Sehubungan dengan BPIP, saya sebagai rakyat secara formal tidak tahu
misi dan visi BPIP atas materi sosialisasi empat pilar MPR RI. Dari bahan materi
yang disosialisasikan, dalam beberapa masalah pandangan saya sebagaimana
saya urai di bawah ini:
Dilihat dari sisi aqidah, setiap agama memiliki karakter yang sifatnya
egoistis karena masing-masing agama memiliki landasan aqidah yang tersurat
dalam Kitab sucinya masing-masing, dan masing-masing pemeluk agama
berpegang pada tali aqidah yang tersurat dalam kitab sucinya. Dalam masalah
aqidah, setiap (pemeluk) agama mengakui masing-masing memiliki egoistis, dan
masalah tersebut adalah merupakan hak asasinya, yang satu sama lain saling
menyadari batasannya. Terkait dengan “budaya” di sini hanya sebatas dalam
pengertian budaya saling menghormati, dan budaya kebersamaan dalam
menghadapi masalah sosial.
Terkait dengan kondisi bernegara dan berbangsa, yang hingga saat ini
berdasarkan berita harian televisi tidak pernah sepi dari berita negatif dalam
berbagai kasus, oleh karena kondisi potret tersebut tidak senafas dengan
pengertian yang terkandung dalam negara yang religius, maka jelas sebagaimana
saya urai di atas, teknik meredakan perbuatan negatif (dalam semua bentuk
perbuatan) tidak cukup hanya ditangani oleh penegak hukum, melainkan juga
harus dilihat dari sisi agama. Sebagaimana saya katakan di atas, negara melalui
Kementerian Agama membentuk/membuat/menetapkan suatu antitesa yang
mampu meredakan niat berbuat perbuatan yang tergolong kejahatan. Untuk
maksud ini sebagaimana Yang saya maksudkan di atas memberlakukan Tanda
Pengenal Identitas dan akta integritas sebagaimana saya uraikan di atas.
4. Membaca bahan tayang materi sosialisasi empat pilar MPR RI, dalam
beberapa masalah menurut pandangan saya:
TANTANGAN KEBANGSAAN:
Dalam masalah tersebut ada angka 4.6. dan 4.7. ini yang terlintas dalam
pemikiran saya adalah menyelamatkan jiwa warga negara Indonesia
sebagaimana digariskan pada angka 3 di atas bahwa negara Indonesia adalah
negara religius. Sebagai negara yang religius, kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh negara, tentu tidak hanya didasarkan pada kepentingan fisik, melainkan juga
harus memperhatikan juga kepentingan psikis, maksudnya dilihat dari sisi agama
juga harus dipertimbangkan, mengingat akibatnya jangan sampai membawa
malapetaka menimpa umat beragama warga Indonesia.
Apa yang dimaksud pada angka 5 di atas, dalam pandangan saya tidak
boleh lepas dari makna negara Indonesia adalah negara religius. Oleh karena itu
kebijakan-kebijakan yang diterbitkan hingga pelaksanaannya terwujud, dan
langkah-langkah yang dilakukan, harus dijalankan dengan kejujuran dan disiplin,
serta dengan pertimbangan tetap menjaga kerukunan antar umat penganut
agama yang berbeda.
Dalam masalah ini saya ulangi penggarisan saya, hukum dasar NKRI
adalah UUD 1945, dimana pemerintah dan DPR (DPR dan pemerintah) di dalam
fungsinya melaksanakan kedaulatan rakyat, di dalam Pembukaan UUD 1945
dinyatakan dengan berdasarkan Pancasila. Dimaksud atau yang terkandung
dalam sila pertama Pancasila, adalah beberapa agama yang dianut oleh warga
negara Indonesia. Karena lebih dari satu agama maka dibungkus dengan istilah
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan penjabaran tersebut kira-kiranya jelas,
bahwa pelaksanaan (eksekusi) dari kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila
tersebut tidak bisa lepas dari dijiwai (nilai-nilai) agama, antara lain kejujuran dan
disiplin, serta pertimbangan-pertimbangan lain yang sifatnya humanis.
Mungkin masih ada kasus-kasus lain, yang keputusan hukumnya nepotisme dan
tidak ada makan siang gratis. Itu semua hanya bisa diredam dengan nilai-nilai
yang disandarkan pada agama.
8.3 Melihat kenyataan di lapangan, menurut berita televisi, para koruptor dalam
menjalani hukum di LP memperoleh fasilitas kamar yang jauh lebih baik
daripada fasilitas kamar yang ditempati narapidana pada umumnya.
Tentang adanya perbedaan fasilitas tersebut, membaca UUD 1945 saya
tidak menemukan sandaran hukum dasarnya. Demikian halnya hak
protokoler para pejabat tertentu dalam menggunakan jalan. Maksud saya,
Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menggariskan “segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dengan adanya perbedaan fasilitas yang dinikmati tersebut, mengingat
NKRI adalah negara hukum, maka negara perlu meluruskan/menempatkan
hukum sebagaimana mestinya.
Demikian kesan saya dari membaca MATERI DAN BAHAN TAYANG
SOSIALISASI EMPAT PILAR MPR RI. Kesan yang paling mendasar adalah
PEMERINTAH MENGGARISKAN NKRI sebagai negara religius. Maka sebagai
konsekuensinya adalah pemerintah dalam menata negara dan bangsa harus
dilandasi pengabdian ibadah. Sebagai suatu ibadah, maka perilaku dan sikap
aparatur negara di dalam melaksanakan kewajibannya, harus disertai dengan
kerja yang jujur dan disiplin.
Membaca judul tersebut di atas disertai tanda tanya, sumbernya dari ILC
TVOne. Tentu dari sumber otentiknya tidak ada tanda tanya. Sungguhpun dari
sumber otentiknya sudah direvisi, tetapi ibarat kerbau keluar dari lubang jarum,
tentu berita orisinilnya tidak bisa ditarik kerbaunya. Maksud saya, bayangannya
tidak bisa hilang. Oleh karena ucapan tersebut tergolong dahsyat, saya ingin
nimbrung hak menyampaikan pendapat pribadi (HMPP)
Dimaksud dengan arti sila menurut kamus bahasa Indonesia, adalah aturan
yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa, berarti adab, akhlak.
Sedangkan arti adab adalah kehalusan dan kebaikan budi pekerti. Sedangkan arti
akhlak budi pekerti atau kelakuan. Maka arti dasar hukum NKRI berdasarkan
Pancasila, berdasarkan rumusan saya adalah Pemerintah dan DPR dalam
mengurusi negara wajib dilandasi jiwa agama (penjabaran dari sila pertama),
perikemanusiaan, persatuan bangsa, kerakyatan, dan keadilan sosial. Dari kelima
kehalusan dan kebaikan budi pekerti atau, atau kelima kelakuan tersebut itulah
yang mestinya menjadi watak bangsa Indonesia, baik dalam
mengelola/membenahi negara dan bangsa maupun sikap/perilaku warga
negaranya.