Anda di halaman 1dari 18

BPIP Empat Pilar MPR RI dalam pandangan saya:.

Sehubungan dengan BPIP, saya sebagai rakyat secara formal tidak tahu
misi dan visi BPIP atas materi sosialisasi empat pilar MPR RI. Dari bahan materi
yang disosialisasikan, dalam beberapa masalah pandangan saya sebagaimana
saya urai di bawah ini:

1. Menanamkan Empat Pilar MPR RI:.

Membaca Kata Pengantar Sekretaris Jenderal MPR RI pada buku Materi


Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, berdasarkan UU No. 42 tahun 2004 MPR RI
ditugasi memasyarakatkan Empat Pilar MPR RI kepada masyarakat di seluruh
wilayah tanah air. Dengan demikian berarti termasuk di dalamnya seluruh
penyelenggara/aparatur negara dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
Sehubungan dengan maksud tersebut, menurut pendapat saya, suatu tujuan yang
baik, tetapi di dalam pelaksanaannya perlu mempertimbangkan/memperhatikan
kondisi riil masyarakat yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, dilihat dari segi
kulturnya, dimaksud dengan masyarakat dalam hemat saya terbagi dalam:

- Masyarakat pada umumnya (termasuk di dalamnya aparatur negara dilihat dari


sisi individu nya).
- Masyarakat penyelenggara/aparatur negara.

- Masyarakat anak didik (termasuk aparatur negara yang statusnya sedang


mengikuti pendidikan).

Mereka yang termasuk dalam klasifikasi masyarakat pada umumnya,


dalam pandangan saya tidak perlu diperkenalkan dengan program empat pilar
MPR RI, mengingat dalam pandangan saya posisi mereka pada garis besarnya
untuk mengetahui kandungan empat pilar MPR RI, tidak perlu diperkenalkan
melalui jalur formal, mengingat beban kehidupannya yang riil lebih memerlukan
perhatian. Dari kelompok mereka yang dibutuhkan adalah sikapnya yang jujur dan
disiplin. Untuk itu yang diperlukan adalah menghayati dan mengamalkan nilai-nilai
agama. Pada dasarnya seseorang yang menghayati dan mengamalkan ajaran
agama, dalam perilakunya akan mengenal jiwa dari empat pilar MPR RI tersebut.
Menyangkut masyarakat penyelenggara/aparatur negara, oleh karena secara
individu termasuk dalam kelompok masyarakat pada umumnya, maka untuk
pengenalan materi empat pilar MPR RI, tidak perlu diperkenalkan melalui jalur
formal. Masalahnya di sini yang sangat urgen adalah agar mereka berperilaku
jujur dan disiplin. Oleh karena itu dalam masalah ini yang diperlukan adalah
mempertajam asupan nilai-nilai agama. Dengan kata lain yang diperlukan di sini
adalah ceramah agama, dengan materinya yang tajam, menggariskan ancaman
neraka dan pahala surga, disampaikan secara transparan. Memperhatikan
kandungan materi sosialisasi dan bahan tayang empat pilar MPR RI, dalam
pandangan saya adalah tepat sekali disampaikan kepada kelompok masyarakat
anak didik, mulai dari sekolah dasar hingga akhir pendidikan di perguruan tinggi.
Dalam pandangan saya bisa dimulai sejak SD kelas satu memperkenalkan arti
Ketuhanan, hingga perguruan tinggi, disertai dengan membuat karangan-
karangan/makalah untuk mengetahui sampai dimana anak didik memiliki dan
menguasai pertanggungjawaban atas pandangan perilakunya dihadapan
Alloh/Tuhan.

Itulah yang saya maksudkan dengan versi penyampaian 4 pilar MPR


kepada masyarakat. Jelasnya, menurut pendapat saya rumusan empat pilar MPR
RI perlu dipahami dan dihayati oleh mereka tunas-tunas bangsa, mereka yang
statusnya sebagai anak/siswa pendidikan, sehingga dengan mengenal empat pilar
MPR tersebut, sebagai anak bangsa akan tumbuh menjadi bangsa yang
menyadari makna Bhinneka Tunggal Ika membentuk satu negara kesatuan RI
yang kuat. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya (termasuk di dalamnya
yang tergolong masyarakat aparatur negara) perlu ditanamkan pengertiannya
terhadap agama yang dipeluknya, sehingga memahami dan melaksanakan ajaran
agamanya, dengan catatan masing-masing pemeluk agama memahami makna
batas-batas toleransi. Karena hanya dengan cara tersebut, perbuatan-perbuatan
yang sifatnya negatif dalam berbagai bentuk, akan disadari tidak dilakukannya,
mengingat keyakinannya, bahwa setelah meninggal dunia pasti di “sana” akan
menerima imbalan yang berupa siksa (di sini saya katakan pasti, dilihat dari sudut
pandang Islam apa yang tersurat dalam Al Quran tentang kehidupan setelah
meninggal dunia, adalah berita benar).
2. Pada halaman 47 buku MATERI SOSIALISASI EMPAT PILAR MPR RI
tersusun kalimat “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu
negara yang bertuhan”.

Dilihat dari sisi aqidah, setiap agama memiliki karakter yang sifatnya
egoistis karena masing-masing agama memiliki landasan aqidah yang tersurat
dalam Kitab sucinya masing-masing, dan masing-masing pemeluk agama
berpegang pada tali aqidah yang tersurat dalam kitab sucinya. Dalam masalah
aqidah, setiap (pemeluk) agama mengakui masing-masing memiliki egoistis, dan
masalah tersebut adalah merupakan hak asasinya, yang satu sama lain saling
menyadari batasannya. Terkait dengan “budaya” di sini hanya sebatas dalam
pengertian budaya saling menghormati, dan budaya kebersamaan dalam
menghadapi masalah sosial.

Alinea 4 Pembukaan UUD 1945 menggariskan “Pemerintah negara


Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia…” Sebagaimana saya gariskan
di muka, pengertian melindungi tersebut terkait dengan masalah agama, tentu
termasuk dalam pengertian melindungi keyakinannya yang berhubungan dengan
kehidupannya setelah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam masalah ini,
negara harus mengayomi dan mendorong setiap pemeluk agama untuk
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, dengan tetap
menjaga kerukunan di antara mereka yang berbeda agama, yang kesemuanya
menyadari masih dalam koridor tidak melanggar Pancasila. Tindak aktif negara
dalam yang saya maksudkan ini, penting dilakukan hingga umat beragama
memahami, menghayati dan mengamalkan kandungan ajaran agamanya,
mengingat HANYA dengan proses tersebut, SEMUA bentuk perbuatan yang
tergolong negatif, secara sadar tidak akan dilakukan (dilihat dari sisi agama Islam,
saya urai pada butir X). Dilihat dari landasan hukumnya, undang-undang dasar
kita secara formal memang bukan berdasarkan agama, tetapi jiwa dari undang-
undang dasar kita tidak lepas dari nilai-nilai semua agama yang dipeluk rakyat
Indonesia, dan sebagai alasan formalnya maka kesemua agama yang dipeluk
warga negara Indonesia, di dalam Pancasila menempati urutan urutan pertama,
dengan nama/istilah Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Pada buku tersebut pada angka 2 di atas, pada halaman 48 tersurat kalimat
“Indonesia sebagai negara Pancasila adalah sebuah negara religius”. Saya
setuju dengan pemaknaan tersebut pada angka 3 ini. Secara normatif sebagai
negara yang religius, kondisi kehidupan pemerintahan dan rakyatnya
menyadari arti perbuatan yang tergolong negatif dalam semua bentuk
perbuatan, tidak dilakukan (dalam pengertian normatif).

Melihat kondisi riil di lapangan, masa-masa lalu berdasarkan berita yang


mengendap dalam telinga saya, bertiup angin Indonesia adalah negara sekuler,
dan kehidupan bernegara dan berbangsa hingga saat ini, semua bentuk
perbuatan yang tergolong negatif, pada setiap harinya tidak pernah kosong dari
berita. Gambaran tersebut jelas menunjukkan kondisi kontra dari yang dimaksud
dengan kondisi negara yang religius. Maka terkait agar tidak berhembus lagi angin
sekuler, sebagaimana saya usulkan diatas perlu ada kepastian/ketatapan hukum
yang menggariskan bahwa negara Republik Indonesia bukan negara sekuler,
melainkan negara yang religius.

Terkait dengan kondisi bernegara dan berbangsa, yang hingga saat ini
berdasarkan berita harian televisi tidak pernah sepi dari berita negatif dalam
berbagai kasus, oleh karena kondisi potret tersebut tidak senafas dengan
pengertian yang terkandung dalam negara yang religius, maka jelas sebagaimana
saya urai di atas, teknik meredakan perbuatan negatif (dalam semua bentuk
perbuatan) tidak cukup hanya ditangani oleh penegak hukum, melainkan juga
harus dilihat dari sisi agama. Sebagaimana saya katakan di atas, negara melalui
Kementerian Agama membentuk/membuat/menetapkan suatu antitesa yang
mampu meredakan niat berbuat perbuatan yang tergolong kejahatan. Untuk
maksud ini sebagaimana Yang saya maksudkan di atas memberlakukan Tanda
Pengenal Identitas dan akta integritas sebagaimana saya uraikan di atas.

4. Membaca bahan tayang materi sosialisasi empat pilar MPR RI, dalam
beberapa masalah menurut pandangan saya:

TANTANGAN KEBANGSAAN:

4.1 Masih lemahnya Penghayatan dan Pengamalan agama serta munculnya


pemahaman terhadap ajaran agama yang keliru dan sempit:
Sandaran hukum negara melaksanakan kedaulatan rakyat hingga saat ini
berdasarkan diktum Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia butir II.3. yang menggariskan dasar hukum kedaulatan rakyat
berdasarkan sila keempat Pancasila. Dengan sandaran hukum ini berarti secara
normatif masalah agama berada di luar wewenang yang digariskan dalam sila
keempat Pancasila. Oleh karena dalam landasan hukum kedaulatan rakyat
tersebut secara formal tidak menggariskan masalah agama, maka tindakan
negara dalam mengurusi agama selama ini, yang dirasakan hanya mengayomi
secara global dan menjadi polisi bila antar penganut agama terjadi kegaduhan.
Alasan tersebut memang yang dirasakan dan tampak kasat mata. Disekitar
tempat tinggal saya terdapat beberapa masjid yang aktivitasnya masing-masing
berjalan sendiri-sendiri, tergantung pada kebijakan DKM-nya, dan selama ini saya
belum pernah mendengar/melihat kunjungan formal atas nama Kementerian
Agama.

Dalam pandangan saya masalah agama justru masalah paling penting.


Maksud saya, kondisi negara rakyatnya akan merasakan nyaman, aman dan
tentram bila segenap warga negaranya taat asas terhadap ajaran agamanya. Bila
kondisi tersebut terwujud, dalam pengertian normatif tidak ada koruptor, tindak
kriminal/pidana, kenakalan remaja dan semua bentuk kejahatan lainnya.

Indonesia sebagai negara hukum, mestinya bersikap sikap dalam


menangani masalah-masalah hukum. Saya maksudkan yang berkaitan dengan
kedaulatan rakyat. Pada uraian di muka telah saya urai, hukum kedaulatan rakyat
yang selama ini sejak disahkan UUD 1945 berlaku berdasarkan sila keempat
Pancasila, adalah suatu kehilafan pendiri bangsa dalam menjelaskan hukum
kedaulatan rakyat yang tersurat dalam PEMBUKAAN UUD 1945, yang
menggariskan kedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Pancasila yang
dirinci. Dengan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, berarti negara
mengemban amanat dan amanat dari rakyat, dalam mengurusi negara dan
bangsa, bukan hanya berdasarkan/berlandaskan hukum sila keempat Pancasila
saja, melainkan berdasarkan kelima sila Pancasila. Dengan demikian berarti
masalah agama adalah merupakan bagian dari amanah/amanat rakyat kepada
negara (pemerintah dan DPR) dalam mengurusi negara dan bangsa..
Masih lemahnya dimaksud pada angka 4.1. di atas, secara yuridis formal
disebabkan karena selama ini dalam mengurusi agama negara “di luar wewenang
kedaulatan rakyat berdasarkan hukum sila keempat Pancasila”, sehingga dalam
masalah agama posisi negara yang tampak “menonjol” sebagaimana saya
gariskan di atas hanya sebagai pengayom dan polisi dalam terjadi masalah
kegaduhan antar pemeluk agama yang berbeda. Maka dengan berdasarkan
kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, masalah agama yang dianut warga
negara Indonesia, pada dasarnya menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena
itu belajar memahami agama yang selama ini setiap masjid melaksanakan
kebijakannya sendiri-sendiri, dengan kedaulatan rakyat berdasarkan hukum
Pancasila, negara memiliki hak melakukan kebijakan seperlunya, termasuk
kontrol/pengawasannya. Hanya masalah di sini, Indonesia sebagai negara hukum,
segera meluruskan kehilafan pendiri bangsa, dengan melalui PERPU menetapkan
ketetapan hukum yang menggariskan tidak berlaku lagi ketetapan hukum
kedaulatan rakyat berdasarkan sila keempat Pancasila sejak tanggal ditetapkan,
dan sejak tanggal ditetapkan berlaku hukum kedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila. Dengan berdasarkan hukum kedaulatan rakyat berlandaskan
Pancasila, negara memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan-kebijakan
yang berhubungan dengan agama, sepanjang masih dalam koridor kitab sucinya
masing-masing, dalam batas tidak melanggar Pancasila, dalam arti tetap menjaga
kerukunan antar penganut agama yang berbeda. Hak melakukan kebijakan
tersebut, adalah konstitusional, dijamin oleh hukum yang tersurat dan tersirat
dalam sila pertama Pancasila, mengingat agama yang dianut oleh warga negara
Indonesia bukan terhimpun dalam satu agama, maka secara tersurat dinyatakan
secara tergabung dengan istilah Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu,
dalam masalah agama ini, saya ulangi lagi di sini, Indonesia sebagai negara
hukum, mestinya sigap dalam menangani masalah hukum. Dalam hal ini
menyangkut kehilafan pendiri bangsa yang sudah tiga per empat abad
diberlakukan sebagai hukum, sebagaimana saya katakan di atas mestinya negara
segera menetapkan PERPU, mengakhiri berlakunya landasan hukum yang
didasarkan pada kehilafan tersebut dan sebagai substitusinya menetapkan hukum
berlakunya kedaulatan rakyat berdasarkan hukum Pancasila sejak tanggal
ditetapkan. Bila landasan hukum tersebut telah ditetapkan, kebijakan yang
ditetapkan negara terkait dengan masalah agama, dalam hal-hal yang diperlukan
adalah konstitusional, di mana dalam masalah ini yang perlu dipertimbangkan
sebagaimana saya gariskan di atas masing-masing agama tetap berada pada
relnya, dengan tetap menjaga kerukunan di antara mereka. Insya Alloh dengan
adanya arahan-arahan dari negara yang konstruktif dalam masalah agama,
dampaknya akan mengurangi kelemahan penghayatan dan pengamalan agama,
(menyangkut agama Islam, saya urai pada butir X).

4.2 Pengabaian terhadap kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme


kedaerahan.
4.3 Kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebhinekaan
dan kemajemukan.
4.4 Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagai pemimpin dan
tokoh bangsa.

4.5 Tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal..

Dalam pandangan saya keempat masalah tersebut di atas, secara normatif


adalah sebagai akibat dari individu-individu pejabat yang mengurusi masalah
kurang menguasai jiwa dari agama yang dipeluknya. Dalam pengertian rasio, bila
kondisi jiwa mereka yang mengurusi masalah masalah tersebut, sepenuhnya
menjiwai arti agama yang mereka peluk, dalam pengertian normatif tentu akan
melaksanakan kewajiban/tugasnya dengan baik. Bila mereka beragama Islam,
perilaku dan sikap mereka bercermin pada Nabi Muhammad SAW dan
sahabatnya, dan bila mereka menganut Kristiani, tentu bercermin pada perilaku
dan sikap Nabi Isa yang oleh mereka disebut Yesus dan juga para pembantunya.
Demikian halnya penganut agama lainnya, analog. Dalam masalah ini, saya
sebagai seorang muslim melihat dari sudut Islam. Kelahiran/keberadaan Nabi
Muhammad SAW, digariskan oleh Alloh sebagai rahmat bagi seluruh alam, maka
dalam masalah ini saya membatasi pada yang memeluk agama Islam. Status
posisi Nabi Muhammad SAW dilihat dari sudut pemerintahan adalah sebagai
pengurus umat, dan dilihat secara individu adalah sebagai manusia biasa.
Perilaku dan sikap beliau dari dua posisi tersebutlah yang harus diteladani oleh
umat muslim Indonesia sesuai dengan posisi umat muslim yang bersangkutan.
Meneladani beliau SAW bukan berarti mutlak, melainkan kita sebagai manusia
biasa mencontoh perilaku dan sikapnya yang mendasar, ialah JUJUR dan
DISIPLIN. Dilandasi perilaku dan sikap jujur dan disiplin, sebagai umat muslim
dalam posisi sebagai pengurus dan atau sebagai rakyat biasa, berarti yang
bersangkutan telah berbuat yang bernilai pahala, dan nilai itulah yang mestinya
harus dicari oleh setiap individu pemeluk agama Islam, mengingat nilai tersebut
yang diyakini menentukan keselamatan hidup setelah meninggal dunia. Bila jiwa
pemeluk agama Islam yang populasinya sekitar 85% dari jumlah penduduk
Indonesia berproses demikian, keempat masalah tersebut di atas Insya Alloh
berujung pada melahirkan kondisi yang konstruktif.

Dengan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, negara menetapkan


kebijakan-kebijakan yang dilandasi tuntunan agama, sebagaimana saya gariskan
di atas adalah kebijakan yang konstitusional, dengan landasan hukumnya
penjabaran dari kandungan sila pertama Pancasila.

4.6 Pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dan persaingan


antar bangsa yang semakin tajam.
4.7 Makin kuatnya intensitas intervensi kekuatan global dalam perumusan
kebijakan nasional.

Dalam masalah tersebut ada angka 4.6. dan 4.7. ini yang terlintas dalam
pemikiran saya adalah menyelamatkan jiwa warga negara Indonesia
sebagaimana digariskan pada angka 3 di atas bahwa negara Indonesia adalah
negara religius. Sebagai negara yang religius, kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh negara, tentu tidak hanya didasarkan pada kepentingan fisik, melainkan juga
harus memperhatikan juga kepentingan psikis, maksudnya dilihat dari sisi agama
juga harus dipertimbangkan, mengingat akibatnya jangan sampai membawa
malapetaka menimpa umat beragama warga Indonesia.

Sebagai negara yang religius, maka praktis makna melingdungi bangsa


Indoensia yang tersurat dalam PEMBUKAAN UUD 1945, dikaitkan dengan
pengertian agama sebagaimana saya urai di mukam, adalah negara melindungi
keselamatan warganya dalam era kehidupan setelah meninggal dunia. Maka
dalam negara menghadapi arus globalisasi sebagaimana pada angka 4,6 dan 7 di
atas, untuk melindungi warga negara Indonesia agar hidup selamat di akhirat,
negara (dalam hal ini lembaga yang ditunjuk negara) perlu melaksanakan
tindakan-tindakan yang kandungannya mengingatkan warga negaranya, sebagai
manusia yang beragama dapat meningkatkan kadar iman dan takwanya, supaya
tidak terbawa hanyut oleh gelombang globalisasi yang pada umumnya
kontraproduktif dengan nilai-nilai agama. Dalam masalah ini negara telah
menunjuk Kementerian Agama sebagai lembaga yang ditugasi mengurusi
masalah agama. Untuk menjaga moral bangsa, di dalam Kementerian Agama
negara membentuk lembaga bimbingan, dan dilihat dari kepentingan agama
Islam, di dalam Kementerian Agama terdapat lembaga tingkat Direktorat Jenderal,
sebagaimana telah saya ulas di atas disebut Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat islam/Tentu untuk menangani masalah yang sama menyangkut
agama lain terdapat lembaga yang analog. Dalam rangka membimbing warga
negara Indonesia yang memeluk agama Islam, lembaga inilah yang mestinya
berbuat aktif menetapkan kebijakan-kebijakan dan melakukan tindakan yang
sifatnya untuk mengatasi dampak globalisasi yang kontraproduktif dilihat dari
sudut agama.

Dilihat dari sisi hukum, kewajiban DJBMI membimbing umat Islam


Indonesia, sifatnya WAJIB, oleh karena mereka lahir di Indonesia, secara normatif
mereka belum memahami keseluruhan hukum Islam yang diperlukan dalam
hidupnya, sehingga perilaku/sikap yang dilakukan termasuk dalam pengertian
Islami. Maka agar mereka memahami hukum-hukum Islam yang diperlukan
tersebut, adalah menjadi kewajiban DJBMI selaku lembaga sebagai pembimbing.
Pada sisi lain Alloh akan menuntut pertanggung jawabannya kepada setiap
pemimpin, maka dalam hal ini DJBMI harus melaksanakan yang menjadi
tanggung jawabnya dalam membimbing umat Islam Indonesia hingga mereka
memahami hukum-hukum Islam yang diperlukan, sehingga perilaku dan sikapnya
Islami. Tetapi dalam masalah ini, DJBMI tidak bisa menerapkan sanksi kepada
umat Islam yang tidak melaksanakan bimbingannya, mengingat hukum dasar
NKRI bukan Al-Quran. Tetapi bagi yang mengikuti/melaksanakan bimbingannya,
adalah tergolong sebagai umat Islam yang memperoleh hidayah, dalam arti
memperoleh bekal untuk kehidupan di akhirat, Insya Alloh di “sana” akan
merasakan hidup selamat.
5. Kedudukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, fondasi, filsafat,
pikiran yang mendalam, pandangan hidup dan pemersatu bangsa:

Apa yang dimaksud pada angka 5 di atas, dalam pandangan saya tidak
boleh lepas dari makna negara Indonesia adalah negara religius. Oleh karena itu
kebijakan-kebijakan yang diterbitkan hingga pelaksanaannya terwujud, dan
langkah-langkah yang dilakukan, harus dijalankan dengan kejujuran dan disiplin,
serta dengan pertimbangan tetap menjaga kerukunan antar umat penganut
agama yang berbeda.

Dalam masalah ini saya ulangi penggarisan saya, hukum dasar NKRI
adalah UUD 1945, dimana pemerintah dan DPR (DPR dan pemerintah) di dalam
fungsinya melaksanakan kedaulatan rakyat, di dalam Pembukaan UUD 1945
dinyatakan dengan berdasarkan Pancasila. Dimaksud atau yang terkandung
dalam sila pertama Pancasila, adalah beberapa agama yang dianut oleh warga
negara Indonesia. Karena lebih dari satu agama maka dibungkus dengan istilah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan penjabaran tersebut kira-kiranya jelas,
bahwa pelaksanaan (eksekusi) dari kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila
tersebut tidak bisa lepas dari dijiwai (nilai-nilai) agama, antara lain kejujuran dan
disiplin, serta pertimbangan-pertimbangan lain yang sifatnya humanis.

Dibaca lebih mendasar terkait kedudukan Pancasila sebagai dasar dan


ideologi negara, untuk lebih jelas yang saya maksudkan, di sini saya akan
mengaitkan dengan posisi Pancasila sebagai pandangan hidup.

Pandangan hidup seseorang atau kelompok masyarakat, tentu


berdasarkan agamanya yang dianut. Kosakata agama dalam rumusan Pancasila,
tidak ada. Dalam rumusan Pancasila, kosakata tersebut termasuk dalam
pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dengan bahasa rumusan Pancasila,
atau bahasa negara, sehubungan dengan pandangan hidup, artikulasinya menjadi
PANDANGAN HIDUP SESEORANG ATAU KELOMPOK MASYARAKAT ADALAH
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Pertanyaannya, apakah
negara membenarkan artikulasi kalimat tersebut?

Jawabannya, tentu tidak membenarkan. Itulah maksud saya sila pertama


Pancasila dalam kerangka negara/pemerintah membina bangsa Indonesia agar
Pancasilais, perlu dijabarkan pada masing-masing pemeluknya, dengan
ditindaklanjuti analisa yang mengurai jiwa/arti agama yang dipeluknya, sehingga
mengendap kesan HANYA agama yang bisa menata hidup di dunia dan hidup di
“sana” sejahtera. Saya pernah mendengar ucapan dari beberapa tokoh, yang
saya ingat Bapak Ahmad Syamsul Maarif bertanya kapan Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa membumi. Dalam pandangan saya Ketuhanan Yang Maha Esa akan
membumi, bila sila tersebut dijabarkan hingga kakinya (kandungannya) menginjak
kehidupan riil pemeluknya. Dipandang dari sudut Islam, sebagaimana saya urai
pada butir X.

6. Prinsip-prinsip dalam PEMBUKAAN (PREAMBULE)

Dimaksud dalam angka 6 tersebut, yang dalam pandangan saya


pengertiannya perlu dipahami adalah Indonesia sebagai negara religius, maka
konsekuensinya dalam mengartikan melindungi segenap bangsa Indonesia,
dikaitkan dengan masalah agama, adalah termasuk melindungi segenap bangsa
Indonesia yang semuanya memeluk agama, negara harus menjamin memberikan
perlindungan untuk memperoleh kehidupan setelah meninggal dunia, di “sana”
hidup selamat (semua agama meyakini, setelah meninggal dunia, di “sana” ada
kehidupan menurut versi keyakinannya masing-masing. Maka yang dimaksud
dengan melindungi segenap bangsa Indonesia tersebut, sebagai negara religius,
terkait dengan masalah agama, saya ulangi pandangan saya, termasuk
melindungi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keselamatan hidup di
akhirat. Oleh karena itu, dalam negara mengurusi bangsa ini, agar kehidupan
bangsa ini di “sana” selamat, negara perlu memperhatikan nilai-nilai kebijakannya.
Untuk mengurusi masalah yang saya maksudkan pada angka 6 ini, pendiri bangsa
telah membekali sarana hukum sebagaimana tersurat pada ketetapan hukum
kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, terbungkus pada sila pertama. Dengan
sarana hukum tersebut, negara dapat menetapkan kebijakan dan langkah-langkah
yang motivasinya membuka jalan, yang kandungannya membuahkan pahala,
hingga kehidupan di “sana” mencapai keselamatan.
7. Intisari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila:

Sehubungan dimaksud pada angka 7 di atas kesan saya:

7.1 Negara segera menetapkan ketetapan hukum yang menggariskan NKRI


bukan negara sekuler, guna menghentikan hembusan angin NKRI adalah
negara sekuler.
7.2 NKRI digariskan sebagai negara religius adalah merupakan soko guru dari
kehidupan menata negara dan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan-
kebijakan yang diterbitkan oleh negara hingga pelaksanaannya dan
langkah-langkah yang dilakukan harus dilandasi nilai-nilai agama.
7.3 Terkait dengan sila pertama Pancasila, masing-masing agama memiliki
prinsip aqidah yang tersurat dalam kitab sucinya. Oleh karena itu dalam
memaknai toleransi masing-masing agama harus menghormati batas
toleransi agama lain, dalam koridor tetap menjaga kerukunan
7.4 Membaca yang tersurat pada bahan tayang, batasan-batasan hukum yang
digariskan tidak menyentuh nilai dari pelaksanaan/eksekusi yang dilakukan,
tidak ada terus batasan mesti jujur dan disiplin. Maksud saya, bila
penggarisannya hanya sampai prinsip, maka kemungkinan logis pasti bisa
terjadi ketidakjujuran dan tidak disiplin. Oleh karena itu dalam masalah ini
perlu ada penegasan harus/mesti jujur dan disiplin, sebab kedua unsur
tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi dari makna seorang berjiwa
agama dan menjalankan ajaran agamanya.
7.5 Negara harus memperhatikan mengutamakan kepentingan rakyat banyak
(dari mengikuti berita televisi, hati nurani saya sering mencatat jembatan-
jembatan yang ambruk karena musibah, pada umumnya di wilayah
kabupaten, tidak segera dibangun kembali, padahal merupakan sarana
pokok transportasi).
7.6 Dibaca dari hulunya, Bapak Demokrasi Socrates, mati menenggak racun
karena membela kebenaran. Maksud saya, apa yang dimaksud dengan
demokrasi adalah suara yang membela rakyat dan membela kebenaran.
Bila kandungannya tidak konstruktif, saya menempatkan sebagai Hak
Menyampaikan Pendapat Pribadi (HMPP).
7.7 Seorang pemulung buah coklat diancam hukuman tahunan, sementara
hukuman koruptor yang memanipulasi duriat dengan nilai beratus
juta/bermiliar, di-tsp-kan oleh pengadilan dengan hukum penjara plus minus
lima tahun, apakah itu adil?.
7.8 Bila perbuatan seseorang sudah jelas untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, yang diambil hanya sekedar nilai yang tidak berarti, yang oleh
penuntut hukum tetap dikategorikan sebagai mencuri, kemudian diancam
dengan hukuman penjara di atas lima tahun, dan pada keputusan
hukumnya tidak ada ampunan, adakah di situ nilai keadilan sosial?

Mungkin masih ada kasus-kasus lain, yang keputusan hukumnya nepotisme dan
tidak ada makan siang gratis. Itu semua hanya bisa diredam dengan nilai-nilai
yang disandarkan pada agama.

8. Kesepakatan dasar perubahan UUD 1945:

Membaca tersebut pada angka 8 di atas, kesan saya:

8.1 Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945:


Di dalam Pembukaan UUD 945 berulang kali saya ulas di atas, tersurat
kalimat “Berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Pancasila (yang dirinci
per sila). Di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tersurat
pada angka II.3. tersurat berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan. Maka jelas pendiri bangsa/penyusun UUD 1945
melakukan kekhilapan dalam menjelaskan kandungan Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan ketetapan hukum tidak akan mengubah Pembukaan UUD 1945,
maka kehilafan tersebut agar segera diluruskan. Bagi pemerintah tidak perlu
menunggu ketetapan hukum dari DPR, melainkan bisa segera melalui Perpu.

8.2 Penjelasan UUD 1945


Sebagaimana saya jelaskan pada angka 8.1 di atas, di dalam Penjelasan
UUD 1945, pendiri bangsa melakukan kekhilapan dalam menjelaskan kedaulatan
rakyat. yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. NKRI sebagai negara
hukum maka (UUD 1945 Pasal 1 ayat 3) mestinya segera meluruskan kehilafan
tersebut sebagaimana telah saya ulas di atas (pemerintah melalui Perpu agar
segera dapat diberlakukan/DPR harus melalui sidang).

8.3 Melihat kenyataan di lapangan, menurut berita televisi, para koruptor dalam
menjalani hukum di LP memperoleh fasilitas kamar yang jauh lebih baik
daripada fasilitas kamar yang ditempati narapidana pada umumnya.
Tentang adanya perbedaan fasilitas tersebut, membaca UUD 1945 saya
tidak menemukan sandaran hukum dasarnya. Demikian halnya hak
protokoler para pejabat tertentu dalam menggunakan jalan. Maksud saya,
Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menggariskan “segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dengan adanya perbedaan fasilitas yang dinikmati tersebut, mengingat
NKRI adalah negara hukum, maka negara perlu meluruskan/menempatkan
hukum sebagaimana mestinya.
Demikian kesan saya dari membaca MATERI DAN BAHAN TAYANG
SOSIALISASI EMPAT PILAR MPR RI. Kesan yang paling mendasar adalah
PEMERINTAH MENGGARISKAN NKRI sebagai negara religius. Maka sebagai
konsekuensinya adalah pemerintah dalam menata negara dan bangsa harus
dilandasi pengabdian ibadah. Sebagai suatu ibadah, maka perilaku dan sikap
aparatur negara di dalam melaksanakan kewajibannya, harus disertai dengan
kerja yang jujur dan disiplin.

Pemerintah menggariskan NKRI adalah negara religius, adalah suatu


penggarisan yang luhur. Karena dengan menggariskan tersebut, berarti
memperkuat makna pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia. Terkait dengan pengertian agama berarti makna melindungi
tersebut termasuk dalam jangkauan menyelamatkan bangsa Indonesia dalam
kehidupan yang abadi setelah meninggal dunia. Titik ini merupakan sentris dari
tujuan negara menetapkan kebijakan-kebijakan yang mengambil langkah,
kesemuanya harus tertuju dalam menciptakan jalan menuju mempersiapkan bekal
untuk membangun kehidupan di akhirat yang sehat, dalam arti hidup di akhirat
selama. Masalah tersebut memang harus menjadi landasan gerak pemerintah
dalam menata negara dan bangsa. Mengingat berapa lama kita hidup di muka di
dunia, sedangkan kehidupan setelah mati, di “sana” hidup abadi, pada waktunya
kita semua berada di “sana”.

Selama ini dalam pandangan saya sebagaimana saya urai di atas,


pemerintah menempatkan agama dalam mengurusi negara dan bangsa tidak
pada titik formal sebagai sarana untuk meredakan semua bentuk perbuatan yang
tergolong tidak konstruktif, dampaknya perbuatan tersebut dari mengikuti berita
televisi, beritanya tidak pernah sepi. Dipahami dengan sepintas saja, dari uraian
yang saya paparkan di atas, hanya orang-orang yang taat menjalankan ajaran
agamanya, yang tidak berani melanggar hukum. Dengan kesan tersebut maka
jelas, untuk membasmi korupsi dan semua bentuk perbuatan kejahatan lainnya,
tidak cukup dengan melalui aAparatur negara penegak hukum, melainkan juga
harus melalui pendekatan bimbingan moral, di mana institusi/lembaga tersebut
berada di bawah Kementerian Agama. Saya maksudkan yang menyangkut
memeluk agama Islam, sebagaimana saya katakan di atas, adalah
lembaga/institusi yang disebut Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Tanpa menggerakkan kerja DJBMI sebagai pembimbing moral, perbuatan-
perbuatan yang tergolong kejahatan dalam bentuk/kasus apapun, cenderung kuat
ibarat gumpalan es di bawah laut sulit untuk mencair. Hanya agama (menjiwai
nilai-nilai agama) yang mampu melumpuhkan niat berbuat tidak baik yang
bercokol di hati. Oleh karena itu, kerja DJBMI harus secara sistematis dan
terstruktur mendekati aparatur negara dan masyarakat. Tindakan DJBMI tersebut,
dilihat dari sisi hukum sebagaimana saya katakan di atas, adalah konstitusional.

(Landasan hukum dasarnya dibungkus dalam Ketuhanan Yang Maha


Esa/Sebagai negara hukum, Perpu meluruskan kehilafan pendiri bangsa mestinya
segera diterbitkan/Inti permasalahan kondisi saat ini, pada dasarnya disebabkan
sila pertama Pancasila dalam pandangan saya tidak dijabarkan hingga
kandungannya, agama, terasa mengikat kehidupan. Hal tersebut perlu
ditanamkan, agar makna negara religius sinkron dengan kehidupannya
berperilaku/sikap yang berprinsip agamis. Prinsip perilaku/sikap yang demikian
memang perlu ditanamkan/dijiwai bangsa Indonesia, sebagai konsekuensi dari
makna negara religius melindungi segenap bangsa Indonesia agar kehidupannya
selamat di akhirat/di “sana” termasuk kita).

9. Agamamu sebesar Pancasila? :

Membaca judul tersebut di atas disertai tanda tanya, sumbernya dari ILC
TVOne. Tentu dari sumber otentiknya tidak ada tanda tanya. Sungguhpun dari
sumber otentiknya sudah direvisi, tetapi ibarat kerbau keluar dari lubang jarum,
tentu berita orisinilnya tidak bisa ditarik kerbaunya. Maksud saya, bayangannya
tidak bisa hilang. Oleh karena ucapan tersebut tergolong dahsyat, saya ingin
nimbrung hak menyampaikan pendapat pribadi (HMPP)

Sebenarnya sudah jelas sekali yang dimaksud dengan Pancasila sebagai


dasar NKRI, adalah tatanan negara ini didasarkan pada lima sila, dalam
pengertian umum bisa disebut five in one.

Dimaksud dengan arti sila menurut kamus bahasa Indonesia, adalah aturan
yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa, berarti adab, akhlak.
Sedangkan arti adab adalah kehalusan dan kebaikan budi pekerti. Sedangkan arti
akhlak budi pekerti atau kelakuan. Maka arti dasar hukum NKRI berdasarkan
Pancasila, berdasarkan rumusan saya adalah Pemerintah dan DPR dalam
mengurusi negara wajib dilandasi jiwa agama (penjabaran dari sila pertama),
perikemanusiaan, persatuan bangsa, kerakyatan, dan keadilan sosial. Dari kelima
kehalusan dan kebaikan budi pekerti atau, atau kelima kelakuan tersebut itulah
yang mestinya menjadi watak bangsa Indonesia, baik dalam
mengelola/membenahi negara dan bangsa maupun sikap/perilaku warga
negaranya.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelas Pemerintah/DPR dalam mengurusi


negara dan bangsa, atau sikap/perilaku warga negara Indonesia secara individu
dikatakan berjiwa Pancasila (pancasilais), bila perilaku mereka tergolong dalam
pengertian beradab sebagaimana yang digariskan dalam kamus bahasa
Indonesia. Menyimpang dari pengertian yang digariskan, berarti tidak berjiwa
Pancasila atau tidak pancasilais.

Melihat kondisi di lapangan, dan secara faktual potret tersebut memang


menunjukkan sikap/perilaku riil, suatu perbuatan dikatakan Pancasilais, pada
dasarnya bila dilandaskan pada ajaran agama atau nilai-nilai agama. Oleh karena
penganut agama apapun, bila mereka melaksanakan ajaran agamanya di dalam
masalah kehidupan yang dihadapi, maka yang memancar dari sikap dan
perilakunya adalah nilai-nilai kehidupan yang tergolong baik. Jadi, yang dimaksud
dengan agama adalah aturan hidup yang dilandasi nilai-nilai positif. Maka kalau
dikatakan musuh (ter)besar Pancasila, itu berarti Pancasila memusuhi perbuatan-
perbuatan yang tergolong baik. Apakah rasional? Bila kemudian direvisi menuduh
kelompok agama mayoritas bermimpi ingin merubah Pancasila, dilihat dari logika
hukum yang rasional, juga tidak berdasar diangkat ke permukaan. Kelompok
agama mayoritas yang memiliki etika hukum yang dihormati, sebagai umat Islam
yang berada di bawah bendera negara bukan Al-Quran, diwajibkan mentaati
aturan “ulil amri”, yang disepakati berarti negara di mana umat Islam bernaung di
negara yang landasan hukum bukan Al-Quran, dan mayoritas muslim Indonesia
menghormati sepenuhnya batasan hukum tersebut. Kalau ternyata pernah ada
(rahasianya terbongkar) yang ingin merubah Pancasila, tidak pada tempatnya oleh
negara diangkat ke permukaan dengan mengatasnamakan mayoritas, karena
yang disebut oknum, bisa terjadi di kelompok manapun dirasakan mengganggu.

Dalam pandangan saya, Pancasila justru menghadapi kondisi menghadapi


kondisi riil yang non pancasilais. Semua berita negatif yang diberitakan televisi,
termasuk hoax dan provokatif, pada intinya adalah perbuatan-perbuatan yang
melanggar kandungan sila pertama Pancasila. Juga perbuatan negatif yang masih
berupa gumpalan es di bawah permukaan laut, melanggar/tidak menjalankan
ajaran agamanya. Maka sinonimnya dapat dikatakan musuh Pancasila adalah
musuh agama, karena yang dimaksud dengan agama, memusuhi semua
perbuatan negatif dalam bentuk apapun (dikatakan semua bentuk perbuatan
negatif, jadi tidak perlu dirinci satu persatu). Atau dengan kata lain, justru HANYA
dengan didukung prinsip agama tensi pelaku perbuatan negatif akan menurun.
Tentu dengan kerja penegak hukum yang konsisten berwibawa/tidak mengenal
pemeo TIDAK ADA MAKAN SIANG GRATIS.

Dimaksud dengan menerapkan prinsip agama, adalah sebagai antitesa


untuk meredam/menyadarkan sikap dan perilaku mereka (masyarakat umum dan
yang berpenghasilan/digaji dari uang rakyat (duriat), hingga berhasil menyadarkan
mereka kembali, bahwa kehidupan setelah meninggal itu, haku yakin akan
dialami. Sebagai Muslim kita meyakini bahwa berita Al-Quran Maha Benar Alloh
dengan segala firmanNya, dan secara rasio banyak ayat yang kebenarannya
terbukti. Demikian halnya kehidupan setelah meninggal dunia yang digambarkan
Al-Quran, dan pembuktiannya tentu setelah kita berada di “sana”. Kehidupan di
“sana” dalam Al-Quran digambarkan, yang disebut bahagia barometernya tidak
terukurkan. Juga yang disebut siksa, manusia di “sana” menjadi kayu bakar
neraka, kemudian kembali utuh, lalu meleleh lagi karena panasnya neraka, utuh
lagi, yang meleleh lagi. Dalam masalah tersebut dipandang dari sudut Islam
secara de jure negara mengakui dan “melindungi segenap bangsa” kaitannya
dengan agama adalah termasuk melindungi keselamatan hidup setelah meninggal
dunia. Pada hakekatnya untuk maksud tersebut negara membentuk Lembaga
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Itulah hakekat dari mana
bimbingan umat Islam, harus menuju ke sana. Dalam pandangan saya, memang
harus sejauh itu makna “bimbingan”, DJBMI dilihat dari statuta tanggung jawabnya
yang hakiki harus membimbing umat Islam Indonesia hingga umat Islam
Indonesia memahami arti Islam yang benar. Pada uraian di muka telah saya ulas,
dilihat dari sisi hukum tanggung jawab menyampaikan cara hidup yang Islami,
sifat hukumnya wajib, sebab Alloh akan menanyakan pertanggungjawabannya.
Tapi bagi masyarakat muslim yang tidak mentaati, DJBMI tidak bisa menerapkan
sanksi, oleh karena bernaung di bawah negara yang dapat hukumnya bukan Al-
Quran.

Anda mungkin juga menyukai