Anda di halaman 1dari 3

List kalimat Keren Red Rising

 Tembok terowongan di sekeliling kursiku bermandikan korona cahaya berwarna


kuning belerang.
 Matanya mengerjap lambat dan berat,seolah-olah baginya membuka mata dan melihat
dunia lagi terasa menyakitkan.
 Kemudian aku berpikir ulang, aku sendiri rela melakukan apa saja demi menyediakan
makanan untuknya.
 Lagu tentang lembah yang jauh, kabut, kehilangan kekasih, dan malaikat maut yang
ditakdirkan memandu kami menuju rumah tak kasat mata.
 Lampu bergelantung di koridor panjang.
 X menerjang dari arah seberang di meja dan tidak lama kemudian kami baku hantam
di lantai, aku berhasil membalikkan situasi dan meninju hidungnya dengan tanganku
yang sakit.
 Serangga-serangga berkelebat melintas, berkepak-kepak pelan,mereka mendengung
seraya pancarkan sinar hijau kekuningan membubung pudarkan keremangan.
Mendenyutkan warna sebuah kehidupan. Ia seperti anak kecil, ditangkupnya hewan-
hewan itu kemudian mendongak ke langit malam manatap kelip sederhana
menenangkan.
 Bintang-bintang memancarkan cahaya lembut nan anggun pada hitam langit malam.
 Langit di atasku terlihat menakutkan. Jika memandangnya terlalu dekat, aku jadi
terlupa pada tarikan gravitasi dan merasa seolah aku teerjatuh di dalamnya.
 “Takut pada pedihnya kehilangan, pada hampanya kematian.” Kataku getir.
 Mengulang-ulang inti yang sama.
 “Aku hidup untukmu, Eli.” “Kalau begitu, cobalah hidup untuk lebih banyak hal
tanpa terkekang rasa bersalah dan penyesalan sedikitpun.”
 Kala dunia terang benderang perlahan, lalu warna hijau, cokelat, dan kuningdari
pepohonan tersingkap indah.
 Aku berdengap, jemari tanganku meremas kuat pegangan kursi. Pembuluh darahku
tersetrum, arus listrik kuat menjalar hingga ke sel-sel neuron otakku. Ada rasa pahit
yang menjalar di langit-langit kerongkonganku.

 Serangan jantung, jatuh dari rooftop gedung, dihujam belati seorang perampok,
tertabrak van tua di perempatan lampu merah, terlindas kereta, tertembak oleh orang
yang mabuk. Aku telah melihat semuanya, kejadian-kejadian yang merenggut Eli
dariku. Aku menyerah, setiap yang kulakukan tetaplah berujung kematian bagi Eli.
 Kali ini Eli terinfeksi COVID-19, ia telah sampai pada covid pnemonia, jalinan
jaringan paru-paru miliknya telah mangalami kerusakan dan berisi nanah yang
menggenang ruangnya. Aku di sisinya, di detik-detik akhir kehidupannya. Orang-
orang yang hadir di setiap pemakaman Eli mengatakan aku terlalu teguh. Tiada
ekspresi sedih dan kehilangan, hatiku terlanjur mengeras oleh kilas ratusan kematian,
kembali melihat mata biru Eli yang kosong.
 Eli berbaring diatas tanah bersamaku, kami menghitung jumlah kunang-kunang dan
berakhir salah hitungan, lalu tertawa lepas tanpa beban sedikitpun. Wajahnya
bercahaya kala memperhatikanku, saat itu adalah kali pertama mencium dia dengan
mata terbuka.

Hitam, stelan yang dipakai orang-orang. Peluh awan mendung yang tertahan
gambarkan suasana kelabu oleh duka. Sebongkah peti kukuh berwarna putih turun perlahan,
isak tangis mulai terdengar. Langkahku getir meninggalkan bukit penuh nisan. Kedua mataku
terpaku pada gerak kakiku yang makin cepat, diiringi bisik-bisik yang samar terdangar.

“Mau kemana dia? Pemakaman masih belum usai,” bisik salah seorang wanita pada
temannya. “Mungkin dia akan mengurung diri lagi,” balas teman wanita itu.
Aku tak pernah tega melihatnya sekarat, lagi dan lagi. Aku mengurung diri menjelang
kematiannya, melarikan diri dari luka yang kian dalam

Suntikkan kecil serum celebre yang ku buat menerobos masuk pembuluh vena
lenganku, serum yang membuat tubuh mampu menahan beban pada fisik dan merangsang
perubahan gelombang otak. Kemudian mengalirkan listrik bertegangan 1.000 volt dengan
kandungan energi sebesar 170 joule ke otak, seperti menggunakan defibrillator pada kepala.

Anda mungkin juga menyukai