Bab 123
Bab 123
Bab 123
Disusun oleh :
Nim : 0117059/4B
2020-2021
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada tahun 2020 diwilayah prambon jumlah laki-laki 0,0% kemudian jumlah perempuan
100,0%. Di wilayah kajartengguli jumlah laki-laki 100,0% kemudian jumlah perempuan
0,0%. Di wilayah gedangrowo jumlah laki-laki 25,0% kemudian jumlah perempuan 75,0%.
Di wilayah wirobiting jumlah laki-laki 50,0% kemudian jumlah perempuan 50,0%. Di
wilayah simpang jumlah laki-laki 100,0% kemudian jumlah perempuan 0,0%. Di wilayah
bulang jumlah laki-laki 66,7% kemudian jumlah perempuan 33,3%. Diwilayah gampang
jumlah laki-laki 0,0% kemudian jumlah perempuan 100,0%.Di wilayah jatikalang jumlah
laki-laki 0,0% kemudian jumlah perempuan 0,0%. Di wilayah pejangkungan jumlah laki-laki
100,0% kemudian jumlah perempuan 0,0%. Di wilayah kedungsugo jumlah laki-laki 33,3%
kemudian jumlah perempuan 66,7%. Di wilayah kedungwonokerto jumlah laki-laki 28,6%
kemudian jumlah perempuan 71,4%. Di wilayah bendotretek jumlah laki-laki 60,0%
kemudian jumlah perempuan 40,0%. Di wilayah wonoplintahan jumlah laki-laki 75,0%
kemudian jumlah perempuan 25,0%. Di wilayah kedungkembar jumlah laki-laki 0,0%
kemudian jumlah perempuan 100,0%. Di wilayah jati alun alun jumlah laki-laki 20,0%
kemudian jumlah perempuan 80,0%. Di wilayah jedungcangkring jumlah laki-laki 0,0%
kemudian jumlah perempuan 100,0%. Di wilayah cangkringturi jumlah laki-laki 50,0%
kemudian jumlah perempuan 50,0%. Di wilayah simogirang jumlah laki-laki 60,0%
kemudian jumlah perempuan 40,0%. Di wilayah temu jumlah laki-laki 0,0% kemudian
jumlah perempuan 100,0%. Di wilayah watutulis jumlah laki-laki 100,0% kemudian jumlah
perempuan 0,0%. Luar kabupaten jumlah laki-laki 25,0% kemudian jumlah perempuan
75,0%. Penderita TB juga mengatakan bahwa untuk apa minum obat lagi jika tidak ada tanda
dan gejala atau keluhan yang dirasakan , selain itu penderita TB terkadang malas untuk
meminum obat dikarenakan ada efek samping seperti mual dan muntah setelah
meminumnya. Penderita TB terkadang juga lupa dan malas untuk menggunakan masker
dikarenakan penderita TB masih ada yang belum memahami cara penularan dari kuman TB
itu sendiri, selain itu ada juga yang masih malu akan penyakit yang di deritannya jika ingin
melakukan kontak komunikasi dengan orang disekitar.
Tuberculosis bisa dicegah penularannya dan disembuhkan dengan rutin melakukan
pengobatan yang teratur kurang lebih selama 6 bulan. Apabila pengobatan dalam waktu
kurang lebih 6 bulan tidak berhasil, maka akan dilakukan pengobatan dengan jangka waktu
yang lebih lama lagi, kondisi seperti ini yang membuat penderita TB paru mengalami stress,
sistem imun dalam tubuh akan menerima berbagai input termasuk stressor itu sendiri selain
factor fisik, penting juga memperhatikan factor psikologis pada penderita TB paru antara lain
pemahaman individu yang dapat mempengaruhi persepsi terhadap penyakit. Persepsi
negative terhadap penyakit TB paru akan menyebabkan penderita takut dan menolak untuk
mencari pengobatan. Persepsi terhadap penyakit ditunjukkan dengan adanya perubahan
perilaku seperti, lebih cenderung berada didalam rumah menghindar ,membatasi diri,
menarik diri atau bisa dikatakan bahwa individu menunjukkan adanya krisis efikasi diri.
Selain itu, penderita merasa takut akan isolasi dan perlakuan negative dari masyarakat jika
mengetahui bahwa dirinya menderita TB.Hampir semua penderita mendapatkan perlakuan
yang negative dari lingkungkan ataupun orang disekitar seperti keluarga , akan tetapi masih
ada penderita TB paru yang mendapatkan dukungan dan perlakuan yang baik.
Perlakuan negative inilah yang mampu memberi stressor dan beban psikologis bagi penderita
sehingga penderita TB merasa hidupnya tidak berharga dan bermakna. Stress yang
berkepanjangan juga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien, sehingga pasien memerlukan
mekanisme penyelesaian masalah atau koping yang efektif untuk dapat mengurangi atau
mengatasi stress (armiyati& rahayu, 2014).
Mekanisme koping memiliki peranan penting bagi penderita TB paru ketika mengalami
masalah atau stressor mekanisme koping yang buruk juga dapat mempengaruhi efikasi diri
penderita TB paru menjadi rendah, penderita TB paru akan merasa tidak yakin akan
kemampuan dirinnya, sehingga penderita akan cenderung untuk menutup diri dan menolak
mencari pengobatan terhadap kesembuhannya, apabila kondisi tersebut tidak segera
ditangani maka akan menimbulkan bahaya dan komplikasi lain hingga kematian
(widianti,hernawati & sriati,2014).Mekanisme koping merupakan strategi seseorang untuk
mengatasi masalah , dengan strategi koping yang efektif dapat mempengaruhi keyakinan
pasien terhadap kesembuhan. (suharsono & istiqomah, 2014)
1.2 rumusan masalah
apakah ada hubungan mekanisme koping stress dengan kepatuhan minum obat pada
penderita TB paru diprambon sidoarjo
1.3 tujuan penelitian
1.3.1 tujuan umum
mengetahui hubungan mekanisme koping stress dengan kepatuhan minum obat TB paru
diprambon sidoarjo
1.3.2 tujuan khusus
1. mengidentifikasi mekanisme koping stress masyarakat terhadap kepatuhan minum
obat TB paru diprambon sidoarjo
2. mengidentifikasi kepatuhan minum obat TB paru diprambon sidoarjo
3. menganalisis hubungan mekanisme koping stress dengan kepatuhan minum obat TB
paru diprambon sidoarjo.
1.4 manfaat penelitian
1.4.1 manfaat bagi tenaga kesehatan dan petugas kesehatan
diharapkan hasil penelitian ini bisa dijadikandasar teori perawat desa untuk edukasi
tentang kepatuhan minum obat TB paru.
1.4.2 manfaat bagi responden
diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan supaya responden
dapat mengetahui dengan baik tentang kepatuhan minum obat pada TB paru.
1.4.3 manfaat bagi institusi kesehatan
diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kepustakaan dan
pengetahuan yang berguna bagi mahasiswa, khususnya pada mahasiswa STIKES DIAN
HUSADA MOJOKERTO
1.4.4 manfaat bagi peneliti
untuk menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti sekaligus sebagai media dalam
mengemukakan pendapat tentang hubungan mekanisme koping stress dengan kepatuhan
minum obat pada penderita TB paru.
BAB 2
TINJAUN PUSTAKA
2.1 definisi mekanisme koping
Kemampuan menghadapi stress berbeda pada setiap individu tergantung kemampuan koping
yang dimiliki. Koping merupakan respon yang dilakukan tubuh untuk mengurangi beban
fisik,emosional, dan psikologis yang berhubungan dengan akivitas atau kesibukan sehari-hari.
Bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau menangani emosi yang umumnya negative
yang ditimbulkannya.Bahkan diantara mereka yang menilai suatu situasi sebagai penuh stress,
efek stress dapat bervariasi tergantung bagaimana individu menghadapi berbagai situasi yang
terjadi. Koping yang efektif dan tepat akan memberikan kemampuan kepada pasien untuk
menyesuaikan diri atau mennghadapi stressor seperti nyeri, hilangnya sebagianfungsi tubuh,
mual muntah, kelelahan, penurunan mobilitas, isolasi social, harga diri, ketidak pastian, takut
akan kematian penyesuian diri dengan lingkungan rumah sakit.
Menurut Siswanto (2007), stresor yang sama dapat menimbulkan respon yang berbeda pada
setiap individu sesuai dengan karakteristik yang memiliki seperti:
1) Usia
Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling
mengganggu. Usia dewasa biasanya lebih mampu mengontrol stres dibanding dengan usia anak-
anak dan usia lanjut.
2) Jenis kelamin
Wanita biasanya memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding dengan pria
terutama wanita-wanita di usia produktif karena hormon-hormon masih bekerja secara normal.
3) Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, toleransi dan pengontrolan terhadap stresor
biasanya lebih baik.
4) Tingkat kesehatan
Orang yang sakit lebih mudah menderita akibat stres dibandingkan orang yang sehat.
5) Kepribadian
Seseorang dengan kepribadian tipe A (tertutup) lebih mudah terkena stres daripada orang dengan
kepribadian tipe B (terbuka).
6) Harga diri
Harga diri yang rendah cenderung membuat efek stres lebih besar dibandingkan dengan orang
yang memiliki harga diri yang tinggi.
Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan
lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan , walaupun efek
samping obat OAT sangat berdampak pada tubuh mereka akan tetapi respon keinginan pasien
untuk sembuh dari penyakit tuberculosis sangat besar.
Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu
ingin tetap mempertahankan kesehatanya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya
2) Keyakinan
b. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat
dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan
dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan
dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik, sertapenderita mau
menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya.
c. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan
faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat
mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan
terhadap ketidaktaatan.
Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku
kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat
yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi
perilakupasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakantertentu dari
pasien, dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah
mampu berapdatasi dengan program
pengobatanya.
Faktor lain adalah peran PMO, kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk
untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk
menentukan tingkat kepatuhan dan keberhasilanya (Purwanta, 2005, Ciri-ciri Pengawas Minum
Obat, diperoleh tanggal 23 Maret 2007).Pengobatan dilakukan setiap hari dan dalam jangka
panjang, sehingga kepatuhan minum obat (adherence) juga sering menjadi masalah yang
harusdipikirkan sejak awal pengobatan. Minum obat yang tidak rutin terbukti telah
menyebabkan resistensi obat yang dapat menyebabkan kegagalan pengobatan. Berdasarkan hal
tersebut, tentu perlu adanya pengaturanpenggunaan obat sesuai tujuannya terutama obat seperti
yang dikehendaki. Aturan minum obat sangat berpengaruh pada kepatuhan penderita
(complience) (Nirmala, 2003, Konsultasi kesehatan kepatuhan minum obat, diperoleh tanggal
23 Maret 2007
Pada tahap intensif (awal) penderita menciptakan obat setiap hari dan diawasi langsung
untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap OAT, terutama rifampisin, bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita yang menularkan penyakit
menjadi tidak menularkan penyakit dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita
tuberculosis BTA positif menjadi BTA negative pada akhir pengobatan intensif.Pengawasan
ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
b. Tahap lanjutan (4-7 bulan)
Pada tahap lanjutan penderita mendapatkan jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka
waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan ini pnting untuk membunuh kuman sehingga dapat
mencegah terjadinya kekambuhan.Panduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan
obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
rifampisin,INH,pirasinamid,streptomisin dan etambutol. Sedangkan jenis obat tambahan
adalah kanamisin,kuinolon,makrolode, dan amoksilin,derivate rifampisin/INH.
c. Terapi komplementer
Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang dilakukan sebagai pendukung
pada pengobatan medis konvesional atau sebagai pengobatan pilihan lain diluar pengobatan
medis.
2.4 konsep ketidakpatuhan pengobatan
1. pengertian ketidakpatuhan pengobatan
Ketidakpatuhan merupakan perilaku individu atau pemberi asuhan tidak mengikuti sesuai
dengan rencana perawatan atau pengobatan yang disepakati dengan tenaga kesehatan,
sehingga menyebabkan hasil perawatan atau pengobatan tidak efektif (Tim pokja SDKI DPP
PPNI,2016).
Menurut (bulechek, 2015) ketidakpatuhan adalah perilaku individu dan pemberi asuhan
yang tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan atau terapeutik yang ditetapkan oleh
individu keluarga atau komunitas serta professional pelayanan kesehatan.Perilaku pemberian
asuhan atau individu yang tidak mematuhi ketetapan, rencana promosi kesehatan atau
teraputik secara keseluruhan atau sebagian tidak efektif.
2. penyebab ketidakpatuhan terhadap pengobatan pada pasien tuberculosis
Menurut (Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2016) penyebab ketidakpatuhan yaitu
a. Disabilitas (misalnya penurunan daya ingat, sensorik/motoric)
b. Efek samping program perawatan/pengobatan
c. Beban pembiayaan program perawatan/pengobatan
d. Lingkungan tidak terapeutik
e. Program terapi kompleks
f. Hambatan mengakses pelayanan kesehatan (misalnya gangguan mobilisasi, cuaca tidak
menentu)
g. Program terapi tidak ditanggung asuransi
h. Ketidakadekuatan pemahaman (sekunder akibat deficit kognitif,kecemasan,gangguan
penglihatan/pendengaran,kelelahan,kurang motivasi)
5. Tanda dan gejala ketidakpatuhan terhadap pengobatan tuberculosis
Berikut tanda dan gejala ketidakpatuhan terhadap pengobatan tuberculosis menurut (Tim pokja
SDKI DPP PPNI, 2016) :
Subjektif :
1. Klien menolak menjalani perawatan/pengobatan
2. Klien menolak mengikuti anjuran
Objektif :
1. Perilaku tidak mengikuti program perawatan/pengobatan
2. Perilaku tidak menjalankan anjuran
Tujuan pengobatan pada penderita tuberculosis paru selain untuk menyembuhkan atau
mengobati penderita juga dapat mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi
OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
2.2.6 kerangka konsep
Lembar observasi menurut Wina Sanjaya (2009: 84).berisikan daftar dari semua aspek
yang akan diobservasi,sehingga obsever tinggal memberi tanda pada aspek yang diobservasi.
Lembarobservasi dibuat berdasarkan pendapat dari beberapa ahli mengenai
kemampuanmembaca permulaan yang diambil oleh peneliti dan disesuaikan
denganPermendiknas No 58 Tahun 2009. Berikut akan disajikan tabel kisi-kisi
instrumenthubungan mekanisme koping stres dengan kepatuhan minum obat pada penderita
tuberkulosis paru.
No. Indikator Skor Deskripsi
1. Kepatuhan minum obat 1 Px mampu
menyebutkan
jadwal minum
obat.
2 Px mampu
menerapkan
kepatuhan
minum obat
2. Mekanisme stres 1 Px mampu
mengontrol
mekanisme stres
2.2.7 penelitian terkait
menurut lie liana fuadiati 2019 menunjukkan hasil bahwa analisa bervariat dari
kedua variabel tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara mekanisme
koping dengan stres pasien tb paru dirumah sakit jember dengan p value 0,00 dan
nilai koefisien korelasi (r)sebesar -0,529. Hasil ini menunjukkan bahwa hubungan
antara variabel keduannya tergolong sedang dan bernili negatif, yang artinya
semakin adaptif mekanisme koping maka semakin ringan stres yang dialami.
Nilai koefisienkorelasi mendekati nol maka hubungan kedua variabel akan
semakin lemah.
Menurut dwi rifqi putri wahyu hidayati 2019 menunjukkan hasil bahwa penderita
TB paru dipuskesmas tanah kali kedinding memiliki mekanisme koping adaptif
karena adanya faktor dari suatu dukungan yg baik dari keluarga. Hal ini dapat
dibuktikan pada hasil tabulasi silang bahwa sebagian besar keluarga menjadi
pengawas minum obat penderita TB paru dipuskesmas tanah kali kedinding
surabaya yaitu 53 responden 93%.
Menurut limbu dalam penelitian septia 2013 tanpa pengobatan setelah lima tahun
50% dari pasien tuberkulosis paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri
dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% sebagai kasus kronik yg mentap
menular.
Menurut aditama 2009 tuberkulosis adalah penyakit menular lansung yang
disebabkan oleh kuman microbacterium tuberkulosis (TBC).
Menurut anand 2014 di india tentang persepsi pasien TB terhadap stigma
masyarakat dan keluarga kepada mereka yaitu pasien pernah menunda
pengobatan TB karena stigma 21%. 34% pasien mengeluhkan adanya perubahan
negatif.
2.2.8 Hipotesis
H0 = ada hubungan mekanisme koping stres terhadap kepatuhan minum obat pada
penderita TB paru.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu carauntuk memperoleh suatu kebenaran. Ilmu pengetahuan
atau pemecahan masalah menurut metode keilmuan (Notoatmodjo, 2010). Pada bab ini akan
menguraikan tentang1) Desain penelitian, 2) Populasi, Sampel dan Sampling, 3) Identifikasi
variabel penelitian dan definisi operasional, 4) Prosedur penelitian, 5) Analisa Data,6)Etika
Penelitian
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga
peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pernyataan penelitian. Desain penelitian
mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk mencapai tujuan penelitian,
serta berperan sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan tersebut.(Setiadi,
2013)Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalahobservasi analitik.
Dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan untuk menganalisis hubungan
koping stres dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB paru di puskesmas.
Pengukuran atau pengamatan dilakukan pada saat bersaam pada data variabel lndependen dan
dependen.
Kerangka Kerja Penelitian
Populasi
Semua pasien dengan TB Paru di Puskesmas prambon sidoarjo
Teknik Sampling :
Probability sampling dengan pendekatan simple random sampling
Sampel :
Sebagian pasien dengan TB paru di Puskesmas prambon sidoarjo yang
memenuhi kriteria inklusi ∑ = 62
Pengumpulan Data
Kuisioner Observasi
Mekanisme Koping
Pengolahan Data
Editing, coding, skoring, cleaning
Analisa Data
Uji Bivariat :Non Parametrik Uji Spearman
rho
Hasil dan Pembahasan
3.2 Populasi, sampling, sampel
3.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini
populasi yang digunakan peneliti adalah masyarakat prambon sidoarjo yang berjumlah
66 orang.
3.2.2 Sampel
Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat prambon sidoarjo
yang sebesar 61 orang, sampel diambil dari kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut:
1. kriteria inklusi ; penderita TB yang sedang menjalani pengobatan
2. kriteria ekalusi ; penderita TB
3. Besar sampel
Pada penelitian ini, jumlah sampel ditentukan dengan rumus Slovin, yaitu (Notoatmodjo,
2012):
N
n= 2
1+ N ( d)
62
n=
1+62(0,05)2
62
n=
1+62 ( 0,0025 )
62
n=
1+0,155
62
n=
1,155
n=53
Keterangan :
n = jumlah sampel.
N = jumlah populasi.
D = batas toleransi kesalahan (error tolerance).
Jadi, besar sampel pada penelitian ini adalah 53 orang penderita tb paru .