Anda di halaman 1dari 12

MANAJEMEN PERUBAHAN

BARRIERS TO CHANGE (PENGHAMBAT PERUBAHAN)

Dosen Pengampu : Drs. Riyadi, M.Si

Kelompok 3

C-MANAJEMEN PERUBAHAN

NAMA NIM / ABSEN


Binsar Ferdinand 185030200111053 / 4
Rayhan Layadi Fachriansyah 185030201111038 / 19
Wiena Shafa Nabilla 185030201111111 / 27

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI BISNIS

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................................3

BAB 2 PEMBAHASAN..................................................................................................................4

PERILAKU KHAS PERUSAHAAN DALAM SITUASI KRISIS............................................4

PENYEBAB INDIVIDUAL........................................................................................................5

PENYEBAB KOLEKTIF............................................................................................................6

KASUS EKONOMI.....................................................................................................................8

KOMPLEKSITAS.......................................................................................................................9

BAB 3 PENUTUP.........................................................................................................................12

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Manajemen krisis dan komunikasi krisis adalah dua hal yang sangat penting. Betapa
tidak, krisis menempatkan brand, baik individu maupun perusahaan di bawah lampu sorot.
Banyak studi kasus yang telah membuktikan bahwa krisis membangun perhatian luar biasa, dan
komunikasi krisis yang baik membuka kesempatan yang sangat besar untuk membangun citra
dan reputasi.

Hampir semua organisasi pernah mengalami krisis, wajar apabila kemudian sekarang ini
timbul kesadaran dari pimpinan perusahaan/organisasi bahwa mereka memerlukan kesiapan
tersendiri untuk menghadapi krisis. Setiap organisasi perlu membentuk sebuah tim manajemen
krisis yang permanen. Struktur tim tersebut bisa saja berlainan dari satu organisasi ke organisasi
lainnya, bergantung dari jumlah staf , sebaran lokasi, dan karakteristik sektor usaha atau bidang
yang digeluti oleh organisasi yang bersangkutan. Sebuah tim manajemen krisis biasanya terdiri
dari seorang direktur, manajer PR, manajer operasional, petugas keamanan dan pejabat
personalia. Tim ini hendaknya dibuat seramping mungkin agar masing-masing anggotanya
mudah berkomunikasi satu sama lainnya.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

PERILAKU KHAS PERUSAHAAN DALAM SITUASI KRISIS


Manajemen krisis dapat diartikan sebagai proses yang membahas organisasi dengan
sebuah peristiwa besar yang mengancam merugikan organisasi, pemangku kepentingan, atau
masyarakat umum. Ada tiga elemen yang paling umum untuk mendefinisi krisis: ancaman bagi
organisasi, unsur kejutan, dan keputusan waktu singkat. 

Dalam manajemen krisis terdapat komunikasi krisis. Komunikasi krisis merupakan kunci
keberhasilan dari manajemen krisis itu sendiri. Kondisi krisis harus dapat tersampaikan pada
semua elemen yaitu masyarakat, konsumen, dan juga karyawan dari perusahaan itu sendiri.
Contohnya ketika ada wabah Corona, Perusahaan harus mampu memberikan informasi terkait
regulasi kerja di saat wabah dan juga langkah-langkah agar tidak terjangkit virus

Ciri-ciri Perusahaan yang sedang dilanda Krisis :

1. Keadaan fisik tidak terurus, lampu redup, toilet kotor, mobil tua, seragam petugas lama
tidak diganti, pabrik bekerja dibawah titik optimal dan lain- lain.
2. SDM malas, datang dan pulang seenaknya, pemimpin jarang hadir, banyak terlihat tidak
bekerja dan kongko-kongko. Dimana tenaga yang berkualitas sudah resign.
3. Produk andalan hampir tidak ada, Hanya menyelesaikan yang sudah ada saja banyak
retur dan defect.
4. Konflik hampir setiap hari terdengar, perasaan resah dimana-mana.
5. Energi (gairah) hampir tidak ada sama sekali.
6. Demo karyawan tinggi, rasa takut akan PHK.
7. Proses hukum meningkat dan datang dari mana-mana.
8. Bagian keuangan hidup dalam suasana stress dikejar-kejar dengan tagihan yang tidak
terbayar oleh debt collector.

4
PENYEBAB INDIVIDUAL
Suatu krisis dapat bermula dari beberapa sumber, yaitu: diri sendiri, orang lain, dan
Tuhan (Seng, 2008). Hubungan kerja yang buruk antara pekerja dan perusahaan dapat menjurus
pada krisis besar. Krisis ini dapat mengarah pada kondisi tidak terkendali yang serius dalam
operasional perusahaan. Kekuatan pekerja dapat memaksa industri untuk tutup sehingga
perusahaan terpaksa bertindak agresif. Hubungan antara pekerja dan perusahaan seharusnya
dijaga agar tidak sampai pada level saling merusak. Salah satu contoh krisis karena hubungan
kerja yang buruk adalah pada saat karyawan Sampoerna demo, Raya Rungkut industry lumpuh
pada pada tahun 2008.

Ada lima tahapan dalam siklus hidup krisis yang harus dikenal dan dipa- hami adalah
sebagai berikut :

1. Tahap pre-crisis (sebelum krisis)

Tahap ini adalah kondisi sebelum sebuah krisis muncul. Benih krisis sudah ada
sehingga jika muncul suatu kesalahan yang kecil saja, krisis dapat terjadi. Benih yang
mulai timbul pada tahap ini biasanya tidak diperhatikan karena beberapa aspek dalam
perusahaan memang penuh resiko. Selain itu perusahaan tidak mempunyai perencanaan
menghadapi krisis.

2. Tahap warning (peringatan)

Tahap ini dianggap sebagai salah satu tahap yang paling penting dalam daur hidup
krisis. Di dalamnya, suatu masalah untuk pertama kalinya dikenali,dapat dipecahkan,
diakhiri selamanya atau dibiarkan berkembang menuju kepada kerusakan yang
menyeluruh.Krisis dapat dengan mundah muncul pada tahap ini karena ketakutan
menghadapi badai atau masalah dan menganggapnya tidak ada. Reaksi yang umun terjadi
pada tahap ini adalah kaget, menyangkal dan pura-pura merasa aman.

3. Tahap acute (akut)

Pada tahap ini krisis mulai terbentuk, media dan publik mulai mengetahui adanya
masalah. Jika krisis sudah sampai pada tahap ini,perusahaan tidak dapat berdiam diri

5
karena sudah mulai menimbulkan kerugian. Saat inilah berbagai dokumen dan modul
untuk menghadapi krisis harus dikeluarkan dan digunakan. Saat-saat seperti ini dapat
diketahui, apakah para staf telah dibekali pengetahuan mengenai manajemen krisis atau
tidak. Jika tidak maka sudah terlambat bagi manajemen untuk memulai dan
menyelesaikan masalahnya.

4. Tahap clean-up (pembersihan)

Saat masalah melewati tahap warning tanpa diselesaikan maka kerusakan


perusahaan mulai timbul. Inilah waktunya untuk memulihkan perusahaan dari kerugian.
Setidaknya menyelamatkan apa saja yang tersisa, baik sisa produk (jika dapat
diaplikasikan), reputasi, citra perusahaan, kinerja, dan lini produksi. Saat pemulihan,
perusahaan harus menghadapi hal-hal yang terkait dengan hukum, media, tekanan publik,
dan litigasi. Tetapi hikmah yang dapat diambil yaitu perusahaan dapat melihat bagaimana
suatu krisis akan timbul, bagaimana menghadapi krisis, dan memastikan krisis tidak akan
pernah terulang lagi.

5. Tahap post-crisis (sesudah krisis)

Inilah tahap yang telah disebutkan sebelumnya, yakni perusahaan seharusnya


bereaksi saat suatu krisis muncul ke tahap warning. Jika sejak awal tidak dihentikan,
krisis akan terjadi. Namun, jika perusahaan dapat memenangkan kembali kepercayaan
publik dan dapat beroperasi kembali dengan normal maka secara formal dapat dikatakan
krisis telah berakhir.

PENYEBAB KOLEKTIF
Perusahaan sebagai entitas sosial dapat menjadi sasaran pertimbangan ganda. Di satu sisi,
dengan melihat organisasi formal, dan disisi lain sebagai aturan perilaku informal. Kode perilaku
dan pemikiran informal ini, yang biasanya tidak tertulis, juga dikenal sebagai budaya
perusahaan. Dalam keadaan tertentu, kedua sumber ini dapat menyebabkan inersia dalam
menerima perubahan yang diperlukan.

1. Hambatan untuk berubah melalui kriteria organisasi formal.

6
Organisasi semacam ini dicirikan oleh sentralisasi tingkat tinggi dan proses yang
sangat formal. Pada saat yang sama, perbedaan status dan pendapatan dalam hierarki
memainkan peran yang signifikan. Prinsip-prinsip organisasi ini seringkali disertai
dengan volume produksi yang tinggi (yaitu, produksi massal) dan dominasi tujuan
efisiensi, misalnya dalam bentuk orientasi biaya yang diucapkan. Organisasi semacam ini
relatif kaku karena, di satu sisi, perubahan hanya bisa dan mungkin diprakarsai oleh
markas besar secara hierarkis, dan di sisi lain, kepatuhan terhadap aturan yang ada
(birokrasi) menjadi prioritas utama.
2. Menghambat perubahan melalui budaya perusahaan yang kuat.
Selain kriteria organisasi yang keras, faktor lunak berupa budaya perusahaan juga
memainkan peran penting dalam menjelaskan perubahan yang tertunda. Saat ini, budaya
perusahaan kuat diakui sebagai salah satu kunci keberhasilan pengelolaan perusahaan.
Tesis ini secara khusus didalilkan oleh 7-S dari Peters dan Waterman.

Efek positif menjadi semakin nyata dengan semakin jelasnya budaya perusahaan.
Kekuatan budaya bergantung pada tiga faktor:

1. Kesederhanaan budaya
Fakta bahwa budaya perusahaan mengatur hampir semua area yang relevan
dengan aktivitas sehari-hari perusahaan melalui norma dan nilai budaya. Di sisi lain,
keringkasan juga berarti antusiasme orang-orang yang terlibat dalam budaya itu sendiri.
2. Tingkat penyebaran budaya
Suatu budaya tersebar luas ketika hampir semua anggota organisasi berbagi itu,
yaitu bertindak sesuai dengan pola nilai dan norma yang sama.
3. Kedalaman penahan
Budaya sangat efektif jika aturannya diikuti tanpa pikiran sadar. Semakin dini
norma kehidupan diinternalisasi, semakin diinternalisasikan. untuk alasan ini perusahaan
dengan budaya yang sangat berkembang sering memiliki kecenderungan untuk merekrut
staf manajemen junior langsung dari kelas (misalnya, di pengecer mode C&A) atau dari
universitas (misalnya, di rantai grosir Aldi) dan untuk mengisi posisi manajemen di
kemudian hari hampir secara eksklusif dari barisan mereka sendiri.

7
Dengan kekuatan budaya perusahaan, bagaimanapun, tidak hanya efek positifnya
meningkat, tetapi juga efek samping negatif. Budaya yang kuat hanya mengetahui satu pendapat
yang menjadi kekuatan mereka, hal ini berbahaya karena dapat memicu "kebutaan perusahaan".
Contoh atas hal ini terjadi pada perusahaan Nokia, Keterlalu percaya dirian Nokia membuat
mereka tidak menyadari ancaman terhadap posisi pasar yang ditimbulkan oleh iPhone bahkan
saat diluncurkan. Fitur produk dipandang sebagai kriteria pembelian penting di mana Nokia lebih
unggul, dan perusahaan menutup mata terhadap realitas yang berubah agar tidak
mempertanyakan budaya kesuksesannya sendiri. Hal ini sering kali menyebabkan informasi yang
bertentangan dengan kebijakan dan budaya perusahaan sebelumnya diabaikan, ditekan, atau
dinegasikan. Dengan demikian, budaya yang kuat merupakan faktor sukses dan faktor potensi
kegagalan. Sintesis budaya semacam ini juga dikenal sebagai budaya adhokrasi.

Kekuatan budaya di sini mengarah pada rasa saling percaya dan suasana kerja yang baik.
Atas dasar lingkungan pengasuhan ini, adalah mungkin untuk secara terbuka mengatasi
kesalahan dan konflik dan mencari kemungkinan untuk perbaikan.

KASUS EKONOMI
Perubahan dikaitkan dengan biaya. Terdapat dua aspek biaya yang dapat dibedakan,
pertama biaya langsung yang timbul dari perubahan itu sendiri dan kedua devaluasi investasi
sebelumnya, misalnya melalui non-penggunaan.

1. Perubahan itu sendiri menghasilkan berbagai jenis biaya.


Ini termasuk investasi dalam aset tetap, pengenalan proses bisnis baru, pelatihan
yang diperlukan untuk karyawan, serta perekrutan, dan jika perlu, biaya redundansi.
Tidak rasional untuk menahan diri dari perubahan yang diperlukan sehubungan dengan
biaya. Sebaliknya, sekali lagi biaya yang dikeluarkan sekarang secara psikologis lebih
jelas daripada kerusakan yang belum terjadi di masa depan. Oleh karena itu, disarankan
untuk membandingkan kedua skenario dengan dan tanpa perubahan dalam arti kalkulasi
investasi dan berdasarkan asumsi yang serealistis mungkin.
2. Saat perubahan mengancam investasi sebelumnya menjadi usang,

8
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, ketaatan pada
kebijakan produksi saat ini akan serta merta mengarah pada krisis jangka panjang yang
mengancam keberadaan perusahaan, yaitu, fasilitas produksi saat ini tidak akan layak di
masa depan dan karena itu akan mengalami devaluasi. Kedua, perubahan arah, misalnya
dalam artian beralih ke TV layar datar, tidak selalu berarti bahwa investasi yang
dilakukan kemarin menjadi tidak berharga dalam semalam. Selama arus kas positif
dihasilkan dengan set CRT sebagai tambahan dari set layar yang baru ditambahkan yaitu,
pembayaran yang dilakukan untuk produksinya lebih rendah daripada pendapatan
penjualan yang akan dihasilkan, kelanjutan paralel dari investasi tersebut bermanfaat.
Penyusutan fasilitas produksi, sebagai biaya non tunai, tidak boleh dimasukkan dalam
perhitungan ini, karena pembayarannya telah dilakukan dan tidak dapat dibalik dengan
kata lain, biaya hangus.

KOMPLEKSITAS
Kompleksitas adalah suatu indikator antarhubungan di dalam suatu proyek, program,
atau portofolio yang memengaruhi cara bagaimana hubungan ini akan dikelola dan keahlian
yang dibutuhkan untuk mengelolanya. Meskipun faktor-faktor yang disebutkan sejauh ini, yang
berpengaruh atas hambatan perubahan, sebagian besar dapat dicirikan sebagai irasional atau
setidaknya rasionalitas nya terbatas, ini belum tentu benar untuk faktor terakhir, kompleksitas.
Kompleksitas mengacu pada sifat sistem yang membuatnya sulit untuk memprediksi dengan
tepat apa yang akan terjadi setelah perubahan dalam sistem tersebut. Untuk memahami lebih
tepat apa yang dimaksud dengan ini, masuk akal untuk mempertimbangkan perusahaan dan
lingkungan bisnis di sekitarnya sebagai sistem.
Sistem terdiri dari elemen dan koneksinya. Dalam kasus perusahaan, elemen sistem
adalah, misalnya, orang-orang di perusahaan serta teknologi yang digunakan. Koneksi
mewakili, misalnya, proses bisnis, tetapi juga norma dan nilai yang dimiliki bersama dalam
budaya perusahaan. Perusahaan bukanlah sistem yang terisolasi, tetapi, perlu terlibat dalam
pertukaran dengan lingkungan mereka. Mereka menghasilkan masukan dari pasar tenaga kerja
dan pengadaan, mereka menjual produk dan jasa di pasar penjualan dan bertukar informasi
dengan pasar modal untuk menyediakan sumber daya keuangan yang diperlukan. Pasar yang

9
berbeda ini, di mana perusahaan terlibat, pada gilirannya tidak bertindak dalam isolasi dari
lingkungan mereka sendiri.
Contohnya adalah pasar tenaga kerja. Ini dipengaruhi oleh lingkungan politik (misalnya,
kebijakan pendidikan, kebijakan pasar tenaga kerja) dan lingkungan sosial (perubahan
sosiodemografi, perubahan nilai, dll.). Perekonomian secara keseluruhan secara alamiah
berperan terkait dengan ketersediaan tenaga kerja dan bahkan perubahan teknologi tidak dapat
diabaikan, jika salah satunya memperhitungkan, misalnya jenis lamaran dan tender yang sering
dilakukan secara online saat ini. Hal yang sama berlaku untuk tingkat yang serupa di semua
pasar lain yang tercantum di atas tempat perusahaan beroperasi. Meskipun semua ini mungkin
terdengar cukup kompleks, asumsi ini bahkan lebih benar ketika menggunakan definisi
akademis tentang kompleksitas.
Sistem yang kompleks semakin mereka dicirikan oleh tiga hal berikut:

1. Jaringan
Ini berarti bahwa sistem terdiri dari banyak karakteristik yang saling bergantung.
Bahwa ini berlaku untuk perusahaan dan lingkungan mereka mungkin sudah cukup jelas
dari penjelasan di atas.
2. Dinamika
Ini mengacu pada fakta bahwa realitas berubah secara independen, yaitu, tanpa
tindakan apa pun oleh perusahaan. Hal ini juga berlaku untuk lingkungan perusahaan

10
(perubahan sosial, teknologi, politik, dan ekonomi). Selain itu, perusahaan juga berubah
secara internal tanpa ada intervensi yang dimulai. Tak kalah pentingnya, hampir setiap
perusahaan juga memiliki pesaing yang memulai tindakannya sendiri.
3. Intransparency
Ini mencirikan fakta bahwa tidak semua fitur realitas diketahui. Mengingat kompleksitas
dan banyaknya perkembangan internal dan eksternal perusahaan, keberadaan fitur ketiga
ini bagi perusahaan hampir tidak dapat disangkal.

Singkatnya, dapat dinyatakan bahwa perusahaan dan saling ketergantungan di


lingkungan mereka mewakili sistem yang sangat kompleks. Ini berarti, bagaimanapun, bahwa
intervensi dalam arti perubahan yang diinginkan dapat memiliki konsekuensi yang tidak
terduga, baik di dalam perusahaan maupun dalam kaitannya dengan lingkungan eksternalnya.
Dalam pengertian cara berpikir evolusioner dalam manajemen, tentu dapat dikatakan dalam
situasi seperti itu bahwa seseorang harus bertindak hati-hati ketika mengubah struktur yang ada,
karena seseorang mungkin belum sepenuhnya memahami arti dan fungsi dari struktur yang ada
atau yang baru bisa. memicu rantai reaksi yang tidak terduga dengan konsekuensi negatif.
Argumen ini memiliki pembenarannya sendiri; tidak hanya dalam kehidupan bisnis, tetapi juga
dalam olahraga, misalnya, dengan slogan “Jangan pernah mengubah tim pemenang”. Tapi itu
berlaku untuk “tim pemenang.Di mana tidak jelas mengapa mereka tidak bisa sukses besok
dengan strategi dan pengaturan yang sama. Namun, jika kondisi yang berubah berarti hampir
tidak dapat disangkal bahwa strategi saat ini-seperti dalam contoh perusahaan yang disebutkan
di awal bab ini-tidak dapat membawa kesuksesan, risiko perubahan harus diambil terlepas dari
semua kerumitannya. Tidak ada jaminan kesuksesan bahwa jalan baru adalah yang benar, tetapi
ada jaminan kegagalan untuk berpegang pada apa yang sudah ada. Namun demikian, fakta
kompleksitas mengajarkan kita bahwa banyak langkah kecil perubahan-asalkan diambil
sebelum krisis terjadi-mungkin lebih baik daripada “ledakan besar”. Dalam bab tentang faktor
keberhasilan "Evolusi" akan membahas alur pemikiran ini lagi.

11
BAB 3
PENUTUP

Bahwa dalam praktiknya sering kali perubahan yang diperlukan di perusahaan tidak
dilakukan, meskipun kebutuhan tersebut sudah jelas. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan
temuan dari empat wilayah berbeda. Psikologi mengajarkan bahwa orang menghindari atau
merendahkan informasi yang bertentangan dengan sikap mereka sebelumnya (menghindari
disonansi kognitif) dan bahwa mereka hanya mencari alternatif ketika ketidakpuasan nyata telah
terjadi (kepuasan). Teori organisasi telah membuktikan bahwa birokrasi perusahaan besar
menghalangi perubahan sama seperti budaya perusahaan yang terlalu kuat. Argumen biaya yang
lebih atau kurang rasional sering menghalangi perubahan yang diperlukan dan akhirnya,
situasinya bisa begitu kompleks sehingga orang menghindari intervensi. Namun, karena
kemacetan biasanya mengarah pada kegagalan, penting untuk mengatasi hambatan ini dan berani
berubah.

Upaya organisasi untuk mengatasi krisis disebut sebagai manajemen krisis. Manajemen
krisis adalah respon pertama perusahaan terhadap sebuah kejadian yang dapat merubah jalannya
operasi bisnis yang tengah berjalan normal. Artinya terjadi gangguan pada proses bisnis ‘normal’
yang menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi yang
ada. Istilah ‘solve’ diartikan bahwa upaya mengatasi krisis pada dasarnya merupakan proses
bertahap (step by step) dan melalui rangkaian aktifitas. Pada tahap awal, organisasi mesti
membatasi persoalan atau area krisis untuk meminimalkan efek kerusakan bagi organisasi.
Tujuan dari manajemen krisis adalah untuk mengehntikan dampak negatif dari suatu peristiwa
melalui upaya persiapan dan penerapan berbagai strategi dan taktik.

12

Anda mungkin juga menyukai