Anda di halaman 1dari 6

ARSITEKTUR TROPIS KEPULAUAN

Potensi dan Permasalahan Lingkungan Kepulauan: Pulau, Perairan,


Pesisir (waterfront)

OLEH
RIA AMRIATI (D051171016)

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
Potensi dan Permasalahan Lingkungan Kepulauan: Pulau, Perairan,
Pesisir (waterfront)
Wilayah pesisir dan laut menjadi wilayah strategis dan penting bagi masa
depan Indonesia mengingat wilayah ini mendominasi total wilayah Indonesia,
sebagai negara Kepulauan terbesar di dunia. Dengan luas wilayah teritorial
sebesar 7,1 juta km2, wilayah laut mendominasi dengan luas kurang lebih 5,4 juta
km2 . Dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia dapat memanfaatkannya untuk
melakukan pembangunan di lingkungan kepulauan. Perencanaan dan
pengelolaan dilakukan secara berkelanjutan dan dinamis dengan
mempertimbangkan aspek ekologi, sosial ekonomi, kelembagaan, sarana wilayah,
dan aspirasi masyarakat penggguna wilayah kepulauan.
Menurut Ketchum (1972), wilayah pesisir secara ekologis adalah sebuah
wilayah yang dinamik dengan pengaruh daratan terhadap lautan atau sebaliknya.
Proses keterkaitan antara wilayah daratan dan lautan ini merupakan sumber
dinamika yang penuh tantangan dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir dan
laut secara terpadu.
Dari gambar dibawah dapat terlihat diagram tentang keterkaitan ekosistem
darat dan laut. Diagram berpangkal dari beberapa kegiatan baik dari darat maupun
laut beserta akibat yang ditimbulkan, yang berujung pada perusakan ekosistem
pesisir.

Gambar 1. Keterkaitan Ekosistem Darat dan Laut


Sumber: Modul mata kuliah arsitektur tropis kepulauan Unhas “Potensi Pulau”

Kegiatan di darat yang berpotensi merusak ekosistem pesisir antara lain


pengembangan pesisir, pengembangan pertanian dan perusakan hutan.
Pengembangan pesisir yang dilakukan dengan penggundulan hutan bakau
dan dredging atau reklamasi mengakibatkan rusak dan hilangnya hutan bakau
serta terumbu karang yang merupakan bagian penting dari ekosistem pesisir.
Fakta menunjukan dalam kurun waktu tahun 2000-2014, Indonesia tercatat
sebagai negara penyumbang kehilangan hutan mangrove terluas di dunia, yakni
sekitar 311 km2 per tahunnya. Kehilangan dan kerusakan hutan mangrove telah
menyebabkan berbagai dampak negatif ekologi, ekonomi dan sosial. Mangrove
terbukti melindungi pesisir pantai, termasuk manusia yang menghuninya dari
hempasan tsunami dan angin badai. Hutan mangrove juga merupakan habitat
penting bagi ikan, udang, kepiting, burung air, dan mamalia laut. Selain itu,
kerusakan dan kehilangan mangrove juga memicu pelepasan gas-gas rumah kaca
(GRK), seperti korbon diaksida (CO2) dan metan (CH4). Reklamasi yang
merupakan campur tangan manusia terhadap alam, selain membawa dampak baik
juga dapat membawa dampak buruk. Dampak negatif dari reklamasi pada
lingkungan meliputi dampak fisik seperti perubahan hidro-oseanografi, erosi
pantai, sedimentasi, peningkatan kekeruhan, pencemaran laut, perubahan rejin air
tanah, peningkatan potensi banjir dan penggenangan di wilayah pesisir.
Sedangkan, dampak biologis berupa terganggunya ekosistem mangrove, terumbu
karang, padang lamun, estuaria dan penurunan keaneka ragaman hayati.
Selain itu, Pengembangan pesisir yang dapat menghasilkan limbah
domestik dan industi serta pengembangan pertanian yang penggunaan perstisida
secara berlebihan berpotensi menurunkan kualitas air estuari (perairan muara
sungai semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut) dan berakhir dengan
mencemari perairan pantai jika tidak dikelola dengan baik.
Sekitar hampir 80% pencemaran laut seperti sampah plastik, logam berat,
dan limbah cair, berasal dari kegiatan di daratan. Pencemaran laut ini berdampak
negatif bukan hanya untuk ekosistem, tetapi untuk perekonomian masyarakat
setempat. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, limbah domestik
merupakan pencemar dengan jumlah terbesar (85%) yang masuk ke badan air
seperti danau, sungai, muara, dan laut. Besarnya jumlah pencemar dari limbah
domestik yang masuk ke badan air disebabkan oleh kesadaran masyarakat untuk
hidup bersih dan sehat masih relatif rendah. Sebagian besar masyarakat masih
membuang air limbah domestik dari kegiatan mandi, cuci, dan kakus (grey water)
begitu saja ke dalam saluran drainase yang seharusnya untuk air hujan. Akibatnya
banyak jenis penyakit yang muncul secara epidemik maupun endemik melalui
perantara air. Sedangkan limbah industri yang biasanya dihasilkan oleh pabrik
sebagai limbah produksi tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat mencemari air.
Sifat dari limbah ini kadang berbahaya dan ada pula yang bisa dinetralisir dengan
cepat. Limbah yang berbahaya ini akan mencemari lautan jika tidak diolah terlebih
dahulu dan pada akhirnya dapat merusak ekosistem laut. Jika kuantitas dan
intensitas limbah masih dalam batas normal, alam masih mampu melakukan
penguraian dengan proses kimia, fisika, dan biologi secara alami. Namun,
peningkatan populasi manusia telah menyebabkan peningkatan kuantitas dan
intensitas pembuangan limbah sehingga membuat proses penguraian limbah
secara alami menjadi tidak seimbang. Bila hal ini terjadi secara terus menerus,
Soemarwoto (1991) memperkirakan akan terjadi peningkatan kadar BOD, COD, N
dan K di badan air, peningkatan jumlah bakteri coli pada sumur dan sumber air
penduduk lainnya dan pada akhirnya dapat memacu pertumbuhan gulma air.
Pengembangan pertanian juga dapat menghasilkan limbah yang menjadi
penyebab pencemaran air. Contoh pencemaran air dari limbah pertanian ini
berasal dari pupuk kimia dan pestisida yang digunakan untuk memelihara
tanaman. Tak hanya air permukaan, limbah ini juga menyebabkan pencemaran
air tanah. Menurut Rais (2004), ketika aliran sungai melalui lahan pertanian,
sungai akan menampung limpahan air hujan yang jatuh di lahan pertanian dan
mengalir ke sungai yang membawa residu dari pupuk, pestisida serta senyawa
kotoran ternak. Menurut KP3K-DKP (2009), pembukaan lahan sebagai bagian dari
kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian yang masuk ke perairan
pesisir dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan pesisir dan perusakan hutan juga dapat mengakibatkan
erosi tanah dan landslide (tanah longsor) yang kemudian mengakibatkan
sedimentasi di dasar estuari yang merusak ekosistem estuari itu sendiri, juga
merusak ekosistem pesisir di laut.
Pada daerah Perairan Estuari yang merupakan daerah dinamis, dapat
terjadi proses pengendapan atau erosi dikarenaka fluktuasi distribusi sedimen
yang tidak menentu. Dalam proses ini jika suatu muara Sungai mengalami
pengendapan oleh material sedimen, maka muara Sungai akan mengalami
pendangkalan. Bahkan jika material sedimen terendap sangat banyak dalam kurun
waktu yang lama, maka akan terbentuk tanah oloran di bibir muara atau terbentuk
delta ditengah-tengah muara. Namun jika sebaliknya proses erosi dikarenakan
material sedimen yang ada pada muara mengalami perpindahan ke laut lepas
salah satu faktor penyebabnya adalah akibat terbawa oleh arus Sungai yang
deras. Kedua proses tersebut natinya akan berdampak pada pengelolaan lahan
kedepannya.
Selain kegiatan di daratan, ada pula kegiatan di wilayah laut yang
berpotensi merusak ekosistem pesisir, antara lain illegal fishing, penggalian
karang/ pasir, serta tumpahan minyak dari kecelakaan kapal dan pabrik kimia.
Illegal fishing dengan penggunaan dinamit dan bahan kimia secara
berlebihan (overfishing) berakibat pada penurunan sumberdaya perikanan dan
perusakan terumbu karang pada ekosistem pesisir. Menurut Dahuri (2005), salah
satu faktor penyebab deplesi sumber daya perikanan laut adalah kegiatan
penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sifatnya destruktif.
Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ini pada dasarnya
merupakan kegiatan penangkapan ikan yang tidak legal. Penggunaan bahan
peledak rakitan atau dinamit, bahan kimia berbahaya, pukat harimau, dan alat
tangkap lainnya yang tidak selektif, menyebabkan terancamnya kelestarian
sumber daya hayati laut, akibat kerusakan habitat biota laut dan kematian sumber
daya ikan. Penangkapan ikan secara ilegal dengan menggunakan bahan peledak
rakitan atau dinamit masih sering dilakukan pada sebagian besar wilayah di Asia
Tenggara dan telah mengakibatkan kerusakan terumbu karang di kawasan
tersebut. Selain menyebabkan kematian ikan dan organisme lainnya, ledakan
dinamit meninggalkan patahan karang yang berserakan dan menggeser atau
menutupi karang-karang muda lain yang masih hidup, sehingga menghambat atau
mencegah pemulihan karang (Fox et al. 2003 dalam Damhudy 2009). Terumbu
karang sebagai salah satu sumberdaya hayati laut memiliki peranan penting dalam
sistem ekosistem perairan pesisir dan laut. Kerusakan terumbu karang
menyebabkan terganggunya spawning ground, nursery ground dan feeding
ground bagi berbagai jenis ikan dan udang yang bernilai ekonomis (Sitorus, 2009).
Tumpahan minyak dari kecelakaan kapal dan pabrik kimia juga berakibat
pada perusakan ekosistem pesisir karena pencemaran akibat tumpahan minyak
tersebut. Dampak dari tumpahan minyak di laut tergantung pada banyak faktor,
antara lain karakteristik fisik, kimia, dan toksisitas dari minyak, dan juga
penyebarannya yang dipengaruhi oleh dinamika air laut pasang surut, angin,
gelombang dan arus. Dampak dari senyawa minyak yang tidak dapat larut di dalam
air akan mengapung dan menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa
komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit
polutan pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen hidrokarbon yang
bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan,
perilaku biota laut, terutama pada plankton. Akibatnya, dapat menurunkan
produksi ikan, hingga kematian yang diakibatkan toksisitas. Selain dapat
menghalangi sinar matahari masuk ke lapisan air laut, lapisan minyak juga dapat
menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen
sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung kehidupan laut aerob.
Penggalian karang/ pasir juga dapat berakibat langsung pada perusakan
ekosistem pesisir dan erosi pantai pada wilayah laut serta kerusakan struktur
daratan. Dari beberpa literasi kajian, penggalian atau pengerukan pasir laut
membawa dampak pada kerusakan ekosistem laut yang semakin parah. Aktivitas
ini memiliki dampak negatif antara lain tingginya tingkat kekeruhan air laut yang
akan berdampak pada terumbu karang sebagai habitat sejumlah besar organisme
laut, berkurangnya hasil tangkapan ikan oleh nelayan karena selain pasir biota
laut juga dapat ikut terangkat, serta memicu terjadinya abrasi dan hilangnya pulau-
pulau kecil.
Dari diagram keterkaitan ekosistem darat dan laut yang ada pada gambar
diatas, dapat diketahui adanya interaksi antar ekosistem darat dan laut yang
terjalin secara dinamis, siklis dan seimbang. Kesatuan ekosistem darat dan laut ini
harus diperhatikan dalam menata ruang kepulauan nusantara. Penataan ruang
berbasis kepulauan hendaknya menggunakan pendekatan dengan prinsip wilayah
kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan daratan dan lautan.
Untuk mewujudkan suatu tata ruang yang berdasar pada karakteristik
wilayah kepulauan perlu didasari pertimbangan rekayasa jejaring keruangan,
rekayesa ekologis kawasan kesatuan interaksi daratan dan kelautan serta
rekayasa perencanaan dan pengelolaan lintas batas (transboundary) baik secara
administratif maupun fungsional. Melalui koordinasi ketiga elemen rekayasa
tersebut diharapkan dapat mewujudkan suatu model rekayasa tata ruang dan
infrastruktur secara terpadu yang meliputi sistem pemetaan dan monitoring
kelautan, desain keruangan kawasan dan infrastruktur, sistem pertahanan dan
keamanan kelautan, pemberdayaan masyarakat serta hukum dan peraturan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdi, Husnul. 2019. 9 Penyebab Pencemaran Air yang Harus Disadari, dari
Detergen hingga Limbah Pabrik. Diakses dari
https://hot.liputan6.com/read/3993874/9-penyebab-pencemaran-air-yang-
harus-disadari-dari-detergen-hingga-limbah-pabrik pada 5 September
2020.

Aditya Pratama Putra, Darma. 2016. Pemodelan Perubahan Morfologi Perairan


Estuari Sungai Wonokromo, Surabaya. Diakses dari
http://repository.its.ac.id/51279/1/4311100012Undergraduate%20Thesis.p
df pada 5 September 2020.
Aris Sasongko, Lutfi. 2006. Kontribusi Air Limbah Domestik Penduduk di Sekitar
Sungai Tuk Terhadap Kualitas Air Sungai Kaligarang Serta Upaya
Penanganannya. Diakses dari
https://core.ac.uk/download/pdf/11715226.pdf pada 5 September 2020.

Moerdijat, Lestari. 2019. Reklamasi Pantai Sebagai Alternatif Pengembangan


Kawasan. Diakses dari
https://www.slideshare.net/LestariMoerdijat/reklamasi-pantai-sebagai-
alternatif-pengembangan-kawasan pada 5 September 2020.

Onrizal. 2018. Mangrove, Ekosistem Penting Langka yang Semakin Terancam.


Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2018/08/13/mangrove-
ekosistem-penting-langka-yang-semakin-terancam/ pada 5 September
2020.

Portonews. 2017. Tumpahan Minyak, Dampak dan Upaya Penanggulangannya.


Diakses dari https://www.portonews.com/2017/oil-and-chemical-
spill/tumpahan-minyak-dampak-dan-upaya-penanggulangannya/ pada 5
September 2020.
Saputra, Syandi. 2018. Stop Illegal Fishing! Illegal Fishing Merusak Rumah Biota
Laut. Diakses dari https://warstek.com/2018/12/04/illegal-fishing-perusak-
rumah-biota-laut/ pada 5 September 2020.

Tim Dosen. 2020. Modul mata kuliah Arsitektur Tropis Kepulauan “Potensi Pulau”.
Makassar: Universitas Hasanuddin

Anda mungkin juga menyukai