Anda di halaman 1dari 15

TINJAUAN ILMIAH KOMUNIKASI RESIKO

(Studi Kasus Pohon Tumbang Di Kebun Raya Bogor Tahun 2015)

Ayi Doni Darussalam


Biro Kerjasama Hukum dan Humas LIPI

PENDAHULUAN

Komunikasi risiko didefinisikan sebagai suatu proses pertukaran informasi dan opini yang
berfokus pada risiko dan faktor-faktor risiko diantaranya analis risiko, manajemen risiko,
konsumen dan pihak terkait lainnya (FAO & WHO (WHO, 2014) dalam Hendriyani et al (2016).
Sedangkan Winoto dan Khadijah (2017) menjelaksakan komunikasi resiko sebagai sebuah
kegiatan komunikasi mengenai suatu hal yang tidak diinginkan dan tidak diharapkan.

Dalam proses penanganan sebuah resiko, Hendriyani et al (2016) membagi pada tiga aspek
yaitu risk management, risk assessment dan risk communication. risk assessment bertujuan untuk
mengidentifikasi berbagai macam resiko yang akan dan telah terjadi, risk management lebih
menekankan pada langkah-langkah proses manajemen dalam hal menanggulangi keadaan. Adapun
rist communication penekannya pada proses penyampaian informasi berupa hasil-hasil dari risk
assessment dan risk management dengan sebuah strategi komunikasi.

Covello (1992) dalam (Reynolds & Seeger, 2005) mendefinisikan komunikasi risiko
sebagai pertukaran informasi di antara pihak-pihak yang berkepentingan tentang sifat, besarnya,
signifikansi, atau penanganan atau cara mengontrol risiko. Komunikasi risiko berkaitan dengan
elemen-elemen risiko, apakah mereka dapat ditoleransi secara tepat, dan konsekuensi dari risiko.

National Research Council (1989 dalam Reynolds & Seeger, 2005) menggambarkan
komunikasi risiko sebagai ‘‘proses interaktif pertukaran informasi dan pendapat di antara individu,
kelompok, dan institusi. Komunikasi risiko, kemudian, terkait erat dengan penginderaan dan
penilaian terhadap ancaman yang mungkin terjadi. Dalam praktiknya, komunikasi risiko paling
sering melibatkan produksi pesan publik mengenai risiko dalam bidang kesehatan dan bahaya
lingkungan (bencana). Witte dkk (2000) dalam Reynolds & Seeger (2005) mengamati bahwa
komunikasi risiko paling erat kaitannya dengan penelitian yang didasarkan dari aspek ancaman
risiko sebagai perangkat persuasif. Pesan-pesan ini berusaha untuk mendorong perubahan perilaku
dengan menghadirkan ancaman dan menggambarkan perilaku atau perubahan perilaku yang dapat
meringankan ancaman tersebut.

Efikasi atau keberhasilan komunikasi risiko adalah efektivitas atau perubahan perilaku dari
komunikasi risiko dalam mengurangi ancaman sementara efikasi diri (individu dalam masyarakat)
mengacu pada keyakinan bahwa rekomendasi dapat dilakukan (Egbert & Parrott, 2001; Witte dkk.,
2000, dalam Reynolds & Seeger, 2005). Komunikasi risiko juga didasarkan pada asumsi bahwa
masyarakat berhak untuk mengetahui tentang bahaya dan risiko. Ketersediaan informasi
memungkinkan publik untuk membuat pilihan berdasarkan informasi yang mereka dapatkan
mengenai suatu risiko. Dengan cara ini, komunikasi risiko memfasilitasi pengambilan keputusan
dan sharing informasi risiko.

Prinsip-prinsip dasar dari penyajian komunikasi efektif juga digunakan dalam praktik
komunikasi risiko. Komunikator cenderung harus menyederhanakan pesan agar mudah dipahami
khalayak. Kredibilitas narasumber juga penting untuk kepercayaan dan keefektifan pesan.

Pesan yang disampaikan dalam komunikasi risiko harus mencakup beberapa tindakan
efikasi diri yang dapat diambil untuk mengurangi risiko (Egbert & Parrott, 2001 dalam Reynolds
& Seeger, 2005). Pesan lebih efektif ketika mereka secara strategis disesuaikan dengan kebutuhan,
nilai, latar belakang, budaya, dan pengalaman audiens (Murray-Johnson, Witte, Liu, & Hubbel,
2001, dalam Reynolds & Seeger, 2005). Pesan tersebut harus jelas dan sederhana, menarik, dan
menawarkan solusi untuk masalah (Friemuth dkk., 2000 dalam Reynolds & Seeger, 2005).
Sebagian besar komunikasi risiko seperti yang dipraktikkan dalam kesehatan masyarakat
menggabungkan fitur-fitur ini dalam pesan publik, biasanya dilakukan di media arus utama,
sebagai kampanye persuasif umum. Mereka berupaya memberi informasi kepada publik dan
mengubah perilaku dengan cara yang melindungi dan meningkatkan kesehatan dan keselamatan
masyarakat.

Komunikasi, biasanya dalam bentuk hubungan masyarakat (public relation), juga


merupakan kegiatan tradisional yang dilakukan setelah krisis. (Coombs, 1995; Seeger dkk., 1998
dalam Reynolds & Seeger, 2005) Krisis organisasi, seperti ledakan pabrik, kekerasan karyawan,
tumpahan racun, atau kecelakaan transportasi biasanya menarik minat masyarakat dan media dan
seringkali dikritisi. Disinilah peran humas untuk melakukan komunikasi krisis. Pada saat terjadi
krisis, diperlukan komunikator yang terampil untuk secara strategis mempertahankan dan
menjelaskan posisi organisasi dalam menghadapi kritik, ancaman, dan ketidakpastian yang dipicu
krisis. Selama krisis, humas biasanya menghadapi pers yang berusaha menekan pihak perusahaan
atau instansi atau pers yang sekedar ingin tahu. Tugas humas lah untuk memberikan penjelasan
tentang apa yang salah, mengapa, dan apa yang dilakukan sebagai tanggapan. Dengan demikian,
secara historis, komunikasi krisis berfungsi sebagai juru bicara, penyangga, dan penyebar
informasi (Seeger dkk., 1998 dalam Reynolds & Seeger, 2005).

Perspektif ini paling sering melibatkan dua strategi defensif, yakni menyangkal adanya
krisis, menolak menjawab pertanyaan media, dan menolak keterlibatan oleh lembaga pemerintah
yang tepat atau memberikan informasi yang parsial, seringkali tidak akurat dan tertunda sambil
menyembunyikan fakta yang tidak menguntungkan (Wilcox, Ault, & Agee, 1986, dalam Reynolds
& Seeger, 2005). Bentuk hubungan masyarakat pasca krisis ini berkontribusi pada pandangan sinis
masyarakat terhadap organisasi dan humas. Secara umum, hal itu dapat menyebabkan turunnya
kredibilitas organisasi dan sering secara signifikan meningkatkan kerugian (Guth, 1995; Small,
1991; Seeger & Bolz, 1996 dalam Reynolds & Seeger, 2005).

Seiring dengan perkembgnan peran humas yang semakin meluas dan ketika krisis telah
menjadi lebih umum, maka gagasan komunikasi krisis pun semakin berkembang. Satu perubahan
mendasar melibatkan prinsip kardinal di kalangan praktisi hubungan masyarakat bahwa respons
yang jujur, cepat, akurat, dan lengkap terhadap krisis selalu diperlukan (Small, 1991 dalam
Reynolds & Seeger, 2005). Komunikasi krisis, kemudian, melibatkan pengiriman dan penerimaan
pesan untuk mencegah atau mengurangi hasil negatif dari krisis dan dengan demikian dapat
melindungi organisasi, pemangku kepentingan, dan atau industri dari kerusakan atau kerugian
(Coombs, 1999, dalam Reynolds & Seeger, 2005). Dengan demikian, ini adalah bagian dari fungsi
manajemen krisis yang lebih besar (Seeger dkk., 1998 dalam Reynolds & Seeger, 2005).

Fearn-Banks (2002) mengemukakan bahwa Komunikasi krisis adalah interaksi verbal,


visual, dan atau tertulis antara organisasi dan para pemangku kepentingannya (seringkali melalui
media) sebelum, selama dan setelah kejadian negatif. Proses komunikasi ini dirancang untuk
mengurangi bahaya, memberikan informasi spesifik kepada para pemangku kepentingan, memulai
dan meningkatkan pemulihan, mengelola citra dan persepsi tentang kesalahan dan tanggung jawab,
memperbaiki legitimasi, menghasilkan dukungan dan bantuan, menjelaskan dan membenarkan
tindakan, meminta maaf, dan mempromosikan penyembuhan, belajar, dan berubah (Seeger dkk.,
2003 dalam Reynolds & Seeger, 2005).

Komunikasi krisis berupaya menjelaskan peristiwa spesifik, mengidentifikasi


kemungkinan konsekuensi dan hasil, dan menyediakan informasi khusus pengurangan bahaya bagi
masyarakat yang terkena dampak dengan cara yang jujur, cepat, akurat, dan lengkap.

Salah satu perbedaan utama antara komunikasi krisis dan komunikasi risiko adalah pada
dasar atau alasan komunikasinya. Komunikasi krisis biasanya dikaitkan dengan praktik hubungan
masyarakat dan didasarkan pada upaya pengelolaan langkah-langkah strategis dan membingkai
persepsi publik tentang suatu peristiwa sehingga kerugian dapat dikurangi baik untuk organisasi
maupun pemangku kepentingan. Praktisi humas telah berupaya untuk "mengembangkan model
komunikasi dan kerangka kerja yang menginformasikan praktik dan yang membantu membatasi
dan mengurangi kerusakan pada organisasi dan pemangku kepentingan krisis lainnya seperti
masyarakat, korban, dan keluarga mereka" (Seeger dkk., 1998 , dalam Reynolds & Seeger, 2005).

Komunikasi krisis juga telah mulai menarik lebih banyak pada kebutuhan untuk
berkomunikasi selama keadaan darurat publik, gempa bumi, banjir, angin topan, dan sebagainya
(Auf Der Heide, 1989; Sellnow, Seeger, & Ulmer, 2002 dalam Reynolds & Seeger, 2005). Ini
mungkin melibatkan penyebaran informasi tentang evakuasi, tentang sumber daya dan prosedur
mitigasi bahaya, dan tentang kemungkinan bahaya tambahan (Mileti & Sorensen, 1990; Sorensen,
2000 dalam Reynolds & Seeger, 2005). Informasi publik darurat, paling sering dikaitkan dengan
bencana alam, dirancang untuk ''melindungi kesehatan, keselamatan, dan lingkungan dengan
menjaga informasi publik'' dan ''untuk mengembalikan kepercayaan publik pada kemampuan
organisasi yang memiliki kewenangan mengelola insiden'' (Mileti & Sorensen, 1990, dalam
Reynolds & Seeger, 2005).

Komunikasi risiko, sebaliknya, paling sering dikaitkan dengan identifikasi risiko terhadap
kesehatan masyarakat dan upaya untuk membujuk masyarakat untuk mengadopsi perilaku yang
lebih sehat dan minim berisiko (Freimuth dkk., 2000 dalam Reynolds & Seeger, 2005).
Komunikasi risiko juga melibatkan penyebaran informasi tentang bahaya lingkungan seperti yang
terkait dengan bahan kimia dan racun yang terkontaminasi, karsinogen, patogen, dan bahaya
lingkungan terkait (Powell & Leiss, 1997 dalam Reynolds & Seeger, 2005). Lundgren (1994)
dalam Reynolds & Seeger (2005) juga menggambarkan komunikasi tentang penyakit endemik
kronis dengan waktu induksi yang lama sebagai komunikasi perawatan.

Bentuk komunikasi berkelanjutan ini mendorong perubahan perilaku dan lingkungan


jangka panjang. Asumsi yang mendasari berbagai perspektif ini adalah bahwa menginformasikan
kepada publik dapat memungkinkan mereka membuat pilihan untuk menghindari atau mengurangi
paparan, mengelola suatu kondisi atau risiko, atau keduanya.

Akhirnya, komunikasi risiko juga dikaitkan dengan bencana alam, terutama dalam bentuk
peringatan sebelumnya, seperti nasihat evakuasi, dan dalam rekomendasi pasca-bencana tentang
menghindari bahaya tambahan, seperti merebus air minum jika terjadi banjir. Satu fokus
komunikasi risiko mungkin secara sederhana digambarkan sebagai upaya untuk menciptakan
pemahaman risiko yang rasional. Seperti Ropeik dan Gray (2002) baru-baru ini menyarankan,
sering pemahaman populer tentang risiko di masyarakat umum tidak sesuai dengan fakta ilmiah.
Komunikasi risiko sering kali berupaya mengidentifikasi strategi persuasif sehingga publik dapat
diyakinkan tentang pandangan tertentu mengenai beberapa risiko.

Di antara strategi umum adalah penggunaan ahli teknis atau orang lain yang memiliki
kredibilitas tinggi serta keterampilan dalam menerjemahkan informasi ilmiah ke pesan yang sesuai
untuk khalayak awam. Dengan demikian, kegagalan untuk menerima pandangan teknis tentang
risiko ini dibingkai sebagai komunikasi yang tidak efektif, kepercayaan yang buruk, kredibilitas
yang rendah, atau kasus kesalahpahaman.

Selain itu, banyak komunikasi risiko didasarkan pada penggunaan aspek ancaman dalam
pesan persuasif (Witte dkk., 2000 dalam Reynolds & Seeger, 2005). Pesan-pesan komunikasi
risiko ini menghadirkan ancaman, seperti kemungkinan bahaya kesehatan yang diberikan pada
serangkaian kondisi. Perubahan kondisi, seperti modifikasi beberapa perilaku gaya hidup,
kemudian diusulkan sebagai cara untuk mengurangi ancaman. Struktur pesan masalah-solusi ini
ditetapkan dengan baik sebagai bentuk dasar persuasi (Witte dkk., 2000 dalam Reynolds & Seeger,
2005).

Komunikasi risiko dan krisis memiliki banyak kesamaan dan bersinggungan di berbagai
titik. Bahkan, beberapa ahli menyatakan bahwa komunikasi krisis adalah bentuk komunikasi risiko
yang lebih terbatas (Lundgren, 1994 dalam Reynolds & Seeger, 2005). Kedua bentuk komunikasi
tersebut melibatkan produksi pesan publik yang dirancang untuk membuat respons spesifik oleh
publik.

Dalam kedua kasus tersebut, pesan-pesan tersebut sebagian besar dimediasi melalui
saluran komunikasi massa, meskipun mereka juga memiliki dimensi komunikasi publik dan
komunikasi kelompok. Komunikasi risiko dan komunikasi krisis masing-masing mengandalkan
kredibilitas narasumber sebagai atribut persuasif yang fundamental, meskipun keduanya terwujud
dalam berbagai cara. Keduanya memiliki tujuan penting untuk membatasi, mengendalikan,
mengurangi, dan mengurangi bahaya publik.

Di luar kesamaan mendasar ini, komunikasi risiko dan komunikasi krisis berbeda dalam
hal-hal penting. Tujuan dasar komunikasi risiko dan krisis, misalnya, berbeda. Pesan-pesan risiko
menyangkut kemungkinan beberapa bahaya dan metode terkait untuk mengurangi kemungkinan
bahaya tersebut. Pesan-pesan risiko seringkali didasarkan pada pemahaman ilmiah dan teknis saat
ini tentang faktor risiko tertentu serta keyakinan budaya atau sosial terkait risiko tersebut. Pesan-
pesan risiko berusaha menerjemahkan atau mengoperasionalkan pemahaman teknis tentang risiko
ke dalam perilaku melalui persuasi. Ini sering membutuhkan penanganan faktor budaya atau sosial.

Sebaliknya, pesan tentang krisis biasanya menyangkut apa yang diketahui dan apa yang
tidak diketahui tentang peristiwa tertentu. Seringkali pesan seperti itu diutarakan secara khusus
sebagai, ‘‘ Apa yang kita ketahui saat ini, ’dan marah dengan diskusi tentang apa yang sedang
dilakukan untuk mengumpulkan informasi tambahan atau mengurangi terhadap bahaya tambahan.
Pesan-pesan krisis seringkali difokuskan lebih langsung pada informasi daripada meyakinkan.

Komunikasi risiko telah berkembang seiring pemahaman risiko, khususnya teknis dan
ilmiah, telah berkembang dan dengan tekanan publik yang meningkat untuk informasi lebih lanjut.
Bentuk komunikasi ini menjadi semakin umum dan hampir rutin sebagai bentuk pesan publik.
Komunikasi krisis, sebaliknya, sebagian besar tetap bersifat spesifik pada peristiwa tertentu,
meskipun perencanaan sebelum krisis telah mendorong para manajer darurat untuk bergerak
melampaui batas-batas peristiwa tertentu. Komunikasi krisis pada dasarnya adalah nonrutin dan
lebih banyak waktu dan peristiwa yang terikat pada kondisi spesifik krisis tertentu.

Komunikasi risiko sebagian besar komunikator bersifat terpusat dalam arti bahwa waktu
tersedia untuk secara hati-hati menyusun pesan, mengidentifikasi dan menguji banding, dan
menyebarkan pesan melalui saluran media yang ditargetkan. Komunikasi krisis lebih mengutus
komunikator yang berorientasi pada peristiwa yang berupaya merespons kebutuhan publik yang
mendesak akan informasi dengan cara yang seringkali lebih spontan, dan kurang terkontrol.
Karena lebih spontan, pesan krisis biasanya kurang dipoles dan lebih sering berbentuk konferensi
pers atau pengumuman yang dimuat di media cetak dan penyiaran. Pesan krisis juga
memanfaatkan saluran komunikasi apa pun yang tersedia pada saat acara. Radio, misalnya,
mengingat fleksibilitasnya dan ketersediaannya yang sangat luas, merupakan media yang sangat
penting untuk komunikasi krisis.

PEMBAHASAN

Strategi Komunikasi Risiko Yang Efektif

Upaya untuk mengefektifkan pesan komunikasi agar timbul kesepahaman tentunya perlu
dilakukan perencanaan strategi komunikasi yang matang.

Abadi dan Mahendrawati (2012) dalam Suherman (2018) mengatakan unsur komunikasi
yang turut menjadi faktor penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan pembangunan adalah
pelaku komunikasi baik dari unsur pemerintah lokal maupun masyarakat. Dimensi–dimensi yang
menjadi pertimbangan untuk orang yang menyampaikan pesan (komunikator) adalah kredibilitas,
keahlian, dapat dipercaya, daya tarik, karismatik, kewibawaan, pemenuhan. Unsur berikutnya
adalah komunikan (receiver). Berhasil tidaknya suatu pembangunan yang berkaitan dengan
masyarakat luas bergantung pada bagaimana sebenarnya strategi komunikasi yang digunakan oleh
organisasi baik pemeritah maupun swasta. Strategi komunikasi pada hakikatnya merupakan
paduan perencanaan komunikasi (communication planning) dengan memanajemen komunikasi
(communication management) untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan (Effendy;
2003).

Effendy (1986) mengatakan bahwa strategi komunikasi mempunya fungsi ganda yaitu :

1. Menyebarkan pesan komunikasi yang bersifat informative, persuasive dan instruktif secara
sistematis kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal.
2. Menjembatani “kesenjangan budaya” (cultural) gap akibat kemudahan diperolehnya dan
kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh, yang jika dibiarkan
akan merusak nilai-nilai budaya.
Strategi pada hakikatnya perencanaan (Planning) dan manajemen untuk mencapai suatu
tujuan. Dalam pengertian yang luas strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang menunjukan
arah saja, melainkan harus menunjukan bagaimana taktik operasionalnya, dalam arti kata
pendekatan bisa berbeda-beda tergantung kondisi dan situasinya.

Dalam kontkes komunikasi dalam merumuskan strategi selain merumuskan strategi


komunikasi yang jelas, perlu juga memerhatikan semua elemen-elemen yang terlibat dalam
komunikasi.

Bagi seorang komunikator pemahaman mengenai sifat-sifat komunikan dan pesan


komunikasi akan dapat menentukan jenis media apa yang akan diambil, bagaimana mengemas
pesan dan teknik komunikasi seperti apa yang akan digunakan.

Peristiwa komunikasi yang berada diluar harapan pastinya akan menimbulkan keruwetan
tersendiri karena kadang kita menganggap pesan yang akan disampaikan tidak akan mampu
meminimalisir ekses negative dari peristiwa. Namun bila merujuk pada pendapat Wilbul Schram
dalam karynya How Communication Works pernah mengetengahkan apa yang dinamakan the
condition of success of communication seperti yang dikutip dalam Effendy (1986) yaitu :

1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa dan menarik sasaran yang
dimaksud.
2. Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju pada pengalaman yang sama antara
komunikator dan komunikan sehingga dapat dimengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak komunikan dan menyarankan
beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu.
4. Pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi
situasi kelompok tempat komunikasi berada pada saat ia digerakan untuk memberikan
tanggapan yang dikehendaki.

Komunikasi risiko terjadi dalam berbagai konteks yang berbeda. Penelitian dan
pengalaman menunjukkan bahwa strategi komunikasi yang berbeda perlu dirancang untuk konteks
yang berbedabeda tersebut. Pendekatan sistematis yang harus dipertimbangkan pada saat
mengembangkan strategi komunikasi risiko adalah sebagai berikut:

a. Latar belakang/informasi
 Pahami dasar ilmu pengetahuan dari teknologi, risiko dan ketidak-pastian
 Pahami persepsi publik mengenai risiko tersebut, melalui survai risiko, wawancara dan fokus
grup
 Temukan dan simpulkan informasi mengenai risiko seperti apa yang dikehendaki publik
 Pelihara kepekaan terhadap isu-isu terkait yang mungkin bahkan lebih penting dibandingkan
dengan risiko itu sendiri
 Pelihara kepekaan terhadap perbedaan-perbedaan dalam persepsi, akses informasi,
penerimaan informasi dan konteks sosial.
b. Persiapan
 Hindarkan penyederhanaan perbandingan antara risiko yang telah dikenal dengan risiko baru,
karena mungkin saja keduanya tidak akurat
 Kenali dan tanggapi aspek-aspek emosional dari persepsi risiko. Sandman menyatakan
bahwa risk = hazard + outrage. Hazard adalah kajian teknis dari risiko, sedangkan outrage
adalah respon emosional terhadap hazard analysis. Hazard dan outrage merupakan
determinan kajian (assessment) risiko publik yang sama pentingnya.
 Ekspresikan risiko ke dalam berbagai cara berbeda, tanpa menghindarkan isu-isu sentral
tentang teknologi baru.
 Jelaskan faktor-faktor ketidak-pastian yang digunakan dalam pengkajian risiko (risk
assessment) dan penentuan standar
 Jaga keterbukaan, fleksibilitas dan rekognisi tanggung jawab publik dalam semua kegiatan
komunikasi
 Bangun kepedulian/kesadaran publik mengenai manfaat dan risiko teknologi baru

c. Diseminasi/Distribusi
 Terima dan libatkan publik sebagai mitra resmi dalam perumusan kebijakan teknologi.
Uraikan informasi mengenai risiko/manfaat dan cara-cara pengendaliannya secara jelas.
 Rasakan atau terima kekhawatiran publik (public’s concern), jangan sampai ditolak/
dihindarkan karena dianggap tidak penting.
 Diskusikan semua isu secara jujur, baik-baik dan terbuka
 Jika menjelaskan data statistik yang dihasilkan dari pengkajian risiko, jelaskan proses dari
pengkajian risiko tersebut terlebih dahulu
 Koordinasi dan kolaborasi dengan sumber-sumber informasi kredibel lainnya
 Penuhi kebutuhan-kebutuhan dari media
d. Kaji ulang dan evaluasi
 Evaluasi efektivitas pesan-pesan risiko dan saluran-saluran komunikasi
 Berikan penekanan pada tindakan-tindakan untuk memantau, mengelola dan mengurangi
risiko
 Buat perencanaan secara hati-hati dan lakukan evaluasi terhadap setiap tindakan

KESIMPULAN

Strategi pada hakikatnya perencanaan (Planning) dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam komunikasi resiko seorang komunikator pemahaman mengenai sifat-sifat komunikan dan
pesan komunikasi akan dapat menentukan jenis media apa yang akan diambil, bagaimana
mengemas pesan dan teknik komunikasi seperti apa yang akan digunakan. Selain itu pesan harus
dirancang dan disampaikan sedemikian rupa dan menarik sasaran yang dimaksud. Pesan harus
menggunakan tanda-tanda yang tertuju pada pengalaman yang sama antara komunikator dan
komunikan sehingga dapat dimengerti.Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak
komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu serta yang terakhir
harus dilakuklan evaluasi dan kaji ulang terhadap seluru aktifitas komunikasi yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hendriyani. Varady, Vida. Ahsan, Abdillah. Radjiman, D Srikandi. Masduki, Rihlah R. 2016.
Panduan Komunikasi Resiko Keamanan Pangan disaat Krisis. Badan POM dan Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
https://www.researchgate.net/publication/315836082_Panduan_Komunikasi_Resiko_K
eamanan_Pangan_di_Saat_Krisis Di unduh pada tanggal 31 Oktober 2019.
Reynolds, Barbara & Seeger, Matthew W. 2005. Crisis and Emergency Risk Communication as
an Integrative Model. Journal of Health Communication, 10:43–55. Diunduh dari
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.475.2836&rep=rep1&type=p
df pada 2 November 2019
Suherman, Ansar. 2018. Strategi Komunikasi Bencana Pada Masyarakat Kabupaten Buton
Selatan. MEDIALOG: Jurnal Kajian Komunikasi, Volume I, No. II, Agustus 2018, hlm
10-18 diunduh dari https://jurnal-
umbuton.ac.id/index.php/Medialog/article/view/272/207 tanggal 31 Oktober 2019
Winoto,Yunus. Khadijah, ULS. 2017. Model Komunikasi Resiko Kesiapsiagaan Menghadapi
Bencana Alam di Kabupaten Pangandaran (Studi Tentang Pendidikan Publik Dalam
Membentuk Masyarakat Tangguh Bencana di Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa
Barat). Promedia. Volume 3 (2). Hal 207-235.
http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/841182 Di unduh pada tanggal 31
Oktober 2019.

Effendi, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Hendriyani. Varady, Vida. Ahsan, Abdillah. Radjiman, D Srikandi. Masduki, Rihlah R. 2016.
Panduan Komunikasi Resiko Keamanan Pangan disaat Krisis. Badan POM dan Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
https://www.researchgate.net/publication/315836082_Panduan_Komunikasi_Resiko_K
eamanan_Pangan_di_Saat_Krisis Di unduh pada tanggal 31 Oktober 2019.
Reynolds, Barbara & Seeger, Matthew W. 2005. Crisis and Emergency Risk Communication as
an Integrative Model. Journal of Health Communication, 10:43–55. Diunduh dari
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.475.2836&rep=rep1&type=p
df pada 2 November 2019
Suherman, Ansar. 2018. Strategi Komunikasi Bencana Pada Masyarakat Kabupaten Buton
Selatan. MEDIALOG: Jurnal Kajian Komunikasi, Volume I, No. II, Agustus 2018, hlm
10-18 diunduh dari https://jurnal-
umbuton.ac.id/index.php/Medialog/article/view/272/207 tanggal 31 Oktober 2019
Winoto,Yunus. Khadijah, ULS. 2017. Model Komunikasi Resiko Kesiapsiagaan Menghadapi
Bencana Alam di Kabupaten Pangandaran (Studi Tentang Pendidikan Publik Dalam Membentuk
Masyarakat Tangguh Bencana di Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat). Promedia.
Volume 3 (2). Hal 207-235. http://garuda.ristekdikti.go.id/documents/detail/841182 Di unduh
pada tanggal 31 Oktober 2019.
CONTOH KASUS POHON TUMBANG DI KEBUN RAYA BOGOR JANUARI 2015
RISK MANAJEMEN

Rapat koordinasi Manajemen - Kepala LIPI menjenguk korban

Pertemuan Manajemen dengan keluarga korban - Audiensi dengan DPRD Kota Bogor
RISK ASSESSMENT
Pengerahan Peneliti Untuk Mengidentifikasi Mengenai Pohon yang berpootensi tumbang

RISK COMMUNICATION
Informasi persuasive dan antisipatif di Kebun Raya Bogor
COMMUNICATION CRISIS

Liputan saat menjenguk korban Konprensi Pers

Fungsi Humas memberikan bahan berupa data dan panduan akan statemen yang harus
disampaikan. Isu nya diarahkan pada aspek human interest, dengan ucapan berbela sungkawa,
manajemen bertanggung jawab atas semua biaya korban yang dirawat serta memberikan uang
duka serta asuransi kepada keluarga korban yang meninggal

Framing Isu ke hal yang positif


https://www.antaranews.com/berita/475021/seorang-lagi-korban-pohon-tumbang-kebun-raya-
bogor-meninggal

http://www.harnas.co/2015/01/16/kebun-raya-bogor-tetap-ramai-usai-insiden-pohon-tumbang

Anda mungkin juga menyukai