Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN ILMIAH KOMUNIKASI KRISIS

(Studi Kasus Pohon Tumbang Di Kebun Raya Bogor)

Ayi Doni Darussalam


Biro Kerjasama Hukum dan Humas LIPI

PENDAHULUAN

Krisis tidak hanya menyerang perusahaan besar, krisis dapat menyerang siapa aja, baik individu,
organisasi, maupun perusahaan, kapan dan di mana saja. Kata krisis berasal dari bahasa Yunani
krisis (kpion), yang berarti “keputusan”. Secara umum, krisis dapat diterjemahkan sebagai sesuatu
yang datang secara tiba-tiba dan menghadirkan ancaman bagi organisasi. Sebagai ancaman, krisis
harus ditangani secara cepat agar organisasi dapat berjalan normal kembali (Prastya, 2011). Krisis
belum tentu merupakan peristiwa bencana, tetapi sebuah peristiwa yang tersisa dari proses bisnis
dan rutinitas biasa yang dapat menyebabkan kerusakan reputasi, operasional, atau finansial yang
signifikan (Fearn-Banks, 2011; Doorley & Garcia, 2015 dalam Putri et al., 2019).

Definisi tentang krisis salah satunya dikemukakan oleh Robert P. Powell tahun 2005 dalam
bukunya Crisis-A Leadership Opportunity (dalam Loven et al., 2016) yang menyatakan bahwa
krisis adalah kejadian yang tidak diharapkan, berdampak dramatis, kadang belum pernah terjadi
sebelumnya yang mendorong organisasi kepada suatu kekacauan (chaos) dan dapat
menghancurkan organisasi tersebut tanpa adanya tindakan nyata.

Steven Fink dalam Crisis Management Planning for the Inevitable mendefinisikan krisis
sebagai berikut “A crisis is an unstable time or state of affairs in which a decisive change is
impending-either one with the distinct possibility of a highly desirable and extremely positibe
outcome, or one with the distinct possibility of a highly undesirable outcome. It is usually a 50-
50 proposition, but you can improve the odds ” (Purwaningwulan, 2013).

Fearn-Banks (1996) dalam Purwaningwulan (2013) mendefinisikan krisis sebagai “a


major occurrence with a potentially negative outcome affecting an organization, company or
industry, as well as its publics, products, services or good name”. Biasanya sebuah krisis
mengganggu transaksi normal dan kadang mengancam kelangsungan hidup atau keberadaan
organisasi. Krisis pada dasarnya adalah sebuah situasi yang tidak terduga, artinya organisasi
umumnya tidak dapat menduga bahwa akan muncul krisis yang dapat mengancam keberadaanya.
Sebagai ancaman ia harus ditangani secara cepat agar organisasi dapat berjalan normal kembali
setelah itu. Krisis membawa keterkejutan dan sekaligus mengancam nilai-nilai penting organisasi
serta hanya ada waktu yang singkat untuk mengambil keputusan.

Sedangkan menurut Barton, (1993) dalam Purwaningwulan (2013), “Sebuah krisis adalah
peristiwa besar yang tidak terduga yang secara potensial berdampak negatif terhadap organisasi
dan publiknya. Peristiwa ini mungkin secara cukup berarti merusak organisasi, karyawan, produk
dan jasa yang dihasilkan organisasi, kondisi keuangan dan reputasi perusahaan.”

Secara sederhana, krisis dapat dikatakan sebagai masa gawat atau saat genting, dimana
situasi tersebut dapat merupakan titik baik atau sebaliknya. Oleh karena itu masa krisis adalah
momen-momen tertentu. Apabila krisis ditangani dengan baik dan tepat waktu, momen mengarah
pada situasi membaik, dan sebaliknya apabila tidak segera ditangani, krisis mengarah kepada
situasi memburuk, bahkan dapat berakibat fatal (Loven dkk, 2016).

Namun demikian, krisis tidak hanya dapat dipahami sebagai suatu peristiwa yang
mengerikan, tetapi dapat juga dapat dibaca sebagai peluang atau kesempatan untuk mengenali
organisasi lebih baik sekaligus memperbaiki kualitas organisasi, baik dalam kinerja in ternal
maupun dalam pelayanan publik (Venette, 2009 dalam Yanuar, 2017).

Jika dipahami dari definisinya, krisis tidak hanya mengandung masalah tetapi juga
membuat perusahaan dibicarakan oleh banyak orang dari sudut pandang negatif. Tetapi, jika
diambil dari sisi positif, krisis membuat sebuah perusahaan bisa menjadi lebih kuat dan hebat
ketika suatu masalah yang melanda perusahaan dapat ditangani secara baik dan tepat (Akhyar &
Pratiwi, 2019). Krisis juga dianggap sebagai “turning point in history life”, yaitu suatu titik balik
dalam kehidupan yang dampaknya memberikan pengaruh signifikan, kearah negatif maupun
positif, tergantung reaksi yang diperlihatkan oleh individu, kelompok masyarakat, atau suatu
bangsa.

JENIS-JENIS KRISIS

Cutlip (2000) dalam Akhyar dan Pratiwi (2019) mengemukakan tipe-tipe krisis berdasarkan waktu
sebagai berikut:
1) Immediate crisis, atau krisis yang bersifat segera. Tipe krisis ini adalah tipe yang paling ditakuti
oleh perusahaan, karena krisis yang terjadi muncul secara tiba-tiba tanpa adanya sinyal-sinyal yang
menandakan bahwa krisis akan muncul. Perusahaan juga tidak mempunyai waktu untuk
melakukan perencanaan riset. Tipe krisis ini datang dikarenakan adanya bencana yang terjadi dan
berdampak pada perusahaan. Krisis jenis ini sangat memerlukan konsensus terlebih dahulu untuk
level manajemen yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan rencana umum, agar ketika
terjadi krisis seperti ini manajemen tidak kebingungan dan setidaknya bisa tahu bagaimana cara
menghadapi krisis jenis seperti ini.

2) Emerging crisis, atau krisis baru muncul. Tipe krisis ini masih memerlukan seorang praktisi
PR untuk terlebih dahulu meneliti krisisnya sebelum masalahnya meledak dan dapat membuat
perusahaan atau organisasi mengalami kerusakan.

3) Sustained crisis, atau krisis bertahan. Tipe krisis ini adalah krisis yang sudah lama berlalu,
tetapi masih saja muncul dalam kurun bulanan atau tahunan. Padahal masalahnya telah diatasi
dengan sebaik mungkin oleh pihak manajemen perusahaan.

PENYEBAB KRISIS

Krisis tidak bisa diprediksi datangnya. Jalan terbaik untuk menghadapinya adalah mengetahui dan
membuat perencanaan. Krisis dapat terjadi secara alamiah, tidak terprediksi dan tidak selalu
merupakan hal buruk. Hasil riset menunjukkan hasil bahwa ternyata outcome dari situasi krisis
memberikan skor yang berimbang atau sama antara yang positif (seperti yang diharapkan) dan
yang negatif (yang tidak diharapkan). Dalam menghadapi krisis, optimisme untuk menyusun
langkah-langkah agar dapat keluar dari krisis merupakan modal utama. Pemberitaan media massa
yang menggiring kearah sisi negatif harus diseimbangkan. Hal penting yang dapat dilakukan
adalah mempengaruhi pola pikir masyarakat bahwa krisis tidak selalu memiliki sisi negatif, tetapi
juga sisi positif (Purwaningwulan, 2013).

Purwaningwulan (2013) menyebutkan bahwa penyebab terjadinya krisis adalah karena


keterbatasan manusia mengatasi berbagai tuntutan lingkungan atau kegagalan teknologi tinggi.
Musibah lainnya yang dapat menyebabkan krisis adalah bencana alam, pemogokan masal,
kebakaran, kecelakaan, ancaman pengambilalihan perusahaan, kebijakan baru yang merugikan,
skandal, resesi ekonomi, dan sebagainya
Menurut Firsan Nova dalam bukunya Bagaimana Public Relations (Humas) Menangani Krisis
Perusahaan, krisis terjadi karena disebabkan oleh hal-hal di bawah ini (Purwaningwulan, 2013) :

1) Krisis karena bencana alam. Tipe paling relevan dari krisis adalah disebabkan oleh bencana
alam.

2) Krisis karena kecelakan Industri. Krisis karena kecelakaan industri cukup bervariasi, mulai dari
mesin yang tidak berfingsi sebagaimana mestinya, kebakaran, hingga kecelakaan kerja.
Kecelakaan industri yang dapat menyebabkan kematian biasanya menjadi magnet bagi media.

3) Krisis karena produknya yang kurang sempurna. Dalam bisnis perusahaan menghasilkan
produk yang terdiri dari barang (goods) dan jasa (service). Barang dan jasa juga memiliki
potensi krisis. Hal ini mungkin saja terjadi karena produk yang dihasilkan cacat (defect) atau
kurang sempurna, walaupun sebelumnya perusahaan telah melakukan riset dan teknik
pengembangan produk.

4) Krisis karena persepsi publik. Saat krisis terjadi, perusahaan yang mengalaminya mungkin akan
menjumpai krisis lain karena krisis yang terjadi sebelumnya tidak teratasi dengan baik. Krisis
karena persepsi publik biasanya disebabkan kerena perusahaan melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat atau yang bertentangan dengan keinginan
dan kepentingan publik.

5) Krisis karena hubungan kerja yang buruk. Hubungan kerja yang buruk antara pekerja dan
perusahaan dapat menjurus pada krisis besar. Krisis ini dapat mengarah pada kondisi tidak
terkendali yang serius dalam operasional perusahaan. Kekuatan pekerja dapat memaksa
industri untuk tutup sehingga perusahaan terpaksa bertindak agresif. Hubungan antara pekerja
dan perusahaan seharusnya dijaga agar tidak sampai pada level saling merusak.

6) Krisis karena kesalahan strategi bisnis. Penyebab utama dari krisis ini adalah perencanaan atau
implementasi strategi bisnis yang keliru atau tidak tepat, yang dilakukan oleh manajemen.
Krisis jenis ini biasanya tidak dapat diprediksi sebelumnya. Hal ini terjadi karena pergeseran
pasar mendadak yang tidak diantisipasi oleh manajemen, kegagalan untuk menyesuaikan
dengan kebijakan pasar; krisis global yang secara tidak langsung berimbas pada bisnis
perusahaan. Walaupun tidak dapat diprediksi sebelumnya, manajemen harus bertanggung
jawab atas krisis tersebut.
7) Krisis karena terkait masalah kriminal.Krisis jenis ini merupakan ancaman besar untuk
beberapa industri, seperti pariwisata, perbankan dan penerbangan.

8) Krisis karena pergantian manajemen. Kadang-kadang perubahan dalam organisasi dianggap


sebagai suatu krisis.

9) Krisis karena persaingan bisnis. Ketatnya persaingan bisnis dapat menyebabkan persaingan
bisnis ini menjadi semakin sering terjadi. Beberapa perusahaan yang memonopoli pasar dapat
mengontrol pasar dan menyerang pesaing.

10) Krisis keuangan. Krisis keuangan adalah krisis yang terjadi karena perusahaan mempunyai
masalah cash flow atau likuidasi jangka pendek dan kemungkinan pailit di masa yang akan
datang.

11) Krisis Public Relations. Krisis Public Relations sering disebut krisis komunikasi, terjadi
karena disebabkan pemberitaan negatif yang kemudian berimbas buruk pada bisnis
perusahaan. Pemberitaan media atau isu yang beredar bisa jadi benar atau mungkin saja tidak,
tetapi berpotensi mempengaruhi citra seseorang atau perusahaan.

12) Krisis strategi. Krisis strategi adalah perubahan dalam lingkungan bisnis yang menyebabkan
kelangsungan hidup perusahaan terganggu. Perusahaan sebaiknya memiliki rencana dalam
menghadapi krisis dan menghindari keputusan yang justru akan membuat perusahaan
terperosok jauh dalam krisis. Mereka harus tahu skenario terburuk yang akan terjadi dan
mempunyai contingency plan dalam menghadapinya.

TAHAPAN-TAHAPAN KRISIS PADA SUATU PERUSAHAAN

Seperti aktivitas bisnis lainnya, krisis memiliki siklus kehidupan. Lamanya waktu untuk masing-
masing tahapan tergantung dari beberapa efisien manajemen menghadapi krisis tersebut.
Manajemen bertanggung jawab untuk mencari pemecahan masalah dari krisis yang timbul dengan
menggunakan berbagai cara yang mungkin dilakukan. Diawali dengan rasa percaya diri yang
tinggi, mengunakan semua kemampuan dan keahlian yang dimiliki dan diakhiri dengan
kemampuan untuk meminimalkan kemarahan atau ketakutan publik tanpa membahayakan cash
flow atau reputasi perusahaan. Krisis tidak bergerak spontan, tapi selalu diawali dengan gejala
yang kadang tidak terlihat atau terdeteksi boleh perusahaan, sehingga kurang tepat jika ada
statement dari perusahaan/organisasi yang mengatakan bahwa krisis di perusahaan mereka
datangnya tiba-tiba.

Ada tiga kondisi yang umum terjadi dalam krisis. Menurut Argenti (2009) dalam Prasetya,
2011), hal tersebut adalah: (1) elemen-elemen yang sifatnya tak terduga; (2) informasi yang tidak
mencukupi; dan (3) begitu cepatnya dinamika yang terjadi.

Sedangkan menurut Liu & Levenshus (2012) dan Coombs (1995; 2010) dalam Putri et al.,
2019, terdapat empat kategori besar dalam merespon krisis, yaitu menyangkal (deny), mengurangi
(diminish), membangun kembali (rebuild), dan memperkuat (reinforce). Strategi penyangkalan
(deny) lebih baik digunakan untuk mengatasi rumor atau isu. Krisis yang disebabkan oleh
kecelakaan atau riwayat masa lalu biasanya ditangani menggunakan strategi pengurangan
(diminish). Strategi untuk membangun kembali (rebuild) biasanya digunakan untuk
mengantisipasi krisis dan strategi reinforce meliputi pemberian kompensasi, permintaan maaf,
tindakan korektif, dan pemberian keuntungan.

Purwaningwulan (2013) menyebutkan bahwa ada lima tahapan dalam siklus hidup krisis yang
harus dikenal dan dipahami adalah sebagai berikut:

1. Tahap pre-crisis (sebelum krisis)

Tahap ini adalah kondisi sebelum sebuah krisis muncul. Benih krisis sudah ada seningga jika
muncul suatu kesalahan yang kecil saja, krisis dapat terjadi. Benih yang mulai timbul pada tahap
ini biasanya tidak diperhatikan karena beberapa aspek dalam perusahaan memang penuh resiko.

2. Tahap warning (peringatan)

Tahap ini dianggap sebagai salah satu tahap yang paling penting dalam daur hidup krisis. Di
dalamnya, suatu masalah untuk pertama kalinya dikenali, dapat dipecahkan, diakhiri selamanya
atau dibiarkan berkembang menuju kepada kerusakan yang menyeluruh. Krisis dapat dengan
mudah muncul pada tahap ini karena ketakutan menghadapi badai atau masalah dan
menganggapnya tidak ada. Reaksi yang umum terjadi pada tahap ini adalah kaget, menyangkal
dan pura-pura merasa aman.

3. Tahap acute (akut)


Pada tahap ini krisis mulai terbentuk, media dan publik mulai mengetahui adanya masalah. Jika
krisis sudah sampai pada tahap ini,perusahaan tidak dapat berdiam diri karena sudah mulai
menimbilkan kerugian. Saat inilah berbagai dokumen dan modul untuk menghadapi krisis harus
dikeluarkan dan digunakan.

4. Tahap clean-up (pembersihan)

Saat masalah melewati tahap warning tanpa diselesaikan maka kerusakan perusahaan mulai
timbul. Inilah waktunya untuk memulihkan perusahaan dari kerugian. Setidaknya menyelamatkan
apa saja yang tersisa, baik sisa produk (jika dapat diaplikasikan), reputasi, citra perusahaan,
kinerja, dan lini produksi. Saat pemulihan, perusahaan harus menghadapi hal-hal yang terkait
dengan hukum, media, tekanan publik, dan litigasi.

5. Tahap post-crisis (sesudah krisis)

Inilah tahap yang telah disebutkan sebelumnya, yakni perusahaan seharusnya bereaksi saat suatu
krisis muncul ke tahap warning. Jika sejak awal tidak dihentikan, krisis akan terjadi. Namun, jika
perusahaan dapat memenangkan kemabali kepercayaan publik dan dapat beroperasi kembali
dengan normal maka secara formal dapat dikatakan krisis telah berakhir.

Pendapat mengenai tahapan krisis juga dikemukakan oleh Gonzales-Herero dan Pratt dalam
Bukunya How to Manage a Crisis Before or Whenever-Public Relations Quartely, (1995 dalam
Loven dkk., 2016), menganalogikan krisis seperti tahapan kehidupan yakni kehamilan, kelahiran,
pertumbuhan, kedewasaan, penurunan (kematian). Tahapan krisis tersebut adalah sebagai berikut
:

a. “Crisis Build Up” atau prodormal pada fase ini gejala atau tanda-tanda krisis mulai muncul.

b. “Crisis Breakout atau Acute Crisis, yakni telah terjadi kejadian yang menyebabkan
perusahaan mulai mengalami kerugian. Tahap ini dikatakan Fink sebagai tahap the point of no
return.

c. “Abatement” (peredaan) atau‘chronic crisis stage’. Pada tahap ini sering disebut juga sebagai
tahap transisi atau clean up stage. Organisasi berusaha untuk menangani atau berusaha kembali
dan melakukan perubahan-perubahan penting.
d. “Crisis Resolution Stage”. Yaitu ada tanda-tanda penyelesaian akhir yang menandakan
bahwa krisis tidak lagi merupakan ancaman bagi organisasi.

MANAJEMEN DALAM MENGHADAPI KRISIS

Pengelolaan sebuah krisis merupakan faktor paling penting yang menjadi penentu terbentuknya
opini masyarakat akan citra suatu perusahaan. Menurut Ahmad Fuad Afdhal (2004) dalam Loven
dkk, 2016), krisis menciptakan perusahaan dalam posisi menjadi perhatian masyarakat sehingga
mempertanyakan manajemen perusahaan.

Manajemen Krisis Secara umum manajemen krisis adalah upaya organisasi untuk
mengatasi krisis. Menurut Coombs (2010) dalam Loven dkk., 2016) yaitu serangkaian faktor yang
dirancang untuk memerangi krisis dan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan, berusaha
untuk mencegah atau mengurangi hasil negatif dari krisis dan dengan demikian melindungi
organisasi, stakeholder, dan atau industri dari kerusakan.

Setiap organisasi perlu membentuk sebuah tim manajemen krisis yang permanen. Struktur
tim tersebut bisa saja berlainan dari satu organisasi ke organisasi lainnya, bergantung dari jumlah
staf, sebaran lokasi, dan karakteristik sektor usaha atau bidang yang digeluti oleh organisasi yang
bersangkutan. Sebuah tim manajemen krisis biasanya terdiri dari seorang direktur, manajer PR,
manajer operasional, petugas keamanan dan pejabat personalia. Tim ini hendaknya dibuat
seramping mungkin agar masing-masing anggotanya mudah berkomunikasi satu sama lainnya
(Purwaningwulan, 2013).

Begitu krisis terjadi, maka media massa akan cepat berusaha mengali informasi sebanyak-
banyaknya. Krisis memang tidak terduga datangnya. Namun pada saat krisis, justru kita kerap
menjadi perhatian media massa. Krisis merupakan peristiwa yang bernilai berita. Pada saat krisis,
media massa akan menyoroti perusahaan/ organisasi lebih dari pada sebelumnya. Itu sebabnya ada
pendekatan dan praktik tersendiri dalam media relations untuk menangani krisis. Sehubungan
dengan masalah krisis, orang yang mempunyai peranan penting untuk mengembalikan citra
perusahaan yang baik adalah seorang Public Relations (Humas). Seorang PR tidak hanya harus
mempunyai technical skill dan managerial skill dalam keadaan normal, tapi PR juga harus
memiliki kemampuan dalam mengantisipasi, menghadapi atau menangani suatu krisis
kepercayaan (crisis of trust) dan penurunan citra (lost of image) yang terjadi. Selanjutnya
merupakan tantangan berat adalah pemulihan citra positif (recovery of image) masyarakat terhadap
kepercayaan perusahaan (Purwaningwulan, 2013).

KOMUNIKASI KRISIS

Penanganan situasi krisis yang tidak tepat dapat menyebabkan intensitas masalah menjadi
meningkat, perhatian publik semakin intens, kegiatan dan aktivitas sehari-hari menjadi terganggu,
bahkan dapat menyebabkan lumpuhnya kegiatan, membuat kepanikan di masyarakat,
mengundang campur tangan pihak lain yang mau tidak mau harus ikut mengatasi masalah yang
timbul, dan efek krisis tidak hanya akan menimpa organisasi, tetapi juga masyarakat dan
stakeholder lainnya (Ruslan, 1999 dalam Putri et al., 2019). Untuk menghindari dampak krisis
tersebut, sebuah organisasi harus melakukan komunikasi krisis dengan cara yang tepat. Secara
luas, Coombs mendefinisikan komunikasi krisis sebagai sebuah kumpulan, proses, atau diseminasi
informasi yang dilakukan untuk mengatasi situasi krisis (Coombs, 2010 dalam Putri et al., 2019).

Loven, dkk. (2016) berpendapat bahwa komunikasi krisis adalah pengumpulan,


pemrosesan, dan penyebaran informasi yang diperlukan untuk menangani situasi krisis. Sebuah
fitur penting dari komunikasi krisis adalah pengelolaan komunikasi organisasi yang kompleks.

Beberapa ahli mengatakan bahwa komunikasi krisis adalah proses dialog berkelanjutan
antara perusahaan dengan publik yang bertujuan untuk untuk menciptakan makna bersama
antarkelompok, masyarakat, individu dan lembaga untuk tujuan mempersiapkan dan mengurangi,
membatasi, dan menanggapi ancaman serta bahaya (Fearn-Banks, 2011; Sellnow & Seeger, 2013
dalam Putri et al., 2019).

Fearn-Banks (2002) mengemukakan bahwa Komunikasi krisis adalah interaksi verbal,


visual, dan atau tertulis antara organisasi dan para pemangku kepentingannya (seringkali melalui
media) sebelum, selama dan setelah kejadian negatif. Proses komunikasi ini dirancang untuk
mengurangi bahaya, memberikan informasi spesifik kepada para pemangku kepentingan, memulai
dan meningkatkan pemulihan, mengelola citra dan persepsi tentang kesalahan dan tanggung jawab,
memperbaiki legitimasi, menghasilkan dukungan dan bantuan, menjelaskan dan membenarkan
tindakan, meminta maaf, dan mempromosikan penyembuhan, belajar, dan berubah (Seeger dkk.,
2003 dalam Reynolds & Seeger, 2005). Komunikasi krisis berupaya menjelaskan peristiwa
spesifik, mengidentifikasi kemungkinan konsekuensi dan hasil, dan menyediakan informasi
khusus pengurangan bahaya bagi masyarakat yang terkena dampak dengan cara yang jujur, cepat,
akurat, dan lengkap.

Salah satu perbedaan utama antara komunikasi krisis dan komunikasi risiko adalah pada
dasar atau alasan komunikasinya. Komunikasi krisis biasanya dikaitkan dengan praktik hubungan
masyarakat dan didasarkan pada upaya pengelolaan langkah-langkah strategis dan membingkai
persepsi publik tentang suatu peristiwa sehingga kerugian dapat dikurangi baik untuk organisasi
maupun pemangku kepentingan. Praktisi humas telah berupaya untuk "mengembangkan model
komunikasi dan kerangka kerja yang menginformasikan praktik dan yang membantu membatasi
dan mengurangi kerusaka8n pada organisasi dan pemangku kepentingan krisis lainnya seperti
masyarakat, korban, dan keluarga mereka" (Seeger dkk., 1998 , dalam Reynolds & Seeger, 2005).
Komunikasi krisis juga telah mulai menarik lebih banyak pada kebutuhan untuk berkomunikasi
selama keadaan darurat publik, gempa bumi, banjir, angin topan, dan sebagainya (Auf Der Heide,
1989; Sellnow, Seeger, & Ulmer, 2002 dalam Reynolds & Seeger, 2005).

Pentingnya komunikasi krisis sebagai bagian dalam krisis manajemen diungkapkan oleh
sejumlah ahli. Coombs (seperti dikutip Kyhn, 2008 dalam Prasetya, 2011) menyatakan bahwa
komunikasi krisis adalah “darah kehidupan” dari seluruh kegiatan manajemen krisis dan
memainkan peran vital di setiap tahap dari manajemen krisis. Pendapat lain yakni dari dari Fearn-
Banks (seperti dikutip Kyhn, 2008 dalam Prasetya, 2011) menjelaskan dalam manajemen krisis
yang efektif terdapat komunikasi krisis yang tidak hanya mengurangi atau menghilangkan krisis,
tetapi juga sedikit banyak dapat menghadirkan reputasi bagi organisasi yang lebih baik dibanding
sebelum terjadinya krisis.

Komunikasi krisis dirancang melalui program- program untuk meminimalisir kerusakan


terhadap citra organisasi” (Fearn Banks dalam Loven dkk., 2016). Dasar dari komunikasi krisis
adalah memberikan respon dengan segera begitu krisis terjadi, dengan pesan yang terbuka dan
jujur kepada para pemangku kepentingan (stakeholder) baik itu yang terpengaruh secara langsung
atau tidak langsung. Perusahaan atau organisasi punya waktu “minimal 40 menit hingga maksimal
12 jam” untuk memberikan penjelasan versi mereka atas sebuah krisis. Jika dalam rentang waktu
tersebut organisasi atau korporasi gagal merilis informasi yang relevan, maka kepercayaan publik
kemungkinan sudah turun terhadap informasi yang akan dirilis di luar time frame tadi (Pinsdorf
dalam Loven dkk., 2016). Intinya, dasar dari komunikasi krisis adalah memberikan respon dengan
segera begitu krisis terjadi dengan pesan yang terbuka dan jujur kepada para pemangku
kepentingan (stakeholder), baik itu yang terpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
(Prastya, 2011).

Komunikasi krisis, kemudian, melibatkan pengiriman dan penerimaan pesan untuk


mencegah atau mengurangi hasil negatif dari krisis dan dengan demikian dapat melindungi
organisasi, pemangku kepentingan, dan atau industri dari kerusakan atau kerugian (Coombs, 1999,
dalam Reynolds & Seeger, 2005). Dengan demikian, ini adalah bagian dari fungsi manajemen
krisis yang lebih besar (Seeger dkk., 1998 dalam Reynolds & Seeger, 2005).

PERAN HUMAS DALAM MENGATASI KRISIS

Pada saat terjadi krisis, diperlukan komunikator yang terampil untuk secara strategis
mempertahankan dan menjelaskan posisi organisasi dalam menghadapi kritik, ancaman, dan
ketidakpastian yang dipicu krisis. Selama krisis, humas biasanya menghadapi pers yang berusaha
menekan pihak perusahaan atau instansi atau pers yang sekedar ingin tahu. Tugas humas lah untuk
memberikan penjelasan tentang apa yang salah, mengapa, dan apa yang dilakukan sebagai
tanggapan. Dengan demikian, secara historis, komunikasi krisis berfungsi sebagai juru bicara,
penyangga, dan penyebar informasi (Seeger dkk., 1998 dalam Reynolds & Seeger, 2005).

Bentuk hubungan masyarakat pasca krisis ini berkontribusi pada pandangan sinis
masyarakat terhadap organisasi dan humas. Secara umum, hal itu dapat menyebabkan turunnya
kredibilitas organisasi dan sering secara signifikan meningkatkan kerugian (Guth, 1995; Small,
1991; Seeger & Bolz, 1996 dalam Reynolds & Seeger, 2005). Seiring dengan perkembgnan peran
humas yang semakin meluas dan ketika krisis telah menjadi lebih umum, maka gagasan
komunikasi krisis pun semakin berkembang. Satu perubahan mendasar melibatkan prinsip
kardinal di kalangan praktisi hubungan masyarakat bahwa respons yang jujur, cepat, akurat, dan
lengkap terhadap krisis selalu diperlukan (Small, 1991 dalam Reynolds & Seeger, 2005).

Menurut H. Fanyo, “Salah satu sasaran kegiatan hubungan kemasyarakatan adalah


menghadapi krisis (facing of crisis). Menangani keluhan (complain) dan menghadapi krisis dan
Public Relations recovery of image yang bertugas memperbaiki lost of image and damage.”

Ketika intensitas krisis mulai meningkat, tugas terpenting adalah, tentu saja, fase
komunikasi – menyampaikan pesan dari perusahaan dengan lengkap, terorganisasi, dan rapi. Jika
ditangani dengan baik, komunikasi bisa mengurangi kemungkinan meluasnya masalah dan
mempersempit potensi gangguan yang bisa merusak perusahaan. Dalam bentuknya yang paling
maju, PR merupakan bagian dari pemecahan masalah dan proses perubahan organisasi, yang
dikelola menurut ilmu pengetahuan. Praktisi humas jenis ini memakai teori danbukti terbaik yang
ada dalam empat proses pemecahan masalah yakni (1) mendefinisikan masalah, (2) membuat
rencana dan program, (3) bertindak dan berkomunikasi, serta (4) mengevaluasi program. Setiap
langkah sama pentingnya tetapi proses dimulai dengan pengerahan keerdsan untuk mendiagnosa
masalah.

Informasi dan pemahaman yang dikembangkan pada langkah pertama memotivasi dan
mengarahkan langkah selanjutnya dalam proses. Tentu saja dalam kenyataannya diagnosa,
perencanaan, perlaksanaan, dan evaluasi tidak dapat dibagi dengan sangat rapi, karena proses
bersifat berkesinambungan dan berputar, serta diterapkan dalam keadaan dinamis (Cutlip, dkk,
2005 dalam Prasetya, 2011).

Seperti halnya kegiatan humas yang lainnya, perencanaan merupakan faktor penting bagi
krisis komunikasi. Menurut Ferguson (1999 dalam Prasetya, 2011): “crisis communication plan is
key to survival of an organization – knowing what to say, when, and to whom”. Rencana
komunikasi menyangkut elemen seperti indikator krisis, tim komunikasi, strategi komunikasi,
respon, mekanisme kontrol, evaluasi, dan lampiran yang berisi format dan panduan dari aktivitas
komunikasi seperti merilis siaran pers dan pencatatan aktivitas harian. Perencanaan komunikasi
krisis selain dapat menyelamatkan organisasi dari kejutan-kejutan yang melumpuhkan sistem
komunikasi keorganisasian, juga dapat memperkokoh bantuan kelompok pendukung strategis,
sehingga tidak terjadi krisis kepercayaan yang membuat penanganan krisis menjadi suatu
kemustahilan (Hardjana, 1998 dalam Prasetya, 2011).

Akan tetapi, sejumlah ahli (seperti dikutip Kyhn, 2008 dalam Prasetya, 2011) menilai
perencanaan belum tentu bisa menangani semua krisis, dan saat ini, perusahaan harus langsung
merespon kepada krisis. Komunikasi perlu dilakukan sedini mungkin sebelum muncul kecurigaan
masyarakat. Singkatnya, masyarakat memperoleh informasi yang lengkap dan tahap demi tahap
tentang langkah yang diambil perusahaan sebagai solusi krisis (Hardjana, 1998 dalam Prasetya,
2011).
STRATEGI KOMUNIKASI DALAM MENGHADAPI KRISIS

Sebagai ancaman, maka krisis harus ditangani secara cepat agar organisasi dapat berjalan normal
kembali. Krisis menempatkan penampilan perusahaan berada dalam penilaian publik. Publik
biasanya membutuhkan respon yang segera dari organisasi (Putra, 1999 dalam Prasetya, 2011).

Krisis dapat dengan sangat terjadi dan menyedot perhatian publik. Millar & Heath (2004)
dalam Prasetya, (2011) berpendapat bahwa dalam situasi krisis berita bisa menyebar begitu cepat
yang berpotensi melumpuhkan jajaran manajemen sebelum mereka bisa mengontrol situasi dengan
efektif. Untuk menjaga citra positif, sebuah korporasi harus menciptakan langkah yang cepat dan
efektif saat menghadapi problem apapun, sebab krisis bisa merusak citra paling positif dari sebuah
organisasi yang sudah mapan sekalipun.

Sedangkan Hardjana (1998) dalam Prasetya, (2011) berpandangan dalam situasi krisis
terjadi peningkatan arus informasi yang luar biasa, sistem komunikasi kehilangan keseimbangan,
kandungan emosi dalam komunikasi krisis sangat mencolok, jaringan antara komunikasi antar
pribadi dan komunikasi media, serta yang terakhir keterikatan manusia pada media massa
mengalami lonjakan besar. Dalam era media baru dan media sosial, keterikatan manusia tidak
hanya sebatas pada media massa, tetapi juga pada jejaring sosial. Jaringan komunikasi antarpribadi
juga akan meningkat melalui jejaring-jejaring sosial tersebut.

Ada tiga prinsip utama dalam komunikasi krisis, yakni: menyampaikan pesan dengan cepat
atau segera menyampaikan pesan, konsisten, dan terbuka (Coombs, 2006 dalam Prasetya, 2011).
Menyampaikan pesan dengan cepat berarti memberikan kesempatan bagi pemangku kepentingan,
terutama media massa, untuk mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Tujuannya adalah mengisi kekosongan informasi ketika krisis berlangsung. Respon yang
lambat justru memberikan kesempatan bagi pihak lain – terutama yang ingin menghancurkan
reputasi organisasi atau perusahaan tersebut – untuk mengisi kekosongan informasi tersebut
dengan spekulasi atau informasi yang salah. Respon yang cepat juga akan membentuk persepsi di
mata publik bahwa perusahaan atau organisasi tersebut dapat mengendalikan situasi. Akan tetapi,
respon yang bersifat segera ini juga memiliki kelemahan. Coombs (dalam Prasetya, 2011)
mengatakan kerugian utama dari respon cepat adalah tentu saja kecepatan meninngkatkan tingkat
risiko yang dihadapi.
Prinsip kedua yakni konsisten, maksudnya adalah berbagai pesan yang disampaikan
organisasi bebas dari kontradiksi. Dengan kata lain, konsistensi merupakan berbicara dalam satu
suara. Memang tidak mungkin dalam situasi krisis hanya satu orang saja yang berbicara untuk
mewakili perusahaan atau organisasi. Bagaimanapun, tim komunikasi krisis harus memastikan
bahwa juru bicara yang berbeda akan memberikan pesan yang konsisten.

Prinsip ketiga adalah keterbukaan. Menurut Coombs, prinsip ini merupakan satu-satunya
prinsip yang kontroversial. Kontroversi muncul akibat interpretasi yang berbeda terhadap
pemahaman keterbukaan ini. Interpretasi pertama adalah keterbukaan berarti orang-orang dalam
organisasi (yang berwenang untuk memberikan pernyataan) selalu siap dan bersedia untuk
berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan, terutama media massa. Keengganan untuk
berkomunikasi dengan pemangku kepentingan akan menimbulkan kesan bahwa organisasi
tersebut sangat tertutup, berusaha menyembunyikan sesuatu, atau tidak mampu menangani krisis.
Interpretasi kedua mengenai keterbukaan adalah pengungkapan secara terbuka sepenuhnya (full
disclosure), yakni organisasi harus mengatakan semua yang mereka ketahui tentang krisis segera
setelah mereka mendapatkan informasi.

Kepentingan hukum terkadang merekomendasikan keterbukaan secara terbatas (limited


disclosure) karena pengungkapan secara terbuka sepenuhnya dapat membawa organisasi ke
masalah hukum dan kerugian finansial. Organisasi sebaiknya menyeimbangkan perhatian mereka
terhadap pemangku kepentingan finansial (misal pemegang saham atau pemberi pinjaman) dengan
perhatian kepada pemangku kepentingan yang mengalami kerugian akibat krisis (misal anggota
komunitas, pelanggan, atau karyawan).

Menurut Coombs (dalam Loven dkk., 2016) ada lima strategi yang biasanya digunakan
dalam komunikasi krisis, yaitu :

a. Non – existence. Strategi ini diterapkan oleh organisasi yang kenyataannya tidak mengalami
krisis, namun ada rumor bahwa organisasi sedang menghadapi krisis

b. Distance strategies. Digunakan organisasi yang mengakui adanya krisis dan berusaha untuk
memperlemah hubungan antara organisasi dengan krisis yang terjadi.

c. Ingratiation strategies. Strategi digunakan organisasi dalam upaya mencari dukungan publik.
d. Mortification strategies. Organisasi berusaha meminta maaf dan menerima kenyataan bahwa
memang benar terjadi krisis. Bentuknya bisa berupa kompensasi kepada korban, meminta maaf
kepada publik, dan mengambil tindakan untuk mengurangi krisis.

e. Suffering strategies. Organisasi menunjukkan bahwa ia juga menderita sebagaimana korban


berusaha memperoleh dukungan dan simpati publik.

Menurut Prayudi (1998 dalam Loven dkk., 2016), tujuh komponen yang harus diperhatikan dalam
perencanaan manajemen krisis menurut antara lain:

a. Adanya mekanisme untuk menentukan krisis potensial yang ada dalam perusahaan.
Peran manajemen adalah dalam meninjau kembali bidang-bidang kegiatan yang mudah
menimbulkan krisis. Dalam hal ini perlu dirancang suatu sistem peringatan dini berupa sistem
pelaporan top down dan bottom up.

b. Pengidentifikasian khalayak yang terpengaruh. Siapa saja yang terkena dampak langsung dan
tidak langsung oleh krisis.

c. Prosedur yang harus diikuti selama krisis. Biasanya bersifat daftar yang harus dikerjaka n,
rangkaian langkah-langkah yang harus diikuti pembentukan pusat pengendalian krisis, tim
manajemen krisis dan prosedur komunikasi.

d. Rencana kontingensi untuk melanjutkan aktivitas selama krisis. Berisi berbagai kemungkinan
tentang fasilitas alternatif, pelayanan kepada pasar atau konsumen, atau kemungkinan menarik
produk.

e. Pengangkatan dan pelatihan tim manajemen krisis. Pembentukan tim manajemen krisis
menggunakan pertimbangan fungsional perusahaan, seperti Public Relations, hukum dan produksi.

f. Rencana komunikasi krisis. Meliputi siapa saja yang akan ditunjuk menjadi juru bicara dan
mengontrol informasi yang harus dikeluarkan agar tidak membingungkan khalayak sasaran,
pemilihan media dan penentuan pesan yang akan dikomunikasikan.

g. Evaluasi terhadap krisis. Strategi manajemen yang baik setidaknya harus memperhatikan
komponen-komponen diatas.
Sedangkan upaya penanggulangan krisis menurut Kasali (2003) dalam Loven dkk., (2016) adalah
sebagai berikut:

a. Identifikasi Krisis Untuk dapat mengidentifikasi suatu krisis, Public Relations perlu melakukan
penelitian. Bila krisis terjadi dengan cepat, maka penelitian harus dilakukan secara informal dan
kilat.

b. Analisa Krisis Sebelum melakukan komunikasi, Public Relations officer harus melakukan
analisis dari data yang telah diperoleh, maka tugas Public Relations selanjutnya adalah
menganalisis krisis yang dilakukan.

c. Isolasi Krisis Krisis layaknya seperti penyakit dan untuk mencegah krisis menyebar luas maka
krisis harus diisolasi, dikarantinakan sebelum tindakan serius dilakukan.

d. Pilihan Strategi Sebelum mengambil langkah pengendalian krisis, perusahaan perlu melakukan
penetapan strategi yang akan diambil.

e. Program Pengendalian Program pengendalian merupakan langkah penerapan yang dilakukan


menuju strategi generik yang dirumuskan.

Fink (2002 dalam Puspitasari, 2016) berpendapat, sesungguhnya komunikasi seharusnya sudah
dijalankan oleh organisasi jauh-jauh hari sebelum krisis terjadi. Menurut Fink (2002 dalam
Puspitasari, 2016), sangat penting bagi organisasi secara terus menerus dan konstan mengawasi
organisasi tersebut melalui upaya membangun hubungan yang baik dengan semua pemangku
kepentingan yang terkait, terutama dengan media massa. Jika hubungan yang baik terhadap media
sudah terbentuk, maka media menjadi tameng organisasi dalam menghadapi krisis. Dalam
menjalin hubungan dengan media terdapat dua tahapan yang dapat dilakukan organisasi dalam
menghadapi dan memperbaiki krisis, yakni:

1. Tahapan Menghadapi Krisis di Masa Depan Langkah yang mungkin dapat dilakukan
adalah sesegera mungkin dalam 1x24 jam organisasi dapat menghubungi media untuk
melakukan block up media terhadap isu yang berkembang. Sebelum pihak perusahaan
melakukan konferensi pers terkait masalah yang dihadapi, tentunya perusahan berusaha
sedini mungkin untuk mencari akar permasalahan yang terjadi untuk diinformasikan
kepada publik melalui media massa. Langkah yang dapat dilakukan adalah saring semua
informasi miring yang didapatkan dari media sosial dan cari jawaban isu dari masalah yang
terjadi sesuai fakta dari perusahaan. Libatkan peran serta karyawan untuk juga saling
menginformasikan pemberitaan yang benar melalui media sosial untuk melawan
pemberitaan yang miring yang bersumber dari masyarakat. Berikan pernyataan positif
terhadap pertanggungjawaban perusahaan terhadap masalah yang terjadi. Pernyataan ini
berasal dari pimpinan puncak tertinggi untuk mengkomunikasikan kepada publik melalui
media massa. Dengan langkah tersebut dapat mengurangi opini negatif bagi masyarakat
terhadap pemberitaan yang terjadi dan kembali berbalik kepada opini yang sudah dibentuk
organisasi terhadap masyarakat.
2. Tahapan Memulihkan Krisis dan Mengembalikan Reputasi Setelah tahapan menghadapi
krisis selesai, langkah selanjutnya adalah memulihkan dan mengembalikan kembali
reputasi perusahaan di mata publik. Langkah yang dapat diambil antara lain: a.
Mengumpulkan sejumlah prestasi yang telah dialami organisasi selama organisasi
terbentuk dan berikan informasi tersebut kepada masyarakat melalui media massa maupun
media online (Partao, 2005). b. Mengubah opini masyarakat akan citra negatif organisasi
menjadi opini yang positif terhadap organisasi, melalui periklanan yang memuat sejumlah
prestasi dan pelayanan organisasi, sehingga dapat meningkatkan reputasi perusahaan
kembali. c. Melakukan program CSR yang diliput oleh media (Yuningsih, 2005). d.
Mengadakan liputan media terhadap perbaikan yang telah dilakukan pasca terjadi krisis
sebagai bentuk tanggung jawab organisasi terhadap krisis yang dihadapi.

Purwaningwulan (2013) menyatakan bahwa Strategi Public Relations dalam Merespons Krisis
Perusahaan sebaiknya selalu memiliki rencana dalam menghadapi krisis dan menghindari
keputusan yang justru akan mebuat perusahaan terperosok lebih jauh dalam krisis. Mereka harus
tahu skenario terburuk yang akan terjadi dan harus mempunyai contingency plan dalam
menghadapinya. Apabila pencegahan krisis tidak berhasil maka menurut enam langkah berikut
segera harus di ambil :

1. Melakukan Penilaian yang objektif terhadap penyebab Krisis

2. Menentukan apakah penyebab terjadinya krisis memiliki dampak jangka panjang atau hanyalah
fenomena sesaat.
3. Perhitungkan setiap kejadian dalam krisis dengan cermat sehingga setiap peristiwa yang terjadi
dapat diantisipasi dengan baik.

4. Memusatkan perhatian pada upaya menyelesaikan masalah.

5. Memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk memperbaiki keadaan.

6. Segera bertindak untuk melindungi cash flow perusahaan.

Beberapa yang harus diperhatikan oleh Public Relations dalam merespon krisis adalah
(Purwaningwulan, 2013):

1. Perencanaan pra-krisis

Manajemen krisis membedakan situasi krisis menjadi pra-krisis dan krisis. Situasi prakrisis adalah
situasi yang tenang dan stabil, tampa tanda-tanda terjadinya krisis.Situasi krisis dirinci dalam
tahap-tahap peringatan, akut, kronik, dan pengakhiran. Pada tahap peringatan, hadir tanda-tanda
awal mengindikasikan kemungkinan terjadinya krisis, misalnya menurunnya produktifitas kerja
karyawan dan penurunan penjualan. Pada tahap akut terjadi kerusakan, pada tahap kronik akan
berlanjut lebih parah, dan pada tahap pengakhiran, krisis berakhir atau teratasi. Perencanaan pra-
krisis dapat dilakukan dengan membentuk tim yang bertanggung jawab dalam mengelola krisis.
Masing-masing orang di dalam tim memiliki tanggung jawab yang spesifik dan tugas yang
jelas.Lebih dari itu, kontak akan dibuat agar komunikasi bisa terjadi dengan cara dan waktu
yang tepat, tampa perlu mencari tahu.siapa yang harus dihubungi dan bagaimana menghubungi
mereka di saat krisis. Perencanaan krisis yang baik akan membantu Public Relations memahami
bagaimana cara mengelola krisis berikut langkah-langkahnya.

2. Upaya Penanggulangan krisis Public relations di dalam manajemen krisis dapat menanggulangi
krisis dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

• Peramalan krisis (forecasting) Manajemen krisis bertujuan untuk menekan faktor-faktor resiko
dan faktor ketidakpastian seminal mungkin.Setiap perusahaan menghadapi masa depan yang
selalu berubah dan arah perubahannya tidak bisa diduga. Untuk itu peramalan terhadap krisis
dilakukan pada situasi pra-krisis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengindentifikasi dan
menganalisa peluang (opportunity) dan ancaman (threat) yang terjadi di dunia bisnis. Untuk
memudahkannya manajemen dapat melakukan peramalan dengan memetakan krisis pada peta
barometer krisis.

• Pencegahan krisis (prevention) Langkah-langkah pencegahan sebaiknya diterapkan pada situasi


pra-krisis. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya krisis. Namun, jika krisis tidak dapat dicegah,
manajemen harus mengupayakan agar krisis tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar. Untuk
itu, begitu terlihat tanda-tanda kritis, segera arahkan ke tahap penyelesaian.

• Intervensi krisis (intervention) Langkah intervensi dalam situasi krisis bertujuan untuk
mengakhiri krisis pengendalian terhadap kerusakan dilakukan pada tahap akut. Langkah-langkah
pengendalian terhadap kerusakan diawali dengan identifikasi, isolasi, (pengucilan), membatasi
(limitation), menekan (reduction) dan diakhiri pemulihan (recovery).

3. Penyelesaian krisis

Untuk menyelesaikan krisis, manajemen harus memiliki crisis manajemen plans yang didesain
secara teliti untuk menghadapi berbagai level krisis yang mungkin terjadi. Oleh karena itu jika
terjadi kondisi kritis, perusahaan dapat mengidentifikasikan dan merespon dengan baik. Melalui
persiapan yang matang, pemimpin dapat memerintahkan bagaimana dan apa sebaiknya dilakukan
saat krisis terjadi, Mengantisipasi krisis dapat dilakukan dengan menggunakan perencanaan
strategi dan manajemen resiko. Setiap krisis harus dihadapi secara serius oleh pimpinan dan
disampaikan kepada public secara jujur. Pemimpin harus belajar dari setiap krisis yang terjadi.
Ketika terjadi krisis,hal-hal yang harus dilakukan oleh Public Relations antara lain mengemas
informasi terhadap publik dapat dilakukan dengan cara :

1. Instructing Information Informasi yang pada dasarnya berisi petunjuk atau pedoman apa yang
harus dilakukan oleh publik atau bagaimana publik bertindak dalam krisis.

2. Adjusting Information Informasi yang memungkinkan publik untuk mengatasi masalah-masalah


emosional mereka.

3. Internalizing Information Informasi yang akan diserap khalayak yang pada akhirnya akan
membentuk penilaian public terhadap sebuah organisasi dalam jangka panjang. Isi komunikasi
biasanya menyangkut inti krisis yang sedang dihadapi organisasi. Langkah-langkah yang sedang
ditempuh perusahaan, dan sebagainya. Publik perlu mengetahui hal ini, karena ini menyangkut
kepercayaan publik pada perusahaan. Biasanya Public Relations akan menggelar jumpa pers atau
press conference dan mengundang media untuk menghadiri, kemudian ada tim krisis dari crisis
centre perusahaan dan kemudian narasumber utama dari pimpinan perusahaan dan keluarga korban
(kalau ada) dan tentunya Public Relations tetap ada untuk memantau dan membuat report atas
krisis tersebut. Dan satu hal yang tidak bisa dihindari dan masih jarang dilakukan Public Relations
di Indonesia (kecuali Public Relations dari corporate yang besar) adalah HP atau mobile phone
harus selalu aktif 24 (dua puluh empat) jam. Hal ini penting karena media percaya pada
perusahan melalui Public Relations dan dari hubungan mutual understanding ini akan tercipta
mutual benefit yang berguna bagi kelangsungan hidup organisasi sebagai suatu organisme sosial
yang membutuhkan lingkungan internal dan eksternalnya.
DAFTAR PUSTAKA:
Akhyar, Dani M., & Pratiwi, Arum Sekar. 2019. Media Sosial dan Komunikasi Krisis: Pelajaran
dari Industri Telekomunikasi di Indonesia. Jurnal Ultimacomm Vol. 11 (1). Hal 32-52.
Tersedia pada
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:25ZOmnOsMikJ:https://ejournal
s.umn.ac.id/index.php/FIKOM/article/view/1112/777+&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id&cli
ent=firefox-b-d diunduh tanggal 6 November 2019
Loven, Rosalia Dwi Putri., Christin, Maylanny., Ilfandy, Ayub. 2016. Strategi Manajemen Krisis
Public Relations PT KAI Commuter Jabodetabek Pada Penanganan Kasus Kecelakaan Krl
Lintas Jakarta-Bogor September 2015. e-Proceeding of Management : Vol.3, No.2 Agustus
2016. Halaman: 2234-2249. Tersedia pada :
https://openlibrary.telkomuniversity.ac.id/pustaka/116701/strategi-manajemen-krisis-
public-relations-pt-kai-commuter-jabodetabek-pada-penanganan-kasus-kecelakaan-krl-
lintas-jakarta-bogor-september-2015.html diunduh tanggal 6 November 2019
Prastya, Narayana Mahendra. 2011. Komunikasi Krisis di Era New Media dan Social Media.
Jurnal komunikasi. Volume 6.(1). Oktober 2011. Hal 1-20. Tersedia pada
https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/6374 diunduh pada tanggal 10
November 2019.
Purwaningwulan, Melly Maulin. 2013. Public Relations Dan Manajemen Krisis. Majalah Ilmiah
UNIKOM Vol. 11 No. 2. Hal 166-175. Tersedia pada
https://jurnal.unikom.ac.id/jurnal/public-relations-dan.3n diunduh tanggal 6 November
2019.
Putri, Astri Wibawanti, Sutopo & Rahmanto, Andre Noevi. 2019. Komunikasi Krisis Kementerian
Pertanian Pada Kasus Penggerebekan Gudang Beras PT Ibu (Analisis Isi Kualitatif
Menggunakan Situational Crisis Communication Theory). Jurnal Studi Komunikasi Dan
Media. Vol. 23 No. 1 (Juni 2019) Hal : 53 – 70. Tersedia pada
https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/jskm/article/view/1765
Reynolds, Barbara & Seeger, Matthew W. 2005. Crisis and Emergency Risk Communication as
an Integrative Model. Journal of Health Communication. 10:43–55. Diunduh dari
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.475.2836&rep=rep1&type=pdf
pada 2 November 2019
Yanuar, Deni. 2017. Kekuatan Integrated Communication Untuk Membangun Reputasi Dalam
Menghadapi Krisis. Jurnal Komunikasi Global. Volume 6 (1). 2017. Hal 1-14. Tersedia pada
http://jurnal.unsyiah.ac.id/JKG/article/view/9179
COMMUNICATION CRISIS

Liputan saat menjenguk korban Konprensi Pers

Fungsi Humas memberikan bahan berupa data dan panduan akan statemen yang harus
disampaikan. Isu nya diarahkan pada aspek human interest, dengan ucapan berbela sungkawa,
manajemen bertanggung jawab atas semua biaya korban yang dirawat serta memberikan uang
duka serta asuransi kepada keluarga korban yang meninggal
Framing Isu ke hal yang positif
https://www.antaranews.com/berita/475021/seorang-lagi-korban-pohon-tumbang-kebun-raya-
bogor-meninggal

http://www.harnas.co/2015/01/16/kebun-raya-bogor-tetap-ramai-usai-insiden-pohon-tumbang

Anda mungkin juga menyukai