Anda di halaman 1dari 4

Hamzah Abdillah Arif

XI IIS 1
Sejarah Wajib

Perlawanan Orang Cina Melawan Pemerintahan Kolonial

“Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat. Bahkan
kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu,”
demikian kesaksian G. Bernhard Schwarzen dalam buku Reise in Ost-Indien yang terbit tahun
1751.

Schwarzen termasuk pelaku sejarah berdarah yang dimulai pada 9 Oktober 1740. Ia
adalah salah satu serdadu VOC yang turut melakukan “pembersihan” warga Cina di Batavia.
Selama 13 hari, ribuan orang Tionghoa dibantai tentara Belanda. Tidak kurang dari 10 ribu jiwa
melayang dalam tragedi yang terkenal dengan nama Geger Pecinan itu.

Geger Pecinan dikenal pula sebagai Tragedi Angke, merujuk nama daerah dipesisir utara
Jayakta atau Sunda Kelapa. Awalnya, Batavia yang menjadi pusat kekuasaan VOC dibangun
diatas puing – puing kota pelabuhan Jayakarta sebelum dipindahkan lebih ketengah atau
wilayah Jakarta Pusat sekarang.

Pembersihan Imigran Cina

Tindakan keji Belanda itu merupakan puncak masalah kependudukan di Batavia. Orang-
orang Cina dan peranakan merasa resah karena Gubernur Jenderal VOC saat itu, Adriaan
Valckenier, memberlakukan kebijakan keras untuk mengurangi populasi etnis Cina di Batavia
yang saat itu dianggap sudah terlalu banyak.

Mulailah pengiriman orang – orang Cina dari Batavia ke wilayah koloni Belanda lainnya,
termasuk Srilanka atau ke Afrika (Paul H. Kratoska, South East Asia, Colonial History:
Imperialism Before 1800, 2001:122). Yang menjadi persoalan dan membuat resah, ada rumor
mengerikan terkait pemberlakuan kebijakan tersebut.

Terdengar kabar, orang-orang Cina yang dikirim ke Sri Lanka atau Afrika Selatan dengan
kapal itu dilemparkan ke laut sebelum tiba di tempat tujuan (Jocelyn Armstrong, et.al., Chinese
Populations in Contemporary Southeast Asian Societies, 2001:32). Isu ini tak pelak
menyebabkan kepanikan bagi kalangan orang Cina di Batavia.
Maka, mereka lantas membentuk gerakan perlawanan terhadap pemerintah VOC.
Willem G.J. Remmelink (2002:164) dalam Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743,
menuliskan bahwa orang-orang Tionghoa itu berkumpul, mempersenjatai diri, dan mulai
menyerang unit-unit penting, termasuk pabrik-pabrik gula.

September 1740, situasi bertambah panas karena gerakan perlawanan semakin kerap
terjadi. Salah satunya adalah insiden di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang.
Orang-orang Cina membunuh 50 serdadu Belanda yang membuat Valckenier murka dan
mengirimkan 1.800 tentara untuk membalasnya (Dharmowijono, Mengenai Kuli, Klontong, dan
Kapitan: Citra Orang Tionghoa dalam Sastra Indonesia-Belanda 1880-1950, 2011:302).

Valckenier pun menggelar rapat darurat dengan Dewan Hindia pada 26 September 1740
dan ingin agar dilakukan tindakan tegas untuk membasmi gerakan yang mengancam stabilitas
itu. Namun, Gustav Willem Baron van Imhoff selaku Ketua Dewan Hindia tidak setuju (Benny G.
Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2008:113).

Sidang digelar beberapa kali lagi karena masih terjadi perdebatan alot dari kedua belah
kubu yang bersilang pendapat. Hingga akhirnya, van Imhoff terpaksa menyetujui cara
Valckenier karena ancaman ternyata semakin nyata, apalagi setelah benteng Batavia dikepung
oleh kelompok pemberontak Tionghoa itu.

Banjir Darah di Batavia

Sejak Valckenier menjabat sebagai Gubernur Jenderal VOC pada 1737, populasi orang
Tionghoa di Batavia meningkat pesat seiring lesunya perekonomian dunia (Greg Purcell, South
East Asia Since 1800, 1965:14). Gelombang imigran dari Cina pun berdatangan ke Nusantara,
termasuk membanjiri Batavia.

Pada 1740 itu, jumlah imigran Cina dan keturunannya (peranakan) yang bermukim di
dalam benteng Batavia menembus angka 4 ribu orang. Sementara yang hidup di luar tembok
jauh lebih besar, yakni mencapai 10 ribu orang.

Tanggal 8 Oktober 1740, orang-orang Tionghoa dari wilayah sekitar Batavia, termasuk
Tangerang dan Bekasi, turut bergabung dalam pemberontakan. Jumlah mereka tidak kurang
dari 10 ribu orang. VOC pun melawan. Thomas Stanford Raffles (1830) dalam The History of
Java mencatat, 1.789 orang peranakan Cina terbunuh dalam insiden ini.
Valckenier mengerahkan pasukan militer yang lebih besar pada 9 Oktober 1740. Sejak
pagi hari, ratusan serdadu Belanda disebar untuk “membersihkan” orang-orang Tionghoa di
Batavia, baik yang menetap di dalam benteng, maupun yang ada di luar tembok.

Aksi keji pun terjadi. Hampir seluruh orang Cina yang ditemukan, tua-muda, pria-wanita,
bahkan bayi hingga lansia, dihabisi dengan membabi-buta. Bahkan, mereka yang sedang
dirawat di rumah sakit pun tidak luput dari pembantaian (Lilie Suratminto, “Pembantaian Etnis
Cina di Batavia 1740”, Jurnal Wacana, April 2004:24).

Polemik kian membesar, bahkan turut melibatkan kalangan lokal setelah beredar isu
bahwa orang-orang Cina berencana memperkosa perempuan lokal, membunuh para lelakinya,
atau menjadikannya sebagai budak (Setiono, 2008:114). Maka, kaum pribumi dari berbagai
suku yang ada di Batavia pun bergabung dengan VOC untuk membantai etnis Tionghoa.

Valckenier memanfaatkan situasi ini dengan menggelar sayembara. Ia menjanjikan


hadiah besar untuk setiap kepala orang Cina yang berhasil dipancung (Hembing
Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke, 2005:103). Dampaknya
signifikan. Ratusan orang Cina ditangkap dan disembelih di halaman Balai Kota Batavia,
termasuk para tahanan.

Pembantaian berlangsung setidaknya hingga 22 Oktober 1740, belum termasuk


rangkaian upaya pembersihan setelahnya. Tidak kurang dari 10 ribu orang Cina tewas, dan 500
orang lainnya luka berat, juga lebih dari 700 rumah warga Tionghoa dijarah dan dibakar baik
oleh serdadu VOC maupun kaum pribumi (W.R. van Hoevell, Batavia in 1740, 1840:447-557).

Aksi berdarah yang mirip genosida alias pemusnahan etnis ini kemudian dikenal dengan
istilah Chinezenmoord (Pembunuhan Orang Tionghoa), selain Geger Pacinan atau Tragedi
Angke dalam ungkapan lokalnya.

Angke sendiri konon berasal dari dua kata dalam bahasa Hokkian: ang yang artinya
“merah” dan ke yang berarti “sungai” (Alwi Shahab, Betawi: Queen of the East, 2002:103).
Dengan demikian, "angke” dapat diartikan “sungai merah”, semerah banjir darah kaum
Tionghoa yang dibantai di Batavia pada 1740 itu.
Analisis :

Menurut pendapat saya, keberadaan masyarakat Tionghoa yang melonjak di daerah


Batavia terhadap pemerintahan kolonial ini adalah , tidak ada salahnya bagi pemerintah
kolonial untuk melakukan transmigrasi untuk masyarakat Tionghoa ini, ke daerah-daerah
dibawah kekuasaan pemerintah kolonial. Tentunya masyarakat Tionghoa dapat menjadi tenaga
kerja yang layak dan tidak menyalahi hak asasi manusia seperti Tragedi Angke tersebut.
Sehingga, menurut saya tindakan tersebut tidak tepat, karena telah menyalahi hak asasi
manusia dan termasuk kejahatan genosida, serta pemerintahan kolonial tidak dapat
memanfaatkan sumber daya manusia dengan benar dan bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai