Anda di halaman 1dari 25

https://danang651.wordpress.

com/category/tugas-kuliah/kepemimpinan/kepemimpinan-krisis/

CRISIS LEADERSHIP

A. PENDAHULUAN

Organisasi modern saat ini akan selalu berhadapan dengan ketidakpastian dalam operasinya.
Ketidakpastian ini akan menuntut organisasi untuk terus menyesuaikan diri agar tetap survive. Bentuk
adaptasi yang dilakukan antara lain dengan perubahan visi, misi dan strategi, penyempurnaan bisnis
proses, pengimplementasian emergency disaster planatau perubahan gaya kepemimpinan.Adaptasi
yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi dampak negatif atau untuk mengambil kesempatan dari
keadaan yang tidak pasti tersebut.

Ketidakpastian tersebut tidak akan menjadi permasalahan saat mendatangkan keuntungan atau
kesempatan bagi organisasi. Hal yang menjadi permasalahan adalah ketika ketidakpastian tersebut
berdampak negatif dan tidak dapat diprediksi sebelumnya.Ketidakpastian seperti inilah yang
dikategorikan sebagai krisis. Contoh yang nyata krisis yang terjadi adalah krisis moneter pada tahun
1998 dan 2008, adanya serangan teroris di beberapa tempat di dunia dan adanya bencana alam yang
luar biasa yang memporakporandakan semuanya (tsunami di Aceh, gempa bumi di Haiti, lumpur di
Sidoarjo, dsb). Oleh sebab itu, para ahli berpendapat bahwa perencanaan untuk mengantisipasi
datangnya krisis penting dilakukan untuk membantu organisasi mengantisipasi dan merumuskan
strategi untuk mengatasi dampak dari krisis tersebut (Stocker, 1997).

Akan tetapi, menurut Allan Schoenberg (2004) dalam penelitiannya yang berjudul What it Means to
Lead During a Crisis: An Exploratory Examination of Crisis Leadership, menyatakan bahwa persiapan
bukanlah satu-satunya kunci untuk menangani krisis. Organisasi seharusnya juga fokus pada
pengembangan kepempimpinan dan komunikasi untuk mengidentifikasi kepemimpinan seperti apa yang
efektif di saat krisis dan menetapkannnya pada perencanaan organisasi. Salah satu teori yang
mendukung pernyataan ini dikemukakan oleh Augustine (1995) yang menyatakan bahwa para pemimpin
cenderung apatis terhadap crisisplanning karena mereka terlalu asyik berkonsentrasi pada harga saham
dan performa finansial lainnya.

Oleh sebab itu, penelitian dan diskusi tentang karakter dan kualitas pemimpin yang diperlukan pada saat
krisis terus berkembang.Untuk memahami konsep tentang crisis leadership, dibutuhkan pemahaman
tentang crisis management maupun konsep seputar kepemimpinan terlebih dahulu. Makalah ini akan
membahas bagaimanaciri, karakter dan kualitas dari pemimpin yang diperlukan organisasi untuk
mengatasi dan mengelola krisis dengan baik berdasarkan pendekatan situasional dan teori crisis
leadership lainnya.

B. PENGERTIAN KRISIS DAN KEPEMIMPINAN KRISIS (CRISIS LEADERSHIP)

1. Pengertian Krisis.

Definisi tentang krisis salah satunya dikemukakan oleh Robert P. Powell dalam bukunya Crisis–A
Leadership Opportunity (2005) yang menyatakan bahwa krisis adalah kejadian yang tidak diharapkan,
berdampak dramatis, kadang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendorong organisasi kepada
suatu kekacauan (chaos) dan dapat menghancurkan organisasi tersebut tanpa adanya tindakan
nyata.Krisis tidak memiliki batas (no boundaries) dan dapat terjadi kapan saja, dimana saja terhadap
setiap organisasi (profit dan non profit, publik dan privat).Krisis menyerang ketika suatu organisasi
berhenti menemukan permasalahan yang ditimbulkan oleh lingkungan tempat mereka berada (Thomas
Kuhn, 1996).Kondisi ekonomi global dan iklim politik dapat memperbesar dampak dari suatu krisis
sehingga menjadikan krisis sebagai hal yang biasa terjadi dalam perusahaan (Gene Klann, 2003).

Karakteristik krisis pada umumnya yaitu adanya ketidakstabilan tinggi yang berpotensi menimbulkan
dampak negatif terhadap kelangsungan hidup organisasi.Kata krisis sendiri berasal dari bahasa Yunani
krisis yang berarti “mengayak atau memisahkan”. Oleh sebab itu, krisis dapat membedakan masa lalu
dengan masa depan organisasi, membedakan pemimpin yang efektif dan tidak serta mengubah
organisasi secara signifikan. Krisis biasanya ditimbulkan oleh suatu keadaan darurat yang justru
memperparah dampak krisis tersebut. Beberapa keadaan yang dapat dikategorikan sebagai krisis bagi
suatu perusahaan misalnya : kegagalan produksi, hostile takeover, krisis keuangan global, tuntutan
pengadilan, bencana alam, kerusuhan, perang, pergantian pemimpin, unjuk rasa pekerja, dll.

Krisis juga dapat dikategorikan berdasarkan dampaknya. Keempat kategori tersebut adalah :

Krisis level 1 : dampak dari krisis ini mengakibatkan tercemarnya nama organisasi serta adanya
hambatan dalam mewujudkan misi. Contohnya : tuntutan hukum terhadap perusahaan Newmont
karena kasus pencemaran lingkungan.

Krisis level 2 : krisis ini berdampak pada cedera fisik, kemungkinan korban jiwa, rusaknya properti,
hancurnya reputasi perusahaan atau kombinasinya. Contohnya : kasus lumpur PT Lapindo.

Krisis level 3 : krisis level ini mengakibatkan adanya korban jiwa, kerusakan properti yang serius serta
kemungkinan kebankrutan. Contohnya : kasus Enron Corporation.
Lebih jauh lagi, Robert Powell mengemukakan tentang Crisis Lifecycle Model guna mendefinisikan krisis
secara lebih mendalam.Asumsi yang mendasari konsep ini adalah bahwa krisis yang terjadi adalah suatu
kejadian tunggal (single event) yang berdampak besar (cataclysmic).Crisis Lifecycle Model terdiri dari
dua variabel, yaitu waktu (time) pada sumbu X dan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada sumbu Y.
Variabel disequilibrium menggambarkan jumlah (kadar) stress yang dirasakan oleh anggota organisasi
yang dapat memicu krisis. Variabel ini dikelompokkan menjadi tiga zona yaitu zona nyaman (comfort),
pembelajaran (learning) serta zona bahaya (danger).

Batas antara comfort zone dengan learning zone digambarkan sebagai jumlah minimal stress yang masih
dapat dihadapi. Apabila system stress level melewati comfort zone maka dapat terjadi konflik
organisasional. Tetapi konflik ini mengarah pada pertumbuhan organisasi (berdampak positif). Luas
comfort zone tergantung pada kemampuan organisasi tersebut dalam menangani stress atau
ketidakseimbangan.

Batas antara learning zone dengan danger zone menggambarkan jumlah maksimal stress yang dapat
dihadapi oleh organisasi tersebut. Saat system stresslevel melewati batas ini maka organisasi bisa
hancur. Salah satu sebab yang mendorong system stresslevel masuk ke dalam danger zone adalah krisis.
Oleh sebab itu, disinilah peran kepemimpinan dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat disequilibrium
yang sesuai, yaitu berada di learning zone. Artinya, kepemimpinan harus menjaga agar tingkat
disequilibrium dalam organisasi mampu mendorong proses pembelajaran tetapi tidak membayakan
kelangsungan hidup organisasi tersebut.

Seorang pemimpin dapat menggunakan technical maupun adaptive techniques dalam mengatur tingkat
disequilibrium pada organisasinya.Technical techniques digunakan ketika permasalahan yang terjadi
dapat dipahami sehingga mampu menurunkan system stresslevel dengan cepat. Di sisi lain, adaptive
techniques digunakan ketika permasalahan tidak dapat diidentifikasi secara jelas. Teknik ini berusaha
mengeluarkan system stresslevel daristatus quo. Oleh sebab itu, esensi dari crisis leadership adalah
untuk merumuskan solusi teknik yang tepat yang dibutuhkan untuk mengurangi disequilibrium dalam
organisasi tetapi masih cukup mampu untuk mendorong proses pembelajaran dalam organisasi
tersebut.

Gambar 1

Crisis Lifecycle Model


2. Pengertian Kepemimpinan Krisis (Crisis Leadership).

Kepemimpinan di masa krisis merupakan suatu hal yang sangat sulit dan menantang. Pemimpin yang
pernah menjalani crisis leadership akan mendapatkan pengalaman yang sangat berharga sebagai tolak
ukur dan pembangunan karir mereka. Definisi crisis leadership telah begitu banyak diungkapkan oleh
para ahli manajemen.Crisis leadership terdiri dari dua kata, yaitu crisis dan leadership.Definisi tentang
crisis telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Menurut Center For Creative Leadership dalam Genn Klann (2003), leadership definisikan sebagai
“process of influence in which managers interact with direct reports and others in the organization in
collective pursuit of a common goal. Given the emotionally volatile environment that surrounds a crisis
situation, and that can contribute to ineffective or even counterproductive behavior, a useful working
definition of crisis leadership may simply be this ability to influence others.”.Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa unsur terpenting dalam sebuah leadership adalah pengaruh yaitu merupakan
kemampuan membujuk, meyakinkan, memotivasi, menginspirasi serta menggunakan kekuasaan dengan
benar untuk mengubah orang lain.

Kepemimpinan di saat krisis berbeda dengan kepemimpinan di saat keadaan normal. Walaupun
keduanya sama-sama menggunakan pengaruh, tetapi kepemimpinan di saat krisis melibatkan aspek
emosional yang lebih besar dari sang pemimpin. Selain itu juga menuntut pengambilan keputusan
secara cepat dan tepat. Menurut Allan L. Schoenberg, pemimpin diperlukan pada saat krisis untuk
mengkomunikasikan visi secara jelas, menenangkan ketakutan internal dan meyakinkan pihak lain.
Pemimpin juga harus meng-update secara sering apa yang sedang, telah dan akan terjadi, mendapatkan
kepercayaan pemegang saham, disamping menyeimbangkan strategi jangka organisasi dengan
kebutuhan jangka pendek. Ketika krisis terjadi, diperlukan perhatian yang cepat. Kemampuan dan
kepemimpinan harus digabungkan ke dalam perencanaan krisis dan teknik manajemen krisis untuk
menyeimbangkan antara pelaksanaan manajemen krisis tersebut dengan membangun hubungan
dengan pihak lain.

Tujuan crisis leadership adalah untuk memperbaiki dan mempertahankan sebuah organisasi.Kesuksesan
kepemimpinannya diawali dengan adanya kepercayaan pihak internal (anggota, karyawan, rakyat)
maupun pihak eksternal (komunitas, pelanggan, suplier, rekanan, dll) terhadap organisasi. Kepercayaan
akan mendukung organisasi untuk bisa kembali ke kondisi normal dan penting dalam mendukung
keberlangsungan kehidupan organisasi. Untuk menggapainya dibutuhkan Kebenaran (Authenticity) dan
Pengaruh (Influence) dari seorang Pemimpin Krisis. Tanpa kedua karakteristik tersebut, seorang
pemimpin akan kehilangan dukungan dari dalam dan luar organisasi. Kedua karakter tersebut adalah
pilar-pilar kepemimpinan krisis.Oleh karena itu seorang pemimpin yang tidak memiliki salah satu atau
bahkan kedua karakteristik tersebut, walaupun mungkin memiliki karekteristik kepemimpinan yang lain,
kecenderungan untuk gagal besar.

C. PENDEKATAN SITUASIONAL DAN KEPEMIMPINAN KRISIS

Ide utama pendekatan situasional mengenai kepemimpinan adalah tidak ada suatu karakter tertentu
yang berlaku umum bagi setiap pemimpin yang efektif dan tidak ada pula satu gaya kepemimpinan yang
efektif untuk semua situasi. Salah satu gagasan dalam pendekatan situasional dikembangkan oleh Fred
E. Fiedler yang berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang berbeda akan memadai untuk situasi yang
berbeda karena tidak ada satu gaya kepemimpinan yang paling baik untuk semua situasi, ancangan ini
kemudian dikenal dengan nama Fiedler Contingency Model yang menggunakan asumsi bahwa kontribusi
pemimpin terhadap keberhasilan kinerja kelompoknya ditentukan oleh karakteristik dari pemimpin
tersebut dan situasi. Selain itu Fiedler juga berasumsi bahwa kepemimpinan seseorang adalah tetap,
sehingga apabila suatu pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang tidak sesuai dengan situasi yang
dihadapi, maka pemimpin tersebut harus diganti demi tercapainya efektivitas.

Sedangkan gagasan yang lain dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, bahwa gaya kepemimpinan
disesuaikan dengan jawaban-jawaban atas situasi tertentu. Untuk mengetahui karakteristik yang
dimiliki oleh seorang pemimpin Fiedler menggunakan kuesioner least preferred cowerker yang
bertujuan untuk mengukur apakah seorang pemimpin tersebut berorientasi pada pekerjaan atau relasi.
Pemimpin yang berpersepsi bahwa rekan kerja tersebut tidak baik (negative terms atau berarti low LPC
leader) berarti mempunyai orientasi pekerjaan, sedangkan high LPC leader berarti lebih menyukai
terbentuknya hubungan yang baik dengan bawahan.

Pada saat organisasi mengalami krisis atau perubahan, seorang pemimpin harus memiliki kemampuan
dan karakteristik tertentu yang diperlukan dalam mengatasi krisis. Menurut Allan Schoenberg, situasi
juga kadang-kadang menentukan seorang pemimpin. Setiap krisis memerlukan respon yang berbeda
dari pemimpin. Seorang crisis leader mungkin pada suatu saat menjadi follower pada situasi yang lain.
Dengan berubahnya situasi, seorang pemimpin diharapkan untuk menggunakan kemampuannya untuk
mengubah gaya komunikasi, tujuan organisasi dan pendekatan dalam menanggapi informasi baru. Oleh
karena itu, ketika menghadapi krisis, seorang pemimpin harus berpikir dan mempertimbangkan untuk
menentukan siapa yang dihadapi, tujuan mereka, dan bagaimana setiap tindakan mereka akan berakibat
pada situasi sekarang dan menciptakan konsekuensi baru.

D. MODEL KEPEMIMPINAN KRISIS


Selanjutnya Allan L Schoenberg membuat model tentang teori Kepemimpinan Krisis.Model tersebut
menunjukkan pentingnya kepemimpinan krisis bagi organisasi dan mengilustrasikan bagaimana
seseorang bisa menjadi pemimpin krisis yang efektif dan memperoleh hasil yang diinginkan. Namun
perlu dipahami bahwa tentu saja kepemimpinan krisis adalah sesuatu yang sangat kompleks, maka
model tersebut masih bisa dikembangkan lagi.

Tujuan dari crisis leadership adalah membangun dan mempertahankan kepercayaan, kredibilatas
diantara pekerja, komunitas, pelanggan, partner, suppliers, investor dan pihak-pihak lain yang memeiliki
ketergantungan dengan organisasi melalui komunikasi dua arah.Kepercayaan dapat diraih dengan
adanya pengaruh dan karakter dari sorang pemimpin.Tanpa adanya dua faktor ini, seorang pemimpin
tidak dapat memperoleh dukungan saat menghadapi krisis.Karakteristik bawaan ini merupakan pilar dari
crisis leadership.

Model crisis leadership ini menggambarkan karakteristik individual yang diperlukan dalam membentuk
pemimpin di saat krisis dan mencapai hasil yang diharapkan. Model ini dibuat tidak untuk
menyederhanakan proses kepemimpinan di saat krisis karena hal tersebut merupakan proses yang rumit
yang tidak hanya melibatkan pikiran tetapi juga emosi atau perasaan (not only leading from the mind
but also leading from the heart).

Gambar 2

Model Kepemimpinan Krisis

1. Faktor-faktor Pengaruh Eksternal.

Merupakan faktor-faktor yang tidak terkait langsung dengan krisis, tetapi dapat membantu
mengembalikan organisasi ke kondisi normal:

Informasi.

Selama masa krisis, pemimpin harus memiliki akses informasi untuk memahami situasi dan kondisi dan
selanjutnya bisa membuat keputusan yang bisa membawa organisasi ke arah yang lebih baik.Sonder
informasi, seorang pemimpin krisis tidak mampu membuat keputusan yang efektif.
Nasihat dari Luar (External Conscience).

Seorang pemimpin krisis memerlukan seseorang di luar organisasi yang berperan sebagai penasehat.
Bisa dari alim ulama, konsultan, mentor atau sahabat yang bisa dipercaya. Orang-orang ini diharapkan
bisa memberikan panduan, bukan jawaban, dalam menyelesaikan krisis.

Persiapan.

Seharusnya seorang pemimpin krisis memperoleh pelatihan-pelatihan yang akan membantunya


menghadapi hal-hal yang tidak diharapkan dan mengkomunikasikan hasilnya. Pelatihan dapat berupa
manajemen resiko atau yang diadakan konsultan eksternal.

Pengalaman.

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman akan membantu seorang pemimpin dalam menentukan
langkah-langkah apa yang harus diambilnya apabila krisis yang sama atau serupa terjadi lagi.

2. Pillar-pilar Kepemimpinan Krisis

Kebenaran (Authenticity).

Dalam hal ini, seorang pemimpin dituntut untuk mampu mengkomunikasikan ralita krisis yang dialami
organisasi dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dengan jujur.Selanjutnya pemimpin juga
harus mampu menjamin kesesuaian perkataan dengan tindakannya, dan langkah yang diambil tersebut
tidak melanggar peraturan dan berguna dalam mengatasi krisis.

Pengaruh (Influence)

Pengaruh adalah usaha untuk mengendalikan pesan dan mempengaruhi situasi. Kemampuan memberi
pengaruh positif terhadap organisasi selama krisis akan menimbulkan reaksi yang diharapkan dan
respon yang akan membantu mengendalikan situasi dan orang-orang yang terlibat.

3. Pondasi Kepemimpinan Krisis

Komunikasi
Biasanya seorang pemimpin krisis menjadi juru bicara organisasi.Oleh karena itu dia harus memiliki
kemampuan untuk menyampaikan berita dan berkomunikasi secara konstan dengan semua
audiens.Bentuk komunikasi dua arah seharusnya yang diterapkan, artinya dia harus mampu untuk
mendengar dan memberikan jawaban serta untuk memperhatikan dan memberi umpan balik kepada
komunikan.

4. Attribut Personal / Nilai

Unsur ini adalah kombinasi dari karakteristik bawaan (traits) yang seharusnya dimiliki pemimpin
krisis.Mungkin bagian ini adalah yang paling sering diperdebatkan oleh para peneliti teori
kepemimpinan. Namun apapun itu, pada intinya pemimpin krisis yang efektif akan menggunakannya
untuk mengadaptasi kebutuhan dan reaksi dari pihak-pihak yang terkait dengannya. Berikut ini adalah
hasil survei yang dilakukan Allan L Schoenberg tentang beberapa atribut personal pemimpin krisis:

Tabel 1.

Atribut Personal Pemimpin Krisis

Menurut Gene Klann (2003), ada beberapa leadership skills dan traitsyang penting pada saat sebelum
krisis, saat menghadapi krisis dan setelah krisis berlangsung. Tiga skills teratas adalah terpenting
diantara skills lainnya.

Komunikasi.

Komunikasi disini tidak hanya membutuhkan strategi komunikasi yang baik tetapi juga adanya keahlian
berkomunikasi (communication skills) yang dimiliki oleh seorang pemimpin.Keahlian berkomunikasi
tersebut meliputi artikulasi yang jelas, pengaturan nada bicara untuk mendapatkan verbal expression
yang mendalam, pemilihan kata yang tepat serta tempo bicara yang sesuai. Selain itu, keahlian
berkomunikasi juga ditunjukkan dengan kemampuan mendengarkan yang baik, eye contact dan body
gesture yang sesuai serta kemampuan membuat orang lain paham tentang apa yang kita bicarakan.
Contoh pemimpin yang memiliki keahlian berkomunikasi yang baik adalah Winston Churchill.Pada saat
Perang Dunia II, dia berhasil menjaga dan bahkan membakar semangat para tentara dan penduduk
London dengan kemampuan oratornya.
Kejelasan Visi dan Nilai

Visi dan sistem nilai yang jelas akan berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan pengaruh selama krisis
sebelum, saat dan setelah krisis berlangsung. Hal ini akan efektif bila terdapat sistem nilai yang
menjelaskan apa yang penting bagai organisasi dan apa yang tidak. Selama masa krisis, pemimpin dapat
memanfaatkan visi dan sistem nilai serta menggunakannya sebagai alat untuk mengarahkan dan
memberikan stabilitas kepada pegawai.Contohnya adalah kepemimpinan Lee Iacocca saat menjadi CEO
di Chrysler.

Kepedulian.

Kepedulian yang tulus terhadap orang lain akan bermanfaat sebagai pemenuhan emotional needs bagi
orang yang sedang mengalami krisis. Ketulusan dan kepedulian seorang pemimpinn terhadap
bawahannya akan menghasilkan loyalitas sebagai timbal baliknya. Hal ini bahkan dapat mendorong
kreativitas dan inovasi para pekerja untuk segera keluar dari krisis.

Keteladanan.

Semua orang cenderung untuk meniru tingkah laku dari orang yang mereka hormati tanpa
mempertimbangkan posisi orang tersebut. Pemimpin yang efektif memanfaatkan keteladanan ini
dengan memperhatikan dampak setiap tingkah laku dan perkataan mereka terhadap orang lain. Dengan
adanya keteladanan dari seorang pemimpin, setiap elemen organisasi akan secara sadar memberikan
timbal balik yag positif terhadap apa yang diinginkan oleh pemimpin tersebut.

Character.

Karakter ini cenderung dikaitkan dengan integritas. Integritas merupakan perilaku moral yang
menunjukkan pribadi sesungguhnya dari seseorang ketika tidak ada seorang pun yang mengawasi dia.
Secara lebih sederhana, karakter ini diwujudkan dengan mengatakan kebenaran, konsisten antara
perkataan dan perbuatan, memperlakukan orang lain dengan hormat, dan memiliki kontrol diri yang
baik. Menurut Horatio Alger, karakter seorang pemimpin lebih penting dari latar belakang sosial,
pendidikan atau keahliannya karena karakter yang buruk dari seseorang akan memberikan dampak
negatif terhadap karakternya baiknya yang lain.
Kompetensi.

Kompetensi merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi ketika membahas karakteristik
pemimpin yang baik.Pemimpin yang berkompeten dapat lebih memberikan keyakinan dan mengurangi
kecemasan karyawannya di saat krisis.Para pemimpin yang kompeten menanamkan kepercayaan dan
menghapus keraguan serta ketakutan sehingga dapat meningkatkan kekuatan serta menopang
kelemahan bawahannya untuk memastikan bahwa para bawahan dapat melakukan tugasnya dengan
baik.

Keberanian.

Dibutuhkan keberanian yang tinggi dari seorang pemimpin untuk memberitahukan bawahannya bahwa
organisasi sedang dalam masa yang sulit.Keberanian juga dibutuhkan dalam pengambilan keputusan
dan menjawab pertanyaan yang sulit, menghadapi orang-orang yang marah serta dalam menerima
tanggung jawab.Hal inilah yang sesungguhnya dituntut dari seorang pemimpin pada saat krisis. Para
bawahan tentunya ingin mengetahui bahwa pemimpinnya akan berjuang untuk mereka terlepas dari
apapun konsekuensinya. Pemimpin yang tidak memiliki keberanian akan membawa bencana saat krisis
terjadi. Untuk menumbuhkan keberanian dalam dirinya, seorang pemimpin harus membangun nilai-
nilai, etika dan standar yang jelas dalam dirinya.Hal ini kelihatannya mudah tetapi inilah hal tersulit yang
harus dilakukan oleh seorang pemimpin karena dia harus mengalahkan rasa takutnya terhadap reputasi
dan masa depannya.

Tegas dalam pengambilan keputusan.

Krisis adalah saat dimana pemimpin dituntut untuk tegas dalam mengambil keputusan karena
keputusan yang salah pun lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa. Pengambilan keputusan yang
baik dilakukan dengan mengumpulkan informasi dan rekomendasi dari orang lain sesegera mungkin,
menyadari apabila informasi tersebut tidak tersedia, menyadari risiko yang dihadapi, mendengarkan
insting-nya sebagai pemimpin dan menentukan sebuah keputusan di saat yang dibutuhkan.

E. STRATEGI KEPEMIMPINAN DI SAAT KRISIS


Penelitian yang dilakukan oleh John P. Powell, dkk dari USAF merumuskan tujuh strategi yang dapat
dilakukan oleh seorang pemimpin saat dirinya dan organisasinya menghadapi krisis.Strategi ini
dirumuskan melalui penelitian terhadap kesuksesan penerapan crisis leadership pada masa lalu.Tidak
semua strategi dapat diterapkan untuk suatu krisis.Kekuatan setiap strategi tersebut bervariasi sesuai
krisis yang terjadi.Juga tidak menutup kemungkinan untuk menerapkan strategi tersebut secara khusus
pada fase-fase dalam crisis lifecycle model.Setiap strategi dapat dipandang sebagai anak panah yang
melesat ke suatu sasaran.Yang menjadi perhatian bukan meleset tidaknya anak panah.

Pada pembahasan mengenai crisis lifecycle model sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana sumbu
vertikal dari grafik tersebut dibagi menjadi tiga zona yang menggambarkan tingkat stress atau krisis
(disequilibrium) yang dialami oleh organisasi.Seorang pemimpin dapat menggunakan technical maupun
adaptive techniques dalam mengatur tingkat disequilibrium pada organisasinya. Pemimpin harus dapat
merumuskan solusi teknik yang tepat yang dibutuhkan untuk mengurangi disequilibrium dalam
organisasi tetapi masih cukup mampu untuk mendorong proses pembelajaran dalam organisasi
tersebut.

Pada bagian ini akan dibahas terlebih dahulu bagaimana setiap strategi berperan selama periode krisis.
Seperti halnya sumbu Y, sumbu X crisis lifecycle model di bawah ini, juga dibagi menjadi tiga zona yang
menggambarkan fase (waktu) berlangsungnya krisis, yaitu fase persiapan (preparation phase), fase
darurat (emergency phase) serta fase adaptasi (adiptive phase).

1. Preparation Phase.

Fase pertama dari sebuah krisis adalah fase persiapan krisis. Pada fase ini, organisasi biasanya berada
pada comfort zone sehingga sulit bagi pemimpin untuk menggerakkan organisasi keluar dari comfort
zone-nya dan melakukan proses pembelajaran guna menghadapi krisis. Pemimpin harus dapat menjaga
keseimbangan perubahan dalam organisasinya sehingga dapat mendorong organisasi untuk berubah
dan keluar dari status quo tanpa menimbulkan krisis.Oleh sebab itu, agar pemimpin dapat memfasilitasi
perubahan dan adaptasi sebelum krisis terjadi, maka pemimpin harus membangun kredibilatas dan iklim
yang perubahan yang dapat memungkinkan setiap orang melakukan perubahan dengan ‘aman’.

Cara lain untuk mempersiapkan organsasi dalam menghadapi krisis adalah dengan mendorong,
memprioritaskan dan membudayakan kesadaran untuk berubah. Setiap elemen organisasi harus paham
dan fokus pada tujuan inti dari organisasi tersebut. Strategi ini dibutuhkan untuk memberikan
pemahaman bahwa salah satu nilai dalam organisasi adalah lingkungan yang terus berubah.
2. Emergency Phase

Fase darurat in dimulai ketika krisis mulai terjadi. Faktor terpenting pada fase ini adalah bagaimana
mengatasi hambatan dan mengurangi disequilibrium level ke tingkat yang aman. Inilah saatnya dimana
pemimpin harus menggunakan quick-technical techniques untuk mengurangi disequilibrium
level.Pengambilan keputusan secara tapat waktu adalah kuncinya.Tetapi pemimpin dihadapkan dengan
adanya ketidakpastian yang terjadi selama krisis. Selama fase ini, pemimpin hanya memiliki kesempatan
yang sempit dan terbatas untuk mengurangi disequilibrium level dan menjaga stabilitas organisasi.

Keterbatasan utama yang terjadi adalah pemimpin hanya memiliki informasi yang terbatas tentang
ketidakpastian yang terjadi.Oleh sebab itu, pemimpin harus fokus pada tujuan utama organisasi.Dalam
memformulasikan respon awal terhadap krisis, pemimpin tidak boleh dikuasai oleh krisis itu sendiri.Ia
harus melangkah mundur dan membuat guiding principle baru berdasarkan guiding principle yang sudah
ada. Pemimpin juga harus mensosialisasikan fakta tentang situasi yang terjadi serta langkah yang akan ia
ambil kepada para bawahannya. Dengan kata lain, pemimpin harus “ground zero” untuk memberikan
perhatian lebih kepada bawahannya saat krisis berlangsung. Para bawahan akan lebih tenang
menghadapi krisis ketika mereka memiliki pemimpin yang juga tenang dalam menghadapi krisis.

Gambar 3

Strategi Pada Crisis Lifecycle Model

Berdasarkan strategy map pada grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh strategi yang
dapat diterapkan pada saat krisis menurut John P. Powell. Ketujuh strategi tersebut adalah :

Leading from the front.

Selama krisis berlangsung, masyarakat membutuhkan seorang pemimpin yang kuat.Sayangnya, justru
pada saat krisis para pemimpin tidak berani menampakkan wajahnya dan berlindung di balik pengacara
atau bahkan menyalahkan media dan bawahannya.Pemimpin di saat krisis harus mampu menampilkan
dirinya dengan sifat tenang, berani, berkomitmen dan penuh perhatian.Ia harus mengerti bahwa
masyarakat atau bawahannya perlu melihat dirinya untuk menciptakan ketenangan. Selain itu, ia perlu
menciptakan kesempatan dan menggunakan kekuatannya untuk memberikan jaminan bagi masyarakat
untuk keadaan yang lebih baik.

Focus on the core purpose.


Ketika sesorang memahami dan mengejar apa suatu tujuan yang sangat berati bagi hidupnya, dia akan
dapat mengalahkan hambatan apapun. Hal ini menunjukkan pentingnya kita memahami tujuan utama
dari organisasi kita. Beberapa hal yang dilakukan dalam strategi ini adalah memahami tujuan utama
organisasi, menanamkan nilai-nilai dan menyesuaikannya dengan realita yang ada, menyatakan visi
secara jelas dan mewujudkan nilai-nilai, meng-adjust tujuan secara konsisten dan berkesinambungan
sesuai dengan keadaan.

Build the team.

“You can’t move people to action unless you first move them with emotion. The heart comes before the
head.” —John Maxwell

Kata-kata bijak dari John Maxwell tersebut menekankan bahwa diperlukan suatu kerjasama untuk
mengubah suatu keadaan dalam organisasi.Pada setiap perusahaan-perusahaan yang masuk dalam
kategori Fortune All Stars, teamwork selalu menjadi kata kunci untuk sebuah keberhasilan.Hal ini
tentunya bukan merupakan suatu kejutan mengingat tidak ada seorangpun pemimpin di dunia ini yang
cukup kompeten untuk menangani krisis yang dihadapinya seorang diri. Ketika krisis menerpa, seorang
pemimpin akan sukses dan organisasinya akan menjadi kuat apabila dia mengandalkan tidak hanya
kemampuan bawahannya tetapi juga tim dan jaringannya. Oleh sebab itu penting bagi seorang
pemimpin untuk membangun suatu jaringan dan memperlakukan bawahannya sebagai tim.

Conduct Continuous Planning.

Menurut Roberto Giuliani, perencanaan merupakan kunci terpenting untuk mencapai sukses.
Perencanaan juga mencakup bagaimana kita mengantisipasi permasalahan yang akan terjadi. Tidak ada
organisasi yang kebal terhadap krisis.Dalam bukunya, Steven Flink menyatakan bahwa setiap pemimpin
harus membuat perencanaan untuk menghadapi krisis yang tidak terhindarkan. Perencanaan ini tidak
didasarkan pada ketakutan tetapi pada keyakinan bahwa organisasi akan memiliki kekuatan pada saat
krisis ketika sudah ada perencanaan yang matang. Menghindari krisis tidak menjamin suatu organisasi
tidak terkena dampak dari krisis yang terjadi.Oleh sebab itu, pemimpin harus mengarahkan
organisasinya untuk melaksanakan contingency planning.Contingency planning adalah kegiatan untuk
mengorganisasikan dan merumuskan alternatif keputusan sebanyak mungkin sebelum krisis terjadi.

Mitigate the Threat.

Ketika terjadi, krisis menjadikan keadaan yang buruk menjadi lebih buruk karena seorang pemimpin
gagal melakukan tindakannya.Ketika krisis baru muncul, pemimpin harus mengambil keputusan
sesegera mungkin, sekalipun itu sulit.Penanganan krisis yang sukses membutuhkan ketepatan waktu
dalam pengambilan keputusan dan tindakan.

Tell the Story.

Seorang pemimpin dituntut untuk berkomunikasi secara efektif dengan memanfaatkan segala bentuk
komunikasi untuk memastikan bahwa seluruh elemen organisasi menerima apa yang dia sampaikan.
Kegagalan dalam komunikasi akan menimbulkan misinformasi di masyarakat yang apabila berlanjut
terus akan menghancurkan organisasi tersebut. Oleh sebab itu, kesuksesan seorang pemimpin dalam
melalui krisis ditentukan dengan caranya berkomunikasi. Jika pemimpin dianggap sebagai orang yang
terbuka, dapat dipercaya, apa adanya serta memiliki keyakinan terhadap masa depan organisasi, maka
pemimpin lebih dekat dalam mencapai keberhasilan.

Profit from the Crisis

Pemimpin selalu diburu oleh waktu.Semakin lama krisis berlangsung maka semakin parah pula
dampaknya terhadap organisasi.Ketika krisis telah selesai, pemimpin harus mengumumkannya secara
jelas. Hal ini akan mengubah paradigma dan mindset setiap elemen organisasi yang semula berorientasi
pada penganggulangan krisis menjadi berorientasi untuk mencari peluang. Pemimpin harus menjelaskan
kepada organisasinya apa yang telah terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Dan yang terpenting, organisasi
harus mampu belajar dari krisis yang pernah terjadi untuk perbaikan di masa yang akan datang.

F. CONTOH KASUS KEPEMIMPINAN KRISIS

1. Menghadapi Krisis di Era Kepemimpinan SBY-Kalla,Gempa dan Tsunami Aceh 2006

Mulai saat pengangkatan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia, negara ini
telah menghadapi berbagai krisis yang datang silih berganti. Betapa tidak, baru dua bulan setelah
pelantikan, bencana tsunami dasyat melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Dalam peristiwa ini,
korban mencapai ratusan ribu jiwa. Sungguh menyesakkan karena pada saat yang bersamaan, presiden
sedang berada di Papua dalam rangka meninjau bencana gempa yang terjadi sebulansebelumnya.
Gempa di Nabire ini menyebabkan 30 orang tewas, seluruh kota lumpuh karena hubungan listrik dan
telepon seluruhnya terputus serta menyebabkan kerusakan di Bandara Nabire. Belum lagi ditambah
dengan bencana kecelakaan pesawat yang berulang kali terjadi dimulai dari kecelakaan pesawat Lion Air
di Bandara Adi Sumarmo Solo pada tanggal 30 November 2004.

Berikut ini disajikan daftar berbagai krisis yang terjadi di masa pemerintahan SBY :
Bencana Gempa :

Gempa Alor, NTT, 12 November 2004 6,5 SR

Gempa Nabire, 26 November 2004 7,2 SR

Gempa dan Tsunami Aceh, 26 Desember 2004 7,2 SR

Gempa Sibolga, 28 Maret 2005 8,2 SR

Gempa Jogja. 27 Mei 2006 6,3 SR

Gempa Jawa Barat, 17 Juli 2006 7,2 SR

Gempa Manado, 21 Januari 2007 6,5 SR

Gempa Sumatra, 6 Maret 2007 6,3 SR

Gempa Sumatra 12 dan 13 September 2007, 8,4 SR

Gempa Tasikmalaya 2 September 2009

Gempa Bali 19 September 2009 6,4 SR

Gempa Pariaman, 30 September 2009 7,6 SR

Gempa Bengkulu-Jambi, 1 Oktober 2009 7,0 SR

Kecelakaan Pesawat, Kecelakaan Kapal Fery, Larangan Terbang ke Eropa

Lion Air di Bandara Adi Sumarmo Solo, 30 November 2004

Adam Air di Perairan Majene 31 Desember 2006

Adam Air tergelincir di Bandara Juanda Surabaya, 21 Februari 2007

Adam Air mengalami kerusakan peralatan navigasi hingga terdampar di Tambolaka, 11 Februari 2006

Garuda Indonesia tergelincir di bandara Adi Sucipto Jogjakarta, 7 Maret 2007

Kecelakaan beberapa Pesawat milik TNI

Kecelakaan Kapal Fery di dekat Masalembo

Lumpur Lapindo 29 Mei 2006

Situ Gintung
Terorisme yang disusul dengan adanya travel warning dari sejumlah negara

Krisis Minyak dan Krisis Ekonomi Dunia

Krisis menuntut pemimpin berpikir cepat dalam memperhatikan masalah-masalah kunci untuk
mengatasi situasi. Pada banyak keadaan krisis, akhirnya peran pemimpin akan sangat terasa. Tidak
jarang terjadinya berbagai krisis yang dapat tertangani dengan baik akan memunculkan pemimpin-
pemimpin baru yang terhormat karena telah membuktikan diri dalam menangani masalah.

Pada masa kepemimpinan Presiden SBY dengan didampingi oleh Wapres Jusuf Kalla, sejumlah kebijakan
strategis banyak diambil. SBY dan Kalla dinilai sebagai pasangan yang pas oleh sejumlah kalangan. SBY
berlatar belakang militer dengan ketaatannya pada aturan berpadu dengan Jusuf Kalla yang berlatar
belakang pengusaha dengan pengalaman yang luas dalam menghadapi berbagai tantangan dan
persaingan usaha menjadikan mereka duet yang mampu saling melengkapi. Hasilnya, berbagai krisis
yang terjadi di Indonesia dapat teratasi satu demi satu. Beberapa pihak menaruh kehormatan yang
besar kepada Mantan Wapres Jusuf Kalla atas kesigapannya dalam menghadapi berbagai krisis.
Diumpamakan SBY adalah Yudhistira, sedangkan Kalla adalah Khrisna.

Salah satu keadaan krisis terbesar yang masih menyisakan kenangan di banyak hati orang Indonesia
adalah gempa dan tsunami Aceh. Peristiwa itu sontak membuat rakyat Indonesia seketika memalingkan
perhatiannya ke Tanah Rencong. Ini berbeda keadaannya dengan keadaan di sepanjang mencuatnya
konflik GAM, hanya sebagian kecil saja masyarakat Indonesia memberikan perhatiannya ke sana.
Tsunami Aceh telah membangkitkan persatuan yang didasari rasa kemanusiaan. Sekat-sekat
kepentingan politik dan kepentingan pribadi untuk sementara dihapus untuk satu tujuan : membantu
Aceh pulih dari bencana.

Peranan dua pimpinan puncak NKRI untuk menghadapi krisis pasca Tsunami Aceh sangatlah besar.
Beberapa kalangan menganggap SBY-lah yang berperan sangat besar, namun kalangan lain menolak
dengan beranggapan krisis pasca Tsunami teratasi dengan baik berkat kesigapan JK. Untuk
menggambarkan keadaan penanganan krisis pasca tsunami, berikut disarikan uraian dari berbagai
sumber.

Pagi hari itu Jusuf Kalla ditelpon oleh staf pribadinya, “Pak, di Aceh ada tsunami, dasyat sekali.” Beliau
baru berada dalam perjalanan untuk menghadiri halal bihalal warga Aceh di Senayan. Kalla lalu
mengirimkan pesan pendek kepada Presiden SBY yang saat itu sedang berada di Nabire. Lalu Presiden
menjawab, “Saya sudah dengar. Tolong koordinasikan.”
Kalla lalu menelepon Azwar Abubakar, Wakil Gubernur Provinsi Aceh yang saat itu sedang berada di
jakarta. Gubernur Puteh pada saat itu telah ditahan di penjara karena dugaan kasus korupsi. Kalla juga
mengontak Kapten Didit Soejadi, pilot pesawat pribadinya. Kemudian, beliau memerintahkan stafnya
untuk menelepon semua pejabat di Aceh, namun tida seorangpun dari para pejabat itu dapat dihubungi.

Halal bihalal warga Aceh dibuka pada pukul sembilan lebih dan berlangsung dalam suasana yang tegang.
Berita tsunami telah menyebar dan banyak orang sibuk menelepon menvari kabar sanak saudaranya.
Setelah urusan selesai di acara halal bihalal, Kalla segera menggelar rapat mendadak di tempat.

Kalla memerintahkan Sofjan Djalil, Menteri Komunikasi dan Informasi, untuk memimpin rombongan
pertama ke Aceh. Anggota rombongan berjumlah 30 orang, antara lain Menteri Perumahan Rakyat
Yusuf Azhari, Azwar Abubakar dan beberapa tetua Aceh. Sampai di sana, anggota rombongan membeli
beras dan mi instan di beberapa toko dekat bandara, lalu beranjak ke pendapa kantor gubernur sekitar
pukul tujuh malam.

Malam itu, ratusan orang menumpuk di pendapa kantor gubernur. Aceh lumpuh total. Koordinasi tidak
berjalan karena aparat pemerintah di sana masing-masing mengkhawatirkan keluarganya sendiri. Kepala
Polres Banda Aceh sendiri tidak diketahui kabarnya. Azwar Abubakar, Wakil Gubernur Aceh, bisa
memimpin. Namun, nasib keluarganya yang belum jelas juga sedikit banyak mempengaruhi kondisi
psikologisnya.

Berkali-kali Sofjan berusaha menghubungi Jusuf Kalla, namun berulang kali tidak berhasil. Di Jakarta,
Wapres menggelar sidang kabinet darurat di rumah dinasnya. Sembilan menteri dan Panglima TNI hadir.
Akhirnya, kontak berhasil dilakukan dengan menggunakan Orari Angkatan Udara di Aceh. Kemudian,
Kalla meneruskan laporan situasi di Aceh kepada Presiden Yudhoyono. Selanjutnya hari berikutnya, Kalla
menyusul ke Aceh dengan berbekal persiapan yang lebih matang.

Kalla memerintahkan stafnya memborong beras, mi instan dan makanan lain. Karena jumlah beras
belum mencukupi, pintu Dolog dibuka. Selanjutnya digelar rapat di pendopo gubernur. Langkah yang
harus segera diambil adalah melakukan penguburan mayat. Sore harinya, Kalla terbang dengan
helikopter ke Lhok Nga untuk mendistribusikan bantuan pangan. Selanjutnya rombongan Kalla terbang
ke Medan pukul tujuh malam.
Petang hari, Presiden mendarat di Lhoksumawe dari Papua hingga mampu dilakukan koordinasi yang
lebih baik dengan personel yang telah ada di Aceh. Selanjutnya, malam itu Presiden bermalam di
Lhoksumawe.

Pagi harinya, Presiden Yudhoyono terbang menuju Aceh. Kalla yang sudah berada di Medan
mendapatkan kabar bahwa Meulaboh rata tanah, Ia memerintahkan stagnya menvari pesawat ke
Meulaboh. Dengan pesawat Angkatan Udara, Kalla berhasil sampai ke Meulaboh. Setelah memperoleh
pandangan keadaan di Meulaboh, pesawat kembali ke Medan. Di Medan, langsung diadakan rapat
dengan Gubernur Sumatera Utara Rizal Nurdin. Dia memerintahkan Gubernur mengirimkan makanan ke
Meulaboh. Pesawat pemasok makanan melayang ke Meulaboh dan Presiden serta wakilnya kembali ke
Jakarta pada hari ketiga. Lalu, bantuan kemanusiaan mulai mengalir dari segenap penjuru dunia.

Pemerintah memberi ijin bagi Australia dan Singapira untuk mengirim bantuan melalui pesawat udara
dan kapal laut. Selanjutnya, diambil kebijakan untuk membuka Aceh secara total pada dunia luar, baik
militer maupun LSM.

Sekitar tanggal 29 Desember 2004, Pemerintah Indonesia mengumumkan ‘open sky policy’ untuk Aceh
dan Nias. Setelah itu, dalam kunjungan yang sangat emosional ke Meulaboh, Presiden di depan
wartawan nasional dan internasional menghimbau dunia agar menunjukkan ‘solidaritas global’ terhadap
para korban tsunami, bukan hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lainnya di sekitar
Samudra India.

Keputusan open sky policy ini bukanlah keputusan yang mudah. Pertrama, kebijakan ini diterapkan di
provinsi yang –setelah 30 tahun dirundung konflik-dikenal ‘tertutup’dibanding provinsi Indonesia
lainnya. Kedua, sepanjang sejarah Republik Indonesia, belum pernah ada pasukan internasional yang
masuk dan beroperasi di wilayah Indonesia. Dan yang ketiga, TNI belum berpengalaman mengatur
operasi militer kemanusiaan seperti ini. Presiden menerapkan salah satu aspek kepemimpinan yang
pentung, yaitu kemampuan untuk membaca situasi dengan tepat dan menilai motivasi orang. Kebijakan
open sky ini dilaksanakan dalam situasi bencana yang menyentuh rasa kemanusiaan hingga meniadakan
motivasi politis di balik bantuan yang mengalir dari luar negeri.

Dari kisah di atas, dapat digarisbawahi bebarapa masalah terkait dengan kepemimpinan di kala krisis :

Kemampuan membaca situasi dan memilah-milah kebutuhan berdasarkan skala prioritas.


Pendelegasian wewenang yang memadai.

Kemampuan mempengaruhi orang untuk bersatu menghadapi krisis.

Kemampuan koordinasi antar pihak dengan baik.

Kemampuan mengesampingkan emosi pribadi demi kepentingan penanganan krisis.

Credit is for the legitimate leader, but respectness is for everyone who think and do things rightly and
quickly in crisis situation.

2. Kepemimpinan Gus Dur dalam krisis disintegrasi dan kepercayaan

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September
1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun. adalah tokoh Muslim Indonesia
dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia
menggantikan Presiden B. J. Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan
pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid
dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli
2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak
cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus”
adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.

Abdurahhman Wahid bergabung dengan Dewan penasehat Agama NU setelah kakeknya, Bisri Syansuri,
memberinya tawaran, sehingga dia juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di
sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU. Pada
saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti.
Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid)
untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU.

Reformasi Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Wahid terpilih sebagai Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional 1984.
Selama masa jabatan pertamanya di NU, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan
pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi
sekolah sekular. Pada tahun 1987, Gus Dur juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa
Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan
interpretasi teks Muslim.

Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada
Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk oleh Soeharto untuk menarik
hati Muslim Intelektual. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung. Gus Dur
menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat.
Pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri
dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh
pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat
menjelang pemilihan umum legislatif 1992.

Pada Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur terpilih untuk masa jabatan ketiga, meskipun ada usaha
intimidasi dan penyuapan yang dilakukan oleh Soeharto dan pendukungnya agar Gus Dur tidak terpilih.

Pada Juli 1998 Gus Dur menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan
Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.

Kepresidenan

Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid
kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313
suara.

Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah
membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media.
Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup. Rencana Gus Dur adalah
memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan
seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut
terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30
Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman
Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

Setelah satu bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator
Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan
November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa
anggota kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di Amerika Serikat. Setelah kembali dari
Amerika Serikat, Gus Dur meminta Wiranto mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara
Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Alasan yang
diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah
memberikan bukti yang kuat. Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.

Ia juga berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok
Muslim Indonesia. Pada tahun 2000, Gus Dur dituduh terlibat dalam skandal Buloggate dan Bruneigate.
Pada bulan Maret, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet
karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail
juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden. Gus Dur mulai putus asa dan meminta
Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono
untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari
jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2009. Pada 23
Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri

Beberapa hal positif yang dapat diambil dari kepemimpinan Gus Dur :

gaya kepemimpinan Gus Dur tidak monolitik. Tetapi, bervariasi sangat situasional. Suatu ketika beliau
cenderung demokratis, pada saat yang lain beliau bisa cenderung otokratik bahkan bisa sangat
kharismatik

mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan
pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular.

mereformasi NU yang sebelumnya statis

mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu
sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim.

memberikan Aceh referendum.


Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi
jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut

berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua

menyatakan darurat militer di Maluku

merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM

Salah satu contohya adalah mencabut larangan penggunaan huruf Tionghoa dan mengumumkan tahun
baru Cina menjadi hari libur opsional.Wahid juga ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa
tokoh Tionghoa Semarang. oleh karena itulah, dia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal
Center

memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak,
semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.

Dia mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006

aktivis prodemokrasi, perjuangan dan pembelaannya kepada kaum minoritas

mempelopori dialog antar umat beragama, karena situasi saat itu masih ada konflik agama, dan masalah
kewilayahan yang meminta merdeka

terbukti dengan diterimanya penghargaan Global tolerance Award oleh Gus Dur dalam peringatan Hari
Hak Asasi Manusia Internasional tanggal 10 Desember 2003 di markas PBB New York

seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan

Beberapa hal negatif dari kepemimpinan Gus Dur

memberhentikan sejumlah menteri yang menurut dia terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur
tidak pernah memberikan bukti yang kuat

kurang memiliki kemampuan negosiasi yang baik, terbukti banyak mendapat tentangan dari sejumlah
pihak termasuk para menterinya seniri dan kemarahan sejumlah kelompok muslim

memaksakan kehendak, seperti dalam contoh kasus ancaman Dekrit presiden dan beberapa daerah
akan memerdekakan diri bila MPR menggelar Sidang Istimewa. Hal itu menimbulkan krisis kewibawaan
seorang pemimpin karena ada kesan otoriter dan pernimpin tidak bekerja dengan standar- standar
norma yang jelas, memberi kesan pemimpin tidak bisa mengendalikan diri dengan baik

Setelah menjadi presiden, kegagalan menjadi manajer dan kepala pemerintahan harus diakui. Ia sendiri
memang telah memiliki gaya kepemimpinan kyai yang egaliter

3. Jean Claude Blanc, General manager Juventus saat degradasi ke serie B

Jean Claude Blance lahir 9 April 1963 di Chambery, Prancis.Ia kuliah di CERAM University di Nice, Prancis,
mengambil jurusan international business and marketing. Jabatannya sekarang adalah chairman
Juventus. Dia menjadi manager saat Juventus tersangkut kasus calcipoli, dan Juventus terpuruk ke serie
B. Saat bertugas sebagai general manager ia berfokus pada kesehatan keuangan tim.

Di akhir musim 2005-2006, kasus Calciopoli menguak ke khalayak. Juventus sang pemegang scudetto
terlibat dalam kasus ini. Akibatnya scudetto mereka untuk dua musim yaitu 2004-2005 dan 2005-2006
dicabut oleh FIGC.Parahnya lagi mereka tergedradasi ke serie B. Situasi yang tentu tak diinginkan oleh
pemain Juventus yang merupakan klub besar dan berisikan pemain-pemain bintang.

Krisis hebat melanda Juventus, banyak pemain bintang yang ingin hengkang seperti Gianluigi Buffon,
Zlatan Ibrahimovic, Patrick Vieira, dan David Trezegut. Blanc sadar untuk membuat Juventus kembali ke
serie A, Ia membutuhkan pemain-pemain bintang tersebut. Namun, Ia juga mengetahui dengan
degradasinya Juventus ke Serie B keuangan klub akan merosot drasitis, seperti hilangnya uang hak siar
dari televisi dan match fee dari kompetisi Eropa. Untuk itulah ia pelu membuat kebijakan yang bisa
membuat Juventus bisa promosi ke Serie A dengan kondisi keuangan yang terbatas.

Berikut ini kebijakan yang dilakukan Jean Claude Blanc untuk Juventus :

Blanc harus memilih pemain-pemain bintang mana saja yang harus dipertahankan dan yang harus
dilepas. Untuk itulah ia memilih Zlatan Ibrahimovic dan Patrick Vieira untuk dijual karena harga jual
mereka saat itu cukup besar dan bisa menambah pemasukan Klub. Blanc juga menilai loyalitas mereka
terhadap klub dirasa kurang. Mereka berdua akhirnya dilego ke Inter Milan.

Untuk pemain-pemain yang dipertahankan Blanc memilih pemain-pemain yang telah lama membela
klub dan memiliki loyalitas yang tinggi seperti del piero, trezeguet dan Buffon. Blanc mengatakan kepada
mereka “ klub ini telah membuat anda menjadi juara, klub ini telah membuat anda menjadi pemain
besar. Sekarang saat klub yang telah membuat Anda menjadi juara dan menjadi pemain besar
terdegradasi ke serie B,Apakah Anda akan meninggalkannya?”. Demikian ucapan blanc kepada tiga
pemain itu, dan akhirnya mereka bersedia bertahan di Juventus. Padahal saat itu Buffon baru saja
menjadi kiper terbaik di piala dunia 2006 dan banyak klub-klub besar eropa yang ingin membelinya.

Blanc menurunkan gaji pemain Juventus. Langkah ini diambil untuk menyesuaiakan dengan keuangan
klub yang memang akan turun karena terdegradasi ke serie B. Termasuk menurunkan gaji Buffon, del
piero dan Trezegut. Blanc memberikan pengertian kepada pemain-pemain Juventus mengapa gaji
mereka harus turun.

Blanc sengaja memilih pelatih yang memiliki ikatan emosional dengan Juventus. Dengan menunjuk
pelatih yang memiliki hubungan emosional dengan Juventus akan tercipta loyalitas yang tinggi pada klub
dan rasa memilki klub sehingga pelatih akan memberikan segenap kemampuan dan pengetahuannya
untuk membawa klub ke level tertinggi. Blanc menunjuk Didier deschamps yang pernah menjadi pemain
Juventus pada tahun 1994-1999 dengan prestasinya membawa Juventus menjuarai Serie A, Copa Italia
dan Liga Champion.

Dari kasus tersebut dapat kami simpulkan bahwa Blanc merupakan pemimpin yang bisa menghadapi
krisis. Hal ini sejalan dengan apa yang harus dilakukan pemimpin di saat krisis.

Pemimpin harus bertindak cepat mengambil keputusan.

Setalah Juventus terdegradasi Blanc harus cepat mengambil keputusan karena rentang waktu Juventus
terdegradasi dengan dimulainya kompetisi kurang lebih hanya sebulan.

Pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain

Hal ini dilakukan Blanc dalam mempengaruhi tiga orang pilar pemain Juventus untuk bertahan di klub
dan memberikan pengertian ke pemain-pemain lainnya mengapa gaji mereka harus diturunkan.

Pemimpin harus menentukan skala prioritas.

Blanc langsung memprioritaskan kepada keuangan klub.Ia menyadari bahwa pemasukan Juventus akan
turun dengan terdegradasi ke Serie B. Blanc melakukan kebijakan dengan menjual pemain-pemain
bintang bernilai jual tinggi dan kurang loyal kepada klub demi kondisi keuangan yang sehat. Ia juga
menurunkan gaji pemain Juventus.

G. PENUTUP DAN KESIMPULAN


Berdasarkan paparan teori maupun contoh kasus yang telah kami sajikan diatas, ada beberapa hal yang
menjadi syarat utama agar para pemimpin dapat berhasil dalam menghadapi situasi kritis tertentu,
antara lain:

Kemampuan membaca situasi dan memilah-milah kebutuhan berdasarkan skala prioritas.

Pemimpin harus bertindak cepat mengambil keputusan.

Pendelegasian wewenang yang memadai.

Kemampuan mempengaruhi orang untuk bersatu menghadapi krisis.

Kemampuan koordinasi antar pihak dengan baik.

Kemampuan mengesampingkan emosi pribadi demi kepentingan penanganan krisis.

Pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain

Referensi

Basalamah, Anies S.M. Perilaku Organisasi. Depok: Usaha Kami, 2004

Gaufin, Joyce. Key Principles for Effective Crisis Leadership.ppt.Utah, 2006.

Schoenberg, Allan L. What it Means to Lead During a Crisis: An Exploratory Examination of Crisis
Leadership. New York, 2004.

Schoenberg, Allan L.Do crisis plans matter? A new perspective on leading during a crisis. : PRSA
Newsletter, 2005.

Powell, John P., Crisis – A Leadership Opportunity. Harvard University, 2005.

_____, Research Focus : Effective Leadership in Recession. The Leadership Trust, 2009.

Boin, Arjen &Paul ‘t Hart. Public Leader in Times of Crisis : A Mission Impossible?. Public Administration
Review Ed. September / October Vol.63 No.5, 2003.

Klann, Gene. Crisis Leadership—Using Military Lessons, Organizational Experiences, and the Power of
Influence to Lessen the Impact of Chaos on the People You Lead. Center For Creative Leadership Press,
2003.

Februari 24, 2010Tinggalkan Balasan

Anda mungkin juga menyukai