Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Nasib
obat dalam tubuh” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih kepada Ibu Rifda Naufa Lina, S. Farm., M. Farm., Apt. Dosen mata kuliah
Biofarmasetika Stikes Cendekia Utama Kudus yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Nasib obat dalam tubuh. Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke
depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik
lagi.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Obat adalah benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan
gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh. Di dalam tubuh obat mengalami
berbagai macam proses hinga akhirnya obat dikeluarkan lagi dari tubuh.
Tujuan terapi obat adalah mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan berbagai keadaan
penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus disampaikan pada jaringan
target sehingga kadar terapeutik didapatkan. Dokter klinik harus mengetahui bahwa
kecepatan awitan kerja obat, besarnya efek obat dan lamanya kerja obat dan lamanya kerja
obat di kontrol oleh empat proses dasar gerakan dan modifikasi obat dalam tubuh.
Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuanya didalam tubuh, yaitu tempat
kerjanya atau target site, obat harus mengalami banyak proses. Dalam garis besarnya, proses-
proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu fase farmasetik, fase farmokinetika dan fase
farmokodinamika.
Efek obat tidak tergantung dari factor farmakologi saja,tetapi juga dari bentuk
pemberian dan terutama dari formulasinya. Dimana fator formulasi yang dapat mengubah
efek obat dalam tubuh yaitu benuk fisis zat aktif, keadaan kimiawi, zat pembantu, dan proses
teknik yang digunakan untuk membuat sediaan. Penelitian efek samping obat-obatan dan atau
teknologi baru terhadap beberapa penyakit berhubungan dengan perjalanan obat di dalam
tubuh serta perlakuan tubuh terhadapnya. Proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi,
metabolism (biotransformasi), dan eliminasi.
Efek karakteristik dari obat akan hilang, apabila obat telah bergerak ke luar dari badan
dan konsekuensi dari letak aksinya baik dalam bentuk yang tidak berubah atau setelah
mengalami metabolisme obat dan terjadi metabolit yang dikeluarkan melalui proses ekskresi.
Oleh karena itu sangat penting diketahui bagaimana cara badan telah menangani obat dengan
proses absorbs, distribusi, metabolism dan ekskresi, bila kita menentukan suatu dosis, rute,
bentuk obat yang diberikan bila dikehendaki efek terapi yang diinginkan dengan efek toksik
yang minimal.
Mengingat proses perjalanan obat didalam tubuh ini merupakan proses penting yang
menentukan berhail atau tidaknya obat itu memberikan suatu efek bagi tubuh maka didalam
makalah ini kami akan membahas tentang perjalanan obat didalam tubuh secara lebih dalam
lagi. Tercapainya konsentrasi obat tergantung dari jumlah obat yang diberikan, tergantung
pada keadaan dan kecepatan obat diabsorbsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh
aliran darah ke bagian lain dari badan. (Agoes, G. (2008).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana nasib obat dalam tubuh?
2. Apa saja transport obat dalam tubuh?
3. Bagaimana absorbsi obat dalam tubuh?
4. Bagaimana distribusi obat dalam tubuh?
5. Bagaimana mekanisme metabolisme obat?
6. Bagiamana mekanisme ekskresi obat?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui nasib obat dalam tubuh
2. Untuk mengetahui transport obat dalam tubuh
3. Untuk mengetahui absorbsi obat dalam tubuh
4. Untuk mengetahui distribusi obat dalam tubuh
5. Untuk mengetahui mekanisme metabolisme obat dalam tubuh
6. Untuk mengetahui mekanisme ekskresi obat dalam tubuh
BAB II
PEMBAHASAN
B. TRANSPORT OBAT
Transport merupakan suatu peristiwa perpindahan dari satu tempat ke tempat yang
lain disertai dengan penembusan membran seluler. Kecuali metabolisme, proses
farmakokinetika melibatkan transport membran tersebut. Obat berpindah-pindah dalam tubuh
melalui dua jalan yaitu transfer difusional misalnya molekul ke molekul, dengan jarak yang
pendek, transfer beraliran misalnya dalam aliran darah. Dalam aliran darah (sistem
kardiovaskuler), transfer beraliran tidak dipengaruhi oleh sifat kimiawi obat. Sedangkan pada
transfer difusi dipengaruhi oleh ukuran molekul obat dan kelarutannya dalam lipid. Semakin
kecil ukuran partikel suatu obat maka proses transport obat juga semakin besar dan semakin
larut dalam lipid maka transfer pada barrier hidrofobik semakin besar pula.
Mekanisme Karakteristik Contoh
absrobsi
Difusi pasif Obat bergerak searah Asam organik lemah
gradien kadar – obat
Basa organik lemah
Keadaan seimbang tercapat
Alkohol,
jika kadar obat kedua
urea,
kompartemen sama
amidopirin
Kecepatan difusi tergantung
Glikosida jantung
pH medium
Tergantung koefisien partisi,
pKa
senyawa, ketebalan membran
dan luas area.
Transport aktif Obat bergerak melawan Na+, K+, I-, heksosa,
gradien kadar atau potensial monosakarida,
eiektrokimia asam amino, asam
Mebutuhkan energi dan organik kuat, basa
pembawa organik kuat,
fosfat organic
Proses dapat jenuh
Glikosida jantung
Proses satu arah
Vit. B,
Bersifat spesifik
testosteron,
Berbagai obat dapat estradiol, vit 812
Inhibitor kompetitif
Racun metabolisme (sianida,
dinitrofenol)
menghambat transport
Transport Obat terlarut dalam medium Elektrolit organik
konvektif berair maupun anorganik
(150 - 400 MW)
Kecepatan tergantung pada
Ion yang
koef. Filtrasi dan terbalik
bermuatan berbeda
dengan viskositas
dg pori
Diameter pori 7 A
Sulfonamid
Tergantung ketebalan
terisonisiasi
membran, jumlah pori,
perbedaan tekanan hidrostatik
Transport Obat bergerak searah Vit B12
fasilitatif gradien kadar – obat
Membutuhkan karier
Bersifat spesifik
C. ABSORPSI
Absoprsi menggambarkan kecepatan pada saat obat meninggalkan tempat / sisi
pemberian. Obat agar dapat diabsorpsi harus dilepaskan dari bentuk sediaannya sebagai
contoh apabila obat dalam bentuk tablet maka harus mengalami disintegrasi sediaan dan
disolusi senyawa aktifnya. Pelepasan obat dari sediaannya tergantung dari faktor fisika
kimiawi obat, bentuk sediaan, dan lingkungan dalam tubuh tempat obat diabsorpsi. Dalam hal
ini, formulasi bentuk sediaan adalah faktor paling penting dalam pelepasan obat.
Apabila molekul obat terikat pada permukaan kulit atau mukosa oleh ikatan ion, ikatan
hidrogen atau van der Waal dinamakan adsorpsi. Sedangkan jika obat mencapai lapisan yang
lebih dalam tapi tidak mencapai kapiler darah dinamakan peristiwa penetrasi. Kemudian, obat
menembus melalui dinding kapiler dan menuju sirkulasi sistemik dinamakan absorpsi. Secara
ringkas, Defmisi absorpsi adalah perpindahan obat dari tempat pemberian ke sirkulasi
sistemik (peredaran darah).
Obat harus berada dalam larutan air pada tempat absorpsi agar dapar dapat diabsorpsi.
Absorpsi suatu obat dapat terjadi pada bagian bukal, sublingual (bawah lidah),
gastrointestinal (saluran cerna), kulit (kutan), otot (muskular), rongga perut (peritoneal), mata
(okular), nasal (hidung), paru atau rektal. Mekanisme absorpsi bisa dengan cara difusi pastf,
transport aktif, transport konvektif, difusi terfasilitasi, transport pasangan ion dan pinositosis.
Obat dapat diabsorpsi dengan beberapa jalur mekanisme.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat
Proses awal farmakokinetika adalah absorpsi obat apabila obat diberikan secara
ekstravaskuler. Pada proses absorpsi obat melibatkan transport melewati membran sel
sebelum obat mencapai jaringan atau organ. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat
antara lain :
a. Kecepatan disolusi obat
Kecepatan disolusi obat merupakan syarat utama bagi obat-obat dalam bentuk padatan
misalnya tablet dan kecepatan disolusi ini dipengaruhi oleh luas permukaan obat yang
melarut.
b. Ukuran partikel
Untuk obat yang sukar larut dalam air, ukuran partikel sangat mmpengaruhi. Obat-
obat dengan ukuran partikel kecil relatif mudah larut dalam cairan dibandingkan partikel
dengan ukuran yang besar.
c. Kelarutan dalam lipid atau air
Absorpsi obat juga dipengaruhi oleh koefisien partisi. Telah disampaikan bahwa
medium absorpsi sebagian besar berupa air sedangkan membran sel lebih bersifat lipofilik.
Oleh karena itu, suatu obat harus dapat larut dalam air maupun lipid.
d. lonisasi
Sebagian besar obat merupakan suatu elektrolit lemah sehingga ionisasinya
dipengaruhi oleh pH medium. Dalam mediumnya obat tersebut dalam dua bentuk yaitu
bentuk terion yang lebih mudah larut dalam air dan bentuk tak terionkan yang mudah larut
dalam lipid dan lebih mudah diabsorpsi.
e. Aliran darah pada tempat absorpsi
Aliran darah pada tempat absorpsi adalah penting karena membantu proses absorpsi
yaitu mengambil obat menuju sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran darah maka absorpsi
juga semakin besar.
f. Kecepatan pengosongan lambung
Lambung merupakan bagian dari sistem absorpsi suatu obat. Obat yang diabsorpsi di
usus akan meningkat proses absorpsinya jika kecepatan pengosongan lambung besar dan
sebaliknya.
g. Motilitas usus
Motilitias usus yang besar misalnya pada saat diare dapat mengurangi absorpsi obat
karena waktu kontak antara obat dengan absorpsinya adalah pendek.
h. Pengaruh makanan atau obat lainnya.
Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi proses absorpsi suatu obat lainnya.
Pemberian makanan atau obat dapat mempengaruhi variabel di atas sehingga mempengaruhi
keefektivan absorpsi obat.
i. Cara pemerian
Cara pemberian obat dapat dilakukan dengan jalur enteral dan parenteral. Pemberian
enteral adalah pemberian obat melalui saluran cerna atau dari rongga mulut sampai poros
usus contohnya adalah peroral, sublingual, bukal dan rektal, sedangkan pemberian parenteral
adalah pemberian obat di luar saluran cerna misalnya topikal, suntikan dan inhalasi. Selain
itu, pemberian obat dibedakan berdasarkan sistem vaskuler atau pembuluh darah menjadi
pemberian intravaskuler dan ekstravaskuler. Pemberian intravaskuler adalah pemberian obat
melalui sirkulasi sistemik (pembuluh darah) misalnya intravena, intraarteri dan intrakardial,
sedangkan pemberian ekstravaskuler adalah pemberian obat diluar sirkulasi sistemik
misalnya subkutan, peroral dan intramuskular.
D. DISTRIBUSI
Distribusi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju ke suatu tempat
di dalam tubuh (cairan dan jaringan). Tempat distribusi adalah cairan pada berbagai jaringan
yaitu protein plasma, hati, ginjal, tulang, lemak, barrier darah otak, barter plasenta. Tempat
distribusi tersebut merupakan parameter kualitatif distribusi. Sedangkan mekanisme distribusi
dapat melalui transport konvektif, pinosrtosis atau difusi pasif.
Komposisi cairan tubuh meliputi caitan ekstraseluler dan intraseluler. Cairan ekstraseluler
mengandung plasma darah (berkisar 4,5 % berat badan), cairan interstitial (16 %) dan getah
bening (1,2 %). Cairan intraseluler (30-40 %) merupakan penjumlahan kandungan cairan dari
seluruh sel tubuh. Cairan transeluler (2,5 %) meliputi cairan synovial, pleura!, peritoneal,
intraokular, serebrospinal dan sekresi digestif. Supaya dapat masuk ke kompartemen
transeluler dari kompartemen ekstraseluler, obat harus dapat menembus barter seluler.
1) Faktor-faktoryang mempengaruhi distribusi
Efektivitas distribusi berkaitan langsung dengan derajat pengikatan pada protein
plasma. Derajat pengikatan obat pada protein tergantung pada afinitas obat terhadap protein,
jumlah tempat pengikatan, kadar protein dan kadar obat. Keempat faktor tersebut dipengaruhi
oleh kondisi penyakit dan pendesakan. Penyakit seperti pada organ hati, ginjal, atau luka
bakar dan trauma dapat mengakibatkan kondisi yang dinamakan hipoalbuminemia (kadar
albumin mengalami penurunan di dalam plasma). Oleh sebab itu, kadar obat dalam bentuk
bebas akan meningkat sehingga akan meningkatkan efek farmakologi obat bersangkutan.
Pendesakan dapat terjadi manakala terdapat obat lain yang mempunyai afinitas yang lebih
besar terhadap protein plasma sehingga mengakibatkan kadar obat bebas meningkat dan pada
akhirnya efek obat juga meningkat. Pendesakan akan bermakna klinik manakala ikatan obat
dan protein sebesar lebih dari 80-90 % dan volume distribusinya kecil ( < 0,15 mL/g).
Sebagai contoh warfarin dapat didesak oleh klofibrat atau asam mefenamat sehingga
meningkatkan efek antikoagulasi warfarin sehingga penderita dapat mengalami pendarahan.
E. METABOLISME
Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama yaitu (1) menyediakan energi bagi fungsi
tubuh dan pemeliharaan, (2) memecah senyawa yang tercema misalnya katabolisme, menjadi
senyawa yang lebih sederhana dan biosintesis molekul yang lebih komplek misalnya
anabolisme, biasanya membutuhkan energi, dan (3) mengubah senyawa asing (obat) menjadi
lebih polar, larut air dan terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi.
Metabolisme obat disebut juga biotransformasi meskipun antara keduanya juga sering
dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya ditujukan untuk
perubahan-perubahan biokimiawi atau kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa
endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika).
Metabolisme obat atau biotransformasi adalah suatu perubahan secara biokimia atau kimiawi
suatu senyawa di dalam organisme hidup. Definisi lainnya adalah perubahan suatu senyawa
menjadi senyawa lainnya yang disebut metabolit yang terjadi pada sistem biologis. Reaksi
metabolisme obat tersebut sebagian besar terjadi pada oragn hati khususnya pada sub-seluler
retikulum endoplasma. Organ-organ yang bertanggung jawab dalam metabolisme obat adalah
hati, paru, ginjal, mukosa dan darah merah.
Metabolisme obat adalah sangat komplek. Biasanya, metabolit obat adalah lebih larut
dalam air daripada obatnya karena mengandung gugus fungsional yang dapat berkonjugasi
dengan gugus hidrofilik. Meskipum metabolit biasanya larut dalam air tetapi ada
pengecualian pada p-asam klorofenaseturat (metabolit p-asam klorofenilasetat) atau N4-
asetilsulfanilamid (metabolit sulfanilamid). Sering bahwa metabolit obat lebih diionisasi pada
pH fisiologi daripada obatnya sehingga bentuk garam yang larut dalam air dapat menurunkan
kelarutannya dalam lipid sehingga mudah untuk diekskresikan. Jalur metabolisme obat
terutama pada hati. Enzim yang berperan dalam metabolisme obat terdapat pada fraksi
mitokondrial atau mikrosomal. Bahkan metabolisme obat dapat terjadi manakala enzim
metabolisme diproduksi oleh sel-sel di sirkulasi sistemik. Obat kemungkinan dimetabolisme
dalam epitelium gastrointestinal selama absorpsi atau oleh hati sebelum mencapai sirkulasi
sistemik, proses terakhir ini dinamakan efek lintas pertama (first-pass effect) yang
mengakibatkan penurunan bioavailabilitas.
Reaksi metabolisme obat atau biotransformasi dibagi menjadi 2 :
Metabolisme obat fase I (fase non sintetik)
Metabolisme obat fase II (fase sintetik)
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal ini membawa
dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang bersangkutan, Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi metabolisme obat adalah :
Intrinsik obat
Faktor intrinsik obat ini meliputi kelarutannya dalam lipid, ikatan protein plasma,
dosis yang digunakan dan cara pemberian.
Fisiologi organisme
Faktor fisiologi ini adalah jenis makhluk hidup, galur (ras), jenis kelamin, umur dan
kondisi kehamilan. Malation suatu jenis pestisida, pada mamalia dan manusia diubah menjadi
malation diasid dan mengalami dekarboksilasi dan dikonjugasikan dengan enzim
metabolisme fase II untuk diekskresikan, sedangkan pada insektisida malation diubah
menjadi malaokson yang bersifat toksik. Kasus serupa juga terjadi pada heksobarbital yang
disajikan pada tabel XI.
Farmakologi
Faktor ini meliputi induksi dan inhibisi enzim metabolisme. Beberapa obat yang dapat
menginduksi senyawa lain misalnya fenobarbital, progesteron dan tolbutamid. Obat tersebut
dapat menginduksi enzim metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh menjadi
berkurang mengakibatkan penurunan efen klinik obat. Sedangkan inhibitor enzim misalnya
aspirin, kloramfenikol, fenilbutason yang masing-masing menghambat metabolisme fase I
klorpropamid, heksobarbital dan difenilhidantion. Adanya inhibitor tersebut akan
menghambat reaksi metabolisme obat sehingga keberadaan obat dalam tubuh meningkat dan
sebagai konsekuensi klinik adalah kenaikan efek farmakologinya.
Kondisi patologi
Kondisi patologi meliputi jenis dan tingkat penyakit dapat mempengaruhi
metabolisme suatu obat. Telah disampaikan bahwa hati merupakan organ utama bagi reaksi
metabolisme obat sehingga apabila terjadi kondisi patologi pada organ tersebut misalnya
nekrosis hepar atau hepatitis maka obat yang lebih dominan dimetabolisme di hati seperti
tolbutamid dapat mengalami gangguan metabolisme sehingga efek farmakologinya dapat
meningkat. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai penyesuaian dosis pada penderita tersebut
adalah penting bagi pada apoteker yang akan berkerja di rumah sakit.
Susunan makanan
Unsur-unsur makanan meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, unsur runutan
dan alkohol dapat mempengaruhi metabolisme obat. Ini terkait bahwa unsur makanan
tersebut dapat memacu kemampuan baik secara kualitas maupun kapasitas enzim
metabolisme obat khususnya P-450 untuk mengkatalisis reaksi metabolisme obat.
Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi produk petroleum, logam berat dan insektisida yang
berasal dari cemaran lingkungan. Mekanisme dari faktor tersebut adalah juga terkait dengan
kemampuannya menginduksi atau menghambat enzim pemetabolisme.
F. EKSKRESI
Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju ke organ
ekskresi. Obat mengalami ekskresi untuk keperluan detokstfikasi obat tersebut. Apabila obat
tidak diekskresi maka obat akan tertinggal dalam tubuh dan mengakibatkan ketoksikan pada
organisme bersangkutan. Tempat atau jalur ekskresi adalah melalui ginjal (organ utama), hati
atau empedu, paru, kelenjar saliva, kelenjar susu dan kelenjar keringat, seperti disajikan pada
tabel XII. Pada kesempatan ini hanya dibahas detail ekskresi melalui ginjal dan hati karena
dua mekanisme tersebut merupakan mekanisme ekskresi dari kebanyakan obat.
Mekanisme ekskresi sebagai berikut:
1. Ekskresi melalui ginjal
Organ utama dalam proses ekskresi adalah ginjal. Sebelum membahas tentang
mekanisme mi, terlebih dahulu membahas anatomi dan fisiologi ginjal. Ginjal mempunyai
panjang 10-12 cm dan panjang 5-6 cm, dengan berat 120-200 g. Fungsi organ ini adalah
mengekskresikan senyawa dari darah guna memelihara atau mempertahankan miliu internal.
Dalam ginjal dikenal suatu unit unit fungsional dimana proses ekskresi terjadi yaitu nefron.
Tiap ginjal mengandung sekitar 1 juta nefron dan tiap nefron terdiri dari bagian kapiler dan
pembuluh. Bagian pembuluh terdiri dari pembuluh proksimal, lengkung Henle dan pembuluh
distal, sedangkan bagian kapiler terdiri dari glomerulus yang terdapat dalam jaringan ikat
berbentuk kapsul yang dinamakan Bowman.
Darah dari arteri masuk ke jaringan kapiler melalui arteri afferent. Apabila tekanan intra-
kapiler lebih tinggi daripada tekanan dalam tubulus lumen, cairan yang mengandung senyawa
teriarut pada plasma disaring menembus dinding kapiler dan melalui pori-pori epitelium
kapsul Bowman menuju lumen tubulus. Filtrasi glomelurus dibatasi oleh suatu ukuran
molekul senyawa yaitu kurang dari 20.00 dan dalam bentuk bebasnya. Selanjutnya filtrat
akan melalui lumen tubulus proksimal, lengkung Henle dan tubulus distal memasuki duktus
kolektifus. Selama proses ini senyawa obat dapat mengalami reabsorpsi ke sirkulasi sistemik
kembali. Secara ringkas, proses atau mekanisme ekskresi ginjal melalui 3 tahap yaitu :
Filtrasi glomerulus
Sekresi atau reabsorpsi tubulus aktif
Difusi pasif menembus epitelium tubular
2. Ekskresi melalui emperdu
Sel hati mentransfer beberapa senyawa dari darah menuju empedu dengan mekanisme
yang mirip dengan tubulus renal, dan juga melibatkan P- glikoprotein. Berbagai konjugat
obat hidrofilik (khususnya glukuronida) berada dalam empedu dan dipindahkan menuju usus
dimana glukuronat dihidrolisis, menghasilkan obat bebas dan aktif. Obat aktif tersebut dapat
mengalami reabsorpsi menuju sirkulasi sistemik, peristiwa ini dinamakan sirkulasi
enterohepatik. Contort dari peristiwa ini adalah morfin dan etinilestradiol.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi ekskresi
Kliren renal dipengaruhi oleh kecepatan filtrasi glomerulus, sekresi tubular dan
kecepatan reabsorpsi tubular. Semakin besar kecepatan filtrasi glomerulus dan sekresi tubular
maka ekskresi obat akan meningkat, namun semakin besar reabsorpsi tubular menurunkan
ekskresi suatu obat. Selain ketiga faktor tersebut, ekskresi dipengaruhi oleh aliran darah di
ginjal, ikatan dalam darah, pH urin dan aliran urin. Amfetamin suatu basa lemah akan
mengalami reabsorpsi apabila pH urin dibuat basa karena terbentuk senyawa yang tidak
terionisasi yang cenderung larut dalam lemak. Sebaliknya, pengasaman urin akan
menyebabkan amfetamin menjadi terionisasi (bentuk garam). Bentuk garam lebih mudah
larut dalam air dan sedikit direabsorpsi dan mempunyai kecenderungan diekskresi dalam urin
lebih cepat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan makalah nasib obat dalam tubuh maka dapat disimpulkan obat dalam
tubuh melalui proses Adsorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi. Nasib obat dalam
tubuh merupakan peristiwa-peristiwa yang di alami obat dalam tubuh.. Suatu obat didalam
tubuh pun menglami 3 fase: Liberasi, Disolusi dan Adsorpsi.
B. SARAN
Untuk menyempurnakan makalah ini penulis mengharapkan saran dan kritiknya dari
pembaca yang membangun. Karena penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bowman, W.C. and Rand, M.J., 1980, Textbook of Pharmacology, 2nd Ed.,
Blackwell Scientific Publications, Melbourne.
Brody, T.M., Lamer, J.L., Minneman, K.P., and Neu, H.C. (Ed.), 1994, Human
Pharmacology, 2nd Ed., Mosby, Sydney.
Ganiswara, S.G. (Ed.), 1995, Farmakologi dan Terapi, Ed. IV, Bagian
Farmakologi FK Ul, Jakarta.
Gibson, G.G. and Skett, P., 1986, Introduction to Drug Metabolism, Chapman
and Hall, London.
Gilman, A.G., Rail, T.W., Nies, A.S., Taylor, P., (Eds.), 1996, The
Pharmacological Basic of Therapeutics, 9th Ed., McGraw-Hill Inc.,
Singapore.
Pratt, W.B. and Taylor, P., 1990, Principles of Drug Action, Churchill Livingstone,
New York.