Anda di halaman 1dari 26

PENYAKIT KULIT YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR

Penyaji :
PRILLY TRI TANIA
160100071

Pembimbing :
dr. SYAHRIL LUBIS, Sp.KK(K)

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT PUTRI HIJAU TK II KESDAM I
BUKIT BARISAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................4

1.2 Tujuan........................................................................................................5

1.3 Manfaat......................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6

2.1 Infeksi Jamur pada Kulit..........................................................................6

2.2 Dermatofitosis...........................................................................................6

2.2.1 Definisi Dermatofitosis.............................................................6

2.2.2 Etiologi Dermatofitosis.............................................................7

2.2.3 Klasifikasi..................................................................................7

2.2.4 Gejala Klinis..............................................................................8

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang...........................................................11

2.2.6 Diagnosis Banding...................................................................12

2.2.7 Pengobatan..............................................................................14

2.3 Nondermatofitosis...................................................................................16

2.3.1 Pitiriasis Versikolor.................................................................16

2.3.2 Folikulitis Malassezia..............................................................19

2.3.7 Pengobatan..............................................................................21

2.3.8 Piedra.......................................................................................22

2.3.9.4 Pengobatan..........................................................................24

BAB III KESIMPULAN......................................................................................25

BAB IV DAFTAR PUSTAKA............................................................................26


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Pitiriasis Rosea”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Putri Hijau, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada dokter selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat
memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan
dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, Februari 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatomikosis adalah penyakit infeksi pada kulit oleh karena jamur yaitu
dermatofita dan beberapa jamur oportunistik seperti Malasezzia, Candida (kecuali
C. albicans), Trichosporon, Rhodutorula, Cryptococcus atau Aspergillus,
Geotrichum, Alternaria, dan lainnya. Berdasarkan lingkungan hidupnya,
dermatomikosis terbagi menjadi tiga golongan yakni : (1) superfisial, yang
berkembang pada stratum corneum, rambut, kuku, (2) subcutaneus, yang
berkembang pada dermis dan/atau jaringan subkutan, dan (3) deep/systemic, yang
dapat menyebar melalui hematogen serta menyebabkan infeksi oportunistik
padahost dengan immunocompromised.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]
Insidensi mikosis superfisial sangat tinggi di Indonesia karena menyerang
masyarakat luas, oleh karena itu akan dibicarakan secara luas. Sebaliknya mikosis
profunda jarang terjadi. Yang termasuk ke dalam mikosis superfisial antara lain:
kelompok dermatofitosis dan non-dermatofitosis. Istilah dermatofitosis harus
dibedakan di sini dengan dermatomikosis. Dermatofitosis ialah penyakit pada
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis,
rambut, dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Penyebabnya
adalah dermatofita yang mana golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna
keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam genus,
yaitu microsporum, trichophyton, dan epidermophyton. Selain sifat keratolitik
masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali,
taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan
penyebab penyakit.
Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, oleh
karena negara kita beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis
adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat
mengenai kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai
penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan
kegagalan dalam penatalaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis
dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan
sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik
dari golongan antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang
efektif ada kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen
penyebab. Prevalensi di Indonesia, dermatosis akibat kerja belum mendapat
perhatian khusus dari pemerintah atau pemimpin perusahaan walaupun jenis dan
tingkat prevalensinya cukup tinggi.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain: 30% dan
pekerja penebang kayu di Palembang dan 11,8% dan pekerja perusahaan kayu
lapis menderita dermatitis kontak utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dan
pekerja pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat
kerja, sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82%. Sumamur (1986)
memperkirakan bahwa 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah
dermatofitosis akibat kerja. Dari data sekunder ini terlihat bahwa dermatofitosis
akibat kerja memang mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, walaupun jenis
dermatofitosisnya tidak sama. Dan angka insidensi dermatofitosis pada tahun
1998 yang tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia
sangat bervariasi, dimulai dari persentase terendah sebesar 4,8 % (Surabaya)
hingga persentase tertinggi sebesar 82,6 % (Surakarta) dari seluruh kasus
dermatomikosis.[ CITATION Adi04 \l 1057 ]

1.2 Tujuan
Tinjauan kepustakaan ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai Pitiriasis
Rosea.

1.3 Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
mahasiswa kedokteran dan praktisi kedokteran agar dapat mengenali dan
menegakkan diagnosis pada kasus Pitiriasis Rosea.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Jamur pada Kulit


Dari ribuan species ragi dan jamur, sekitar 100 species diantaranya
diketahui dapat mengakibatkan mikosis (infeksi akibat jamur) pada hewan dan
manusia.
Infeksi jamur dapat terjadi di superfisial, subkutan, atau sistemik, hal ini
tergantung dari karakteristik organisme yang menginfeksi host nya. Pada infeksi
jamur superfisial, yaitu pada stratum korneum, rambut, dan kuku, dapat dibagi
menjadi dua yaitu infeksi yang memicu respon inflamasi dan yang tidak memicu
respon inflamasi. Infeksi yang memicu respon inflamasi disebabkan oleh
dermatofit sedangkan yang tidak memicu respon inflamasi disebabkan oleh
piedra.
Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis dibagi
menjadi mikosis profunda dan superfisialis. Mikosis superfisial juga dibagi
menjadi dua, yaitu dermatofitosis dan non dermatofitosis. Dermatofitosis
merupakan infeksi jamur dermatofita (spesies microsporum, trichophyton, dan
epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian superfisial (stratum
korneum), kuku dan rambut. Dermatofitosis terdiri dari tinea capitis, tinea barbae,
tinea cruris, tinea pedis et manum, tinea unguium dan tinea corporis. Sedangkan
non dermatofitosis terdiri dari pitiriasis versikolor, piedra hitam, piedra putih,
tinea nigra palmaris, otomikosis dan kerato mikosis.[ CITATION Gol12 \l 1057 ]

2.2 Dermatofitosis
2.2.1 Definisi Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat meninvasi seluruh
lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun
pejamu.
2.2.2 Etiologi Dermatofitosis
Dermatofita (berasal dari kata Yunani yang memiliki arti “tanaman
kulit”termasuk kedalam famili arthrodermataceae dan diperkirakan terdiri dari 40
spesies yang dibagi menjadi tiga genera : Epidermophyton, Microsporum, dan
Trichophyton. Di Amerika Serikat, spesies Trychophyton, seperti Trychophyton
rubrum dan Trychophyton interdigitale, merupakan spesies terisolasi yang paling
umum. Dermatofita dibagi lebih dalam berdasarkan habitat alaminya yaitu
manusia, binatang, atau tanah. Kemampuan dermatofita untuk terikat dan
menginvasi jaringan keratin pada binatang dan manusia serta memanfaatkan
produk degradasi untuk menjadi sumber nutrisi pada infeksi fungi superfisial di
kulit, rambut, dan kuku, dinamakan dermatofitosis.[ CITATION Aly94 \l 1057 ]

2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang paling sering dipakai oleh para spesialis kulit adalah
berdasarkan lokasi:
a. Tinea kapitis, tinea pada kulit dan rambut kepala
b. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jengggot.
c. Tinea kruris, dermatofita pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan
kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
d. Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
e. Tinea unguium, tinea pada kuku kaki dan tangan.
f. Tinea facialis, tinea yang meliputi bagian wajah
g. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk 5 bentuk
tinea diatas.
Selain 6 bentuk tinea di atas masih dikenal istilah yang mempunyai arti
khusus, yaitu:
a. Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang kosentris dan
disebabkan oleh tricophyton concentricum.
b. Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
tricophyton schoenleini: secara klinis antara lain berbentuk skutula dan berbau
seperti tikus (mousy odor).
c. Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif dari
morfologinya.
d. Tinea incognito: dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena
telah diobati dengan steroid topical kuat.

2.2.4 Gejala Klinis


2.2.4.1 Tinea Pedis
Infeksinya anthropophilic dermatophytes biasanya disebabkan oleh adanya
elemen hifa dari jamur yang mampu menginfeksi kulit. Skala desquamasi kulit
bisa terinfeksi di lingkungan selama berbulan-bulan atau tahun. Oleh karena itu
transmisi bisa terjadi dengan kontak tidak langsung lama setelah infeksi terjadi.
Bahan seperti karpet yang kontak dengan kulit vektor sempurna. Begitu,
transmisi dermatophytes suka Trichophyton rubrum, T. interdigitale dan
Epidermophyton floccosum yang biasnya pada kaki. infeksi di sini sering kronis
dan tidak menimbulkan keluhan selama beberapa tahun dan hanya ketika
menyebar kebagian lain, biasanya di kulit.
2.2.4.2 Tinea unguium (dermatophytic onycomicosis, ringworm of the nail)
Trichophyton rubrum dan T. interdigitale adalah spesies yang sering
menyebabkan tinea unguium. Dermatofita jenis unguium digolongkan menjadi
dua bagian utama: (1). Superficial white-onycomycosis yang menempel atau
membuat lubang pada permukaan kuku. (2). Invasif, subungual dermatofita yang
lateral dari proximal atau pun distal. Diikuti dengan menetapnya infeksi pada
dasar kuku. Onycomycosis subungual distal adalah bentuk umum dari
onycomycosis dermatofita. Jamur menyerang bagian distal bantalan jari yang
menyebabkan hiperkeratosis dari bantalan kuku dengan onycolisis dan
menyebabkan penebalan lempeng kuku.
Seperti namanya onycomycosis subungual lateral dimulai dari bagian
lateral kuku dan sering menyebar melibatkan semua lempeng kuku. Pada
onycomycosis subungual proximal jamur menginvasi kebawah kutikula dan
menginfeksi bagian proximal daripada bagian distal karena spot yellow-white akan
menyerang lunula terlebih dahulu kemudian meluas ke lempeng kuku.
2.2.4.3 Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, ringworm of the groin)
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut ataupun menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat berbatas
pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus,
dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah di tengahnya. Fluoresensi terdiri
atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfik). Bila
menahun dapat disertai bercak hitam dan bersisik. Erosi dan keluarnya cairan
terjadi akibat garukan. Dan tinea kruris merupakan bentuk klinis tersering di
Indonesia.
Dermatofit T. rubrum menjadi penyebab yang paling umum untuk tinea
cruris. T. rubrum menjadi dermatofit yang lazim 90% dari kasus tinea cruris,
diikuti T. tonsurans ( 6%) dan T. mentagrophytes (4%). Organisme lain, termasuk
E. floccosum dan T. verrucosum, menyebabkan suatu kondisi klinis yang serupa.
Infeksi T. rubrum dan E. floccosum lebih cenderung untuk menjadi kronis dan
non-inflamatori, sedangkan infeksi oleh T. mentagrophytes sering dihubungkan
dengan suatu presentasi klinis merah, menyebabkan peradangan akut. Agen yang
pada umumnya menyebabkan tinea kruris antara lain: T. rubrum, T. interdigitale
dan E. floccosum.
2.2.4.4 Tinea kapitis
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang
disebabkan oleh spesies dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi
bersisik, kemerahan, alopesia dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang
lebih berat, yang disebut kerion. Ada tiga bentuk tinea kapitis:
1. Gray patch ring-worm, merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh
genus microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan
papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk
bercak, yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal.
Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan
terlepas dari akarnya sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri.
Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur dan menyebabkan alopesia
setempat. Tempat-tempat terlihat sebagai gray patch, yang pada klinik tidak
menunjukan batas daerah sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan lampu wood
terlihat fluoresensi hijau kekuningan pada rambut yang sakit, melampaui batas
dari gray patch tersebut. Tinea kapitis disebabkan oleh microsporum audouini
biasanya disertai tanda peradangan, hanya sesekali berbentuk kerion.
2. Kerion, merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Microsporum
canis. Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa
pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di sekitarnya.
Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap.
3. Black dot ring-worm, merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh
Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum. Gambaran klinis berupa
terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang
terinfeksi tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora
terlihat sebagai titik hitam. Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia
areata, dermatitis seboroik dan psoriasi.
2.2.4.5 Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, scherende flechte,
kurap, herpes sircine trichophytique)
Merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous
skin).
1. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atu lonjong, berbatas
tegas terdiri dari eritema, squama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi.
Daerah tengah biasanya tenang. Kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain.
Dapat terlihat sebagai lesi dengan tepi polisiklik, karena beberapa lesi kulit
menjadi satu.
2. Tinea korporis yang menahun tanda radang yang mendadak biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama
dengan kelainan pada sela paha. Dalalm hal ini disebut tinea korporis et kruris
atau sebaliknya tinea kruris et korporis. Bentuk menahun dari trichophyton
rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguium.
3. Bentuk khas dari tinea korporis yang disebabkan oleh trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata dimulai dengan bentuk
papul berwarna coklat, yang perlahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu
mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran berskuama
yang kosentris.
4. Bentuk tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa
atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai dikepala sebagai titik kecil di bawah
kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk
cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya tembus oleh
satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah
dan membasah. Rambut tidak berkilat lagi dan terlepas. Bila tidak diobati,
penyakit ini meluas keseluruh kepala dan meninggalkan parut dan botak.
Berlainan dengan tinea korporis yang disebabkan oleh jamur lain, favus tidak
menyembuh pada usia akil balik. Biasanya tercium bau tikus (mousy odor) pada
para penderita favus. Tiga spesies dermatofita yang menyebabkan favus, yaitu
trichophyton schoenleini, trichophyton violaceum, dan microsporum gypseum.
Berat ringan bentuk klinis yang tampak tidak bergantung pada spesies jamur
penyebab, akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur,
dan ketahanan penderita penderita.[ CITATION Men15 \l 1057 ]

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang


Umumnya dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas
yaitu bercak-bercak yang berbatas tegas disertai efloresensi-efloresensi yang lain,
sehingga memberikan kelainan-kelainan yang polimorfik, dengan bagian tepi yang
aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gejala objektif ini
selalu disertai dengan perasaan gatal, bila kulit yang gatal ini digaruk maka
papula-papula atau vesikel-vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah
yang erosit dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya
menyerupai dermatitis (ekzema marginatum), tetapi kadang-kadang hanya berupa
makula yang berpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder
menyerupai gejala-gejala pioderma (impetigenisasi).
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakan diagnosa terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain misalnya
pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan imunologik tidak
diperlukan.
a. Mikroskopik langsung
Sediaan basah dibuat dengan meletakan bahan di atas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi 10% untuk rambut dan untuk kulit,
dan untuk kuku 20%. Setelah sedian dicampur dengan KOH, tunggu 15-20 menit
untuk melarutkan jaringan.untuk mempercepat pelarutan dilakukan pemanasan
sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap, pemanasan dihentikan.
Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sedian
KOH, misalnya tinta parker superchroom blue black.
b. Kultur
Spesimen akan diinokulasi ke dalam media isolasi primer, seperti agar
sabouraud’s dextrose yang terdiri dari sikloheksimid (actidione) dan masa
inkubasi 26-28o C selama 4 minggu. Pertumbuhannya signifikan pada banyak
dermatofita.[ CITATION Men15 \l 1057 ]

2.2.6 Diagnosis Banding


Tinea pedis et manum harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya
batasnya tidak jelas, bagian tepi lebih aktif dari pada bagian tengah. Adanya
vesikel-vesikel steril pada jari-jari kaki dan tangan (pomfoliks) dapat merupakan
reaksi id, yaitu akibat setempat hasil reaksi antigen dengan zat anti pada tempat
tersebut.
Efek samping obat juga dapat memberi gambaran serupa yang menyerupai
ekzem atau dermatitis, pertama-tama harus dipikirkan adanya suatu dermatitis
kontak. Pada hiperhidrosis terlihat kulit yang mengelupas (maserasi). Kalau hanya
terlihat vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat dalam dan terbatas pada telapak
kaki dan tangan. Kelainan tidak meluas sampai di sela-sela jari.
Penyakit lain yang harus mendapat perhatian adalah kandidiosis,
membedakannya dengan tinea pedis murni kadang-kadang sangat sulit.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH dan pembiakan dapat menolong.
Infeksi sekunder dengan spesies candida atau bakteri lain sering menyertai tinea
pedis, sehingga pada kasus-kasus demikian diperlukan interpretasi bijaksana
terhadap hasil-hasil pemeriksaan laboraturium. Sifilis II dapat berupa kelainan
kulit di telapak tangan dan kaki. Lesi yang merah dan basah dapat merupakan
petunjuk. Dalalm hal ini tanda-tanda lain sifilis akan terdapat misalnya: kondiloma
lata, pembesaran kelenjar getah bening yang menyeluruh, anamnesa tentang afek
primer dan pemeriksaan serologi serta lapangan gelap dapat menolong.
Tinea unguium yang disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita
memberikan gambaran akhir yang sama. Psoriasis yang menyerang kuku pun
dapat berakhir dengan kelainan yang sama. Lekukan-lekukan pada kuku (nail
pits), yang terlihat pada psoriasis tidak didapati pada tinea unguium. Lesi-lesi
psoriasis pada bagian lain badan dapat menolong membedakannya dengan tinea
unguium. Banyak penyakit kulit yang menyerang bagian dorsal jari-jari tangan
dan kaki dapat menyebabkan kelainan yang berakhir dengan distrofi kuku,
misalnya: Paronikia, yang etiologinya bermacam-macam ekzem/dermatitis,
akrodermatitis perstans.
Tidak begitu sukar menentukan tinea korporis pada umumnya, namun ada
beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosa itu, misalnya dermatitis
seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea. Kelainan kulit pada dermatitis seboroika
selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya terlihat pada tempat-tempat
predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit , misalnya
belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya. Psoriasis dapat dikenal pada
kelainan kulit pada tempat predileksinya, yaitu daerah ekstensor misalnya lutut,
siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena pada penyakit ini.
Adanya lekukan-lekukan pada kuku dapat pula menolong menentukan diagnosa.
Ptiriasis rosea distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada bagian tubuh
dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis.
Pemeriksaan laboraturiumlah yang dapat memastikan diagnosanya. Tinea korporis
kadang sukar dibedakan dengan dermatitis seboroik pada sela paha. Lesi-lesi
ditempat predileksi sangat menolong dalm menentukan diagnosa. Psoriasis pada
sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi pada psoriasis lebih merah, skuama
lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi psoriasis pada tempat lain dapat membantu
menentukan diagnosa.
Kandidosis pada daerah lipat paha mempunyai konfigurasi hen and
chicken. Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada wanita ada tidaknya
flour abus dapat membantu pengarahan diagnosa. Pada penderita diabetes
mellitus, kandidosis merupakan penyakit yang sering dijumpai.
Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokasi di sela paha.
Efloresensi yang sama yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan
tanda-tanda khas dari penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat
menolong dengan adanya floresensi merah (coral red). Tinea barbe kadang sukar
dibedakan dengan sikosis barbe, yang disebabkan oleh piokokus. Pemeriksaan
sediaan langsung dapat membedakan kedua penyakit ini.[ CITATION Men15 \l 1057 ]
2.2.7 Pengobatan
Pengobatan dermatofitosis sering tergantung pada klinis. Sebagai contoh
lesi tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan antijamur topikal.
walaupun pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan
biasanya membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis yang
kronik atau luas, tinea dengan implamasi akut dan tipe "moccasin" atau tipe kering
jenis t.rubrum termasuk tapak kaki dan dorsum kaki biasanya juga membutuhkan
terapi sistemik. Idealnya, konfirmasi diagnosis mikologi hendaknya diperoleh
sebelum terapi sistemik antijamur dimulai. Pengobatan oral, yang dipilih untuk
dermatofitosis adalah:
Infeksi Rekomendasi Alternatif
Tinea unguium Terbinafine 250 Itraconazole 200 mg/hr /3-5 bulan
(Onychomycosis mg/hr 6 minggu atau 400 mg/hr seminggu per bulan
) untuk kuku jari selama 3-4 bulan berturut-turut.
tangan, 12 minggu Fluconazole 150-300 mg/ mgg s.d
untuk kuku jari kaki sembuh (6-12 bln) Griseofulvin 500-
1000 mg/hr s.d sembuh (12-18
bulan)
Tinea capitis Griseofulvin Terbinafine 250 mg/hr/4 mgg
500mg/day Itraconazole 100 mg/hr/4mgg
(≥ 10mg/kgBB/hari) Fluconazole 100 mg/hr/4 mgg
sampai sembuh (6-8
minggu)
Tinea corporis Griseofulvin 500 Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4
mg/hr sampai minggu Itraconazole 100 mg/hr
sembuh (4-6 selama 15  hr atau 200mg/hr selama
minggu), sering 1 mgg. Fluconazole 150-300
dikombinasikan mg/mggu selama 4 mgg.
dengan imidazol.
Tinea cruris Griseofulvin 500 Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4
mg/hr sampai mgg Itraconazole 100 mg/hr selama
sembuh (4-6 15 hr atau 200 mg/hr selama 1 mgg.
minggu) Fluconazole 150-300 mg/hr selama
4 mgg.
Tinea pedis Griseofulvin Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4
500mg/hr sampai mgg Itraconazole 100 mg/hr selama
sembuh (4-6 15 hr atau 200mg/hr selama 1 mgg.
minggu) Fluconazole 150-300 mg/mgg
selama 4 mgg.
Chronic and/or Terbinafine 250 Itraconazole 200 mg/hr selama 4-6
widespread mg/hr selama 4-6 mgg. Griseofulvin 500-1000 mg/hr
non-responsive minggu sampai sembuh (3-6 bulan).
tinea.
Tabel 2.1 Pilihan terapi oral untuk infeksi jamur pada kulit

Pada pengobatan kerion stadium dini diberikan kortikosteroid sistemik


sebagai antiinflamasi, yakni prednisone 3x5 mg atau prednisolone 3x4 mg sehari
selama dua minggu, bersamaaan dengan pemberian grisiofulvine yang diberikan
berlanjut 2 minggu setelah lesi hilang. Terbinafine juga diberikan sebagai
pengganti griseofulvine selama 2-3 minggu dosis 62,5-250 mg sehari tergantung
berat badan.
Efek samping griseofulvine jarang dijumpai, yang merupakan keluhan
utama ialah sefalgia yang didapati pada 15% penderita. Efek samping lain berupa
gangguan traktus digestifus yaitu: nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut
bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.
Efek samping terbinafine ditemukan kira-kira 10% penderita, yang
tersering gangguan gastrointestinal diantaranya nausea, vomitus, nyeri lambung,
diarea, konstipasi, umumnya ringan. Efek samping lain berupa ganguan
pengecapan, persentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
keseluruhan setelah beberapa minggu minum obat dan hanya bersifat sementara.
Sefalgia ringan dilaporrkan pula 3,3%-7% kasus. [ CITATION Kal14 \l 1057 ]
Pada kasus resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan ketokonazol
sebagai terapi sistemik 200 mg per hari selam 10 hari sampai 2 minggu pada pagi
hari setelah makan. Ketokonazol kontraindikasi untuk kelainan hepar. [9]

2.3 Nondermatofitosis
2.3.1 Pitiriasis Versikolor
2.3.1.1 Definisi
Pitiriasis versicolor adalah infeksi jamur yang umum pada kulit, di mana
bercak-bercak muncul di dada dan punggung.
Istilah pitiriasis digunakan untuk menggambarkan kondisi kulit di mana
gambarannya tampak mirip dengan dedak. Pitiriasis versicolor kadang-kadang
disebut tinea versikolor, meskipun istilah tinea biasanya hanya digunakan untuk
infeksi jamur dermatofita.
2.3.1.2 Epidemiologi
Pitiriasis versicolor paling sering menyerang orang dewasa muda dan
sedikit lebih umum pada pria daripada wanita. Ini juga dapat mempengaruhi anak-
anak, remaja dan orang dewasa yang lebih tua.
Pitiriasis versicolor lebih sering terjadi di daerah beriklim panas dan
lembab daripada di daerah beriklim sejuk dan kering. Ini sering mempengaruhi
orang-orang yang banyak berkeringat. Ini bisa hilang di musim dingin dan
berulang setiap musim panas. Meskipun tidak dianggap menular dalam pengertian
konvensional, pitiriasis versikolor kadang mempengaruhi lebih dari satu anggota
keluarga.
2.3.1.3 Gejala Klinis
Pitiriasis versicolor mempengaruhi batang tubuh, leher, dan / atau lengan,
dan jarang terjadi pada bagian tubuh lainnya. Bercak mungkin berwarna cokelat
tembaga, lebih pucat dari kulit di sekitarnya, atau merah muda. Bercak pucat
mungkin lebih sering terjadi pada kulit yang lebih gelap; penampilan ini dikenal
sebagai pitiriasis versicolor alba. Kadang-kadang bercaknya bersisik dan berwarna
coklat, dan kemudian beralih ke tahap non-bersisik dan putih.
Pitiriasis versikolor biasanya tidak menunjukkan gejala, tetapi pada
beberapa orang agak gatal. Secara umum, bercak pucat atau gelap akibat pityriasis
versicolor cenderung lebih atau kurang rentan terhadap sengatan matahari
daripada kulit di sekitarnya.
2.3.1.4 Etiologi
Pitiriasis versicolor disebabkan oleh pertumbuhan miselium dari genus
Malassezia.
Malassezia adalah bagian dari mikrobiota (mikroorganisme yang ditemukan pada
kulit normal). Mereka tergantung pada lipid untuk bertahan hidup. Empat belas
spesies malassezia yang berbeda telah diidentifikasi. Spesies yang paling umum
dibudidayakan dari pityriasis versicolor adalah M globosa, M resta dan M
sympodialis.
Biasanya malassezia tumbuh jarang di daerah seboroik (kulit kepala, wajah
dan dada) tanpa menyebabkan ruam. Tidak diketahui mengapa mereka tumbuh
lebih aktif pada permukaan kulit pasien yang rentan terhadap pityriasis versicolor.
Satu teori mengimplikasikan jalur metabolisme yang bergantung pada triptofan.
Hifa menginduksi melanosom yang membesar (butiran pigmen) di dalam
melanosit basal dalam jenis pitiriasis versicolor coklat. Lebih mudah untuk
menunjukkan hifa dalam kerokan yang diambil dari jenis pitiriasis versicolor
dibandingkan dengan yang diambil dari jenis putih.
Jenis pitiriasis versicolor putih atau hipopigmentasi diduga disebabkan
oleh bahan kimia yang diproduksi oleh malassezia yang berdifusi ke dalam
epidermis dan merusak fungsi melanosit. Jenis pityriasis versicolor berwarna
merah muda agak meradang, karena dermatiits yang disebabkan oleh malassezia
atau metabolitnya. Pink pityriasis versikolor dan dermatitis seboroik dapat hidup
berdampingan, karena keduanya terkait dengan malassezia.
Pitiriasis versicolor yang hiperpigmentasi, hipopigmentasi, dan meradang
biasanya dipandang sebagai varian yang berbeda, tetapi kadang-kadang juga ada.
2.3.1.5 Diagnosis
Pityriasis versikolor biasanya didiagnosis secara klinis. Namun, tes berikut
mungkin bermanfaat.
a. Pemeriksaan lampu wood, fluoresensi kuning-hijau dapat diamati di
daerah yang terkena.
b. Mikroskopi menggunakan kalium hidroksida (KOH) untuk mengangkat
sel-sel kulit — hifa dan sel ragi yang menyerupai spageti dan bakso
diamati
c. Kultur jamur, ini biasanya dilaporkan negatif, karena cukup sulit untuk
membujuk ragi untuk tumbuh di laboratorium
d. Biopsi kulit, elemen jamur dapat dilihat di dalam sel luar kulit (stratum
corneum) pada histopatologi. Mungkin diperlukan pewarnaan khusus.
2.3.1.6 Pengobatan
Pityriasis versikolor ringan diobati dengan agen antijamur topikal.
a. Krim / sampo azole topikal (econazole, ketoconazole)
b. Selenium sulfida
c. Gel terbinafine
d. Krim / larutan ciclopirox
e. Solusi propilen glikol
f. Larutan natrium tiosulfat
Obat harus diterapkan secara luas ke semua daerah yang terkena sebelum tidur
selama kurang lebih antara 3 hari dan sekitar dua minggu, tergantung pada tingkat
ruam.
Agen antijamur oral, itrakonazol dan flukonazol, digunakan untuk
mengobati pityriasis versikolor ketika luas atau jika agen topikal telah gagal.
Terbinafine oral, agen antijamur yang digunakan untuk mengobati infeksi
dermatofita, tidak efektif untuk infeksi malassezia seperti pityriasis versicolor.
[ CITATION APr14 \l 1057 ]
2.3.2 Folikulitis Malassezia
2.3.2.1 Definisi
Folikulitis Malassezia (Pityrosporum) (FM) adalah erupsi mirip jerawat,
yang pertama kali ditemukan oleh Weary et al pada tahun 1969 dan diakui oleh
Potter pada tahun 1973 penyakit tertentu. Sering salah didiagnosis sebagai akne
vulgaris, mudah terlewatkan dan dengan demikian kemungkinan tidak
terdiagnosis. MF adalah kelainan jinak yang dihasilkan dari pertumbuhan berlebih
jamur Malassezia yang terdapat pada flora kulit normal, sekunder akibat oklusi
folikel atau gangguan flora kulit normal. Jamur terutama ditemukan dalam
infundibulum kelenjar sebaceous, karena tumbuh subur pada komposisi lipid
sebum.
2.3.2.2 Epidemiologi
Folikulitis Malassezia sering terjadi pada remaja, kemungkinan karena
peningkatan aktivitas kelenjar sebasea. Marcon et al menemukan bahwa frekuensi
dan kepadatan kolonisasi jamur berkaitan dengan usia dan aktivitas kelenjar
sebasea. Ini umumnya ditemukan pada orang yang tinggal di daerah beriklim
panas dan lembab, terutama mereka yang terkena keringat berlebih, dan
dilaporkan lebih umum pada pria.[ CITATION Ric14 \l 1057 ]
2.3.2.3 Etiologi
Jamur penyebabnya adalah spesies Malassezia yang merupakan flora
normal kulit, bersifak lipofilik, serupa dengan penyebab pitiriasi versikolor.
Dilaporkan bahwa spesies yang predominan ditemukan pada lesi adalah M.
globosa dan M. sympodialis, meskipun peneliti lain menemukan juga M. restricta.
Bila pada hospes terapat faktor predisposisi, spesies Malassezia tumbuh
berlebihan dalam folikel sehingga folikel pecah, menyebabkan reaksi peradangan
terhadap lemak bebas yang dihasilkan lipase jamut dan memberikan gambaran
klinis folikulitis.[ CITATION Men15 \l 1057 ]
2.3.2.4 Patofisiologi
Spesies malassezia merupakan penyebab pitirosporum folliculitis dengan
sifat dimorfik(berada dalam dua bentuk atau struktur yang berbeda), lipofilik
( membutuhkan asam lemak yang ada dalam kulit berminyak untuk berkembang
biak) dan komensal. Jamur Malassezia yang merupakan penyebab pitirosporum
folliculitis ini membutuhkan asam lemak bebas untuk bertahan hidup. Biasanya,
mereka ditemukan dalam stratum korneum dan folliculi pilar di daerah dengan
peningkatan aktivitas kelenjar sebaceous seperti dada dan punggung.
Bila pada hospes terdapat faktor predisposisi, maka spesies malassezia
akan tumbuh berlebihan dalam folikel, sehingga folikel dapat pecah. Dalam hal ini
reaksi peradangan terhadap produk, tercampur dengan asam lemak bebas yang
dihasilkan melalui aktifitas lipase. Perluasan folikel rambut mengarah ke letusan
putih pada kulit yang mengelilingi folikel rambut. Letusan ini juga dapat tampak
merah, ini tergantung pada cuaca. Ketika folikel banyak terinfeksi oleh jamur,
maka kulit akan tampak sebagai ruam putih atau merah. Pesatnya pertumbuhan
dan multiplikasi dari jamur di wilayah folikel rambut menyebabkan
pengembangan ruam pada kulit. Kulit membentuk patch gatal dan jerawatan.
2.3.2.5 Gambaran Klinis
Mallassezia folikulitis atau pitirosporum folliculitis memberikan keluhan
gatal pada tempat predeleksi, klinis morfologi terlihat papul dan pustul
perifolikuler, berukuran diameter 2-3mm, dengan peradangan minimal. Bentuknya
menyerupai jerawat, karena gatal maka akan timbul juga erupsi papular. Tempat
predeleksinya yaitu dada, punggung dan lengan atas,. Kadang-kadang terdapat di
leher dan jarang dimuka.
2.3.2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis Pitirosporum folikulitis didasarkan pada kecurigaan klinis dari
presentasi klasik papulopustules pruritus dalam pola folikuler ditemukan di
punggung, dada, lengan atas, dan, terkadang leher. serta jarang hadir pada wajah.
Perbaikan atau pengobatan lesi dengan  terapi  empirik antimycotic mendukung
diagnosis klinis Pityrosporum folliculitis. Di bawah lampu Wood, fluoresensi biru
terang atau putih  yang diamati pada folikel di lokasi lesi. Diagnosa dengan biopsi
juga dapat dilakukan, yang kemudian seperti penyakit jamur umumnya di gunakan
KOH 10%
Gambaran Histologis:
a. Dilated folikel rambut dengan sumbat keratin mengandung spora jamur 
b. Intra-dan perifollicular inflamasi infiltrat terdiri dari neutrofil, limfosit dan
histiosit 
c. Intra-dan perifollicular musin kolam Folikel rambut bisa pecah, menghasut
reaksi tubuh granulomatosa asing
Diagnosa banding atau penyakit yang mirip, meliputi:
a. Akne vulgaris (jerawat)
b. Folikulitis bakterial
c. Erupsi akne formis.
2.3.7 Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan mengunakan obat antijamur atau anti mikotik oral,
misalnya :
a. Ketokonazol 200 gr selama 2-4 minggu
b. Itrakonazol 200gr sehari selama 2 minggu
c. Flukonazol 150gr seminggu selama 2-4 minggu
d. Pengobatan dengan anti jamur topikal biasanya kurang efektif, walaupun
dapat menolong.
Jangan gunakan antibiotik. Dalam beberapa kasus, penggunaan antibiotik
untuk melawan infeksi dapat menyebabkan pitirosporu folliculitis. Hal ini terjadi
karena antibiotik dapat mengganggu keseimbangan alami jamur dan bakteri yang
hadir pada kulit, menyebabkan jamur tumbuh di luar kendali. Dalam kasus ini,
Anda dapat mengobati folikulitis Pityrosporum dengan menghentikan pengobatan
antibiotik.[ CITATION Ric14 \l 1057 ]

2.3.8 Piedra
2.3.8.1 Definisi Piedra
Piedra, yang berarti "batu" dalam bahasa Spanyol, adalah infeksi jamur
superfisial asimptomatik pada batang rambut. Pada tahun 1865, Beigel pertama
kali mendeskripsikan piedra di The Human Hair: Struktur, Pertumbuhan,
Penyakit, dan Perlakuannya; meskipun, ia mungkin menggambarkan infeksi
Aspergillus.
Pada tahun 1911, Horta mengklasifikasikan piedra menjadi dua jenis.
Yang pertama adalah piedra hitam, yang disebabkan oleh Piedraia hortae. Yang
kedua adalah piedra putih. Agen etiologi piedra putih, awalnya bernama
Pleurococcus beigelii dan kemudian Trichosporon beigelii, sekarang disebut
Trichosporon asahii dan 5 spesies lainnya: Trichosporon ovoides, Trichosporon
inkin, Trichosporon mucoides, Trichosporon asteroides, dan Trichosporon
cutanum. Keenam organisme ini semuanya adalah agen penyebab piedra putih. T
asahii dianggap terkait paling dekat dengan piedra putih, meskipun beberapa
pihak berwenang meyakini bahwa T ovoides adalah agen utama piedra putih pada
kulit kepala. Penggunaan istilah T beigelli harus dihindari.[ CITATION Rob19 \l
1057 ]
2.3.8.2 Etiopatogenesis
Piedraia hortae, penyebab piedra hitam, ditemukan di tanah dan air
tergenang. Penyebab piedra putih, Trichosporon, dapat ditemmukan baik di tanah,
udara, air, tumubuhan, dan permukaan kulit. Faktor lebersihan memegang peran
pada terjadinya infeksi. Jamur penyebab masuk ke kutikula rambut, tumbuh
mengelilingi rambut membentuk benjolan-benjolan, dan dapat menimbulkan
ruptur atau trikoreksis dan patah rambut. Transmisi dari orang ke orang jarang
meskipun piedra putih dilaporkan beerhubungan dengan transmisi seksual.
[ CITATION Men15 \l 1057 ]
2.3.8.3 Gejala Klinis
Piedra hanya menyerang rambut kepala, janggut dan kumis tanpa memberi
keluhan. Krusta melekat erat sekali pada rambut yang terserang. Ukurannya dapat
sangat kecil sampai besar. Benjolan yang besar dapat mudah dilihat, diraba dan
teraba kasar bila rambut diraba dengan jari. Jika rambut disisir, maka akan
terdengar suara metal (klik). Piedra hitam menyerang rambut kepala di bawah
kutikel, kemudian membengkak dan pecah untuk menyebar di sekitar rambut
(shaft) dan membentuk benjolan tengguli dan hitam. Piedra ini ditemukan di
daerah iklim tropis.Piedra putih menyerang janggut dan kumis. Benjolan berwarna
coklat muda dan tidak begitu melekat pada rambut.
2.3.8.4 Diagnosis
Piedra hitam : hasil KOH menunjukkan benjolan berukuran macam-
macam dan terpisah satu dengan yang lain. Benjolan berwarna tengguli hitam ini
terdiri dari hifa bersputum, teranyam padat dan di antaranya terdapat askus-askus.
Dalam askus terdapat 4-8 askospora.
Piedra putih : hasil KOH menunjukkan benjolan tidak begitu terpisah satu dengan
yang lainnya. Anyaman hifa mengelilingi rambut seperti selubung. Benjolan lebih
mudah lepas dari rambut dan berwarna kehijau-hijauan yang transparan.
2.3.8.5 Pengobatan
Memotong rambut yang terkena infeksi atau mencuci rambut dengan
larutan sublimat 1/2000 setia hari. Obat anti jamur yang konvensional juga dapat
dipakai.[ CITATION Men15 \l 1057 ]

2.3.9 Tinea Nigra Palmaris


2.3.9.1 Definisi
Tinea Nigra Palmaris adalah penyakit infeksi jamur superfisial yang
menyerang telapak kaki dan tangan dengan menimbulkan gambaran khas berupa
warna coklat kehitaman pada kulit. Namun pada beberapa kasus lain, penyakit ini
juga ternyata diketahui dapat menyebar ke area lain dari tubuh, seperti leher atau
dada. Penyakit ini biasanya lebih menyasar ke anak-anak baik pria maupun wanita
khususnya daerah tropis beriklim panas namun dengan kelembapan tinggi seperti
Amerika Selatan dan Tengah.
2.3.9.2 Etiologi
Infeksi ini disebabkan oleh jamur yang sebelumnya diklasifikasikan
sebagai Exophiala werneckii, tetapi yang lebih baru diklasifikasikan sebagai
Hortaea werneckii. Namun belakangan diketahui dikarenakan oleh Cladosporium
Werneckii.
2.3.9.3 Gejala Klinis
Biasanya, orang yang terserang penyakit Tinea Nigra Palmaris ini akan
mengalami bintik-bintik hitam kecoklatan pada telapak tangan atau kaki yang
makin lama makin membesar hingga mencapai ukurang uang logam. Kadang-
kadang pada area tersebut terasa nyeri bahkan gatal. Selain itu, lingkungan yang
kotor dengan udara lembab dan panas mempermudah penyebaran penyakit.
2.3.9.4 Pengobatan
Untuk kasus ringan, dapat menggunakan obat non-resep (krim, salep kulit,
atau bedak anti jamur). Namun, pasien harus menggunakan krim anti jamur yang
diresepkan oleh dokter. Anda harus melanjutkan perawatan dengan obat ini dalam
waktu 7 hari setelah daerah yang terinfeksi sembuh.[ CITATION Men15 \l 1057 ]
BAB III
KESIMPULAN

Kelainan kulit akibat jamur atau dermatomikosis umumna digolongkan


menjadi 2 kelompok, yakni mikosis superfisial dan mikosis subkutan.
Mikosis superfisial adalah infeksi jamur yang mengenai jaringan mati pada
kulit, kuku, dan rambut. Pada mikosis superfisial tidak terjadi reaksi infkamasi
atau terjadi inflamasi ringan, eaksi infkamasi atau terjadi inflamasi ringan, yakni
pada pitiriasis versikolor, folikulitis malassezia, piedra, dan tinea nigram atau
disebut juga sebagai kelompok non-dermatofitosis. Pada mikosis kutan, meskipun
yang diserang bukan jaringan hidup, terjadi reaksi inflamasi yang diakibatkan
metabolit jamur, yakni pada kelompok dermatofitosis. Mikosis superfisial banyak
ditemukan di dunia, terutama di daerah tropis, termasuk Indonesia.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

[1] K. S. G. B. P. A. L. D. W. K. Goldsmith L, Fitzpatrick's dermatology in


general medicine, USA: Mc Graw-Hill Companies, 2012.

[2] M. Adiguna, “Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia,” dalam


Dermatomikosis Superfisialis, Jakarta, Balai Penerbit FK UI, 2004.

[3] R. Aly, “Ecology and epidemiology of dermatophyte infections,” J Am Acad


Dermatol, 1994.

[4] D. d. S. L. S. Menaldi, “Dermatomikosis,” dalam Ilmu Penyakit Kulit, Jakarta,


Badan Penerbit FK UI, 2015, pp. 103-116.

[5] U. Kaltsum, “Pendekatan Holistik Penatalaksanaan Dermatofitosis (Tinea


Manum Dekstra, Tinea Korporis, dan Tinea Cruris Sinistra) pada Wanita Usia
43 Tahun Dengan Pekerjaan Buruh Cuci Harian,” J Medula Unila, vol. 3, no.
1, pp. 135-142, 2014.

[6] A. A. Oakley, “DermNet NZ,” Derm Net NZ, September 2914. [Online].
Available: https://www.dermnetnz.org/topics/pityriasis-versicolor/. [Diakses
23 Ferbruari 2020].

[7] M. d. S. A. M. B. Richard M. Rubenstein, “NCBI,” J Clin Aesthet Dermatol,


Maret 2014. [Online]. Available:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3970831/. [Diakses 24
Februari 2020].

[8] M. M. Robert A Schwartz, “Medscape,” 22 April 2019. [Online]. Available:


https://emedicine.medscape.com/article/1092330-overview#a5. [Diakses 24
Februari 2020].

[9] Moriarty B, Hay R, Morris-Jones R. The diagnosis and management of tinea.


BMJ. 2012

Anda mungkin juga menyukai