Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH TUTORIAL

SKENARIO 1

Disusun untuk memenuhi tugas tutorial


Dosen Pengampu: Rinta Agustina Pratiwi, S.Kep., Ners

Penyusun:
Kelompok 4
1. KAREN AUDREY/201913041/KETUA
2. MUHAMMAD ARYA//SEKRETARIS
3. KIKI MURTAKI
4. LELLA JAHRA
5. LIA TASYA MULYATI
6. M. AGIST
7. MAULA RACHMA
8. MEDDY JEFRYYAN
9. MUHAMMAD ADAM
10. MUHAMMAD ANGGI

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKes WIJAYA HUSADA BOGOR
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Pencipta dan
Pemelihara alam semesta ini, atas karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Makalah Tutorial Skenario I”. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan bagi nabi Muhammad SAW, keluarga dan para
pengikutnya yang setia hingga akhir zaman termasuk kita semua.
Disadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam pembahasan makalah
ini dari teknis penulisan sampai dengan pembahasan materi untuk itu besar
harapan kami akan saran dan masukan yang sifatnya mendukung untuk perbaikan
ke depannya.

Bogor, Februari 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak menular serta
prevelansinya terus meningkat setiap tahunnya dan salah satu penyakit kronik
yang sering ditemui dan menyebabkan penyakit kronik dalam bentuk
angioipati berupa gangguan pembuluh darah kaki (Boedisantoso, 2013). Luka
kaki diabetic sebagai kelainan yang terjadi pada kaki diabetic dapat
disebabkan karena adanya gangguan pembuluh darah kaki. Masalah tersebut
dapat menimbulkan masalah kaki yang umumnya terjadi diantaranya kapalan
(callus), kulit kaki retak (fissure), dan radang ibu jari kaki. Bila tidak dirawat
dengan baik maka kaki diabetic akan mudah mengalami luka dan mudah
berkembang menjadi gangrene yang berisiko tinggi mengalami masalah
kerusakan integritas jaringan (Soegondo, 2013). Setelah dilakukan tindakan
keperawatan diharapkan dampak negative yang ditimbulkan dapat ditekan
serendah-rendahnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan DM tipe 2?
2. Seperti apa luka gangrene pada daerah dorsal pedis?
3. Tindakan dan pemeriksaan apakah yang dilakukan pada klien dengan DM?
4. Apakah faktor keturunan mempengaruhi terjadinya DM?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian dari DM tipe 2
2. Mengetahui bentuk luka gangrene pada daerah dorsal pedis
3. Mengetahui tindakan dan pemeriksaan yang dilakukan pada klien dengan
DM
4. Mengetahui faktor keturunan yang mempengaruhi terjadinya DM
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang umum terjadi pada
dewasa yang membutuhkan supervisi medis berkelanjutan dan edukasi
perawatan mandiri pada pasien (LeMone, 2015). Diabetes Melitus adalah
sekelompok penyakit metabolic yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa dalam darah akibat defek sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya
(Smeltzer & Bare, 2016). Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit kronis
progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, mengarah ke hiperglikemia (kadar
glukosa darah tinggi) (Black and Hawk, 2014). Klasifikasi Menurut Black
and Hawk (2014) dan LeMone (2015) Diabetes Mellitus diklasifikasikan ke
dalam empat kategori klinis yaitu: Diabetes Melitus tipe 1 atau Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), Diabetes Melitus tipe 2 atau Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM), Diabetes spesifik lain dan
Diabetes Melitus gestasional.

B. ETIOLOGI
Pada umunya Diabetes Mellitus disebabkan karena ada dua hal, yaitu
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus
tergantung insulin disebabkan oleh destruksi sel beta pulau Langerhans akibat
proses autoimun. Sedangkan Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) atau diabetes mellitus tidak tergantung insulin disebabkan
kegagalan relative sel beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
136 jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa hati. Selain itu
penyebab Diabetes Mellitus antara lain: genetik, obesitas dan gaya hidup.
C. PATOFISIOLOGI & PATHWAY
Menurut Smeltzer & Bare (2012), diabetes mellitus tipe 2 ini terdapat dua
masalah utama yang berhubungan dengan insulin itu sendiri, antara lain:
resisten insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin terikat pada
reseptor khusus di permukaan sel. Akibat dari terikatnya insulin tersebut
maka, akan terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam
sel tersebut. Resistensi glukosa pada diabetes mellitus tipe 2 ini dapat disertai
adanya penurunan reaksi intra sel atau dalam sel.
Dengan hal – hal tersebut insulin menjadi tidak efektif untuk pengambilan
glukosa oleh jaringan tersebut. Dalam mengatasi resistensi insulin atau untuk
pencegahan terbentuknya glukosa dalam darah, maka harus terdapat
peningkatan jumlah insulin dalam sel untuk disekresikan. Pada pasien atau
penderita yang toleransi glukosa yang terganggu, keadaan ini diakibatkan
karena sekresi insulin yang berlebihan tersebut, serta kadar glukosa dalam
darah akan dipertahankan dalam angka normal atau sedikit meningkat.
Akan tetapi hal-hal berikut jika sel-sel tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan terhadap insulin maka, kadar glukosa dalam darah
akan otomatis meningkat dan terjadilah diabetes mellitus tipe II ini. Meskipun
terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas dari diabetes
mellitus tipe II ini, namun masih terdapat insulin dalam sel yang adekuat
untuk mencegah terjadinya pemecahan lemak dan produksi pada badan keton
yang menyertainya.
Diabetes mellitus tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi, jika gejalanya
dialami pasien gejala tersebut bersifat ringan seperti kelelahan, iritabilitas,
poliuri, polidpsi, luka pada kulit yang sembuh-sembuh, infeksi vagina dan
pandangan kabur.
D. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik pada Diabetes mellitus menurut Black and Hawks
(2014), memiliki tiga ciri khas yaitu: poliuri, polifagia, polidipsi. Selain itu
terdapat gejala-gejala lainnya seperti penurunan BB, lemah, letih,lesu dan
ketonuria.

E. KOMPLIKASI
Menurut Black and Hawks (2014), ada 2 (dua) komplikasi yang terjadi
pada Diabetes Mellitus yaitu: Komplikasi akut dan komplikasi kronik.
Komplikasi akut antara lain Hiperglikemia dan ketoasidosis diabetic, Sindrom
hiperglikemia hyperosmolar nonketosis dan hipoglikemia. Komplikasi kronik
terdiri dibagi menjadi dua yaitu makrovaskular dan mikrovaskular.
Komplikasi makrovaskular (Penyakit arteri coroner, penyakit
cerebrovascular, hipertensi, penyakit pembuluh perifer), komplikasi
mikrovaskular (retinopati diabetic, neuropati diabetic, nefropati diabetic).

F. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai
kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Hal ini dilakukan
karena banyaknya komplikasi kronik yang terjadi. Dalam Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan
dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu
edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.
1) Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku
sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga
pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya
meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.Tujuan
dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang
diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan
pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang
mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku
pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan
perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada
penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri,
perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet
tinggi lemak.

2) Terapi Gizi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu
makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan
terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-
20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
3) Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing
selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang
bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan
berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.
4) Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan
pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi
farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat
ini ada antara lain:

A. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)


Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea
1. Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas
2. Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau
kurang
3. Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang
tua, gangguan faal hati dan
4. Ginjal serta malnutrisi
b) Glinid
1. Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
2. Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih
ditekankan pada sekresi insulin fase pertama.
3. Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial.
Peningkat sensitivitas insulin:
a) Biguanid
1. Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah
Metformin.
2. Metformin menurunkan glukosa darah melalui
3. pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,
distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa
hati.
4. Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita
diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai
resistensi insulin.
b) Tiazolidindion
1. Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa sehingga
meningkatkan ambilan glukosa perifer.
2. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung
karena meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis:
a) Biguanid (Metformin).
1. Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga
mengurangi produksi glukosa hati
2. Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal
dengan kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati,
serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti
pada sepsis
3. Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia
seperti golongan sulfonylurea.
4. Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna
(mual) namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah
makan.

Penghambat glukosidase alfa :


a) Acarbose
1. Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus
halus.
2. Acarbose juga tidak mempunyai efek samping
hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea.
3. Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna
yaitu kembung dan flatulens.
4. Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-
like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide
yang dihasilkan ole sel L di mukosa usus. Peptida ini
disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1
merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat
glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi
metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat
DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan
menghambat penglepasan glukagon.

B. OBAT SUNTIKAN
Insulin
1. Insulin kerja cepat
2. Insulin kerja pendek
3. Insulin kerja menengah
4. Insulin kerja panjang
5. Insulin campuran tetap

Agonis GLP-1/incretin mimetik


1. Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa
menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan
glukagon
2. Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan
sulfonilurea
3. Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti
mual muntah.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis DM tipe II yaitu
dengan pemeriksaan glukosa darah dan pemeriksaan glukosa peroral
(TTGO). Sedangkan untuk membedakan DM tipe II dan DM tipe I dengan
pemeriksaan C-peptide.
1. Pemeriksaan Glukosa Darah
a) Glukosa Plasma Vena Sewaktu
Pemeriksaan gula darah vena sewaktu pada pasien DM tipe II
dilakukan pada pasien DM tipe II dengan gejala klasik seprti
poliuria, polidipsia dan polifagia. Gula darah sewaktu diartikan
kapanpun tanpa memandang terakhir kali makan. Dengan
pemeriksaan gula darah sewaktu sudah dapat menegakan diagnosis
DM tipe II. Apabila kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200mg/dl maka
penderita tersebut sudah dapat disebut DM. Pada penderita ini tidak
perlu dilakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa.
b) Glukosa Plasma Vena Puasa
Pada pemeriksaan glukosa plasma vena puasa, penderita
dipuasakan 8-12 jam sebelum tes dengan menghentikan semua obat
yang digunakan, bila ada obat yang harus diberikan perlu ditulis
dalam formulir. Intepretasi pemeriksan gula darah puasa sebagai
berikut : kadar glukosa plasma puasa <110 mg/dl dinyatakan
normal, ≥126 mg/dl adalah diabetes melitus, sedangkan antara 110-
126 mg/dl disebut glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
Pemeriksaan gula darah puasa lebih efektif dibandingkan dengan
pemeriksaan tes toleransi glukosa oral.
c) Glukosa 2 jam Post Prandial (GD2PP)
Tes dilakukan bila ada kecurigaan DM. Pasien makan
makanan yang mengandung 100 gr karbohidrat sebelum puasa dan
menghentikan merokok serta berolahraga. Glukosa 2 jam Post
Prandial menunjukkan DM bila kadar glukosa darah ≥200 mg/dl,
sedangkan nilai normalnya ≤140. Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) apabila kadar glukosa >140 mg/dl tetapi <200 mg/dl.
d) Glukosa jam ke-2 pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Pemeriksan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dilakukan
apabila pada pemeriksaan glukosa sewaktu kadar gula darah
berkisar 140-200 mg/dl untuk memastikan diabetes atau tidak.
Sesuai kesepakatan WHO tahun 2006, tatacara tes TTGO dengan
cara melarutkan 75 gram glukosa pada dewasa, dan 1,25 mg pada
anak-anak kemudian dilarutkan dalam air 250-300 ml dan
dihabiskan dalam waktu 5 menit. TTGO dilakukan minimal pasien
telah berpuasa selama minimal 8 jam. Penilaian adalah sebagai
berikut:
1) Toleransi glukosa normal apabila ≤ 140 mg/dl;
2) Toleransi glukosa terganggu (TGT) apabila kadar glukosa
>140 mg/dl tetapi < 200 mg/dl;
3) Toleransi glukosa ≥ 200 mg/dl disebut diabetes melitus.

2. Pemeriksaan HbA1c
HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang
tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai
dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa
dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula
darah selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya
mencerminkan saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian
jangka panjang. Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan
diabetes terutama untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar
glukosa yang berubah mendadak.

Tabel Kategori HbA1c yaitu :


HbA1c <6.5% Kontrol glikemik baik
HbA1c 6.5-8% Kontrol glikemik sedang
HbA1c>8% Kontrol glikemik buruk

H. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. Pengkajian Keperawatan
Beberapa pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan diabetes
mellitus menurut Doenges (2012) yaitu: aktivitas atau istirahat, sirkulasi,
integritas ego, eliminasi, makanan atau cairan, neurosensory, nyeri atau
keamanan, pernapasan, keamanan, seksualitas, penyuluhan kesehatan,
pemeriksaan diagnostic.

2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul pada penderita diabetes
mellitus menurut Doenges (2012) adalah sebagai berikut:
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotic, diare,
muntah, masukan dibatasi, mual, kacau mental.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakcukupan insulin, anoreksia, mual, lambung penuh, nyeri abdomen,
perubahan kesadaran.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi (sepsis) berhubungan dengan kadar glukosa
tinggi, penururnan fungsi leukosit, perubahan pada sirkulasi
4. Resiko tinggi perubahan sensori perseptual berhubungan dengan
perubahan kimia endogen, ketidakseimbangan glukosa atau elektrolit.
5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolic,
perubahan kimia darah: insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan
energy: status hipermetabolik/infeksi
6. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif
yang tidak diobati, ketegantungan pada orang lain.
7. Kurang pengerahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang pemajaman/kesalahan intrepretasi
informasi.

3. Intervensi Keperawatan
Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat sehubungan dengan
lamanya/intensitas dari gejala seperti muntah, pengeluaran urine yang saat
berlebihan; Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD
ortosmatik; Pantau pola napas seperti adanya pernapasan kussmaul atau
pernapasan yang berbau keton; Frekuensi dan kualitas pernapasan,
penggunaan obat bantu napas, dan adanya periode apnea dan munculnya
sianosis; Pantau suhu, warna, kulit, atau kelembabannya

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tahap keempat dari proses
keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana
keperawatan. Dengan rencana keperawatan 139 yang dibuat berdasarkan
diagnosis yang tepat, intervensi diharapkan dapat mencapai tujuan dan
hasil yang diinginkan untuk mendukung dan menigkatkan status kesehatan
klien. Proses implementasi akan memastikan asuhan keperawatan yang
efisiensi, aman, dan efektif (Kozier, 2011)

5. Evaluasi Keperawatan
Menurut Kozier (2011) evaluasi adalah fase kelima atau fase
terakhir proses keperawatan. Evaluasi adalah aspek penting proses
keperawatan karena kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan
apakah intervensi keperawata harus diakhiri, dilanjutkan atau diubah.
Evaluasi yang dilakukan ketika atau segera setelah mengimplementasikan
program keperawatan memungkinkan perawat untuk segera memodifikasi
intervensi. Evaluasi dilakukan pada interval tertentu. Evaluasi berlanjut
sampai klien mencapai tujuan kesehatan atau selesai mendapatkan asuhan
keperawatan.

I. KATA SULIT
1. DM tipe 2 = suatu kondisi dimana pancreas masih bisa membuat insulin
tetapi kualitasnya buruk, tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci
untuk memasukan gula ke dalam sel (Hans Tandra, 2017)
2. Dorsal pedis = berkenaan dengan punggung atau setiap dorsum kaki
(Anatomy Learning Page FKUIN Jakarta, 2020)
3. Luka gangrene = gangrene disebabkan oleh gangguan suplai darah pada
suatu jaringan atau organ atau disebabkan adanya penyakit infeksi (Sri
Murwani dkk, 2017)
4. GDS = GDS merupakan parameter pemeriksaan kadar gula darah yang
dapat diukur setiap saat (Andreani dkk, 2018)

J. POHON MASALAH
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Nama : Ny. M
Usia : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Diagnosa medis : Diabetes Mellitus tipe 2
2. Riwayat Kesehatan
Klien mengeluh luka pada kaki
3. Pemeriksaan Fisik
- TTV dalam batas normal
- Terdapat luka gangrene pada pada bagian dorsal pedis
- Hasil lab GDS 350 mg/dL

B. ANALISA DATA
Data Etiologi Masalah
Keperawatan
DS:
- klien mengeluh ada
luka di kakinya
DO:
- terdapat luka
gangrene pada pada
bagian dorsal pedis
DO:
- hasil lab GDS 350
mg/dL

C. DIAGNOSA
D. INTERVENSI
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
https://akper-pasarrebo.e-journal.id/nurs/article/download/49/26
http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/236/1/WAHYU%20RAHMAWATI%20.pdf

Anda mungkin juga menyukai