Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Pengertian Tasawwuf ............................................................................... 3

2.2 Sejarah Tasawwuf .................................................................................... 6

2.3 Dasar-Dasar Tasawwuf .......................................................................... 12

2.4 Pokok-Pokok Ajaran Tasawwuf............................................................. 14

2.5 Tujuan Tasawwuf ................................................................................... 16

2.6 Pro dan Kontrak ..................................................................................... 16

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22


BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati

orang sebagai buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang

membahas tasawuf disejumlah perpustakaan, dinegara-negara yang

berpenduduk muslim, juga Negara – Negara barat sekalipun yang

mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan

betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf.

Hanya saja, tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim

sebagai sebuah penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih

mendalam, ketertarikan mereka terhadap tasawuf dapat dilihat pada dua

kecenderungan terhadap kebutuhan fitrah atau naluriah dan kedua karena

kecenderungan pada persoalan akademis.

Kecenderungan pertama mengisyaratkan bahwa manusia

sesungguhnya membutuhkan sentuhan-sentuhan spiritual atau rohani,

kesejukan dan kedamaian hati merupakan salah satu kebutuhan yang ingin

mereka penuhi melalui sentuhan spiritual ini. Hal ini sebagaimana

diungkapkan oleh Barmawie Umarie bahwa setiap rohani manusia

senantiasa rindu untuk kembali ketempat asal, selalu rindu kepada

kekasihnya yang tunggal.

Adapun kecenderungan yang kedua mengisyaratkan bahwa

tasawuf memang menarik untuk dikaji secara akademis-keilmuan. Boleh

1
jadi, dengan kecenderungan yang kedua ini, kajian tasawuf hanya berfungsi

sebagai pengayaan keilmuan ditengah keilmuan-keilmuan lain yang

berkembang di dunia.

Kedua kecenderungan diatas menuntut keharusan adanya

pengkajian tasawuf dalam kemasan yang proposional dan fundamental. Hal

ini dimaksudkan agar tasawuf yang kian banyak menarik peminat itu dapat

dipahami dalam kerangka ideologis yang kuat, disamping untuk memagari

tasawuf dalam jalur yang benar. Jika tulisan ini dapat diterima jelas

dipandang perlu untuk merumuskan tasawuf dalam islam dalam kemasan

yang dilengkapi dengan dasar-dasar atau landasan yang kuat tentang

keberadaan tasawuf itu sendiri.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tasawwuf

2.1.1 Menurut Etimologi

Pengertian tasawuf menurut etimologi juga pendekatan lainnya,

terdapat perbedaan. Secara umum, diantara perbedaan tersebut tentu ada

garis merah atau benang merah yang dapat ditarik.

a) Berasal dari Kata Shuffah

Tasawuf berasal dari istilah shuffah. Shuffah berarti serambi

tempat duduk. Suffah berasal di serambi masjid Madinah yang disediakan

untuk mereka yang belum memiliki tempat tinggal atau rumah dan dari

orang-orang muhajirin yang ada di Masa Rasulullah SAW. Mereka dipanggil

sebagai Ahli Suffah atau Pemilik Sufah karena di serambi masjid Madinah

itulah tempat mereka.

b) Berasal dari Kata Shaf

Selain itu, istilah tawasuf juga berasal dari kata Shaf. Shaf

memiliki arti barisan. Istilah ini dilekatkan kepada tasawuf karena mereka,

para kaum sufi, memiliki iman yang kuat, jiwa dan hati yang suci, ikhlas,

bersih, dan mereka senantiasa berada dalam barisan yang terdepan jika

melakukan shalat berjamaah atau dalam melakukan peperangan.

3
c) Berasal dari Kata Shafa dan Shuafanah

Istilah Tasawuf juga ada yang mengatakan berasal dari kata

shafa yang artinya bersih atau jernih dan kata shufanah yang memiliki arti

jenis kayu yang dapat bertahan tumbuh di daerah padang pasir yang

gersang.

d) Berasal dari Kata Shuf

Pengertian Tasawuf juga berasal dari kata Shuf yang berarti bulu

domba. Pengertian ini muncul dikarenakan kaum sufi sering menggunakan

pakaian yang berasal dari bulu domba kasar. Hal ini melambangkan bahwa

mereka menjunjung kerendahan hati serta menghindari sikap

menyombongkan diri. Selain itu juga sebagai simbol usaha untuk

meninggalkan urusan-urusan yang bersifat duniawi. Orang-orang yang

menggunakan pakaian domba tersebut dipanggil dengan istilah

Mutashawwif dan perilakunya disebut Tasawuf.

2.1.2 Menurut Terminologi

Pengertian tasawuf menurut terminologi dari para ahli sufi juga

terdapat varian-varian yang berbeda. Hal ini dapat dijelaskan dari berbagai

pandangan sufi berikut:

a) Menurut Imam Junaid

Menurut seorang sufi yang berasal dari Baghdad dan bernama

Imam Junaid, Tasawuf memiliki definisi sebagai mengambil sifat mulia dan

meninggalkan setiap sifat rendah.

4
b) Menurut Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah seorang syekh yang

berasal dari Afrika Utara. Sebagai seorang sufi ia mendefinisikan tasawuf

sebagai proses praktek dan latihan diri melalui cinta yang mendalam untuk

ibadah dan mengembalikan diri ke jalan Tuhan.

c) Sahal Al-Tustury

Sahal Al Tustury mendefinisikan tasawuf sebaai terputusnya

hubungan dengan manusia dan memandang emas dan kerikil. Hal ini tentu

ditunjukkan untuk terus menerus berhubungan dan membangun kecintaan

mendalam pada Allah SWT.

d) Syeikh Ahmad Zorruq

Menurut Syeikh Ahmaz Zorruq yang berasal dari Maroko,

Tasawuf adalah ilmu yang dapat memperbaiki hati dan menjadikannya

semata-mata untuk Allah dengan menggunakan pengetahuan yang ada

tentang jalan islam. Pengetahuan ini dikhususkan pada pengetahuan fiqh

dan yang memiliki kaitan untuk mempebaiki amalan dan menjaganya

sesuai dengan batasan syariah islam. Hal ini ditujukan agar kebikjasanaan

menjadi hal yang nyata.

2.1.3 Secara Umum

Dari pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi dapat

diambil kesimpulan bahwa Tasawuf adalah pelatihan dengan kesungguhan

untuk dapat membersihkan, memperdalam, mensucikan jiwa atau rohani

manusia. Hal ini dilakukan untuk melakukan pendekatan atau taqarub

5
kepada Allah dan dengannya segala hidup dan fokus yang dilakukan hanya

untuk Allah semata.

Untuk itu, tasawuf tentu berkaitan dengan pembinaan akhlak,

pembangunan rohani, sikap sederhana dalam hidup, dan menjauhi hal-hal

dunia yang dapat melenakan. Tentu hal ini bisa membantu manusia dalam

mencapai tujuannya dalam hidup. Untuk itu, praktik tasawuf ini dapat

dilakukan oleh siapapun yang ingin membangun akhlak yang baik, sikap

terpuji, kesucian jiwa, dan kembalinya pada Illahi dalam kondisi yang suci.

Secara umum, tentu ajaran tasawuf jika dikembangkan tidak

boleh bertentangan dan juga bersebrangan dengan ajaran yang berasal

dari Wahyu Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sebagai bentuk kecintaan

manusia kepada Rasulullah tentunya juga harus tetap melaksanakan

ibadah sebagaimana Rasul ajarkan.

2.2 Sejarah Tasawwuf

Timbulnya tasawuf dalam islam tidak bisa dipisahkan dengan

kelahiran islam itu sendiri, yaitu semenjak Muhammad diutus menjadi Rasul

untuk segenap umat manusia dan alam semesta. Fakta sejarah

menunjukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul

telah berulang kali melakukan tahanuts dan khalawat di gua Hira’ disamping

untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk

memperturutkan hawa nafsu keduniaan. Di sisi lain Muhammad juga

berusaha mencari jalan untuk membersihkan hati dan mensucikan noda-

noda yang menghinggapi masyarakat pada masa itu. Tahanuts dan

6
khalawat yang dilakukan Muhammad SAW bertujuan untuk mencari

ketenagan jiwa dan keberhasilan hati dalam menempuh liku- liku probelma

kehidupan yang beraneka ragam , berusaha untuk memperoleh petunjuk

dan hidayah serta mencari hakikat kebenaran , dalam situasi yang

demikianlah Muhammad menerima Wahyu dari Allah SWT, yang berisi

ajaran- ajaran dan peraturan- peraturan sebagai pedoman dalam mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Dalam sejarah islam sebelum munculnya aliran tasawuf, terlebih

dahulu muncul aliran zuhud pada akhir abad ke I (permulaan abad ke II).

Pada abad I Hijriyah lahirlah Hasan Basri seorang zahid pertama yang

termasyhur dalam sejarah tasawuf. Beliau lahir di Mekkah tahun 642 M, dan

meninggal di Basrah tahun 728M. ajaran Hasan Basri yang pertama adalah

Khauf dan Rajah’ mempertebal takut dan harap kepada Tuhan, setelah itu

muncul guru- guru yang lain, yang dinamakan qari’ , mengadakan gerakan

pembaharuan hidup kerohanian di kalangan umat muslim. Sebenarnya bibit

tasawuf sudah ada sejak itu, garis- garis mengenai tariq atau jalan

beribadah sudah kelihatan disusun, dalam ajaran- ajaran yang

dikemukakan disana sini sudah mulai mengurangi makna (ju’), menjauhkan

diri dari keramaian dunia ( zuhud ).

Abu al- Wafa menyimpulkan, bahwa zuhud islam pada abad I

dan II Hijriyah mempunyai karakter sebagai berikut:

1. Menjaukan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas

agama, yang dilator belakangi oleh sosipolitik, coraknya bersifat

7
sederhana, praktis( belum berwujud dalam sistematika dan teori

tertentu ), tujuanya untuk meningkatkan moral.

2. Masih bersifat praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian

untuk menyusun prinsip- prinsip teoritis atas kezuhudannya itu.

Sementara sarana- saranapraktisnya adalah hidup dalam

ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan

maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah SWT. Dan

berlebih- lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak kepada

kehendak Nya., dan berserah diri kepada Nya. Dengan demikian

tasawuf pada masa itu mengarah pada tujuan moral.

3. Motif zuhudnya ialah rasa takut yaitu rasa takut, yaitu rasa takut yang

muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh- sungguh.

Sementara pada akhir abad II Hijriyah, ditangan Rabi’ah al-

Adawiyah muncul motif rasa cinta, yang bebas dari rasa takut

trhadap adhab- Nya maupun harapan terhadap pahala Nya. Hal ini

dicerminkan lewat penyucian diri dan abstraksinya dalam hubungan

antara manusia dengan Tuhan.

Akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid, khususnyadi Khurasan,

dan Rabi’ah al- Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bias

dipandang sebagai masa pendahuluan tasawuf, atau cikal bakal para

pendiri tasawuf falsafati abad ke- III dan IV Hijriyah. Abu al- Wafa lebih

sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’, dan nasik (bukan sufi)

(Abu alo- Wafa, 1970). Sejalan dengan pemikiran ini, sebelum Abu al-

8
Wafa, al- Qusyairi tidak memasukkan Hasan al- Basri dan Rabi’ah al-

Adawiyyah dalam deretan guru tasawuf.

Sedangkan zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase

yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting

bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan

hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih

dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat

menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak

setiap zahid merupakan sufi.

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu,

artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-

dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof.

Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud

sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai

moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya

kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan

sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam)

menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi

ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak

terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan

dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling

dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik

9
jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana,

puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”.

Jadi zuhud merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan dengan

tasawuf sebagai seorang zahid yang menjauhkan diri dari kelezatan

duniaserta mengingkarinya serta lebih mengutamakan kehidupan yang

kekal dengan mendekatkan diri untuk supaya tercapai keridhoan dan

makrifat perjumpaan dengan-Nya. Hal ini agar lebih mendekatkan diri

sebagai makhluk dengan Kholik sehingga dapat meraih keuntungan akhirat.

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes

yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam

menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk

meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa

mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan

seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Zuhud disini mengandung makna tidak berbangga atas

kemewahan dunia dan tidak membuat ingkar terhadap Allah SWT serta

tetap berusaha bekerja. Hal ini hanyalah sebagai sarana ibadah meraih

keridhoan-Nya, bukan sebagai tujuan akhir hidup.

Sifat zuhud inilah yang menjadi salah satu akibat suatu peristiwa

dan lanjutan munculnya tasawuf, yaitu sebagai reaksi kaum muslimin

terhadap sistem social politik dan ekonomi di kalangan islam sendiri. Ketika

islam mulai tersebar ke berbagai penjuru dunia, setelah tempo sahabat

(zaman tabiin abad ke I dan II) baik pada masa Kholifah maupun masa

10
daulah-daulah setelahnya banyak terjadi pertikaian politik ataupun

kemakmuran satu pihak, sudah mulai beubah kondisinya dari masa

sebelumnya. Sehingga menimbulkan pula peperangan saudara antara Ali

bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah yang bermula fitnah pada Utsman bin

Affan. Dengan adanya peristiwa tersebut membuat masyarakat dan ulama

tidak ingin terlibat terhadap pergolakan yang ada serta tidak mau

kemewahan dunia. Mereka lebih memilih untuk mengasingkan diri agar bisa

mengembalikan kondisi lingkungan kehidupan islam seperti dahulu, yaitu

seperti masa Nabi SAW, para sahabat serta para pengikutnya yang sesuai

dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadist pada jalan yang benar

menuju Rabb Yang Maha Esa.

Pada masa Bani Umayyah sistem pemerintahan berubah

menjadi monarki sehingga bebas berbuat kezaliman (terlebih kepada lawan

politiknya yaitu Syiah). Sampai terbunuhlah Husen bin Ali di Karbala dengan

kekejaman Bani Umayah, sehingga penduduk Kufah menyesal mendukung

pihak yang melawan Husein. Kemudian kelompok ini bernama Tawwabun

yang dipimpin Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi untuk membersihkan diri serta

beribadah. Demikian pula dari segi social yang bermewah-mewahan jauh

dari seperti zaman Nabi SAW. Kholifah Yazid yang dikenal pemabuk

membuat kaum muslimin merasa berkewajiban menyeru hidup zuhud,

sederhana, saleh dan tidak terjebak hawa nafsu seta kembali melirik pada

kesederhanaan kehidupan Nabi SAW dan para sahabatbya. Saat itulah

kehidupan zuhud menyebar luas di maaasyarakat pada abad-abad pertama

11
dan kedua hijriyah dengan berbagai aliran, seperti :madinah, Bashrah,

Kuffah, Mesir.

2.3 Dasar-Dasar Tasawwuf

Sesuai kesepakatan para alim ulama dan para pengkaji ilmu

tasawuf, menyatakan bahwa dasar daripada ilmu tasawuf ialah zuhud;

yakni merupakan implimentasi atau penerapan daripada nash-nash Al-

Qur’an dan hadist, yang berlandaskan kepada akhirat dan usaha untuk

menjauhkan diripada kesenangan dunia yang berlebihan agar terbentuk diri

yang suci dan bertawakkal kepada Allah SWT, mengharap ridha serta takut

kepada ancaman dan larangan Allah.

1. Firman Allah SWT yang dijadikan sebagai landasan

kezuhudan dalam kehidupan dunia, yakni (yang artinya): “Barang

siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah

keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki

keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari

keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di

akhirat.” (Q. S. Asy-Syuura : 20).

2. Firman Allah yang memerintahkan kepada orang-orang

beriman agar selalu menyiapkan bekal amal ibadah untuk akhirat,

yang artinya: yang Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya

kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,

perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-

banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang

12
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman

itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi

hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari

Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah

kesenangan yang menipu.” (Q. S. Al-Hadid: 20).

3. Firman Allah SWT berkaitan dengan kewajiban seorang

mukmin untuk selalu bertawakkal kepada Allah, yang artinya: “Dan

memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan

barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan

mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan

urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah

mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q. S. Ath-Thalaq: 3).

4. Firman Allah yang berkaitan dengan rasa takut dan hanya

berharap kepada-Nya; yang artinya; “Lambung mereka jauh dari

tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan

penuh rasa takut dan harap. Maksud dari perkataan Allah Swt :

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah bahwa mereka

tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat

malam.” (Q. S. As-Sajadah : 16). Adapun yang dimaksud dengan

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” ialah mereka yang tidak

tidur pada waktu dimana biasanya orang lain telah terlelap, yakni

untuk melaksanakan ibadah atau shalat malam.

13
2.4 Pokok-Pokok Ajaran Tasawwuf

2.4.1 Tasawwuf Akidah

Bagian dari ilmu tasawuf yang menekankan pada masalah

metafisi (gaib; tidak nampak wujud atau bentuknya) seperti keimanan

terhadap Tuhan, malaikat, surga dan nerak, qada dan qadar, dan lain-lain.

Para sufi menekankan pada pencapaian kehidupan akhirat yang bahagia

sehingga untuk mencapai hal tersebut diperlukan bekal berupa perbanyak

amal ibadah.

Dalam tasawuf aqidah menggambarkan bagaimana Ke-Esa-an

atau Ketunggalan Hakikat Allah SWT sebagai sesuatu yang mutlak. Demi

untuk menunjukkan hal tersebut kemudian dilukiskan kembali melalui sifat-

sifat ketuhanan-Nya; salah satunya ia dengan Asmaul Husna yang oleh

tarekat tertentu dijadikan sebagai dzikir.

2.4.2 Tasawwuf Ibadah

Bagian dari ilmu tasawuf yang menekankan pada masalah

rahasia ibadah Asraru al-‘Ibadah (rahasia ibadah), terdiri dari;

● Asraru Taharah (rahasia taharah)

● Asraru al-Salah (rahasia shalat)

● Asraru al-Zakah (rahasia zakat)

● Asrarus al-Shaum (rahasia puasa)

● Asraru al-Hajj (rahasia haji)

14
Kemudian, orang-orang yang melakukan perbuatan ibadah

dibedakan ke dalam 3 (tiga) tingkatan, yakni:

1. Al-‘Awam; tingkat pertama, yaitu tingkatan orang-orang yang

biasa.

2. Al-Khawas; tingkat kedua, yaitu tingkatan orang-orang yang

istimewa (Para wali/al-auliya’).

3. Khawas al-Khawas; tingkat ketiga, yaitu tingkatan orang-orang

yang istimewa atau luar biasa (Nabi/al-anbiya’).

2.4.3 Tasawwuf Akhlaqi

Bagian dari ilmu tasawuf yang menekankan pada masalah budi

pekerti atau akhlak yang di dalamnya dibahas tentang:

 At-Taubah (tobat) ; kesadaran akan perbuatan salah kemudian

insaf (bertaubat) dan menyesali serta tidak akan melakukan

perbuatan buruk itu lagi.

 Asy-Shukru (bersyukur) ; bersyukur atau berterima kasih kepada

Allah atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya. Tidak

hanya nikmat saja, melainkan bersyukur atas segala hal yang telah

diberikan-Nya kepada kita.

 Ash-Sabru (bersabar) ; tahan atau kuat dan lapang dada menjalani

kehidupan terutama saat masalah datang mendera.

 At-Tawakkul (bertawakkal) ; memasrahkan segala sesuatu kepada

Allah SWT, bukan berarti menyerah tetapi tetap berjuang untuk

menggapai tujuan.

15
 Al-Ikhlas (ikhlas, tulus) ; mendasari segala perbuatan hanya untuk

Allah SWT dan menjauhkan diri dari sifat suka dipuji (riya’) serta

melakukan perbuatan atau memberi pertolongan kepada orang lain

dengan tulus.

2.5 Tujuan Tasawwuf

Seyogyanya, ilmu tasawuf memiliki tujuan agar manusia

mengenal Allah SWT serta dapat berjalan di atas jalan kebenaran,

memperkuat aqidah, untuk menuju kemenangan abadi di akhirat kelak. Ilmu

tasawuf mengenalkan bahwa tujuan hidup ialah untuk beribadah kepada

Allah SWT; dengan semangat, dan tujuan yang jelas yakni akhirat.

Tasawuf juga mengajarkan manusia untuk melihat Tuhan

dengan ma’rifatullah; yakni melihat Allah SWT dengan hati yang jelas dan

nyata serta sadar atas segala kenikmatan dan kebesaran-Nya, tetapi tidak

kaifiyat (tidak menggambarkan Allah sebagai sesuatu apapun). Dengan

ilmu tasawuf, diharapkan orang-orang yang beriman dapat mencapai

kesempurnaan hidup; yakni derajat dan martabatnya yang baik (insal

kamil).

2.6 Pro dan Kontrak

Dalam menilai sebuah praktik atau ajaran agama apakah itu

sudah benar atau tidak, adalah dengan menilai apa yang dilakukan. Jika itu

didasari oleh dalil yang diakui oleh agama, yaitu Alquran dan Sunnah, maka

praktik atau ajaran tersebut benar. Jika tidak sesuai dengan Alquran dan

16
Sunah, maka praktik itu akan dinilai keliru. Termasuk dalam hal ini adalah

praktik tasawuf.

Untuk menilai apakah tasawuf itu bagian dari ajaran Islam atau

bukan, kita tinggal menilai apa yang dilakukan di dalamnya. Jika hanya

menilai bahwa di zaman Nabi Saw. tidak ada tasawuf karena tidak pernah

beliau sebutkan atau ajarkan secara rinci, ini adalah bentuk penilaian yang

terburu-buru.

Bukankah ulama sufi sendiri, semisal Junayd al-Baghdadi,

menyatakan bahwa mereka (para pengamal tasawuf) tidak sedang

menyimpang dari Alquran dan Sunah. Ia mengatakan bahwa, “Cara kami

(thariqatunaa) dalam beragama terikat dengan Alquran dan Sunnah.”

Sebagai cerminan, di zaman Nabi Saw. sendiri belum ada

disiplin ilmu tersendiri untuk menyimpulkan sebuah hukum, atau disebut

Ushul al-Fiqh. Tapi faktanya adalah adanya penyimpulan atau pendapat

tentang syariat di masa Nabi Saw. dan sahabat menunjukkan praktik

istinbath al-ahkam dalam ushul fikih sudah ada, meski belum memiliki nama

keilmuan yang spesifik.

Tasawuf juga demikian. Sebagian mencoba memperkuat

“stigma” ini dengan menggunakan pendekatan bahasa. Dalihnya adalah

kata tashawwuf bukan berasal dari kata shafaa yang berarti menyucikan

diri, namun dari kata al-shuuf yang bermakna jubah kasar yang digunakan

orang-orang saleh terdahulu sebagai tanda kesederhanaan dan zuhud dari

dunia.

17
Menurut mereka yang menolak tasawuf, kebiasaan ini pertama

kali muncul pada abad 2 H, tepatnya saat Hasan al-Bashri berinisiatif

mengenakan pakaian tersebut karena ia merasa para penguasa saat itu

sudah terlalu bermewah-mewah bahkan dalam urusan pakaian.

Namun, Hasan al-Bashri sebenarnya tidak menghendaki itu

terus-menerus, tapi karena beliau orang saleh akhirnya banyak yang

menirukan secara terus-menerus. Permasalahannya adalah ketika menilai

bahwa orang yang menirukan pakaian Hasan al-Bashri tersebut lalu terus

berkembang menjadi ciri khusus orang yang menjalankan praktik tasawuf,

sedang melakukan bid’ah yang sesat.

Kenyataannya, pemaknaan tentang asal usul kata tasawuf tidak

tunggal. Mengutip ‘Ali Sami al-Nassyar dalam karyanya Nasy’atu al-Fikr al-

Falsafi fi al-Islam, yang memahami kata al-tashawwuf terambil dari kata al-

shuuf tersebut adalah bagian dari keragaman definisi tentang apa itu sufi.

Menurut al-Kalabadzi, dalam bukunya Atta’arruf li Madzhabi Ahli

al-Tashawwuf ada sekian definisi tentang tasawuf salah satu adalah

tasawuf berasal dari kata shuuf tadi. Namun, ada definisi lain misalnya

terambil dari kata shafaa yang berarti murni atau bersih. Karena ahli

tasawuf adalah man shafat lillahi mu’aamalaatuhu (siapa yang interaksinya

dengan Allah murni/tidak menyekutukan dengan selain-Nya).

Ada lagi pembahasan menarik. Menurut al-Thusi dalam kitabnya

Alluma’ fi al-Tashawwuf, kata sufi sebenarnya bukan hanya diambil dari

18
kata shafaa ataupun shuf. Justru, kata tersebut berasal disinyalir berasal

dari julukan bagi seorang saleh yang dijuluki shufi pada masa pra-Islam.

Kisah ini juga disebutkan oleh Ibn al-Jawzi dan Abu Nu’aim

dalam Hilyatu al-Awliya, di mana Mekkah pernah suatu ketika kosong dari

orang yang beribadah ke Ka’bah. Sampai suatu ketika muncul seorang laki-

laki dari luar Mekkah yang bertawaf di Ka’bah, lalu orang-orang ramai

menyebutnya shufi.

Junayd al-Baghdadi, tokoh yang dijuluki dengan Syaikh al-

Shufiyah dalam Siyar A’laam al-Nubala, mengatakan kalau tasawuf adalah,

“membebaskan yang Maha Terdahulu (Allah) dari yang baru (ciptaan),

keluar dari negeri (untuk berkelana), memutus semua yang dicintai,

meninggalkan yang dia tahu (dengan akal belaka) atau tidak, seseorang

bersikap zuhud dengan apa yang dianugerahkan Allah, dan berharap apa

yang akan Dia berikan (di Akhirat). Jika seseorang sudah demikian, Allah

akan menganugerahinya tersingkap beragam ilmu.

Dari beberapa pemaparan tentang asal usul kata tasawuf saja,

kita mendapatkan gambaran bahwa tasawuf pada esensinya adalah bagian

dari ajaran-ajaran Islam yang mendorong seorang hamba untuk

menyembah dengan penuh keikhlasan kepada Allah Swt.

Seperti kata al-Thusi dalam karyanya Alluma’ fi al-Tashawwuf,

seorang sufi ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai makna sebuah

dalil atau ada pertentangan antara dua dalil, ia akan memilih untuk lebih

19
berhati-hati (ihtiyath), dan memilih yang paling mendekatkan diri kepada

Allah Swt.

20
BAB III

PENUTUP

Secara etimologi kata tasawuf berasal dari istilah yang

dikonotasikan dengan “ahlu Siffah” , yang berarti sekelompok orang dimasa

Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam diserambi-serambi masjid, dan

mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.”

Ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari “Shafa” kata ini

berbentuk Fi’il Mabni Majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf

Ya’ Nisbah, yang berarti sebagai nama bagi orang orang yang “bersih” atau

“suci”. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dihadapan

Tuhan-Nya”

21
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu

al-Misriyyah,1954.

Khoiri, Alwan.Dr.M.A., Damami.Moh.Drs.M.A.g., dkk., Akhlak

Tasawuf, Yogyakarta, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab –

Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984.

Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam,

Jakarta, Bulan Bintang,1995.

Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat

Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002.

22

Anda mungkin juga menyukai