Anda di halaman 1dari 11

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernafasan bagian bawah dengan
karakteristik klinis berupa batuk, takipnea, wheezing, dan / atau ronkhi.
Bronkiolitis adalah sebuah kelainan saluran penafasan bagian bawah yang
biasanya menyerang anak-anak kecil dan disebabkan oleh infeksi virus-virus
musiman seperti RSV. Walaupun kata bronkiolitis berarti inflamasi
bronkioles, hal ini jarang ditemukan secara langsung, tapi diduga pada anak
kecil dengan distres pernafasan yang memiliki tanda-tanda infeksi virus.5
Bronkiolitis adalah istilah yang digunakan pada mengi (wheezing)
yang terjadi pertama kali akibat infeksi virus pada saluran respiratori.7
Bronkiolitis akut adalah peradangan pada bronkiolus yang ditandai
oleh sesak napas, mengi, dan hiperinflasi paru.8

2.2. Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus
(RSV) sebanyak 95% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh adenovirus,
virus Parainfluenza, Rhinovirus, atau Mikoplasma.7
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-
350 nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan
yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu
protein G (attachment protein ) yang mengikat sel dan protein F (fusion
protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel
tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif
pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain

15
16

A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan


sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari.1
Sejumlah virus dikenal sebagai penyebab bronkiolitis telah secara
nyata diperluas dengan keberadaan tes diagnosis yang sensitif dengan
menggunakan teknik molekular tambahan. RSV tetap menjadi penyebab 50 %
– 80 % kasus. Penyebab lain termasuk virus parainfluenza, terutama
parainfluenza tipe 3, influenza, dan human metapneumovirus (HMPV).
HMPV ditaksir menyebabkan 3 % – 19 % kasus bronkiolitis. Kebanyakan
anak-anak terinfeksi selama epidemik luas musim dingin tahunan.5
Teknik diagnosis molekular juga telah mengungkapkan bahwa anak-
anak kecil dengan bronkiolitis dan penyakit-penyakit respirasi akut lainnya
sering diinfeksi oleh lebih dari satu virus. Jumlah coinfeksi ini sekitar 10 % –
30 % pada sampel anak-anak yang dirawat di rumah sakit, kebanyakan oleh
RSV dan salah satu dari HMPV atau rhinovirus.5

2.3. Epidemiologi
Bronkiolitis adalah penyebab tersering bayi di rawat di rumah sakit.
Diperkirakan 50% anak mengalami bronkiolitis pada 2 tahun pertama masa
kehidupan dengan puncak kejadian 2 sampai 6 bulan. 6
RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya
penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004)
mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-
90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.5
Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin
berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh
karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah.
Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan,
bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan
17

immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya


penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan
wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.5

2.4. Patogenesis
Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran
nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel
saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi
sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa
bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa
nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi
edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen
bronkiolus .2
Gambar 1. Respon inflamasi selular pada infeksi virus saluran nafas 2
18

Pediatricsnand Neonatology 2
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon
inflamasi akut, sekresi mucus, timbunan debris selulat atau sel- sel
submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter
saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan
hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki
penampang saluran respiratori kecil. Resistensi bronkiolus meningkat selama
fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil
selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinflasi.
Ateletaksis dapat terjadi pada saat obstruksi total dan udara yang terjebak
diabsorbsi. 1
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi yang selanjutnya menyebabkan hipoksemia dan kemudia
terjadi hipoksia jaringan. 1
Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada
beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah
tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat selama, end
expiration lung volume meningkat, dan compliance paru menurun.
Hiperkapneu biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60x/menit.
Pemulihan epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti setelah
dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. 1
19

Gambar 2. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis 1

2.5. Manifestasi Klinis


Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang
encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang
disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas
yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan
menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya
terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita
infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau
tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. 1,3
 Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit,
kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat.
 Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan
retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru).
 Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar
dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles.
 Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh
paru yang hiperinflasi.
 Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar.
 Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan,
otitis media serta faringitis.
 Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena
adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur
dioxide). Karakteristiknya:
20

o Gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu


atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang
berulang.
o Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis.
o Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial,
destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa.
Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi,
atelektasis dan fibrosis.

2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesia, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya. 1
 Anamnesis
Gejala awal berupa infeksi respiratori atas akibat virus, seperti
pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul
batuk yang disertai sesak napas. Selanjutnya ditemukan wheezing,
sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk,
rewel, dan penurunan nafsu makan. 1
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan tarkipnea, takikardi, dan
peningkatan suhu diatas 38o C. Selain itu dapat ditemukan konjungtivitis
ringan dan faringitis. 1
Obstruksi saluran respirasi bawah akibat respon inflamasi akut
akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. usaha
napas yang dilakukan dapat menimbulkan napas cuping hidung dan
retraksi dinding dada. Selain itu dapat juga ditemukan rhonki dari
21

pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila menghebat


dapat terjadi apnea, terutama pada bayi kurang dari 6 minggu. 1
 Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit
biasanya normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah
(AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang
membutuhkan ventilator mekanik. 1
Pada pemeriksaan laboratorium sering ditemukan leukositosis ringan
12.000-16.000 sel/µL tetapi ini tidak bersifat spesifik. Sangat penting untuk
memantau oksigenasi pada kasus bronkiolitis berat. Pada pasien harus dinilai
secara berkala dan pemantauan sistem kardiorespirasi karena dapat terjadi gagal
napas, meskipun sebelumnya pemeriksaan AGD tidak menunjukkan kondisi
berbahaya. 1
Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrate,
tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada ASMA, pneumonia
viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran ateletaksis,
terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel- sel mati yang
menyumbat, air trappin, diafragma datar, dan peningkatan diameter antero
posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen
detection test dan enzyme linked immunosorbent assays (ELISA), atau PCR. 1
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis, digunakan
berbagai skala klinis, misalnya RDAI atau modifikasi mengukur laju RR, usaha
napas, beratnya wheezing, dan oksigenasi. 1

Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)7


22

  SKOR Skor maksimal


0 1 2 3 4
Wheezing :            
-Ekspirasi (-) Akhir Semua 4
-Inspirasi (-) Sebagian Semua 2
-Lokasi (-) 2 dari 4 3 dari 4 2
lapang paru lapang paru
Retraksi :            
-Supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3
-Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
-Subkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
TOTAL 17

2.7 Penatalaksanaan
1. Terapi Supportif
Terapi bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, termasuk pemantauan fungsi
respiratori, pengendalian demam, hidrasi yang baik, penghisapan lender dari
saluran respiratori atas dan pemberian oksigen. 7
 Bronkodilator
Peran bronkodilator masih kontroversial. Review Cochrane tentang
penggunaan bronkodilator menunjukkan perbaikan skor klinis untuk
jangka pendek, tetapi tidak terdapat perbaikan oksigenasi atau angka
perawatan di RS. 1
Wohl dan Cernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran
respiratori adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan
sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi
dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah α-
adrenergik dan β- adrenergik. 1
Kelebihan epinefrin dibandingkan bronkodilator β- adrenergik selektif
adalah: 1
23

1. Kerja bronkodilator α- adrenergic yang merupakan dekongestan


mukosa, membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah
pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation- perfusion
matching.
2. Relaksasi ototr bronkus karena efek β- adrenergik.
3. Kerja β- adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.
4. Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti
edema.
5. Mengurangi sekresi kataral.
 Kortikosteroid
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, prednisolon,
metilprednison, hidrokortison, dan deksametason. Rata – rata dosis
perhari antara 0,6- 6,3 mg/kgBB, dan rata- rata total paparan antara 3,0
-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular, dan
intravena. Tidak ada efek merugikan yang dilaporkan. 1
 Ribavirin
Ribavirin adalah purin nucleoside derivate guanosine sintetik, bekerja
mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA). Ribavirin
menghambat translasi mRNA virus kedalam protein virus dan menekan
aktivitas polymerase RNA. Titer RSV bisa meningkat dalam tiga hari
setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena
mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi
aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. 1

2. Pencegahan
 Imunoglobulin dan Vaksin
24

Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah meningkatkan


antibodi yang menetralisirkan protein F dan G dengan cara pemberian
dari luar dan imunisasi ibu. Pada manusia efek pemberian imunoglobulin
yang mengandung RSV neutralizing antibody titer tinggi atau antibodi
monoklonal terhadap protein F dan mengurangi beratnya penyakit. 7
Pemberian injeksi palivizumab (antibodi monoklonal spesifik RSV)
setiap bulannya, sebelum musim penyakit RSV memberikan proteksi
terhadap RSV berat. Palivizumab direkomendasikan terutama pada anak
berusia kurang dari 2 tahun dengan penyakit paru kronik, BBLSR, dan
bayi dengan penyakit kongenital, baik sianotik maupun non sianotik.
Imunisasi influenza pada anak berusia lebih dari 6 bulan dapat
melindungi anak dari penyakit terkait infeksi influenza. 7

2.8 Prognosis
Pada penderita bronkiolitis, prognosis untuk kehidupannya (quo ad vitam)
adalah ad bonam, sedangkan prognosis untuk kesembuhan (quo ad sanam) adalah
ad bonam.1,2
Infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi bisa berkembang menjadi asma.
Ehlenfield dkk mengatakan jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak
pada bayi yang nantinya akan menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median
98 sel/mm3. Adanya eosinofilia dimungkinkan bahwa mengi akan berlanjut pada
masa kanak-kanak. Kriteria yang menjadi faktor risiko asma adalah
didapatkannya 2 faktor risiko mayor atau 1 faktor resiko mayor + 2 faktor risiko
minor.1
- Faktor risiko mayor yaitu asma pada orang tua dan eksema pada anak.
- Faktor risiko minor adalah Rinitis alergi, mengi diluar selesma dan
eosinofilia.
25

Faktor resiko gejala yang berulang sehingga kemungkinan dapat


berkembang menjadi asma : sosial ekonomi yang rendah, lingkungan rumah yang
tidak sehat, jumlah anggota keluarga yang besar tinggal dalam 1 rumah, ayah
seorang perokok aktif dan anak tidak mendapatkan ASI sejak lahir. 1,2

Anda mungkin juga menyukai