Anda di halaman 1dari 14

A.

DEFINISI KRISIS

Setiap organisasi dimungkinkan mengalami krisis dalam opera sional sehari-hari. Tetapi, krisis
berbeda dengan "problem". Praktisi Public relations sering berkata "saya punya krisis setiap hari"
yang sebenarnya adalah problem yang dapat dipecahkan atau dihindari. Krisis harus di-manage
dengan baik jika organisasi berkeinginan un tuk dapat bertahan dalam pertarungan yang ketat di era
Global saat ini. Setiap krisis mempunyai potensi memengaruhi citra organisasi, khususnya jika krisis
tersebut berkembang menjadi bencana yang mempunyai dampak luas bagi masyarakat. Dalam hal
ini, reputasi organisasi dapat menurun drastis dan membuat organisasi menja di objek kritikan dan
cemoohan masyarakat. Akibatnya, organisasi tersebut akan mengalami kerugian besar, seperti
menurunnya ting kat penjualan, modal, keuntungan, nilai saham, dan rasa percaya diri. Secara
umum, ada tiga kemungkinan dampak krisis bagi orga nisasi, yaitu: (a) organisasi tutup, diakuisisi
oleh organisasi lain atau dinyatakan bangkrut; (b) organisasi masih eksis tetapi mengalami

Public Relations, issue & Crisis Management

kerugian finansial, kehilangan kepercayaan publik, dan kehilangan market share, sehingga
membutuhkan waktu untuk kembali; dan (s) organisasi dapat menjaga reputasi dan bahkan dapat
lebih baik dan saat sebelum ditimpa krisis.

Banyak definisi tentang krisis diberikan oleh para akademi dalam berbagai literatur Public relations
maupun komunikasi org nisasi. Devlin dalam bukunya Crisis Management Planning & Ex cution
(Devlin, 2007: 5) mendefinisikan krisis sebagai "an unstable time for an organization, with a distinct
possibility for an le outcome", yang dapat diartikan sebagai sebuah situasi yang tidak stabil dengan
berbagai kemungkinan menghasilkan dampak yang tidak diinginkan. Dari definisi di atas dapat
dikatakan bahwa jika organisasi mengalami situasi krisis, maka prosedur-prosedur nor mal tidak
dapat berjalan baik yang menyebabkan ketidakstabilan Organisasi mengalami keterkejutan (shock).
Jika situasi ini terus berlanjut dalam waktu lama, akan menghasilkan beberapa hasil ne gatif yang
tidak diharapkan. undesirab

Borodzics (2005) mengatakan bahwa, krisis lebih dari sekadar situasi darurat (emergency). Memang,
kedua konsep-krisis dan emergency-mempunyai kemiripan, yaitu sama-sama membutuh kan
respons yang cepat dan sistematis. Tetapi, situasi emergency diartikan sebagai situasi
membahayakan yang dapat diatasi dengan menggunakan prosedur-prosedur atau mekanisme-
mekanisme nor mal, sehingga penyebab dan akibat yang ditimbulkannya dapat diprediksikan.
Contoh: sebuah gedung bertingkat tinggi telah di lengkapi prosedur "fire emergency". Prosedur itu
mengatur cara eva kuasi orang-orang dalam gedung ke tempat aman yang telah dide sain
sebelumnya. Sementara itu, dalam situasi krisis, yang bersifat situasional dan unpredictable
kepastian terjadinya, proses membuat keputusan untuk mengatasi masalah sering mengalami
kesulitan karena kurangnya informasi yang dibutuhkan tentang situasi yang terjadi.

Penjelasan lainnya tentang definisi krisis diberikan oleh Duke & Masland (2002), Mitroff (2005), dan
Kouzmin (2008). Mereka menekankan krisis sebagai situasi yang menyebabkan kerusakan kerusakan
fisik dan nonfisik, seperti peristiwa yang membahayakan wa manusia (meninggal atau luka-luka),
financial cost, merusak sis tem organisasi dan lingkungan secara keseluruhan, khususnya bagi
korban, dan kerusakan reputasi organisasi. Berdasarkan definisi ini, banjir lumpur Lapindo, Sidoarjo
sejak 2006, misalnya, dapat dikate gorikan sebagai krisis. Krisis tersebut menyebabkan kerusakan
fisik (korban jiwa, hilangnya harta benda, dan kerusakan lingkungan hi dup), kerusakan nonfisik
(hilangnya sistem sosial, budaya, ekono mi, psikologis, dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya, seperti
hidup di pengungsian dengan berbagai keterbatasan), dan terjadinya force displacement
(pemaksaan untuk meninggalkan kampung halaman).

Beberapa definisi lain, fokus pada krisis sebagai sebuah event atau peristiwa yang tidak diharapkan
dan memiliki ancaman bagi or ganisasi. Seeger, Sellow & Ulmer (1998), seperti dikutip oleh Smud de
(2001: 34), mendefinisikan krisis sebagai "a specific, unexpected, and non-routine event or series of
events that create high levels of un certainty and threaten or are perceived to threaten an
organization's high-priority goals." Dapat diartikan bahwa krisis biasanya peristiwa yang bersifat
spesifik, tidak diharapkan, dapat terjadi setiap saat dan merupakan rangkaian beberapa peristiwa,
menimbulkan ketidak pastian yang tinggi dan dapat mengancam tujuan-tujuan organisasi. Definisi ini
selaras dengan definisi Coombs (2007: 163), yaitu me nyatakan bahwa krisis adalah "a sudden and
unexpected event that threatens to disrupt an organization's operations and poses both a financial
and reputational threat" dan Fearn-Banks (2007: 6) yang menyatakan "a crisis is a major occurance
with a potentially negative outcome affecting an organization, company or industry as well as its
publics, products, services or good name."

Beberapa peneliti memfokuskan definisi pada tahapan-tahapan (proses) krisis, seperti Burnet (G.
Harrison, 2005: 7) mengata krisis sebagai "composed of a continuum, beginning with an inciden
followed by a conflict, and ending with a crisis, the most serious for of disruption." Definisi tersebut
mengurai krisis ke dalam bebera pa tahapan, yaitu tahap terjadinya insiden atau penyebab awal, d
lanjutkan oleh munculnya konflik, dan tahap terakhir adalah tahap krisis yang dapat menimbulkan
kerusakan serius. Berdasarkan pes dapat Penrose (2000) dan Duke & Masland (2002), istilah konfi
dan disruption pada definisi Burnet di atas, dapat dijelaskan sebag situasi yaitu peristiwa yang terjadi
berubah menjadi lebih serius dan membahayakan sehingga dapat merangsang investigasi berulang
ulang dari media massa dan pemerintah serta menjadi headline news setiap hari. Akibatnya, akan
mengganggu aktivitas sehari-hari organisasi dan menciptakan opini publik yang negatif.

Definisi krisis sebagai proses juga disampaikan G. Harrison (2005: 11) ketika melakukan riset tentang
strategi komunikasi seba gai dasar melaksanakan manajemen krisis, yaitu:

"A crisis is a critical period following an event that might negatively affect on organization in which
decisions have to be made that will affect the bottom line of an organization. It is a time of
exploration requiring rapid processing of infor mation and decisive action to attempt to minimize
harm to the organization and to make the most of a potentially damaging situation."

Artinya, krisis merupakan suatu masa yang kritis berkaitan de ngan suatu peristiwa yang
kemungkinan pengaruhnya negatif ter hadap organisasi. Karena itu, keputusan cepat dan tepat perlu
dila kukan agar tidak memengaruhi keseluruhan operasional organisasi. Pengambilan keputusan
pasti memerlukan pemrosesan informasi langkah berani untuk meminimalkan akibat yang tidak
diinginkan. Sebuah krisis cenderung menjadi sebuah situasi yang menghasilkan efek negatif yang
memengaruhi organisasi dan publiknya, produk nya, dan reputasinya. (Fearn-Banks, 2007; Mitroff,
2005)

Satu lagi definisi dari Ahmed (2006: 4). Dia memberikan definisi si berdasarkan tingkat kecepatan
krisis, tiba-tiba atau lambat, yaitu dengan membagi krisis menjadi dua: krisis bagaikan ular kobra
(the cobra) dan sebagai ular piton (the phyton). Krisis sebagai "the Cob na adalah krisis yang tiba-
tiba, seperti disaster, yang membuat or ganisasi terkejut dan langsung tercebur bebas ke dalam
krisis; krisis sebagai "the Phyton" adalah krisis yang datangnya lambat, melewati tahap demi tahap,
isu demi isu.

B. KARAKTERISTIK KRISIS

Dari beberapa definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bah wa krisis mempunyai beberapa
karakteristik. Karakteristik tersebut dapat dijadikan alat untuk membedakan antara krisis dan isu. Ka
rakteristik krisis antara lain:

1. Peristiwa yang Spesifik (Specific Event)

Penyebab krisis dapat diketahui. Suatu organisasi dapat meng alami satu macam krisis, seperti
demonstrasi karyawan atau krisis yang menerpa produknya. Tetapi, dimungkinkan pada saat yang
sama, organisasi tersebut mengalami dua jenis atau lebih krisis. Le bih dari satu krisis dimungkinkan
muncul karena dalam suatu krisis dapat mengandung banyak isu dan isu-isu ini dapat berubah men
jadi krisis, atau setidaknya membuat krisis makin meluas, jika tidak dikelola dengan baik. "An issue
ignored, a crisis ensured," kata Re gester & Larkin (2008:95) dan "series of events." (Seeger, dkk.,
dalam Smudde, 2001: 34). Kemungkinan munculnya lebih dari satu krisis juga diperkuat Devlin
(2007) saat menyarankan organisasi untuk membuat perencanaan krisis yang bersifat inklusif, yaitu
menyelu ruh, tidak hanya ditujukan pada satu jenis krisis, tetapi, juga dapat digunakan sebagai
pedoman untuk jenis krisis lainnya. "Organizati on are exposed to more than one type of crisis, ...
The plan will identify these actions based on the specific type of crisis" kata Devlin (2007: 2).

2. Krisis Tidak Dapat Dihindari (Inevitable)

Krisis bersifat tidak diharapkan, dapat terjadi setiap saat, tida dapat dihindari, dan tidak dapat
dipastikan kapan terjadi. Krisis on derung mengancam kehidupan organisasi atau publiknya, sehing
ga tidak seorang pun dalam organisasi yang mengharapkan kris terjadi. Krisis terjadi sebagai bagian
dari aktivitas organisasi. Kris tidak diharapkan karena dapat menghasilkan kerusakan, ancaman,
menimbulkan korban jiwa, dan dapat mengubah sistem sosial buda ya. Krisis bersifat tidak terduga
dan tiba-tiba (sudden), bukan berarti sama sekali tidak dapat diduga dan bukan berarti tanpa
penyebab/pe micu (bukan kok tiba-tiba terjadi). Mengacu pada Coombs (2007 136), masih ada
kemungkinan organisasi dapat mengerti, mengeta hui atau memprediksi bahwa suatu isu jika tidak
diatasi dengan baik akan memicu krisis, tetapi organisasi tidak dapat memastikan kapan krisis
tersebut terjadi. Hal ini diperkuat pernyataan Mitroff (2001) bahwa krisis dapat saja terjadi meski
sudah diantisipasi, diketahui, dan sudah mempunyai perencanaan, tetapi, krisis paling banyak ter
jadi karena tidak diantisipasi dan tidak diketahui.

Krisis bersifat tidak dapat dihindari (inevitable) dapat diarti kan bahwa setiap organisasi
dimungkinkan mengalami krisis. Sifat inevitable ini makin tampak karena peristiwa krisis biasanya
men jadi perbincangan publik dan makin membesar ketika media gen car memberitakannya.
Anthonissen (2008: 9) pun menyebut "there are no guarantee," artinya, tidak ada jaminan bagi
organisasi untuk terhindar dari krisis, tidak ada jaminan besar kecilnya krisis, dan apakah krisis dapat
dikelola dengan baik serta apakah akan meng hasilkan kerusakan luar biasa atau tidak. Yang dapat
dihindari oleh organisasi adalah tidak sering mengalami krisis, dampaknya tidak besar/terlalu besar,
dan tidak merembet ke mana-mana (cakupan krisis terbatas). Organisasi harus berusaha
mengantisipasi apa pun isu yang potensial mendatangkan krisis. Bencana (banjir, gunung meletus,
tanah longsor), memang sulit dihindari dan kapan pun dapat terjadi, tetapi, dalam beberapa kasus,
sebenarnya dapat di antisipasi dengan melakukan persiapan. Misalnya, tidak menebang pohon
sembarangan yang membuat hutan gundul, tidak membuang sampah sembarangan atau membuat
persiapan antisipasi jika ben cana itu datang: Setiap maskapai penerbangan mesti menyiapkan diri
karena memiliki peluang mengalami kecelakaan udara (meski tidak diharapkan), apalagi transportasi
udara memiliki risiko kese lamatan tertinggi daripada transportasi darat dan laut; Perusahaan
farmasi mesti bersiap diri agar tidak terjadi keracunan akibat obat yang diproduksinya tercampur zat
kimia lain. Jika masih terjadi kri sis, organisasi semestinya sudah mempunyai rencana antisipasi un
tuk mengatasinya.¹

3. Krisis Menciptakan Ketidakpastian Informasi

Pada awal krisis, biasanya muncul rumor. Rumor adalah infor masi yang tidak jelas dari mana
asalnya, siapa yang membawanya, dan kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Rumor
ter jadi karena setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengira ngira atau membuat analisis
sendiri tentang apa yang terjadi. "Cri sis can, and often do, begin with rumor." (Fearn-Banks, 2007:
66). Hal ini diperparah dengan terjadinya kekurangan informasi atau sebaliknya, informasi yang
beredar terlalu banyak. Baik kondisi kekurangan maupun kelebihan menghasilkan akibat yang sama,
yaitu kebingungan dan ketidakpastian. Untuk mengatasinya, Pub lic relations mesti proaktif dan
menyediakan saluran komunikasi yang dapat menyebarkan informasi yang benar kepada publik. Jika
tidak, maka rumor akan menyebar keluar organisasi. Menurut G. Harrison (2005), aktivitas Publik
relations dalam menyediakan pe san-pesan yang relevan dengan situasi krisis dan membuka s
komunikasi yang terbuka, disebut sebagai komunikasi krisis (crisis saluran communication).

4. Menimbulkan Kepanikan dan Keterkejutan

Kepanikan ini dapat dirasakan oleh organisasi sendiri mau pan publik. Organisasi yang tidak memiliki
kesiapan (yaitu, tidak mempunyai strategi crisis plan atau manajemen isu), belum terlatih untuk
mengantisipasi kemungkinan terburuk yang terkait dengan operasional organisasi. Kepanikan harus
cepat diselesaiakan dengan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Kepanikan dapat ter i
akibat ketidakpastian dan kekurangan informasi. Situasi ini me munculkan rumor yang tidak jelas
sumber dan kebenarannya dan jadi membuat situasi makin kacau.

Kepanikan ini juga semakin besar akibat munculnya banyak stakeholder yang menjadi sangat
memperhatikan dan terus menge jar-ngejar organisasi, seperti LSM, media, facebookers, bloggers,
acti vis lingkungan dan masih banyak lagi. Pada situasi normal, biasanya organisasi hanya
berinteraksi dengan sedikit stakeholder.

5. Menimbulkan Dampak Positif atau Negatif bagi Operasional Organisasi

Krisis menimbulkan dampak bagi operasional organisasi. Dam pak ini dapat bersifat merusak atau
negatif, seperti penurunan pro fit, boikot produk, bangkrut, dituntut secara hukum, banyak ma najer
senior dan karyawan yang keluar, penurunan kepercayaan publik, pemerintah dan publik tiada henti-
hentinya memberikan perhatian besar atau bahkan menginvestigasi organisasi, mengan cam
reputasi dan nama organisasi, perubahan yang bersifat tidak produktif (misalnya, kehilangan modal,
pengunduran diri karya wan dan pemutusan hubungan kerja massal, dan hilangnya waktu untuk
mengatasi konflik). Krisis juga dapat memunculkan dampak yang tidak terduga-duga, seperti
masalah-masalah yang selama ini terpendam tiba-tiba muncul ke permukaan dan munculnya kompe
titor baru. Tetapi, krisis juga berpotensi menjadi awal yang baik bagi organisasi, seperti munculnya
pahlawan baru atau seseorang yang akhirnya menjadi pemimpin baru yang membawa organisasi
keluar dari krisis, munculnya strategi-strategi baru (misalnya, c mulai berpikir perlunya strategi
komunikasi baru atau sistem", warning yang baru), munculnya kebijakan-kebijakan baru (misal nya,
organisasi membuat aturan baru untuk mencegah krisis terjadi lagi), relasi publik menjadi lebih baik,
dan peluang memunculkan perubahan yang lebih baik. Agar krisis dapat menjadi titik balik me nuju
yang lebih baik, maka organisasi dituntut merencanakan dan melaksanakan strategi krisis dengan
baik selama dan sesudah krisis (crisis aftermath/post crisis) dengan dukungan post crisis communi.
cation yang baik. "Crisis does not only mean a danger. It also means an opportunity." (Devlin, 2007:
5) dan "Crisis as a nity, or both is still unresolved and relatively undebated issue." (Kouz min, 2008:
155). Kisah berikut adalah kesuksesan Ford mengubah krisis menjadi hasil yang positif. dilemma,
opportu. organisas "early

Ford pernah menghadapi krisis "product recall", yaitu menarik kembali mo bil-mobil yang sudah
diluncurkan di pasar. Gerald Meyers, former head of American Motors, menekankan bahwa strategi
recall ini dapat memberi kan peluang bagi Ford Corporation untuk membangun relasi lebih kuat lagi
dengan konsumennya. Meyers mengingatkan bahwa Saturn, pada 1994, melakukan recall terhadap
322 ribu mobil akibat masalah kabel kelistrikan mobil. Ketika konsumen mendatangi dealer untuk
pengganti an produk, dealers mengadakan kegiatan piknik bersama, mencuci mobil konsumen, dan
menyediakan acara hiburan. Konsumen meninggalkan de aler dengan sikap positif dan rasa
khawatirnya hilang. Krisis menjadi titik balik yang positif. (Devlin, 2007: 9)

6. Berpotensi Menimbulkan Konflik


Konflik terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Konflik dapat terjadi di
internal organisasi atau juga antara organisasi dan publik eksternal (konflik eksternal). Krisis
memunculkan pro dan kontra dan debat publik akibat pemberita an media massa dan perhatian
publik yang terus-menerus. Konflik bukan hanya terjadi antara organisasi dan publik eksternal,
tetapi, dimungkinkan juga terjadi di antara anggota (internal) organisasi. Krisis yang menimpa Partai
Demokrat adalah contohnya.

C. SUMBER DAN JENIS KRISIS

Dari Devlin (2007); G. Harrison (2005) dan White & Mazur (1995) dapat dideskripsikan bahwa secara
umum krisis dapat dise babkan oleh dua sumber, yaitu dari dalam organisasi dan dari luar organisasi.
Sumber krisis dari dalam organisasi antara lain: sumber Public Relations, issue & Crisis Management

daya manusia yang bekerja di organisasi itu, manajemen, dan tekno logi. Sumber dari luar, yaitu
peraturan-peraturan pemerintah, ben cana alam, dan kerusakan yang dilakukan orang lain
(malevolence). Semua sumber krisis yang disampaikan di buku ini, sebenarnya da. pat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu mengadopsi jenis krisis dari Mitroff (2001): (i) man made, yaitu
krisis yang disebabkan langsung oleh kesalahan manusia. Disebut juga human-caused crisis atau hu
man error, dan (ii) natural crisis, yaitu krisis yang disebabkan faktor alam.

1. Krisis Teknologi

Krisis yang disebabkan oleh kesalahan penggunaan teknologi tertentu dalam operasional organisasi.
Contoh: kasus ledakan nuklir Chernobyl di Rusia, kesalahan pengeboran yang diduga menyebab kan
lumpur meluap di Sidoarjo Krisis Lumpur Lapindo, 2006 sam pai sekarang, menewaskan 14 orang
dan membuat 60 ribu kehilangan rumah dan desanya, bocornya kilang kimia di Bhopal India yang
menewaskan ribuan orang pada 1980-an atau tumpah nya minyak dari tanker milik Exxon Valdez
yang mencemari Alaska pada 1989. Peluncuran roket milik Korea Utara pada April 2012 me
nimbulkan krisis antara Korea Utara dan beberapa negara tetang ga adalah krisis yang disebabkan
oleh penggunaan teknologi roket yang dituduh oleh negara-negara Barat membawa nuklir yang dila
rang oleh PBB (meski tuduhan ini tidak terbukti). orang

2. Krisis Konfrontasi

Relasi yang buruk antara organisasi dan publik (masalah pada industrial relations dan communinity
relations) dapat merangsang terjadinya konfrontasi, yang akhirnya memicu krisis. Ini terjadi bila
publik mengekspresikan kemarahannya (publik outrage) kare na ketidakpuasannya terhadap operasi
sehari-hari organisasi. De monstrasi besar-besaran menentang kenaikan bahan bakar minyak di
tahun 2012 adalah krisis akibat tindakan pemerintah yang akan menaikkan BBM: seorang karyawan
yang melaporkan pimpinan atau organisasi ke pengadilan. Termasuk di sini adalah krisis yang
disebabkan opini publik yang negatif terhadap organisasi.

3. Krisis Malevolence

Terjadi bila seseorang atau sekelompok mempunyai keingin an untuk menjatuhkan atau
membahayakan organisasi, seperti sa botase atau teroris yang mengebom area bisnis dan
mengganggu aktivitas organisasi. Bom Bali, 2002 yang menewaskan 202 orang adalah contoh krisis
bagi Pemerintah Indonesia yang diakibatkan ulah manusia yang merusak. Tetapi, krisis malevolence
ini bukanlah kejadian yang tanpa sebab. Organisasi harus mengevaluasi kaitan antara tindakan
seseorang yang menyerang dan aktivitas organisasi. Contoh: krisis yang menimpa dua menara
kembar di Word Trade Center, Amerika Serikat, akibat ulah kelompok yang mengatasna makan umat
Islam yang kecewa terhadap imperialis ekonomi dan ideologi dunia Barat, termasuk agresi Israel
terhadap Palestina yang menurut mereka didukung Amerika Serikat dan sekutunya.²

4. Krisis Manajemen dan Perilaku Karyawan

Terjadi karena kelompok manajemen gagal melaksanakan tang gung jawabnya. Sebagai contoh:
korupsi yang dilakukan manajemen, seorang manajer bank yang kalah dalam permainan valas,
pergan tian manajemen, take over (akuisisi), masalah keuangan, bangkrut, operasional organisasi
yang salah (salah prosedur dalam pengebor an, membuat iklan bohong) atau manajer/karyawan
yang berbuat kriminal. Kasus-kasus korupsi wisma atlet dan proses pemilihan ketua partai yang
melibatkan para petinggi Partai Demokrat pada 2011-2012 adalah krisis yang bersumber pada
perilaku manajemen partai. Contoh lain, Ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap tangan pada 2013
dalam kasus korupsi dan di ruang kerjanya ditemukan narkoba. Kisah berikut adalah cerita tentang
krisis yang disebabkan kesalahan kelompok manajemen. Pada Minggu pagi 28 Desember 2014,
pesawat Airasia rute Surabaya.

Singapura jatuh dan tenggelam di Laut Jawa. Sampai tulisan ini dibuat, dari 162 penumpang plus
awak pesawat, baru 51 korban ditemukan me ninggal dunia, sisanya masih dalam pencarian Badan
SAR Nasional. Sel ring dengan proses pencarian dan penyelamatan, muncul berbagai isu,se perti isu
keselamatan penerbangan, isu regulasi penerbangan yang kacau hingga isu murahnya tiket sebagai
penyebab insiden. Setelah Kementeri an Perhubungan RI melakukan investigasi, ditemukan bahwa
Airasia me izin terbang. Seharusnya mereka tidak mempunyai jadwal (izin) terbang pada Minggu
pagi, tetapi tetap terbang. Menteri Perhubungan segera memberikan sanksi pencabutan izin rute
Airasia dan beberapa maskapai lainnya dan juga memberikan sanksi kepada pejabat kemente rian
yang terkait dengan pelanggaran izin ini. Krisis ini dapat dikatakan kesalahan manajemen Airasia
yang berani terbang tanpa izin. Sampai de ngan dua minggu kejadian, muncul analisis tentang
kejadian, antara lain: karena cuaca, tidak berfungsinya salah satu komponen, termasuk juga human
error. Penerbangan tanpa izin, murahnya tiket pesawat menjadi stimulus isu keselamatan. Kebetulan
Airasia dengan jargon "now everyone can fly" dikenal dengan tiket murah sehingga memungkinkan
orang dapat mempunyai daya beli tiket. Hingga tulisan ini dimuat, kotak hitam pesa wat masih
dalam penyelidikan.

Di bawah ini adalah krisis yang disebabkan kebijakan manaje men dan perilaku karyawan.

Seorang sopir perusahaan otobus Greyhouse menyuruh perempuan lan jut usia (80 tahun) untuk
turun dari bus, saat bus berada di pemberhentian truk di suatu pedesaan pada pukul 03.00 pagi. Bus
berhenti pada 80 me ter dari rumah perempuan itu. Perempuan itu diminta turun karena pe
rempuan itu membawa anjing saat naik bus. Hal ini melanggar peraturan perusahaan. Padahal, anak
anjing itu hadiah ulang tahun bagi perempuan itu. Perempuan yang mempunyai masalah pada
kakinya dan sudah sulit mendengar serta agak rabun ini baru saja mengunjungi anaknya. Polisi se
telah mendapat laporan segera mengantar perempuan itu pulang. Sopir bus diberhentikan
sementara untuk penyelidikan. Greyhouse menyata kan permohonan maaf dan memberikan ganti
rugi kepada penumpang itu.

5. 5. Kekerasan di Lingkungan Kerja (Workplace Violence) Segala bentuk kekerasan yang terjadi di
lingkungan kerja. Keke

rasan ini dapat dilakukan oleh pihak manajemen maupun karyawan secara sengaja, seperti
penyekapan karyawan di tempat kerja oleh pihak manajemen. Dapat pula dilakukan oleh pihak di
luar orga nisasi, seperti manajer yang terbunuh di ruang kantornya. Pernah Amerika beberapa tahun
lalu, seseorang yang telah dipecat oleh perusahaannya, tiba-tiba datang lagi ke kantor bekas
perusahaannya 1 membawa senjata api. Kemudian dia menembak membabi buta sehingga
beberapa orang meninggal dunia. Yang bersangkutan dengan kemudian bunuh diri. Peristiwa ini
dapat memunculkan krisis, ka rena ada potensi isu, yaitu isu pemecatan dan ketidakpuasan karya
wan, sehingga jika tidak dikelola dapat memunculkan krisis.

6. Krisis Bencana Alam

Krisis yang disebabkan oleh bencana alam yang memengaruhi aktivitas organisasi, seperti banjir,
tanah longsor, dan gempa bumi. Contoh: Tsunami di Aceh, 26 Desember 2004, yang menewaskan
216 ribu orang dan kerusakan harta benda; angin dahsyat Hurrica ne Katrina yang menyerang
Amerika Serikat bagian Tenggara pada Agustus 2005, menewaskan 4 ribu orang, me-rusak 160 ribu
rumah dan membuat 900 ribu orang kehilangan pekerjaan dan meletusnya Gunung Merapi di Jawa
Tengah.

Tetapi, batasan becana alam ini perlu dipertegas lagi. Apakah banjir di Ja karta itu bencana alam?
Apakah banjir di Jakarta ini adalah krisis akibat kesalahan manusia, seperti akibat membuang
sampah di sungai, membu ang limbah di sungai, tata kota yang semrawut, yaitu membangun gedung
bertingkat tanpa rencana dan tanpa drainase yang bagus, drainase kota yang penuh sampah, sungai
yang tidak dikeruk. Semuanya adalah man mode dan makin parah karena letak Jakarta yang rendah,
curah hujan, dan air kiriman dari sungai-sungai di luar Jakarta.
Bencana tanah longsor di Banyumas (November 2014) yang menewaskan seratusan orang, apakah
juga bencana alam? Apakah bukan karena kete

ledoran manusia? Penggundulan hutan? Pemerintah yang tidak melarang bertempat tinggal di
daerah itu karena sudah diketahui rawan longsor?

7. Krisis Produk

Krisis yang diakibatkan oleh masalah pada produk. Ada bebe. rapa jenis, antara lain: (a) kredibilitas
produk, krisis akibat produk dianggap tidak efektif, kredibel, dan tidak memuaskan. Contoh tentang
Ribena di atas menunjukkan produk tidak memiliki kredi. bilitas karena antara yang diiklankan tidak
sama an produk; (b) product tampering, jika produk dituduh membuat konsumen meninggal, sakit,
keracunan atau terluka. Kisah berikut tentang krisis yang disebabkan product tampering. dengan
kenyata

Perusahaan Burroughs Welcome di North Carolina (1991) menarik kem bali (recall) kapsul pereda
demam Sudafed 12-hour setelah diedarkan secara nasional. Kapsul ini ditarik setelah seorang
perempuan berusia 28 tahun pingsan (sempat koma tetapi masih dapat bertahan hidup) setelah
meminum kapsul itu. Ternyata kapsul itu mengandung bubuk cyanide. Tiga minggu kemudian
seorang perempuan berusia 40 tahun dan lelaki berusia 44 tahun meninggal setelah
mengonsumsinya. "Kami bergerak cepat un tuk mengingatkan publik dan menarik lagi semua produk
kapsul Sudafed 12-hour dari retail. Kami menyampaikan simpati kepada keluarga korban, dan kami
menjamin bahwa perusahaan akan menginvestigasi insiden se cara cepat dan menyeluruh," kata
Philip Tracy, president and chief executive officer. Perusahaan menawarkan $100 ribu untuk yang
memberikan in formasi yang memberi petunjuk siapa yang bersalah dalam menyebabkan kasus
keracunan ini. (Devlin, 2007: 13)

8. Tahapan Krisis

Dari beberapa definisi krisis, dapat dideskripsikan bahwa krisis tidak terjadi begitu saja, tetapi,
merupakan sebuah proses kejadian. Steven Fink, dikutip di Coombs (2010), adalah orang pertama
yang melakukan kajian ilmiah pada manajemen krisis melalui buku Cri sis Management: Planning for
the Inevitable pada 1986. Fink pula yang pertama menyimpulkan bahwa krisis terjadi melalui bebera
pa tahap, yang disebut model perkembangan krisis: (a) prodromal, adanya tanda-tanda peringatan
munculnya krisis; (b) acute, tahap terjadi krisis; (c) chronic, yaitu periode pemulihan yang masih ada
kehati-hatian dari sisa-sisa krisis. Pada tahap ini, peristiwa krisis masih tersimpan dalam ingatan
orang-orang untuk waktu yang cukup lama; dan (d) crisis resolution, organisasi dapat melakukan
aktivitas secara normal lagi. Selain Fink, buku ini juga menyampai kan tahap krisis dari Edward Devlin
(2007): prakrisis, krisis (acute crisis), dan pascakrisis (post-crisis) dan Feran-Banks (2002), yaitu
deteksi, pencegahan/persiapan/menjaga/membatasi, pemulihan, dan pembelajaran. Pemikiran
ketiga tokoh ini dikolaborasi untuk men jelaskan tahapan krisis, yaitu:

Steven Fink (1986, di Coombs, 2010)

Prodomal

Acute

Chronic Resolution

Edward Devlin (2007)

Prakrisis (pre-crisis)

Krisis (acute crisis)

Pascakrisis (post-crisis)

Kathleen Fearn-Banks (2007)

Deteksi Pencegahan/ Persiapan Menjaga/Membatasi Krisis

Pemulihan Pembelajaran

9. Prakrisis (Pre-Crisis)

Prakrisis terjadi ketika situasi serius mulai muncul dan orga nisasi menyadarinya. Pada tahap ini,
anggota organisasi-baik ma najemen maupun karyawan-dimungkinkan telah mengetahui tanda-
tanda akan terjadinya krisis. Seharusnya tanda-tanda ini di laporkan ke manajemen puncak untuk
dilakukan strategi respons nya. Devlin menyebut "pre-crisis warning. (2007: 107). Tetapi, jika situasi
tersebut dibiarkan tanpa mengambil tindakan pencegahan, maka dapat membuat situasi
berkembang menjadi krisis yang besar. Masa ini disebut prodromal karena muncul tanda-tanda,
langsung atau tidak langsung. Contoh tanda yang langsung: krisis malaprak tik dokter di rumah sakit
X harusnya menjadi tanda (prodromal) bagi rumah sakit lainnya agar melakukan deteksi dan
pencegahan/ persiapan supaya a tidak terjadi lagi. Tanda yang langsung tanda yang dapat dirasakan
saat itu, seperti krisis Bhopal pada kisah di bawah ini. Beberapa petugas telah mengetahui tanda-
tanda adanya kebocoran di pabrik kimia Union Carbide. Tetapi, antisipasi kebocoran ini tidak
disampaikan ke pabrik Union Carbide yang ada di Bhopal Akibat tidak tersambungnya informasi ini,
menyebabkan pabrik di Bhopal bocor dan gas kimianya menewaskan sekitar 2.000 orang. Pada
tahap ini, kesiapan menghadapi krisis adalah faktor terpen ting. Kesiapan ini diperoleh dari upaya
mengantisipasi kemung. kinan-kemungkinan munculnya krisis (melalui manajemen isu). Jika
memang krisis tidak dapat dihindari, tetapi karena sudah dian tisipasi lebih awal maka organisasi
sudah mempunyai perencanaan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi situasi terburuk. Yang
harus dilakukan manajemen adalah cepat melakukan tindakan agar situasi tidak berkembang
membesar dengan mengacu pada crisis plan yang mestinya sudah dimilikinya. Secara umum, seperti
yang dikatakan Devlin, memang situasi serius di tahap ini belum terli hat atau diketahui publik
eksternal dan masih terbatas, tetapi, saya berpendapat bahwa ada kemungkinan media massa mulai
mencium adanya sesuatu yang tidak beres terjadi, apalagi jika situasi serius itu terkait dengan
kepentingan publik, tetapi, situasi serius ini masih belum tersebar luas. Organisasi pada tahap ini
harus sudah bersiap siap meladeni wartawan yang sudah mulai melakukan investigasi untuk
memberitakannya kepada masyarakat. Contoh: Saat terjadi krisis produk tampering yang menimpa
Tylanol (produksi Johnson & Johnson), yang memberitahu perusahaan pertama kali adalah se orang
wartawan. Kebetulan wartawan ini memiliki kedekatan relasi dengan Public relations sehingga dia
melakukan konfirmasi dahulu kepada perusahaan. Manajemen langsung cepat tanggap dalam me
respons melalui product recall terhadap 30 juta kapsul dari toko re tail maupun yang sudah dibeli
orang, sebelum jatuh banyak korban dan sebelum kejadiannya membesar.biasanya tahap pre-crisis
dapat berubah ke tahap krisis karena

gagal melakukan pencegahan (preventif) atau persiapan, yang anta ra lain: (a) manajemen tidak
mempunyai crisis-plan, termasuk tidak i akitivitas manajemen isu sehingga sulit mendapat infor
mempuyai masi awal; (b) manajemen menganggap remeh isu atau situasi serius (underestimate); (c)
manajemen terlalu yakin dapat mengatasi krisis jika sudah terjadi karena merasa mempunyai
pengalaman dan staf yang hebat (overestimate/overconfident). Hal ini seperti dikatakan Miller
(1999: 6) bahwa, "Today many companies wrongly believe that by putting together of crisis manual,
they are fully prepared to handle any crisis that comes their way"; (d) manajemen mengabaikan
tanda anda munculnya isu; dan (e) sudah diingatkan tetapi berupaya menutupi. Organisasi
sebenarnya mendapat informasi awal, tetapi, karena khawatir diketahui publik, khawatir
mengganggu reputasi, maka memilih menutupi informasi itu. Bahkan dalam banyak ka sus, si
pemberi informasi itu dipecat atau dimutasi. Contoh: seorang anggota polisi di Nusa Tenggara Timur
berpangkat brigadir ditahan (dengan alasan melakukan kekerasan dalam menangkap tersangka).
Banyak pihak menilai kejadian ini muncul akibat si brigadir me laporkan atasannya (Direktur Reserse
Polda NTT) ke mabes Polri Jakarta karena menghentikan penyelidikan terkait kasus perdagang an
manusia yang dilakukan sebuah perusahaan swasta. Menurut si brigadir, penghentian kasus ini tidak
wajar karena kasus seharus nya masih dapat ditindaklanjuti. Kondisi ini dikenal sebagai "whist
leblower" atau menurut Devlin (2007: 113) dikenal dengan istilah "kill the messenger." (f) Organisasi
harus memberikan informasi ke publik bahwa organisasi telah melakukan tindakan-tindakan untuk
mengatasi masalah/isu. Jadi, tidak cukup dengan bertindak benar, tetapi, juga harus menyampaikan
tindakan itu ke publik sehingga Dapat mengubah persepsi publik menjadi positif
10. 10. Krisis (Acute Crisis)

Tahap krisis (krisis akut) terjadi ketika situasi tidak dapat di manajemen dengan baik oleh organisasi
sehingga situasi tersebut menyebar luas ke luar organisasi. Sudah terjadi krisis. Contoh lain adalah
kasus makanan beracun (misalnya, biskuit dan mi instan atau pemogokan karyawan menuntut
kesejahteraan. Sebenarnya ke dua jenis krisis ini dapat dihindari jika manajemen melakukan an
tisipasi sebelumnya. Jika manajemen menyadari bahwa biskuit yang diproduksinya mempunyai
potensi membuat orang keracunan, maka mereka akan selalu melakukan pengawasan ketat
terhadap ku alitas produk. Jika public relations menyediakan saluran komunikasi dua arah timbal
balik yang terjaga sifat personalnya/kerahasiaannya (sehingga membuat karyawan bebas
menyampaikan pendapat/ke luh kesah), maka ketidakpuasan yang berujung demostrasi dapat di
kurangi. Pada tahap ini, tidak ada lagi upaya preventif menghindari krisis. Jalan terbaik yang
dilakukan adalah meminimalkan akibat krisis, jangan munculkan korban-korban baru, sediakan
informasi yang cukup, termasuk mengisolasi krisis agar tidak meluas (damage control). Prioritasnya
adalah menjamin keselamatan publik, bukan berkutat untuk mencaritahu penyebab krisis.
Meskipun, misalnya, belum dapat dipastikan secara ilmiah karena masih menunggu tes
laboratorium, produk yang "beracun" tersebut langsung saja ditarik dari pasaran terlebih dahulu.
Manajemen krisis tetap harus diba rengi manajemen isu untuk mengidentifikasi isu-isu susulan yang
berpotensi memperluas krisis. Juga patut diwaspadai pada tahap ini, ada kemungkinan kredibilitas
manajer berkurang karena pemilik perusahaan atau CEO sudah meragukan atau tidak percaya pada
kemampuan manajer dalam melaksanakan tugas; terjadi saling me nyalahkan; mencari selamat
masing-masing.

Kisah ini tentang ketidakpuasan karyawan yang terpendam mengakibat kan krisis. Pada 1992,
perusahaan Bear Truss & Components di Missouri, Amerika Serikat, tidak memberikan bonus akhir
tahun kepada karyawan. Setelah pesta perayaan Natal yang dilakukan perusahaan, terjadi keba
karan di perusahaan itu. Petugas pemadam datang untuk memadamkan. api. Dalam penyelidikan,
pemilik perusahaan meyakini bahwa penyebab kebakaran sudah direncanakan dan dilakukan oleh
dua karyawan yang kecewa tidak mendapat bonus. Akibat kebakaran, perusahaan mengalami krisis
keuangan karena rugi $1.25 juta. Pada 1980, perusahaan Broward County Courthouse, Florida,
Amerika Serikat, mengalami kebakaran di ruang komputer sehingga rugi $150 ribu. Seorang
karyawan wanita mengaku telah membakar ruang itu. Dia mengaku kecewa atas pekerja annya dan
kepada manajer. (Derlin, 2007)

Ada dua peristiwa yang menunjukkan suksesnya mengelola krisis yang dilakukan Pemerintah
Indonesia: Peristiwa kecelakaan super jet 100 Sukhoi milik Rusia yang sedang demo flight di Gunung
Salak, Jawa Barat (2013) dan jatuhnya pesawat Airasia di Laut Jawa pada Desember 2014. Dalam
waktu singkat setelah kejadian diketa hui oleh menara kontrol bandara (hilang kontak dengan
pesawat), tim gabungan dari SAR, TNI, Polisi, Komite Nasional Keselamatan Transportasi langsung
bergerak dan dibantu masyarakat. Untuk Su khoi, posko didirikan di sekitar lokasi dan di Halim
Jakarta, yang memungkinkan akses informasi secara terbuka. Presiden SBY pun langsung
mengunjungi keluarga di posko Halim dan menjalin kerja sama dengan pihak Rusia. Untuk Airasia,
langsung dibentuk crisis centre di Bandara Juanda dan Wakil Presiden, Jususf Kalla, pada hari
pertama sudah mengunjungi kantor Basarnas dan keluarga korban di Juanda. Keesokan harinya,
Presiden Jokowi yang baru selesai tu gas di Papua langsung melakukan hal yang sama seperti yang
dila kukan Wapres, Penanganan cepat untuk Airasia bahkan mendapat apresiasi dunia internasional,
keluarga korban, dan masyarakat luas, crisis

11. Pascakrisis (Post-Crisis)

Terjadi ketika krisis sudah terakumulasi dan organisasi ber upaya mempertahankan citra positif atau
kehilangan citra terse but. Masa ini organisasi berupaya untuk memperbaiki segala akibat yang
ditimbulkan krisis (recovery). Berbagai upaya di masa ini yang menentukan citra organisasi,
menentukan gagal tidaknya manaje men mengatasi krisis. Jika gagal, kemungkinan terburuk adalah
ke. bangkrutan. Jika manajemen dapat mengendalikan krisis, misalnya para korban mendapat
santunan, produk ditarik kembali, penyebab sudah diketahui, maka fase ini juga dapat digunakan
untuk refleksi diri agar situasi yang sama tidak terulang. Tetapi, organisasi masih harus waspada
mengingat sisa-sisa peristiwa krisis belum sepenuhnya hilang karena sebagian publik masih
menyimpannya dalam memori mereka. Karena itu, manajemen harus tetap menunjukkan bahwa or
ganisasi bersungguh-sungguh memperhatikan kepentingan publik sehingga krisis benar-benar diatasi
menuju situasi normal lagi. Pada saat Prabowo Subianto maju menjadi calon presiden pada 2014.
isu-isu terkait keterlibatannya dalam aksi penculikan maha siswa di era Orde Baru banyak diungkit-
ungkit lagi. Hal yang sama terjadi, Aburizal Bakrie yang masih dikaitkan dengan krisis lumpur di
Sidoarjo. Dalam Teori Situational Crisis Communication, hal ini dijelaskan sebagai konsep prior
relational reputation, yaitu seberapa baik organisasi menyelesaikan krisis sebelumnya dan crisis
history, yaitu apakah perusahaan mengalami krisis yang sama sebelumnya. Biasanya yang banyak
mengungkit-ungkit adalah media massa, an tara lain seperti kalimat berita ini: "semburan gas ini
adalah terbesar jumlah korbannya sejak terjadinya kebocoran pipa gas beracun di Bhopal India"
(media mengungkit-ngungkit lagi krisis yang dise babkan kesalahan perusahaan Union Carbide di
Bhopal); "meski bangkai pesawat dan korban lebih cepat ditemukan, jumlah korban meninggal
akibat tenggelamnya pesawat Airasia lebih banyak dari tenggelamnya pesawat Adam Air 7 tahun
lalu" (media mengungkit ungkit kesalahan Adam Air).

Jawa Pos, 16 Januari 2015 memberitakan pada 7 Januari 2015 publik dunia dihebohkan serangan
kelompok bersenjata di kantor harian satire Charlie Hebdo di Paris, Perancis. Dua orang bersenjata
api mendobrak ma suk ruangan. Lalu, dengan membabi buta, dua pelaku itu melakukan pe
nembakan yang menewaskan 12 orang. Teror di kantor Charlie Hebdo ada lah aksi kekerasan paling
mematikan di Perancis sejak kasus pengeboman kereta Vitry-Le-Francois pada 1961. Aksi teror kala
itu dilakukan Orga nisation de l'Armee Secrete (OAS) (Tampak Jawa Pos mengungkit-ngungkit krisis
malevolence yang dilakukan OAS). Charlie Hebdo adalah harian satire yang sering memuat tulisan,
kartun, dan karikatur yang isinya menyerang gerakan ekstrem kanan, agama (Katolik, Islam, Yahudi),
politik, dan buda ya. Penembakan di kantor Charlie Hebdo pada 7 Januari itu juga diduga dilakukan
karena pelaku jengkel terhadap pemuatan kartun-kartun Char lie Hebdo yang dianggap menghina
Nabi Muhammad SAW (Di kalimat ini, Jawa Pos mengungkit-ungkit perilaku perusahaan sehingga
membuat publik yang tidak tahu menjadi tahu). Pada 9 Januari, Al-Qaeda di Semenanjung Arab
Cabang Al-Qaeda di Yaman yang dikenal sebagai AQAP menegas kan bahwa pihaknya bertanggung
jawab atas serangan di kantor Charlie Hebdo. "Itu balas dendam atas kehormatan Islam," katanya.
Bagi Charlie Hebdo, kejadian ini adalah krisis malovalence. Memang, perusahaan men dapat simpati
luar biasa dari penjuru dunia karena dianggap korban ke kerasan dan kekejaman (teroris). Presiden
Perancis membela majalah itu dengan alasan kebebasan berekspresi. Tetapi, perusahaan juga
mendapat kecaman dari berbagai penjuru dunia. Running news Metro TV, 17 Janu ari 2015
memberitakan Menteri Agama RI mengecam karikatur itu dan meminta umat Islam menahan diri
tidak terprovokasi. Organisasi Negars Islam (OKI) berencana menuntut majalah itu secara hukum.
Paus Fran siskus mengecam aksi penembakan, tetapi, juga mengecamn kebebasan berekspresi yang
tanpa batas, dengan mengatakan "jangan memperma inkan keyakinan (Jawa Pos, 17 Januari 2015).
Bagi umat Islam, siapa pun dan demi alasan apa pun, dilarang menggambar atau memvisualisasikan
wajah dan tubuh Nabi Muhammad SAW karena khawatir disalahgunakan (seperti menyembahnya
atau menyakralkannya). Dari kasus ini, tampak bahwa Charlie Hebdo tidak mampu "berinteraksi"
dengan baik dengan lingkungannya. Meski dengan atas nama kebebasan berekspresi, individu dan
organisasi, tidak mempunyai hak untuk berbuat sesukanya. Kebebas an individu bukan tak berbatas.
Kebebasan itu sesungguhnya bukan lagi kebebasan ketika bertemu dengan hak orang lain. Dalam
kasus ini men jaga keyakinan terhadap Nabi dengan tidak memvisualkan adalah hak umat Islam dan
Charlie Hebdo harus menghormatinya. Karena kejadian ini bukan yang pertama terjadi, Charlie
Hebdo tidak berkeinginan belajar dari pengalaman (salah satu tahap manajemen isis dari Mitroff
adalah "learning" (akan dibahas di Bab 10). Harusnya majalah itu lebih memahami kepercayaan
sebagai isu sensitif dan potensial. Di tahap "learning" ini. Charlie Hebdo pun harus mengevaluasi
mengapa krisis malevolence ter jadi? Mengapa menimpa organisasinya? Apa terkait dengan
aktivitasnya?

Anda mungkin juga menyukai