Anda di halaman 1dari 16

BRONKIOLITIS

Friyanto Mira Mangngi, S.Ked


Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada
umunya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala obstruksi bronkiolus. Gejala
umum yang ditimbulkan berupa batuk, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi pilek,
panas dan nutrisi in- adekuat. (1,2,11)
Penyakit ini terjadi pada anak dibawah umur 2 tahun dan paling sering pada tahun
pertama kehidupan, dengan insiden tertinggi diantara umur 3 sampai 6 bulan. Anak umur 12
sampai 24 bulan yang menjalani rawat inap dengan wheezing memiliki risiko tinggi
berkembang menjadi asma. Di Negara dengan 4 musim, bronkilitis banyak terdapat pada
musim dingin sampai awal musim semi dengan insiden terbanyak pada bulan Oktober
sampai Mei. Sedangkan di Negara tropis pada musim hujan. Kasus bronkiolitis di Indonesia,
di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003,
bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan Januari – Mei. (1,2,3,11)
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 50–80%
dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, dan Human
meta pneumovirus (HMPV). RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-
satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Insiden infeksi RSV sama pada laki-
laki dan perempuan namun pada kasus bronkiolitis yang berat lebih sering terjadi pada laki-
laki, hal ini ditemukan di Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo
Surabaya, dilihat dari jumlah kasus bronkiolitis berdasarkan jenis kelamin.
Faktor risiko terjadinya bronkioitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial
ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat
penitipan anak atau ke tempat umum yang ramai, rendahya antiodi maternal terhadap RSV,
dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI).(4,11)

REFERAT “BRONKIOLITIS” 1
Bronkiolitis pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Pasien bronkiolitis
dengan gejala klinis ringan dapat rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang
adekuat, sedangkan jika gejala klinis bronkiolitisya sedang sampai berat harus dirawat inap.
Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif mencegah dan mengatasi komplikasi,
atau bila diperlukan diberikan antivirus. Sebagian besar tatalaksana pada bronkiolitis
bersifat suportif yaitu dengan oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan
nutrisi yang adekuat.(5,11)

REFERAT “BRONKIOLITIS” 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran pernapasan kecil atau bronkiolus yang
pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala obstruksi bronkiolus.
Gejala yang ditemukan berupa batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea,
dan retraksi. Penulis dari Universitas Nottingham dengan studinya mengambil definisi
konsensus dari “penyakit virus musiman dengan karakteristik demam, nasal discharge, dan
batuk kering disertai wheezing.” Pada pemeriksaan ditemukan crackles pada inspirasi
dan/atau wheezing pada ekspirasi. Pedoman APP (American Academy of Pediatrics)
mendefinisikan bronkiolitis sebagai “kumpulan gejala dan tanda klinis infeksi prodromal
virus saluran nafas atas ialah peningkatan usaha napas dan wheezing pada anak dibawah
umur 2 tahun”. (1,11)

2.2 Etiologi
Sekitar 50-80% dari kasus bronkiolitis disebabkan oleh Respiratory Syncytial Virus

(RSV). Beberapa penyebab lain bronkiolitis diantaranya ialah Parainfluenza virus tipe 1,2,

dan 3, Human metapneumovirus (HMPV), Rhinovirus, Coronavirus, Parainfluenza virus,

Influenza virus, dan Adenovirus. RSV merupakan satu-satunya penyebab bronkiolitis

yang dapat menimbulkan epidemi. Penyakit ini terjadi pada anak dibawah umur 2

tahun dan paling sering pada tahun pertama kehidupan, dengan insiden tertinggi

diantara umur 3 sampai 6 bulan. (6,11)

Jumlah virus yang menyebabkan bronkiolitis semakin luas diketahui dengan adanya
tes diagnosis yang lebih sensitif menggunakan teknik amplifikasi molekular. RSV
menyumbang 50% – 80% kasus. Penyebab lain termasuk Parainfluenza virus, terutama
parainfluenza tipe 3, Influenza, dan human metapneumovirus (HMPV). HMPV ditaksir
menyebabkan 3% – 19% dari kasus bronkiolitis. Kejadian klinis akibat RSV dan HMPV di
Inggris hampir sama, kebanyakan anak-anak terinfeksi setiap tahunnya pada musim
dingin.(1)

REFERAT “BRONKIOLITIS” 3
2.3 Epidemiologi
Studi epidemiologi pada bronkiolitis menunjukkan angka morbiditas yang tinggi
tetapi mortalitasnya rendah. Lebih dari sepertiga kejadian bronkiolitis terjadi pada anak-
anak dibawah umur 2 tahun. 1 dari 10 dari kejadian bronkiolitis pada anak dibawah 2 tahun
ini dirawat inap. Angka kematian akibat RSV setiap tahunnya kurang dari 400 kematian.(1)
Insiden infeksi RSV sama pada laki-laki dan perempuan namun pada kasus
bronkiolitis yang berat lebih sering terjadi pada laki-laki, hal ini ditemukan di Instalasi
Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya, dilihat dari jumlah kasus
bronkiolitis berdasarkan jenis kelamin. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis
biasanya akan makin berat penyakitnya. Ini disebabkan oleh karena kadar antibodi maternal
(maternal neutralizing antibody) yang rendah.
Selain umur, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, prematuritas, kelainan
neurologis dan immunocompromised mempunyai risiko yang lebih besar untuk terjadinya
penyakit yang lebih berat. Faktor risiko terjadinya bronkioitis adalah jenis kelamin laki-laki,
status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada
pada tempat penitipan anak atau ke tempat umum yang ramai, rendahnya antiodi maternal
terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI).(4,11)
Di Negara dengan 4 musim, bronkilitis banyak terdapat pada musim dingin sampai
awal musim semi dengan insiden terbanyak pada bulan Oktober sampai Mei. Sedangkan di
negara tropis pada musim hujan. Kasus bronkiolitis di Indonesia, di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003, bronkiolitis banyak
didapatkan pada bulan Januari – Mei.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi


RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm),
termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian
penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein) yang
mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel
target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada
host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan
gejala pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.(11)

REFERAT “BRONKIOLITIS” 4
Masa inkubasi RSV adalah 2-5 hari. Virus bereplikasi didalam nasofaring kemudian
menyebar dari saluran napas atas ke saluran napas bawah melalui penyebaran langsung pada
epitel saluran napas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem
saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus
yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel
saluran napas menyebabkan terjadinya edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin
ke dalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan
mukosilier, mukus tertimbun didalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga
mengakibatkan saraf aferen lebih mudah terpapar terhadap alergi atau iritan, sehingga
dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi
otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan
ekspresi intercellular Adhsion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan
menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi, edema saluran napas, akumulasi sel-sel febris dan
mukus serta spasme otot polos saluran napas.
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor
tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi
saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai
gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan
diameter saluran napas (pangkat 4), maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah
memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan
anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran napas meningkat pada fase inspirasi
maupun fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep sehingga udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi
meningkat hampir dua kali diatas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.
Ada dua macam hal yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan
asma yaitu, pertama ialah infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak kecil
seringkali disertai wheezing, dan yang kedua, penderita wheezing berulang yang disertai
dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas
pada saat bayi atau umur muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan
seluler. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi umur
muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali

REFERAT “BRONKIOLITIS” 5
dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung
lebih lama dapat sampai 15 hari.(1,3,11)

2.5 Manifestasi klinis


Bronkiolitis didahului dengan gejala ringan berupa pilek yang encer dan bersin.
Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan
berkurang. Kemudian timbul distress napas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing,
dan sesak napas. Bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum.
Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang
menderita infeksi saluran napas atas yang ringan.
Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang
mengalami hipotermi. Terjadi distres nafas dengan frekuensi napas lebih dari 60 kali per
menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat napas
cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak
dalam karena adanya hiperinflasi paru atau terperangkapnya udara dalam paru. Terdapat
ekspirasi yang memanjang, wheezing yang dapat terdengar dengan atau tanpa stetoskop serta
terdapat crackels. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh
paru yang hiperinflasi. Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara
kamar. Apnue bisa ditemukan terutama pada bayi yang umurnya lebih muda, memiliki
riwayat prematur dan berat bayi lahir rendah.
Pada bronkiolitis yang kronis biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau
inhalasi zat toksik (hydrochloric, nitric acids, sulfur dioxide). Karakteristiknya berupa
gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan
episode ateletaksis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses penyembuhannya
mengarah ke penyakit paru kronis.(1,3,11,12,16)

2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, umur penderita dan
adanya epidemi RSV di masyarakat. Adapun kriteria diagnosis bronkiolitis terdiri dari :
1. Wheezing pertama kali
2. Umur 2 tahun atau kurang
3. Pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, dan
demam.

REFERAT “BRONKIOLITIS” 6
4. Menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
5. Gejala lainnya ialah masalah nafsu makan anak yang ditandai dengan malas menetek
atau minum, atau pada beberapa kasus anak sering muntah setiap kali habis diberi
makan atau minum. Anak akan kelihatan lesu dan rewel. (1,2,8,9)

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress


Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi
yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor
kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan. (6,9,11)

Tabel.2.1 Respiratory Distress Assssment Instrument (RDAI) (dikutip dari Klassen, 1991)
SKOR Skor
0 1 2 3 4 Maksimal
Wheezing
-Ekspirasi (-) Akhir ½ ¾ Semua 4
-Inspirasi (-) sebagian Semua 2
-Lokasi (-) ≤2dari4 lap. ≥3dari4 lap. 2
Paru Paru
Retraksi
-Supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3
-Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
-Subkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
TOTAL 17
(Makmuri MS, Tata laksana bronkiolitis. Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: 2005. Hal 9)

Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat
keparahan penderita. Saturasi oksigen <95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan
merupakan indikasi rawat inap. Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung leukosit
biasanya normal. Pada pasien dengan peningkatan leukosit biasanya didominasi oleh PMN
dan bentuk batang.
Gambaran radiologi mungkin masih normal bila bronkiolitisnya masih ringan.
Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hiperaerasi). Bisa juga didapatkan bercak-
bercak yang tersebar, mungkin atelectasis (patchy atelectasis) atau pneumonia (patchy

REFERAT “BRONKIOLITIS” 7
infiltrates). Pada foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma
tertekan ke bawah. Pada foto rontgen dada dikatakan hiperaerasi apabila kita mendapatkan:
siluet jantung menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter
anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh
darah paru tampak tersebar.
Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya, berbeda
dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkial merupakan diagnosis
banding yang tersering. Diagnosis banding lainnya adalah pneumonia, aspirasi benda asing,
refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung dan miokarditis.
Karena diagnosis asma bronkial adalah yang paling sering maka dapat dibedakan
antara keduanya dengan melihat pada tabel dibawah ini
Tabel.2.2 Perbedaan antara bronkiolitis dan asma bronkial
Bronkiolitis Asma bronkial
Penyebab Virus Hiper reaktivitas bronkus
Umur 6 bulan – 2 tahun > 2 tahun
Sesak berulang Tidak Ya
Onset sesak Insidious Akut
ISPA atas Selalu + +/-
Atopi keluarga Jarang Sering
Alergi lain - Sering
Respon bronkodilator Lambat Cepat
Eosinophil Normal meningkat

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi dan


bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu
yang lama dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Cara lainnya dengan
melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara ELISA, sensitifitas
pemeriksaan ini adalah 80-90%. (6,11)

2.7 Tatalaksana
Bronkiolitis adalah self-limiting disease. Prinsip dasar penanganan bronkiolitis
adalah terapi suportif: oksigenasi pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi
yang adekuat. Pada beberapa kasus, anak dengan gejala ringan biasanya hanya diberikan

REFERAT “BRONKIOLITIS” 8
cairan peroral yang adekuat dan akan sembuh sendiri dalam 1 – 3 hari dan tidak
membutuhkan rawat inap. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap,
juga pada penderita bronkiolitis risiko tinggi diantaranya berusia kurang dari 3 bulan,
prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun dan
distress napas. Tujuan perawatan dirumah sakit adalah untuk terapi suportif, mencegah dan
mengatasi komplikasi atau bila memerlukan pemberian antivirus.
Dibagian IKA RSU Dr. Soetomo Surabaya selain diberikan terapi suportif, secara
rutin nebulasi agonis β2 juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik
diberikan pada kasus-kasus berat. Antibiotik diberikan bilamana keadaan umum penderita
kurang baik, atau ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri.

Tabel.2.3 Penanganan bronkiolitis di bagian IKA RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1 Cairan dan nutrisi - Adekuat, tergantung kondisi penderita


2 Oksigenasi - Dengan nasal atau masker, monitor dengan pulse oximetry dan
bila perlu dilakukan analisis gas darah. Bila ada tanda gagal napas
diberikan bantuan ventilasi mekanik.
3 Bronkodilator - Nebulasi agonis β2 : salbutamol 0,1 mg/kgBB/dosis diencerkan
dengan cairan normal saline (NS), diberikan 4-6 kali/hari
4 Steroid - Pada bronkiolitis berat : dexamethasone 0,1 – 0,2 mg/kg/dosis IV
5 Antibiotika - Penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi
sekunder
6 Digitalisasi - Bila ada tanda payah jantung
(Makmuri MS, Tata laksana bronkiolitis. Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: 2005. Hal 11)

Tabel 2.4. Terapi bronkiolitis (RSV) Rekomendasi dari


Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ)
Clear evidence for effectiveness
Supportive care
Suplemental oxygen
Possibly effective
Nebulized ipratropium bromide (atroven) with or without nebulized albuterol (Proventil)
Oral or inhaled corticosteroids

REFERAT “BRONKIOLITIS” 9
Parental dexamethasone
Nebulized epinephrine
Possibly effective for most severe cases
Helium oxygen combination
Surfactant
Probably ineffective
Aerosolized ribavirin (virazole)
Antibiotics (unless patient has a clear focus or bacterial infection)
Nebulized furosemide
RSV-IG (RespiGam)
Inhaled interferon alfa-2α (Roferon-A)
(Makmuri MS, Tata laksana bronkiolitis. Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: 2005. Hal 11)

Beberapa kategori diatas (tabel 2.4) berbeda dengan rekomendasi pengobatan yang
dikeluarkan pusat lain. American Academy of Pediatrics (AAP) tidak merekomendasi
penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan RSV, yang kemungkinan efektif menurut
AHRQ.(6,11)
Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan tata laksana bronkiolitis sebagai berikut:
a. Oksigenasi
Oksigen merupakan perawatan standar untuk bronkiolitis. Oksigen harus diberikan
jika saturasi O2 < 90% karena akan menyebabkan gangguan perfusi. Dapat diberikan
melalui kanul nasal 2 liter/menit atau masker minimum 4 liter/menit. Terapi oksigen
dihentikan apabila saturasi oksigen dengan pulse oximetry pada suhu ruangan stabil
diatas 94%.
b. Terapi cairan
Pemberian hidrasi untuk mendukung pemberian nutrisi bagi pasien. Dapat melalui
jalur intravena ataupun dengan pipa nasogastrik. Jumlah cairan disesuaikan dengan
berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien
muntah dan tidak dapat minum, panas, dan distress napas untuk mencegah terjadinya
dehidrasi. Cairan isotonik yang paling banyak diberikan untuk pemeliharaan dan
pencegahan hiponatremia (NaCl 0.9 %/Dextrosa 5%). Selanjutnya perlu dilakukan
koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.

REFERAT “BRONKIOLITIS” 10
c. Bronkodilator
Anak penderita bronkiolitis memberikan gejala wheezing yang mirip dengan gejala
pada asma. Tetapi wheezing pada asma terjadi akibat penyempitan bronkus, berbeda
dengan bronkiolitis yang terjadi akibat obstruksi jalan napas. Pemberian β-agonist
pada bayi berpengaruh pada sel otot polos bronkiolus imatur yang bisa memperburuk
saluran pernapasan. Karena hal inilah maka masih menjadi perdebatan.
d. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid seperti deksametason dan prednisone tidak berpengaruh
signifikan pada penurunan derajat penyakit. Namun dalam beberapa penelitian
mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian dexamethasone oral 1 mg/kgBB
mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.
e. Antibiotik
Anak dengan bronkiolitis ringan sering diresepkan antibiotik. Tetapi, bronkiolitis
karena infeksi bakteri jarang ditemukan karena penyebab terbanyak RSV. Antibiotik
diberikan saat sudah jelas penyebab bronkiolitis adalah bakteri bukan virus.(2,8,11)

REFERAT “BRONKIOLITIS” 11
ALGORITMA TATA LAKSANA BRONKIOLITIS
Penyebab : RSV, Parainfluenza, Influenza, Adenovirus, Mycoplsma.
Umur : < 2 tahun
Gejala : Panas, pilek, batuk disusul sesak napas, wheezing ekspiratoir, sianosis
(bayi kecil: apnea)
Foto dada : Hiperinflasi, penebalan peribronkial, atelectasis, inflitrat
Periksa : Kesadaran, pernapasan, wheezing, warna kulit, status hidrasi, skor RDAI

Ringan : RDAI <3 Sedang : RDAI 3 – 15 Berat : RDAI >15


Makan/minum normal Retraksi +, Takipnea + Sianosis +, sesak hebat
Dehidrasi – Wheezing + Dehidrasi +, hipoksia +
Retraksi – Sianosis – Apnea +, makan/minum –
Risiko tinggi +
Retraksi –

Rawat Jalan Rumah sakit Memburuk


Hidrasi oral, nutrisi, Oksigenasi, hidrasi, nutrisi Cek: foto dada, AGD, EKG,
suporif Albuterol: 0.1 mg/kg/dosis elektrolit, oksigenasi, bila
Pastikan: dalam 3 c normal saline perlu: ventilasi mekanik,
pengetahuan orang secara nebulisasi, bias nebulasi Albuterol, Steroid:
tua +, transportasi diulangi tiap 4-6 jam, dexametason 0.1-0.2
ke RS memadai Antibiotika : disesuaikan, mg/kg/dosis IV, antibiotika
suportif. spektrum luas, suportif

Diagnose Banding Bronkiolitis:


Infeksi : Bronkopneumonia
Non Infeksi : Asma, Gastroesophageal reflux, corpus alienum saluran napas,
tracheoesophageal fistula, kistik fibrosis.

Bronkiolitis dengan risiko tinggi:


Lahir premature, umur < 3 bulan, penyakit jantung bawaan, penyakit paru kronis,
riwayat asma/alergi pada keluarga.

(Makmuri MS, Tata laksana bronkiolitis. Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: 2005. Hal 18)

2.8 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan
polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan
cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan
bayi atau anak kecil dari tempat keramaian, pemberian ASI, menghindarkan bayi atau anak
kecil dari kontak dengan penderita ISPA. Penggunaan immunoglobulin (RSV-IG) pada bayi

REFERAT “BRONKIOLITIS” 12
berumur kurang dari 24 bulan dengan bronchopulmonary dysplasia, bayi prematur (kurang
dari 35 minggu) menunjukkan hasil penurunan yang signifikan jumlah yang terinfeksi RSV,
jumlah penderita masuk rumah sakit serta memperpendek waktu perawatan di rumah sakit.
RSV-IG dapat ditoleransi dengan baik.

2.9 Komplikasi
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan
penyakit sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang
menetap dimana timbulnya wheezing berulang dan hiperaktivitas bronkial. Dapat juga
terjadi apneu, pneumonia, sindrom aspirasi, gagal napas yang membutuhkan ventilator
mekanik, dehidrasi, atrial takikardia. Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia
bakterial, gagal jantung jarang dijumpai. Sedangkan pada kasus obstruksi yang berat dapat
dijumpai pneumothoraks. Dalam beberapa studi dikatakan bahwa infeksi bronkiolitis yang
berat pada bayi dapat berkembang menjadi asma pada umur 3 tahun.(5,10,12)

2.10 Prognosis
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepat penanganan dan penyakit latar
belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas). Anak biasanya dapat mengatasi
serangan tersebut sesudah 48-72 jam. Mortalitasnya kurang dari 1%. Anak biasanya
meninggal karena jatuh kedalam apneu yang lama, asidosis respiraorik yang tidak terkoreksi
atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh kurangnya asupan makan dan minum.(5,10)

REFERAT “BRONKIOLITIS” 13
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran pernapasan kecil atau bronkiolus yang
pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala obstruksi bronkiolus.
Gejala yang ditemukan berupa batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea,
dan retraksi. Sekitar 50-80% dari kasus bronkiolitis disebabkan oleh RSV. Beberapa
penyebab lainnya ialah Parainfluenza virus tipe 1,2, dan 3, Human metapneumovirus
(HMPV), Rhinovirus, Coronavirus, Parainfluenza virus, Influenza virus, dan Adenovirus.
Namun hanya RSV merupakan satu-satunya penyebab bronkiolitis yang dapat menimbulkan
epidemi. Penyakit ini terjadi pada anak dibawah umur 2 tahun dan paling sering pada tahun
pertama kehidupan, dengan insiden tertinggi diantara umur 3 sampai 6 bulan.
Virus bereplikasi didalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran napas atas ke
saluran napas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran napas dan melalui
aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan
replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal
berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadinya
edema submukosa.
Bronkiolitis didahului dengan gejala ringan berupa pilek yang encer dan bersin.
Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan
berkurang. Kriteria diagnosis bronkiolitis terdiri dari wheezing pertama kali, umur 2 tahun
atau kurang, pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek,
dan demam, menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan
wheezing, gejala lainnya ialah masalah nafsu makan anak yang ditandai dengan malas
menetek atau minum, atau pada beberapa kasus anak sering muntah setiap kali habis diberi
makan atau minum.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel respirasi
yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor
kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan

REFERAT “BRONKIOLITIS” 14
Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi pemberian cairan
untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Pencegahan dapat dilakukan dengan
menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama
dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan
dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi atau anak kecil dari tempat keramaian,
pemberian ASI, menghindarkan bayi atau anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan
penyakit sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang
menetap dimana timbulnya wheezing berulang dan hiperaktivitas bronkial. Dapat juga
terjadi apneu, pneumonia, sindrom aspirasi, gagal napas yang membutuhkan ventilator
mekanik, dehidrasi, atrial takikardia. Pada kasus obstruksi yang berat dapat dijumpai
pneumothoraks. Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepat penanganan dan
penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imu, prematuritas).

3.2 Saran
1. Perlunya diagnosis yang tepat agar dapat dilakukan penatalaksanaan penyakit secara
optimal.
2. Perlunya peningkatan status gizi dan usaha peningkatan imunitas anak untuk
mengurangi angka kejadian bronkiolitis pada anak

REFERAT “BRONKIOLITIS” 15
DAFTAR PUSTAKA

1. Oymar K, Skjerven HO, Mikalsen IB. Acute bronchiolitis in infants, a review.


[online]. 2014. [cited 2016 April 14].
2. National Institute for Health and Cave Excellence. Bronchiolitis in children:
diagnosis and management. [online]. 2015 [cited 2016 April 14]
3. NSW Kids and Families. Infants and children-Acute management of bronchiolitis.
[online]. 2012 January 19. [cited 2016 April 14]
4. Zorc JJ, Hall CB. Bronchiolitis: Recent evidence on diagnosis and management.
[online] 2010 November 5. [cited 2016 April 14]
5. Zain MS. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta:IDAI;2010.Hal 333-47.
6. Seattle children’s hospital. Bronchiolitis and HFNC pathway. Seatt children’s
hospital reseach and foundation. [online]. 2010 Maret. [cited 2016 April 14]
7. Scottish Intercolegiate Guidelines Network. Bronchiolitis in Children- A national
clinical guideline. [online]. 2006. [cited 2016 April 14]
8. Friedman JN, Rieder MJ, Walton JM, dkk. Bronchiolitis: Recommendations for
diagnosis, monitoring and management of children one to 24 month of age. Canadian
Pediatric Society. [online] 2014 November 3. [cited 2016 April 14]
9. Setyanto DB, Suardi AU, Setiawati L, dkk. Bronkiolitis. Pedoman pelayanan medis
ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta : IDAI. 2009. Hal 30-32.
10. Staff pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Bronkiolitis akut dalam buku kuliah 3
ilmu kesehatan anak. Bagian ilmu kesehatan anak FKUI. Jakarta: Info medika; 2007.
Hal 1233-1235.
11. Makmuri MS, Tata laksana bronkiolitis. Divisi Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan
Anak. Surabaya: 2005. Hal 3-18.
12. Shawn L, et all. American Academic of Pediatrics. Clinical practice guidline: The
diagnosis, management, and prevention of bronchiolitis. [online]. 2014. [cited 2016
April 14]

REFERAT “BRONKIOLITIS” 16

Anda mungkin juga menyukai