Anda di halaman 1dari 4

Materi

Gerakan Sosial Kepemudaan Dalam Pembangunan Demokrasi

Akhir-akhir lanskap perpolitikan dunia dipertontonkan dengan gerakan sosial


politik dengan intensitas tinggi baik nasional, regional, maupun internasional. Belum
hilang dalam ingatan gerakan sosial politik keagamaan yang berjilid-jilid medio 2017-
2018 di Indonesia, terakhir letupan besar gerakan mahasiswa dengan tuntutan
pembatalan beberapa produk kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode
2014-2019. Ditingkat regional Asia gelombang gerakan sosial politik di Hongkong
yang berlangsung berbulan-bulan menuntut pembatalan UU Ekstradisi atau gerakan
sosial politik menuntut peningkatan taraf kesejaterahan oleh jutaan warganegara Chile
menjadi tontonan tahun ini.

Gerakan sosial berbeda dengan berbagai bentuk aksi massa, seperti kerumunan dan
kerusuhan, pemberontakan, dan revolusi. Kerumunan merupakan aksi massa yang
tidak memiliki sebentuk organisasi, sangat cair, meletup, dan hilang secara tiba-tiba.
Kerusuhan adalah kekacauan massal yang meletup secara tiba-tiba, dalam periode
singkat, dan melakukan perusakan atau menyerang kelompok tertentu. Bedanya
dengan kerumunan ialah kerusuhan selalu menggunakan kekerasan. Pemberontakan
merupakan aksi terorganisasi untuk menentang atau memisahkan diri dari sistem dan
otoritas yang dianggap mapan. Revolusi mengandaikan partisipasi seluruh masyarakat
dalam keseluruhan wilayah suatu negara untuk menggulingkan dan menggantikan
tatanan politik dengan suatu yang baru. Revolusi, dalam pengertian ini, merupakan
upaya menyusun kembali tatanan sosial, politik, dan ekonomi dengan memasukkan
perubahan fundamental dalam struktur masyarakat.

Sedangkan gerakan sosial menurut Singh, biasanya merupakan mobilisasi untuk


menentang negara dan sistem pemerintahannya, yang tidak selalu menggunakan
kekerasan dan pemberontakan bersenjata, sebagaimana terjadi dalam kerusuhan,
pemberontakan, dan revolusi. Menurutnya, umumnya gerakan sosial menyatakan
dirinya di dalam kerangka nilai demokratik. Sedangkan Tarrow mendefinisikan
gerakan sosial sebagai tantangan kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang
memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang
berkelanjutan dengan kelompok elite, lawan, dan penguasa. Di sini terdapat empat
kata kunci penting, yakni tantangan kolektif, tujuan bersama, solidaritas sosial, dan
interaksi berkelanjutan. Della Porta dan Diani menawarkan sedikitnya empat
karakteristik utama gerakan sosial, yakni (1) jaringan interaksi informal; (2) perasaan
dan solidaritas bersama; (3) konflik sebagai fokus aksi kolektif; dan (4)
mengedepankan bentuk-bentuk protes. Dengan kata lain, gerakan sosial merupakan
jaringan-jaringan informal yang mendasarkan diri pada perasaan dan solidaritas
bersama, yang bertujuan memobilisasi isu-isu konfliktual, melalui berbagai bentuk
protes yang dilakukan secara terus-menerus. Hal-hal ini pula yang membedakan
gerakan sosial dengan gerakan yang dilakukan oleh partai politik, kelompok
kepentingan, sekte-sekte agama, protes sesaat, atau koalisi politik sesaat.

Oleh karena itu, gerakan sosial senyawa dengan demokrasi. Kehadirannya


menandakan bahwa demokrasi tidak hanya sebatas partisipasi politik masyarakat
periodik di kotak suara, tapi partisipasi aktif dalam setiap pengambilan kebijakan
publik di semua tingkatan. Rangkaian panjang hiyakat Indonesia telah
memperlihatkan bagaimana gerakan sosial menjadi obat dari stagnasi sistem politik
maupun produk kebijakan yang dilahirkan. Dalam pembangunan demokrasi gerakan
sosial menjadi salah satu sinyal, dengan catatan dilakukan sesuai dengan nilai-nilai
demokrasi.

Dewasa ini, pemuda memiliki peranan penting dalam menjadi lokomotif utama
penggerak dalam menkritisi kebijakan yang dilahirkan demokrasi. Fenomena
Indonesia menunjukan bahwa pemuda akan segera memasuki musim seminya yang
ditandai dengan presentasi tertinggi usia yang dikategorikan pemuda 18-35 dalam
sebaran pendudukanya atau yang sering disebut bonus demografi. Potensi besar
pemuda Indonesia menjadi angina segar untuk pembangunan demokrasi, salah
satunya melalui gerakan sosial. Faktor pendukung lainnya adalah digitalisasi media
komunikasi yang dapat membuat gerakan sosial semakin efektif dan massif dalam
pembangunan gerakan sosial di Indonesia.

Bennet dan Segerberg dalam The Logic of Connective Action merumuskan


kerangka konsep baru untuk memahami dinamika aktivisme dalam ruang digital.
Konsep ini disebut connective action atau pola partisipasi individual berdasarkan
konektivitas media digital. Ada tiga poin utama yang menjadi karakteristik connective
action.  Pertama, partisipasi politik dalam ruang maya berjalan dalam
logika connective action yang berbeda dari logika klasik collective action. Jika
sebelumnya, individu akan ikut dalam upaya kolektif jika ia punya insentif lebih
dibanding sumber daya yang harus ia keluarkan. Karena itu, agar efektif, tindakan
kolektif harus terkoordinasi, punya hierarki kepemimpinan dan strategi organisasi,
ada ikatan keanggotaan, dan menanamkan identitas kolektif atau ideologi. Artinya,
individu terlibat dalam aksi kolektif demi kepentingan kelompok.

Sebaliknya, dalam connective action, individu tidak perlu punya komitmen


terhadap kelompok tertentu. Partisipasi bisa dilakukan tanpa perlu repot menjadi
anggota. Secara ekonomi, insentifnya adalah kepuasan ketika ia mengekspresikan
dirinya dalam arus jejaring sosial. Secara politik, yang menjadi ikatan adalah
kesamaan preferensi personal. Dalam ruang maya, aktivisme politik bersifat cair,
fleksibel, dan tidak mengikat karena dilakukan secara personal, tetapi terkoneksi satu
sama lain oleh kepedulian bersama akan isu tertentu. Contohnya, mulai dari petisi
daring, gerakan tagar sepeti #ReformasiDikorupsi. Aksi-aksi ini umumnya hanya
disatukan oleh kegelisahan dan keberpihakan terhadap figur atau isu tertentu, yang
tersebar lewat jejaring sosial. Partisipasi menyebar secara getok tular, atau viral dari
akun media satu ke lainnya, bukan lewat jalur koordinasi terpusat.

Kedua, dalam media digital, partisipasi politik lebih menyerupai ekspresi personal


individu dibanding aksi kelompok. Beredarnya tagar (hashtag) menjadi bingkai
bersama sebagai penanda akan suatu isu, tetapi pemaknaannya bisa berbeda bagi
setiap orang. Melalui bingkai ini, kita dapat terkoneksi, walaupun narasi, pandangan,
dan makna yang diberikan bisa sangat personal, sesuai dengan aspirasi, harapan,
keluhan, keyakinan, dan gaya hidup masing-masing.

Ketiga, jejaring komunikasi menjadi inti pengorganisasian dalam ruang digital,


menggantikan peran hierarki pimpinan dan keanggotaan. Media tidak hanya sebagai
kanal, tetapi juga menyediakan struktur (dalam bentuk algoritma) untuk membentuk
persepsi dan mengkoordinasi aksi. Mulai dari pertarungan wacana, debat kusir,
penyebaran propaganda, pembuatan petisi, rekrutmen anggota, iuran dana, rapat dan
koordinasi aksi dilakukan via bermacam aplikasi dan media sosial.

Orang tidak perlu bertemu, tidak perlu saling kenal untuk bisa berpartisipasi.
Partisipasi tak eksklusif pada anggota inti organisasi, tapi juga menarik simpatisan
dan orang luar yang membantu menyebarkan gagasan, menyumbang dana, atau ikut
turun ke jalan. Tidak seperti long march atau revolusi tahun 1960-1980an yang
umumnya dikomando serikat pekerja, mahasiswa, atau elit parpol, gerakan sosial
kontemporer lebih cair, tidak terbatas ideologi, dan beragam level partisipasinya.

Era media digital sangat dekat dan lahir beriringan dengan kemunculan pemuda
yang hari ini menjadi tumpuan utama masa depan Indonesia. Ditambah dengan
jumlah yang sangat besar, gerakan sosial mempunyai masa depan cerah dalam
pembangunan demokrasi di Indonesia jika mampu dimanfaatkan dengan baik.

Daftar pustaka

Della Porta, Donatella and Mario Diani. 1999. Social Movements: An Introduction.
Oxford: Blackwell.

Singh, Rajendra. 2001. Social Movements, Old and New: a Post-Modernist


Critique. London:Sage Publications.

Tarrow, Sidney. 1998. Social Movements and Contentious Politics.


Cambridge:Cambridge University Press.

Bennet, W. Lance and Alexandra Segerberg. 2013. The Logic of Connective


Action: Digital Media and the Personalization of Contentious Politics. Cambridge:
Cambridge University Press.

Anda mungkin juga menyukai