Anda di halaman 1dari 26

The term thorax refers to the entire chest region.

The skeletal part


of the thorax, the thoracic cage, is a bony enclosure formed by
the sternum, ribs and their costal cartilages, and the bodies of the
thoracic vertebrae (see Exhibits 7.L and 7.M). The costal cartilages
attach the ribs to the sternum. The thoracic cage is narrower at its superior end and broader at
its inferior end and is flattened from front to back. It encloses and protects the organs in the
thoracic and superior abdominal cavities, provides support for the bones of the upper limbs,
and, as you will see in Chapter 23, plays a role in breathing.

1
2
3
4
5

6
7
8
9

10
Posisi pasien
Scanning dilakukan pada posisi supine dan prone, dan mengikuti aba-aba pernapasan.
Tujuan posisi supine untuk mengevaluasi suatu bentuk atenuasi mosaic dan juga air
trapping dan posisi prone menunjukkan klarifikasi infiltrasi dari klinis dalam daerah paru
yang berbeda (Richard, 2015)

bagian bawah. Dalam hidung juga terdapat saluran-saluran yang menghubungkan


antara rongga hidung dengan kelenjar air mata, bagian ini dikenal dengan kantung
sarolakrimalis ini berfungsi mengalirkan air melalui hidung-yang berasal dari kelenjar
air mata-jika seseorang menangis ( Muttaqin, 2014).
b)Sinus paranasal
Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mucus,
membantu pengaliran air mata melalui pernapasan
nasolakrimalis, dan membantu dalam menjaga
permukaan rongga hidung tetap bersih dan lembap.
Sinus paranasal juga termasuk dalam wilayah pembau
di bagian posterior rongga hidung. Wilayah pembau
tersebut terdiri atas permukaan inferior palatum
kribriform, bagian superior septum nasal dan bagian
superior konka hidung. Reseptor di dalam epitel pembau
ini akan merasakan sensasi bau ( Muttaqin, 2014).
c)Faring
Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula
dari dasar tengkorak dan berakhir sampai
persambungan dengan esophagus dan batas tulag
rawan krikoid. Faring terdiri atas tiga bagian yang
dinamai berdasarkan letakknya, yakni nasofaring (di
belakang hidung), orofaring (di belakang mulut), dan
laringofaring ( di belakang laring) ( Muttaqin, 2014).
17
dinding rongga thorax. Bagian pleura yang melekat kuat
pada paru disebut pleura viseralis dan lapisan paru yang
membatasi rongga thorax disebut pleura parietalis.
5)
Otot-otot pernapasan
Otot-otot pernapasan merupakan sumber kekuatan
untuk menghembusakn udara. Diafragma (dibantu oleh
oto-otot yang dapat mengangkat tulang rusuk dan tulang
dada) merupakan otot utama yang ikut berperan
meningkatkan volume paru. Pada saat istirahat, otot-otot
pernapsan mengalami relaksasi.
Saat inpirasi, otot sternokleidomastoideus, otot
skalenes, otot pektoralis minor, otot sertus anterior, dan
otot intrkostalis sebelah luar mengalami kontraksi
sehingga menekan diafragma ke bawah dan
mengangkat rongga dada untuk membantu udara masuk
ke dalam paru.
Pada fase ekspirasi, otot-otot transversal dada, otot
interkostalis sebelah dalam, dan otot abodominal
mengalami kontraksi, sehingga mengangkat diafragma
dan menarik rongga dada untuk mengeluarkan udara
dari paru ( Muttaqin, 2014).
2.
Patofisiologi bronchiectasis
a.
Definisi bronchiectasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis
yang mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk
18
infeksi paru dan obstruksi bronkus; aspirasi benda asing,
muntahan, dan benda-benda dari saluran pernafasan atas;
dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi
dan pembesaran nodus limfa ( Brunner & Suddart, 2002 )
b.
Klasifikasi
Berdasarkanatas bronkografi dan patologi bronkiektasis
dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1)
Bronkiektasis tabung (Tubular, Cylindrikal, Fusiform
Bronchiectasis)
.
Bentuk ini sering ditemukan pada
bronkiektasis yang menyertai bronkiektasis kronik.
2)
Bentuk kantong (Saccular Bronchiectasis) Ditandai
dengan dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat
ireguler, bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista.
3)
Varicose Bronchiectasis merupakan gabungan dari kedua
bentuk sebelumnya. Istilah ini digunakan karena bronkus
menyerupai varises.
c.
Et
iologi
Etiologi dari penyakit bronkiektasis adalah :
1)
Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak
menderita pneumonia yang sering kambuh dan
berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan
komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita
semasa anak, tuberculosis paru, dan sebagainya.
19
2)
Kelainan herediter atau kelainan konginetal
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak dalam
kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan
perkembangan fetus memegang peran penting. Biasanya
memiliki ciri mengenai hampir seluruh cabang bronkus
pada satu atau dua paru. Biasanya disertai dengan
penyakit kongenital lainnya.
3)
Obstruksi bronkus
Obstruksi yang dimaksud seperti korpus alienum,
karsinoma bronkus dan tekanan dari luar lainnya terhadap
bronkus
d.
Patofisiologi
Patofisiologi dari bronkiektasis dimulai dari Infeksi merusak
dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya
dapat menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang
secara permanen akibat batuk hebat, infeksi melebar sampai
ke peribronkial, sehingga dalam kasus bronkiektasis sekular,
setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru,
yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Brokiektasis
biasanya setempat, menyerang lobus segmen paru. Lobus
yang paling bawah sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada
akhirnya menyebabkan alveoli disebelah distal obstruksi
mengalami kolaps (atelektasis). Jaringan parut atau fibrosis
20
akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang
berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi
pernapasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan
ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap
kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang di
inspirasi (ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksimia.
(Brunner & Suddarth 2002).
3.
Dasar-dasar CT-Scan
a.
Definisi CT Scan
CT
-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X,
komputer dan monitor. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-
X
yang terkolimasi dan adanya detektor. Di dalam komputer
terjadi proses pengolahan dan perekonstruksian gambar
dengan penerapan prinsip matematika atau yang lebih dikenal
dengan rekonstruksi algorithma. Setelah proses pengolahan
selesai, maka data yang telah diperoleh berupa data digital
yang selanjutnya diubah menjadi data analog untuk
ditampilkan ke layar monitor. Gambar yang ditampilkan dalam
layar monitor berupa informasi anatomis irisan tubuh
(Bontrager, 2010).
21
Gambar 2.4. Gantry (Bontrager, 2010)
Pada
CT
-Scan prinsip kerjanya hanya dapat
menggambarkan tubuh dengan irisan melintang tubuh. Namun
dengan memanfaatkan teknologi komputer maka gambaran
aksial yang telah didapatkan dapat direformat kembali
sehingga sehingga didapatkan gambaran coronal, sagital,
oblik, diagonal bahkan bentuk 3 dimensi dari objek tersebut.
(Rasad, 20
09
). Bagian-bagian scan unit :
1)
Gantry
Di dalam CT-Scan, pasien berada di atas meja
pemeriksaan dan meja tersebut bergerak menuju
gantry
.
Gantry
ini terdiri dari beberapa perangkat yang
keberadaannya sangat diperlukan untuk menghasilkan
suatu gambaran, perangkat keras tersebut antara lain
tabung sinar-x, kolimator, dan detektor.
2)
Tabung Sinar-X
Berdasarkan stukturnya tabung sinar-X sangat mirip
den
gan tabung sinar-X konvensional namun perbedaannya
22
terletak pada kemampuannya untuk menahan panas dan
output yang tinggi. Panas yang cukup tinggi disebabkan
karena perputaran anoda yang tinggi dengan elektron-
elektron yang menumbuknya. Ukuran focal spot yang kecil
(kurang dari 1 mm) sangat dibutuhkan untuk menghasilkan
resolusi yang tinggi.
3)
Kolimator
Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur,
membatasi jumlah sinar yang sampai ke tubuh pasien
serta untuk meningkatkan kualitas gambar. CT-Scan
menggunakan 2 buah kolimator yaitu
pre pasien
kolimator
dan
pre detektor
kolimator.
4)
Detektor
Selama eksposi berkas sinar-x (foton) menembus
pasien dan mengalami perlemahan (atenuasi). Sisa-sisa
foton yang telah teratenuasi kemudian ditangkap oleh
detektor. Ketika detektor-detektor menerima sisa-sisa foton
tersebut, foton berinteraksi dengan detektor dan
me
mproduksi sinyal dengan arus yang kecil yang disebut
sinyal output analog. Sinyal ini besarnya sebanding
dengan intensitas radiasi yang diterima. Kemampuan
penyerapan detektor yang tinggi akan berakibat kualitas
gambar lebih optimal. Ada 2 tipe detektor yaitu
solid state
dan
isian gas.
23
Menurut Galanski dan Prokop (2003), Multislice CT
Scan berbeda dengan pesawat CT Scan biasa dimana
hanya menggunakan satu lajur detektor. Sistem dari
Multislice CT Scan adalah dilengkapi dengan dua atau
lebih lajur detektor yang parallel dan selalu di lengkapi
dengan teknologi CT Scan generasi ketiga dimana
perputaran tabung sinar-X dan detektor berputar secara
sinkron.
Gambar 2.5. Perbandingan konsep single dan multiscanner
(Bontrager, 2010)
5)
Meja Pemeriksaan
(Couch)
Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk
memposisikan pasien. Meja ini biasanya terbuat dari fiber
karbon. Dengan adanya bahan ini maka sinar-x yang
menembus pasien tidak terhalangi jalannya untuk menuju
ke detektor. Meja ini harus kuat dan kokoh mengingat
fungsinya untuk menopang tubuh pasien selama meja
bergerak ke dalam
gantry
.
24
6)
Sistem Konsul
Konsul tersedia dalam berbagai variasi. Model yang
lama masih menggunakan dua system konsul yaitu untuk
pengoperasian CT-Scan sendiri dan untuk perekaman dan
pencetakan gambar. Model yang terbaru sudah memakai
sistem satu konsul dimana memiliki banyak kelebihan dan
banyak fungsi.
7)
Akuisisi data
Menurut Seeram (2009), akuisisi data adalah data
transmisi sinar-X yang berasal dari tubuh pasien kemudian
data tersebut ditangkap detektor yang selanjutnya di
rekonstruksi menjadi gambar. Prosesnya adalah sebagai
berikut :
a)
Tabung sinar-X dan detektor berada pada satu garis.
b)
Tabung dan detektor akan mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya dari atenuasi pasien sebagai
bahan untuk pengukuran
c)
Berkas dibentuk oleh filter setelah melalui tabung
d)
Berkas dikolimasikan untuk membuat irisan
e)
Berkas di atenuasikan oleh pasien dan transmisi foton
tersebut akan di ukur oleh detektor.
f)
Detektor akan mengonversikan foton sinar-X ke dalam
signal listrik
g)
Signal akan dikonversikan oleh analog ke digital
konverter (ADC) ke dalam data digital. Data digital akan
25
mengirim ke komputer untuk di rekonstruksi jadi
gambar.
Gambar 2.6. Akuisisi data dalam CT Scan (Bontrager, 2010)
b.
Parameter CT Scan
1)
Slice thickness
Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan
dari objek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih anatara 1
mm

10 mm sesuai dengan keperluan klinis. Pada
umumnya ukuran yang tebal akan menghasilkan
gambaran dengan detail yang rendah dan sebaliknya
ukuran yang tipis akan menghasilkan gambaran dengan
detail yang tinggi. Variasi slice kolimasi yaitu 4-5mm, 4-
2
,5
mm, 4-1mm, dan 2 -0.5 mm untuk desain yang di
tunjukkan pada gambar sama dengan desain yang lainnya.
Hal ini penting untuk catatan bahwa slice thickness
merupakan kemampuan untuk membedakan gambaran
antar jaringan selama akuisisi (slice kolimasi). Slice paling
tebal dihasilkan dari data paling tipis selama rekonstruksi
26
atau post processing. Tetapi jika salah satu slice kolimasi
telah dipilih, maka tidak bisa merekonstruksi potongan
yang lebih tipis lagi.
2)
Faktor eksposi
Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap eksposi meliputi tegangan tabung (kV), arus
tabung (mA) dan waktu eksposi (s). Faktor eksposi
tersebut dapat dipilih secara otomatis pada tiap-tiap
pemeriksaan.
3)
Field of view (FOV)
Field of view adalah diameter maksimal dari gambaran
yang akan direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan
biasanya pada rentang 12-50 cm. FOV yang kecil akan
meningkatkan mereduksi ukuran pixel (picture element).
Sehingga dalam proses rekonstruksi matriks hasil
gambarannya akan menjadi lebih teliti. Namun jika ukuran
FOV terlalu kecil maka area yang mungkin dibutuhkan
untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.
4)
Rekonstruksi matriks
Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom
dari pixel dalam proses perekonstruksian gambar.
Rekonstruksi matriks ini merupakan salah satu struktur
elemen dalam memori komputer yang berfungsi untuk
merekonstruksi gambar. Pada umumnya matriks yang
digunakan berukuran 512×512 yaitu 512 baris dan 512
27
kolom. Rekonstruksi matriks ini berpengaruh terhadap
resolusi gambar yang akan dihasilkan. Semakin tinggi
matriks yang dipakai makan semakin tinggi resolusi yang
akan dihasilkan.
5)
Rekonstruksi algoritma
Rekonstruksi algoritma adalah prosedur matematis
(algorithma) yang digunakan dalam merekonstruksi
gambar. Penampakan dan karakteristik dari gambar CT
Scan tergantung pada kuatnya algoritma yang dipilih.
Sebagian besar CT Scan sudah memiliki standar algoritma
tertentu. Semakin tinggi resolusi algoritma yang dipilih
maka semakin tinggi pula resolusi gambar yang akan
dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran
seperti tulang, soft tissue dan jaringan-jaringan yang lain
dapat dibedakan dengan jelas pada layar monitor.
6)
Window width
Window width adalah rentang nilai computed
tomography yang dikonversi menjadi gray level untuk
ditampilkan dalam TV monitor. Setelah komputer
menyelesaikan pengolahan gambar melalui rekonstruksi
matriks dan algoritma maka hasilnya akan dikonversi
menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama nilai
computed tomography. Nilai ini mempunyai satuan HU
(Hounsfield Unit) yang diambil dari nama penemu CT Scan
kepala pertama kali yaitu Godfrey Hounsfield.
28
Tabel 1.
Nilai CT Number pada jarin
ga
n
ya
ng berbeda dari
pe
nampakan dalam m
on
it
o
r
(Ballinger, 2012)
Tipe
j
ari
n
ga
n
Ni
lai
CT
(
HU)
P
e
n
ampaka
n
T
ula
n
g
+1000
Putih
Oto
t
+50
Abu
-
abu
Materi putih
+45
Abu
-
abu meyala
Materi abu
-
abu
+40
Abu
-
abu
D
arah
+20
Abu
-
abu
CSF
+15
Abu
-
abu
Air
0
Lemak
-
100
Abu
-
abu gelap ke
hitam
Paru
-
200
Abu
-
abu gelap ke
hitam
Udara
-
1000
Hitam
Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0
HU.Untuk tulang mempunyai nilai
1000 HU kadang
sampai
3000 HU. Sedangkan untuk kondisi udara nilai
yang dimiliki
1000 HU. Diantara rentang tersebut
merupakan jaringan atau substansi lain dengan nilai yang
berbeda-beda pula tergantung pada tingkat
perlemahannya. Dengan demikian maka, penampakan
tulang dalam layar monitor menjadi putih dan penampakan
udara hitam. Jaringan dan substansi lain akan dikonversi
menajadi warna abu

abu yang bertingkat yang disebut
gray scale. Khusus untuk darah yang semula dalam
penampakkanya berwarna abu

abu dapat menjadi putih
jika diberi media kontras iodine.
29
7)
Window Level
Window level adalah nilai tengah dari window yang
digunakan untuk penampilan gambar. Nilainya dapat dipilih
dan tergantung pada karateristik perlemahan dari struktur
objek yang diperiksa. Window level ini menentukan
densitas gambar yang akan dihasilkan.
8)
Pitch
Pitch adalah pergerakan meja pasien per rotasi dibagi
slice thickness. Pitch berpengaruh pada kualitas gambaran
dan volume gambaran. Pitch yang tingi akan meningkatkan
volume gambaran arena berpengaruh pada resolusi
gambar sepanjang z

axis (Nagel, 2004).
9)
Increment
Increment adalah jarak antara imej rekontruksi dalam
arah z direction. Ketika memilih increment yang lebih kecil
dari pada slice thickness, akan membentuk potongan yang
overlaping. Teknik ini berguna untuk mengurangi pengaruh
partial volume, memberi detail anatomi yang bagus dan
kualitas 2D dan 3D post processing yang tinggi (Nagel,
2004)
10)
Range
Range adalah perpaduan atau kombinasi dari
beberapa
slice thickness
dengan ketebalan irisan berbeda
pada masing-masing
range
tetapi masih dalam satu
volume investigasi. Pemanfaatan dari
range
adalah untuk
30
mendapatkan ketebalan irisan yang berbeda pada satu
lapangan pemeriksaan
.
4.
Teknik pemeriksaan HRCT (
High Resolution Computed
Tomography
) Thorax
High-resolution computed tomography (HRCT) adalah teknik
pencitraan radiologi untuk menampakan perubahan struktur pada
paru. HRCT pada paru-paru dapat menampakkan detail parenkim
paru dan dapat digunakan untuk mengevaluasi penyakit paru
interstitial kronis. Teknik HRCT menggunakan irisan tipis (1mm

2 mm slice thickness) dengan high spasial frekuensi algoritma.
Penyakit paru dapat dikelompokkan berdasarkan corak (area
linear, area nodular, area berkurangnya atenuasi, dan area
ground-glass atenuasi) dan distribusi (periferal, axial, dan
parenkim) ( Helen. R 1992). Pada pemeriksaan HRCT ini, tidak
dibutuhkan media kontras melalu
i
intravenous
seperti pada
pemeriksaan CT-Thorax secara umum. Hal ini dikarenakan dalam
HRCT yang diutamakan untuk dinilai adalah parenkim paru, bukan
untuk melihat lesi ataupun massa (Eric JS, 2001
).
1.
Indikasi
Mendeteksi dan mengkarakteristikkan
diffuse parenchymal
lung disease,
termasuk diantaranya yaitu
emphysema,
bronchiectasis,
ataupun
asthma
(Smith, Wilbur L. : 2005).
31
2.
Persiapan pemeriksaan
a.
Persiapan pasien
Tidak ada persiapan khusus bagi penderita, hanya saja
instruksi

instruksi yang menyangkut posisi pasien dan
prosedur pemeriksaan harus diberitahukan dengan jelas.
Pasien melepaskan aksesoris seperti kalung, bra dan
mengganti baju dengan baju khusus pasien supaya tidak
menyebabkan timbulnya artefak (Rasad, 2009).
b.
Persiapan alat
1)
Pesawat
Ct
-Scan
2)
Meja Konsul
3.
Teknik pemeriksaan
a.
Posisi pasien
Scanning dilakukan pada posisi supine dan prone, dan
mengikuti aba-aba pernapasan. Tujuan posisi supine untuk
mengevaluasi suatu bentuk
atenuasi mosaic
dan juga
air
trapping
dan posisi prone menunjukkan klarifikasi infiltrasi
dari klinis dalam daerah paru yang berbeda (Richard,
2015).
b.
Posisi objek
1)
Mengatur pasien sehingga Mid Sagital Plane (MSP)
tubuh sejajar dengan lampu indikator longitudinal dan
Mid Coronal Plane (MCP) tubuh sejajar dengan lampu
indikator coronal.
2)
Mengatur kedua lengan pasien di atas kepala.
32
3)
Memfiksasi lutut dengan menggunakan body clamp.
4)
Menjelaskan kepada pasien untuk inspirasi penuh dan
tahan nafas pada saat pemeriksaan berlangsung.
5)
Range
scanning pada saat inspirasi yaitu mulai dari
apex sampai dengan basal paru (
whole chest
), dan
pada saat ekspirasi hanya dilakukan di level area
penting dalam paru.
c.
Parameter pemeriksaan high resolution computed
tomography.
Parameter HRCT menurut American College of Radiologi
1)
Slice thickness
:1

2
mm
2)
Rotasi gantri
:0
3)
kV
: 120 kVp
4)
mAs
: ≤ 240 mAs
5)
Kolimasi : 1,5 -3 mm
6)
FOV : 35 cm
7)
Rekonstruksi algoritma : high spatial frequency
8)
Window : lung window
9)
Window level
:
-700 HU
10)
Window width : 1000-1500 HU
33
d.
Kriteria gambar
(
a)
(b)
Gambar 2.7. Potongan axial (a) convensional CT dan (b)
HRCT (Helen, 1992)
Keterangan gambar :
a)
Convensional CT scan 10 mm slice tidak dapat
menampakan septal lines yang tipis.
b)
HRCT scan dapat menampakan septal lines (panah)
secara jelas pada paru kiri
(a)
(b)
34
(c)
(d)
Gambar 2.7. Potongan axial (a) HRCT dan (b) konvensional
CT (Helen, 1992)
Keterangan gambar :
a)
HRCT scan dapat menampakan kesulitan membedakan
nodule dengan pembuluh.
b-d) Pada konvensional CT scan, di temukan pada citra yang
berurutan dan menampakan pembuluh (panah).

Pengguanan slice
thickness 0,67mm.
Pada
pemeriksaan HRCT thorax menggunakan
slice
thickness
yang tipis karena untuk menghasilkan gambaran
detail dan ketajaman dari parenkim paru.
Slice thickness
dengan ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran
dengan detail yang rendah
, sebaliknya ukuran yang tipis
akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.

Teknik Pemeriksaan HRCT (


High Resolution Computed
Tomography
) Thorax pada Kasus Bronchiectasis di
Instalasi Radiologi MRCCC Siloam Semanggi Jakarta
Selatan.
Pemeriksaan
HRCT dilakukan, t
erdapat beberapa
persiapan. Y
ang pertama adalah
p
ersiapan pasien,
persiapan pasien pada
pemeriksaan HRCT Thorax pada
kasus Bronchiectasis di Instalasi Radiologi MRCCC
Siloam Semanggi Jakarta Selatan
, secara umum tidak ada
persiapan khusus. Pasien hanya dipersilahkan untuk
mengganti ba
ju dengan baju pasien yang telah disiapkan
serta melepas benda
-
benda logam yang dapat
menimbulkan artefak dan persiapan lainnya memberikan
penjelasan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan. Menjelaskan kepada pasien pada saat
pemeri
ksaan mengikuti instruksi tahan napas pada saat
pemeriksaan berlangsung yang pada prinsipnya sudah
sesuai seperti teori dari
Rasad (2009) tidak ada persiapan
khusus bagi penderita, hanya saja instruksi

instruksi yang
menyangkut posisi pasien dan prosedur p
emeriksaan harus
diberitahukan dengan jelas. Pasien melepaskan aksesoris
seperti kalung, bra dan mengganti baju dengan baju khusus
pasien supaya tidak menyebabkan timbulnya artefak
.
Penjelasan ini dimaksudkan agar saat pemeriksaan
berjalan, pasien dapat m
engikuti teknik pernafasan dengan
baik dan tidak kaget saat mendengarkan aba
-
aba yang
diinstruksikan. Hal ini akan mengurangi pergerakan pasien
saat
scanning
yang dapat menimbulkan artefak pada
radiograf yang dihasilkan, sehingga tidak mengurangi
kualitas
gambar.
Persiapan
alat dan bahan, pemeriksaan HRCT berbeda
dengan
CT
-
Scan
Thorax pada umumnya yaitu pesawat
CT
-
Scan, bantal, selimut dan alat fiksasi.
Pemeriksaan HRCT Thorax pada kasus bronchiectasis
di Instalasi Radiologi MRCCC Siloam Semanggi Jakarta
S
elatan ini dilakukan dengan memposisikan pasien prone
di atas meja pemeriksaan dengan posisi
feet
first.
Kepala
diberi bantal
dan selimut, agar pasien merasa lebih
nyaman. Serta kedua tangan diposisikan di atas kepala dan
tubuh difiksasi dengan
body clamp
.
Kemudian dilakukan
pengaturan sinar di mana lampu indikator longitudinal
sejajar dengan MSP tubuh, sedangkan indikator lampu
horizontal sejajar dengan MCP tubuh. Menurut Nesseth
(2000) pasien diposisikan sehingga mid sagital plane
(MSP) tubuh sejajar denga
n lampu indikator longitudinal,
garis horizontal tidak memotong batas atas paru. Lengan
pasien diletakkan diatas kepala.
Teknik
scanning
yang digunakan dalam pemeriksaan
HRCT ini yaitu teknik
helical.
Pada
CT
-
Scan
dikenal
prinsip
single slice
dan
multi sli
ce
. Perbedaan utama dari
kedua prinsip terletak pada lamanya pemeriksaan dan
resolusi gambar yang dihasilkan (Rasad, 1992). Menurut
Fishman (1998), jika teknik
sequence
dan
spiral
dalam
dibandingkan dengan
slice thickness
1 mm, maka
perbedaan dalam hal re
solusi akan tampak secara jelas
yaitu spatial resolusi dan ketajaman gambar untuk menilai
struktur linear.
Range
yang digunakan dalam pemeriksaan
HRCT ini yaitu mulai dari cervical sampai hepar. Menurut
Nesseth (2000) range
mulai dari apex sampai dengan ba
sal
paru (
whole chest
), range yang digunakan terlalu lebar.
Scan parameter pada pemeriksaan HRCT pada kasus
b
roncheictasis di Instalasi Radiologi MRCCC Siloam
Semanggi Jakarta Selatan dilakukan dengan menggunakan
slice thickness
0,67mm,
increment
0.5mm. Me
nurut Nagel
(2004), ketika pemilihan
increment
yang lebih kecil dari
slice thickness
, akan membentuk potongan yang
overlaping. Teknik ini berguna untuk mempengaruhi
partial volume, memberi detail anatomi yang bagus dan
kualitas 2D dab 3D
post processing
ya
ng tinggi. Filter
rekonstruksi algorithma
high resolutionY
-
Sharp
(YC)
yang
bisa dimaksudkan sebagai
bone
-
sharp reconstruction
algoritm
, yang memungkinkan untuk menekan kesalahan
diagnosa kalsifikasi yang ada.
Pada pemeriksaan HRCT
Thorax pada kasus Bronchi
ectasis di Instalasi Radiologi
MRCCC Siloam Semanggi Jakarta Selatan rekonstruksi
gambar dibuat dengan potongan coronal dan sagital tanpa
tambahan gambaran 3D dan
menggunakan
window
lung
tanpa
window
mediastinum terlebih dahulu, karena dalam
pemeriksaan in
i organ yang diperiksa adalah
parenkim
paru
-
paru. Sehingga dalam mengolah gambar hasil
JImeD, Vol. 1, No. 1
ISSN 2356
-
301X
Fatimah : Optimisasi Field o
f
View
...
5
scanning
yang dihasilkan dapat lebih cepat, tanpa
mengatur ulang kondisi gambar yang dihasilkan.
Pemeriksaan HRCT yang telah dilakukan tersebut dalam
menilai kondisi par
u pada pasien bronchiectasis telah
dapat membantu pulmonolog
dalam menilai parenkim
paru, hal ini disebabkan oleh pemeriksaan HRCT yang
dapat menghasilkan
spatial resolusi
yang lebih tinggi
sehingga detail organ paru akan tampak lebih jelas.
2.
Alasan menggun
akan
slice thickness
0,67mm pada Kasus
Bronchiectasis di Instalasi Radiologi MRCCCC Siloam
Semanggi Jakarta Selatan
Menurut
Catur (2011) pemeriksaan
CT
-
Scan
untuk
slice thickness
nya dengan ukuran yang tebal akan
menghasilkan gambaran dengan detail yang ren
dah,
sebaliknya ukuran yang tipis akan menghasilkan gambaran
dengan detail yang tinggi. Jika ketebalan irisan semakin
tinggi, maka gambaran akan cenderung terjadi artefak, dan
jika ketebalan irisan semakin tipis, maka gambaran
cenderung akan menjadi
noise
.
Pada penelitian yang dilakukan oleh murata dkk
(2015), itu membandingkan kemampuan dari axial HRCT
pada 1,5mm dengan 3mm, ini mengidentifikasikan
pembuluh darah kecil, bronchi, interlobular septa dan
beberapa patologi yang ditemukan, dengan 1,5mm kontras
yang dihasilkan lebih baik untuk menampilkan pembuluh
darah dan area parenkim paru. Branches lebih banyak
ditampilkan dari pembuluh darah kecil dan bronchus yang
lebih kecil lebih banyak ditampilkan dengan menggunakan
slice thickness
1,5mm. Sedikit peningk
atan pada atenuasi
paru
-
paru seperti terlihat pada penyakit
interstitial lung
disease
atau bisa juga penurunan atenuasi paru
-
paru
misalnya pada
emphysema
, jadi solusi yang lebih baik
menggunakan
slice thickness
1,5mm. Bagaimanapun juga
penulis menyimpulkan
beberapa patologi yang ditemukan
seperti penebalan interlolubar septa akan tampak pada
slice thikness
1,5mm.
Berkaitan dengan hal tersebut, penggunaan
slice
thickness
pada kasus bronchiectasis di Instalasi Radiologi
MRCCC Siloam Semanggi Jakarta Selatan d
ibuat dengan
ukuran 0,67 mm diharpakan mampu menampakkan
gambaran dari parenkim paru dan pembuluh darah dengan
batas yang dapat tervisualisasi dengan baik
dan
mengurangi pelembutan citra dan meningkatkan spatial
resolusi. Penggunaan
slice thickness
tipis d
osis radiasi
yang diterima pasien lebih besar.
SIMPULAN
1.
Teknik pemeriksaan
HRCT Thorax
pada kasus
B
ronchiectasi di Instalasi Radiologi MRCCC Siloam
Semanggi Jakarta Selatan dilakukan dengan tanpa
persiapan khusus. Pemeriksaan HRCT Thorax juga
dilakukan t
anpa menggunakan media kontras. Posisi
pasien prone
feet first
dengan mengikuti aba
-
aba tarik
napas tahan. Área
scanning
dari cervical sampai hepar.
Scan parameter menggunakan proto
k
ol khusus
pemeriksaan HRCT thorax .
dengan
slice thickness
0,67
mm d
engan
increment
0.5mm
dan langsung
menggunakan
window
lung dengan
filter high resolution
y
-
sharp
. Kemudian direkonstruksi untuk mendapatkan
potongan sagital dan coronal tanpa merubah
slice
thickness.
2.
Alasan menggunakan
slice thickness
dibawah 0,67mm
karena HRCT
ini membutuhkan detail yang sangat tinggi
diharapkan detail dan ketajaman dari parenkim paru dan
pembuluh darah dapat terlihat baik dengan
batas yang
dapat tervisualisasi, dan
mengurangi pelembutan citra,
meningkatkan spatial resolusi dan sudah mampu
memb
antu dalam mendiagnosa bronchiectasis.
DAFTAR PUSTAKA
Ballinger, Philip W. 20
12
.
Merril of Atlas Radiographic Positioning and
Radiologic Procedures, Tenth Edition Vol. II
. Missouri : Mosby, Inc.
Bontranger, Kenneth L, dan Lampignano, John P. 2010.
Texbook
of
Radiographic Positioning and Related Anatomy. Fifth Edition
. Mosby
Inc: Missouri.
Corcoran, Helen L, et al. 1992.
Review of High
-
Resolution CT of the Lung
.
(
http://pubs.rsna.org/
doi/10.1148/radiographics.12.5.1529134
. Diakses
pada Desember 2017)
Eric JS. 2001. High Resolution of the Chest. Second edition. Lippincott
Williams and Wilkins: Philadelphia, USA.
Farl
ex
. 2008, August 15 at 08:52 pm.
Th
e Free Dictionary High Resolution
C
T
,
www.encyclopedia.thefreedictionary.com/High+Resolution
+CT">
High Resolution CT
Jay HR. 2007.
Diagnosis of Interstitial Lung Diseases
. Mayo Foundation for
Medical Education and
Research. Mayo Clin Proc: 2007
Vol.82:939
-
943
Muttaqin, A. 2014.
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gamgguan Sistem
Pernapasan
. Jakarta: PT Selemba Medika.
Nagel. H. D. 2004.
Multislice CT Technolgy
, Germany,(
www.mult
islice.com
. Akses 14 November 2016)
Nesseth, Rolland. 2000.
Prosedures and Documentation for CT and MRI
.
Kansas : Fost Hays State University
Pearce, Evelyn C. 2011.
Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis
. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Prokop dan Gala
nski. 2003.
Spiral and Multislice Computed Tomography of
the Body
. New York : Thieme
Rasad, S. dkk. 1992.
Radiologi Diagnostik
. Cetakan Kedua. Balai Penerbit
FKUI : Jakarta.
Rasad, Sjariar. 2009.
Radiologi Diagnostik
. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Seeram,
Euclid. 2009.
Computed Tomography: physical principles, clinical
applications, and quality control.
USA : W.B Saunders Company
Suddarth. Brunner.(2002).
Keperawatan Medikal Bedah
.Jakarta:EGC
Syaifuddin. 2006.
Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan
,
Edisi
3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC
Webb, W Richard. 2015.
Fubdamentals of Body CT
. Fourth Edition.
Philadelphia: Saunders

Anda mungkin juga menyukai