11
(2008:96) membuat definisi tentang kompetensi antarbudayasetelah
menyelesaikan risetnya pada bidang ini yang dikenal dengan istilah savoirs,
yaitu lima formula pengetahuan dan skill yang menggambarkan kompetensi
antarbudaya; (a) Attitude; sikap terbuka, kuriositas, siap menghargai budaya
orang lain dan budayanya sendiri (savoir êtrê). (b) Knowledge: pengetahuan
tentang kelompok sosial dengan tradisi dan karya-karyanya, atau tentang
negara orang yang lerlibat percakapan berikut tata cara interaksi baik individu
maupun sosial.(c) Skill of interpreting and relating: kemampuan interpreatasi
dan relasi; kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam
menginterpretasikan dokumen atau peristiwa dari budaya sosial dari negara
lain dan mampu menghubungkan dengan budaya negaranya sendiri. (d) Skill
of discovery and interaction: kemampuan ini berhubungan dengan
keterampilan seseorang dalam menemukan pengetahuan baru tentang budaya
atau kegiatan-kegiatan kebudayaan dari kelompok sosial atau negara yang
berbeda serta mampu menerapkan pengetahuan tersebut. (e) Critical cultural
awareness/political education: kemampaun ini berhubungan dengan
keterampilan seseorang mengevaluasi secara kritis berdasarkan kriteria
khusus berupa praktik-praktik atau produk budaya.
Senada dengan Byram, Kramsch (2003:32) membuat kriteria kompetensi
antarbudaya sebagai berikut; a) pengetahuan tentang diri dan orang lain;
bagaimana berinteraksi dengan orang; bagaimana membangun hubungan
dengan masyarakat. b) mengetahui bagaimana menafsirkan dan mengaitkan
informasi (dengan budaya negaranya sendiri). c)mengetahui bagaimana
melibatkan diri dalam kegiatan politik/pendidikan; memiliki kesadaran kultural.
d) mengetahui bagaimana menemukan informasi tentang budaya.
e)mengetahui bagaimana memahami nilai-nilai sosial, karakter dan keyakinan
kelompok masyarakat tertentu.
Makna kompetensi komunikatif sebagaimana diungkapkan oleh Byram
dan Kramsch cukup meyakinkan bahwa telah terjadi perubahan secara
dinamis dalam memberikan definisi language competence, tidak berhenti pada
definisi yang diberikan Chomsky pada tahun 1965an.

Mengajar Bahasa dan Budaya


Pada kegiatan belajar di kelas, guru bahasa asing sebagai fasilitator
kegiatan belajar bahasa bertugas tidak hanya memfasilitasi kegiatan-kegiatan
kebahasaan siswa untuk memenuhi Standar Kompetensi (KI/KD), tetapi juga
harus memperhatikan kompetensi antarbudaya siswa (intercultural
competence). Kompetensi tersebut, di samping penting secara konseptual
pembelajaran bahasa asing, tetapi juga menjadi bagian yang tak terelakkan
dari kegiatan belajar di kelas dalam rangka membekali siswa dengan
kompetensi yang berhubungan dengan kehidupan nyata di level regional,
nasional, dan global, seperti sikap toleransi, santun, dan percaya diri dalam
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dalam jangkauan
pergaulan dunia.
Dewasa ini, dalam pembelajaran bahasa asing, kemampuan berbicara
dengan fasih menyerupai penutur asli bukan hal yang paling utama, tetapi

12
pemahaman terhadap budaya bahasa yang dipelajari terbukti berperan penting
dalam menentukan keberhasilan penyampaian pesan dan terjalinnya
komunikasi yang lancar antara si penutur dan lawan bicaranya. Dengan
demikian, upaya pengembangan “Intercultural Competence”, kini menjadi hal
yang amat urgent untuk dicapai dalam pembelajaran bahasa, terutama bahasa
asing.
Hampir dapat dipastikan, ketika guru hendak mengajar, media dan
sumber belajar yang paling utama adalah buku. Buku siswa, kata Alan
Cunningsworth (1995), memiliki kedudukan terpenting dalam konteks buku
pelajaran. Begitu pentingnya kedudukan buku siswa itu, sehingga sering
disebut “buku pelajaran” yang sebenarnya adalah sebutan untuk payungnya.
Kedudukan buku pelajaran bahasa yang penting itu muncul karena
buku memiliki beberapa fungsi yang strategis, menurut Alan buku siswa dapat
menjadi; a) sumber bahan yang disajikan untuk pelatihan bahasa lisan dan
tulis, b) sumber kegiatan siswa dalam latihan berkomunikasi c) sumber acuan
siswa untuk belajar tata bahasa, kosa kata, lafal, dan sebagainya. d)sumber
gagasan dan dorongan kegiatan-kegiatan belajar mengajar di kelas. e)
perwujudan silabus yang didalamnya tujuan-tujuan pembelajaran telah
digariskan. f)sumber belajar dan tugas mandiri.
Oleh karena itu, untuk pengajaran bahasa asing, Inggris misalnya,
buku siswa menjadi media sekaligus sumber belajar yang efektif. Dalam
konteks pengajaran antarbudaya buku siswa tentu memiliki peranan yang
sangat penting juga. Tidak heran jika kemudian para ahli bahasa dan budaya,
seperti Byram, Baumgratz, Nostrand dan masih banyak lagi mendorong
pengajaran antarbudaya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengajaran
bahasa. Untuk tujuan ini, buku siswa idealnya memuat aspek-aspek budaya
bahasa sasaran. Bagi guru bahasa asing, kompetensi antarbudaya ini penting
untuk diperhatikan tidak hanya pada ranah konseptual tetapi juga praksis
melalui strategi-strategi pembelajaran yang kreatif.
Tujuan pengajaran antarbudaya salah satunya adalah agar siswa
memiliki pengetahuan alternatif dalam memahami budaya-budaya di dunia dan
membandingkannya dengan budaya mereka. Oleh karena itu, siswa
diharapkan memiliki peluang yang cukup besar untuk menganalisis nilai-nilai
dan makna dari budaya-budaya yang berbeda, seperti melalui sastra, film,
sejarah,dan politik dari budaya sasaran. Mengenai hal itu, Corbett
mengungkapkan bahwa mungkin saja siswa tidak mau mengadopsi budaya
sasaran, tetapi setidaknya mereka mampu memahami budaya tersebut untuk
menambah wawasan mereka sekaitan dengan penguasaan bahasa sasaran.
Seperti disarankan Byram et al. setidaknya ada sembilan aspek budaya
yang idealnya terintegrasi di dalam buku-buku teks siswa, yaitu a) social
identity and social group, b)social interaction, c) belief and behavior, d) socio-
political institution, e)socialisation and the life-cycle, f) national history, g)
national geography, h)national cultural heritage, i) stereotype and national
identity.20 Bagi guru, atau penulis buku-buku teks bahasa asing idealnya
memberi porsi cukup baik itu melalui wacana, kolom budaya, dialog, gambar
atau bentuk-lain yang bersifat praksis bagi siswa.

13
Simpulan
Nilai-nilai budaya itu sangat berarti dalam masyarakat, karena
berhubungan dengan norma, keyakinan, adat, praktik-praktik dan simbol-
simbol. Oleh karenanya, nilai-nilai itu perlu dirawat, dipelihara dan diwariskan
kepada generasi muda, baik melalui keluarga, pendidikan atau organisasi-
organisasi masyarakat. Pendidikan, dalam arti sekolah merupakan salah satu
tempat yang baik untuk mengenalkan nilai-nilai (values) bagi generasi muda.
Secara praktis, sekolah manjadi tempat penggemblengan anak-anak muda
tentang bagaimana cara melihat, merasa dan bertindak. Dalam kegiatan
pengajaran, guru harus memperhatikan nilai-nilai budaya di dalamnya. Materi-
materi dalam buku teks, idealnya dikemas secara baik, bersifat praksis,
readble dan bukan berupa dogmatis teori bahasa, melainkan berupa stimulus-
stimulus yang membangkitkan semangat siswa untuk memahami nilai-nilai
(values) yang terkandung di dalamnya. Guru bahasa, oleh karenya, juga harus
menjadi guru budaya. Karena keduanya memang saling berkaitan. Through
learning language, we learn about culture. Through laerning about culture, we
learn respect for other. (J.R.R Tolkien).

Daftar Pustaka

Baldwin, Elaine, et al, Introducing Cultural Studies: Revised First


Edition, England: Pearson Education Limited. 2004.
Barker, Chris. Cultural Studies: Theory and Practice, 2000.
Diterjemahkan oleh Nurhadi, Cultural Studies: Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2004.
Boas, Franz, Race, Language and Culture, New York: The Macmillan
Company, 1940.
Byram, M. and V. Esarte-Sarries, Investigating cultural studies in foreign
language teaching: a book for teacher. New York: Multilingual
Matters. 1991.

Byram, Michael, et al, From Foreign Language Education for


Intercultural Citizenship: Essay and Reflections. UK: the Cromwell
Press Ltd. 2008.
Byram, Michael, et al. Context and Culture in Language Teaching and

Corbett, J. Languages for intercultural communication and education, 7:


Intercultural Approach to English Language Teaching [online].
(16.11.2010),2003.http://site.ebrary.com/lib/jyvaskyla/Doc?
id=10051997&ppg=152.

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-press. 2010.

14
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: UI-press. 2010.
Storey, John, Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction,
England: Pearson Longman. 2004.

15
1

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 2009), h.154.
2
Suwarsih Warnaen, Pandangan Hidup Orang Sunda: Satu Hasil Studi Awal, dalam Harsja W. Bachtiar et
all.. Masyarakat dan Kebudayaan, Kumpulan Karangan untuk Prof. Dr. Selo Soemardjan (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1989), h.34.
3
Op.cit., h.157
4
Op.cit., h.102
5
Felly, Usman dan Asih Menanti,. Teori-teori Sosial Budaya. (Jakarta: Proyek Pembinaan dan
Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Depdikbud, 1994), h.104
6
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 2009), h.150.
7
J.J. Honigmann, The World of Man, (New York: Harper & Row, 1959), h.h.11-12
8
I Gede A.B. Wiranata, Antropologi Budaya, (Bandung:PT Aditya Bakti, 2011), h.h.103-104
9
Koentjaraningrat, op.cit. h.151.
10
I Gede A.B. Wiranata, Antropologi Budaya, (Bandung:PT Aditya Bakti, 2011), hh.103-104
11
Koentjaraningrat, op.cit. h.151.
12
Koentjaraningrat, op.cit. h.152.
13
Kluckhohn C., Universal Categories of Culture in Anthropology Today, (Chicago IL: Chicago Press,
1952), hh.140-144
14
Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, edisi ke-4,(Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 78
15
Koentjaraningrat, Op.cit., hh.165-166
16
Roger M. Keesing, Cultural Anthropology, dialihbahasakan oleh R..G.Soekadijo, Antroplogi budaya,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1981), hh. 117-120
17
Ibid., h. 122
18
Ibid., h.,117
19
Ibid., h.,118
20
Byram, M. and V. Esarte-Sarries, Investigating cultural studies in foreign language teaching: a book for
teacher. New York: Multilingual Matters. 1991

Anda mungkin juga menyukai