Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Negara demokrasi pemerintah yang baik adalah pemerintah yang menjamin
sepenuhnya kepentingan rakyat serta hak dasar rakyat. Disamping itu, pemerintah dalam
menjalankan kekuasaannya perlu dibatasi agar kekuasaan itu tidak disalahgunakan, tidak
sewenang-wenang serta benar-benar untuk kepentingan rakyat. Upaya untuk mewujudkan
pemerintahan yang menjamin hak dasar rakyat serta kekuatan yang terbatas itu
dituangkan dalam suatu aturan bernegara yang umumnya disebut Konstitusi atau hukum
dasar negar).
Dalam kehidupan kita tidak terlepas dari norma dan hukum yang berlaku di
masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis. Mulai dari nilai, tata karma, norma hingga
hukum perundang-undangan dalam pradilan dan hal itu semua termuat dalam Rule of law
(suatu doktrin hukum). Doktrin ini lahir sejalan dengan tumbuh suburnya demokrasi dan
meningkatnya peran parlemen dalam penyelenggaraan Negara, serta reaksi terhadap
Negara absolute yang berkembang sebelumnya. Rule of law dalam suatu negara dapat
dilihat dari ada atau tidaknya “kenyataan”apakah rakyat benar-benar menikmati keadilan,
dalam artian perlakuan yang adil baik semua warga Negara maupun pemerintah.
Tapi kenyataannya hukum di Indonesia masih belum dilaksanakan sebaik-sebaiknya
dan penegak hukum di masyarakat sendiri juga masih kurang. Oleh karena itu sebagai
generasi muda harus bisa membenahi penegakan hukum di negara Indonesia ini. Dalam
bahasan ini dibahas mengenai demokrasi, konstitusi serta rule of law

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pembahasan dari demokrasi?
2. Bagaimana pembahasan dari konstitusi?
3. Bagaimana pembahasan dari rule of law?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pembahasan dari demokrasi
2. Untuk mengetahui pembahaan dari konstitusi
3. Untuk mengetahui pembahasan dari rule of law

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Demokrasi

2.1.1 Pengertian Demokrasi

Penyebutan akan istilah demokrasi pada mulanya berangkat dari bahasa Yunani,
yaitu dengan istilah democratos yang merupakan gabungan dari kata demos yang
berarti rakyat dan cratos yang memiliki arti kekuasaan atau kedaulatan. Dari
gabungan atas dua kata tersebut, maka dapat diterjemahkan bahwa demokrasi
adalah kedaulatan rakyat. Adapun kedaulatan rakyat yang dimaksud dalam
kehidupan bernegara tersebut adalah untuk menunjuk kepada sistem pemerintahan
yang dilaksanakan bersama rakyat (Erwin, 2013: 129)

Menurut Karsadi (2016:115) esensi dari pengertian demokrasi sesungguhnya


adalah kedaulatan rakyat. Sebagaimana perkembangan demokrasi di negara-
negara modern “Government of the people, by the people, and for the people”.
(pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Esensi dari pengertian
ini bahwa demokrasi sesungguhnya menempatkan rakyat menjadi subjek dan
sekaligus objek dari demokrasi itu sendiri. Pemerintah berasal dari rakyat melalui
proses demokrasi yaitu pemilihan umum, dimana untuk menjalankan roda
pemerintahan dan penyelenggaraan negara akan diwakili oleh wakil- wakil rakyat,
baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif, dan tujuan utama
diselenggarakannya pemerintahan adalah untuk kesejahteraan rakyat semata.

Dalam perkembangannya, kata demokrasi mengalami dinamika dan menjadi


populer di berbagai kalangan untuk menjelaskan bahwa rakyat adalah pemegang
utama kedaulatan, kekuasaan dan atau pemerintahan. Di dalam Kamus umum
Bahasa Indonesia, kata demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat
dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh
mereka atau oleh wakil- wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas.

Pengertian demokrasi yang lain dikemukakan Hornby dkk. (Karsadi (2016:116)


yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi adalah:

2
(1) Country with principles of government in which all adult citizens share
through their electd representatives; (2) country with government which
encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion,
opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied
by respect for rights of minorities; (3) society in which there is treatment of each
other by citizens as equals.

Kutipan pengertian tersebut memiliki arti bahwa: 1) Warga negara dewasa turut
serta berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih; 2) Negara
dan pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara,
beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintahan
mayoritas yang menghormati hak- hak kelompok minoritas; 3) Masyarakat yang
mana warga negaranya diperlkukan sama.

2.1.2 Konsep Demokrasi

Demokrasi secara konseptual dipandang sebagai kerangka berpikir dalam


melakukan pengaturan urusan umum atas dasar prinsip dari, oleh dan untuk rakyat
diterima baik sebagai ide, norma dan sistem sosial maupun sebagai wawasan, sikap
dan perilaku individual yang secara kontekstual diwujudkan, dipelihara dan
dikembangkan. Oleh karena itu, konsep demokrasi dilihat sebagai konsep yang
bersifat multidimensional, yakni secara fisiologis demokrasi sebagai ide, norma,
prinsip, secara sosiologis sebagai sistem sosial dan psikologis sebaga wawasan,
sikap, dan perilaku individu dalam hidup bermasyarakat.

Demokrasi bukanlah sekedar mengandung konsep dalam arti politik semata,


yakni kebebasan rakyat dalam memilih pilihan politik dan wakilnya, melainkan
demikrasi itu mengandung konsep dalam arti sosiologis dan psikologis. Demokrasi
secara sosiologis merupakan aktualisasi kedaulatan rakyat yang berkembang
berabad- abad lamanya dalam sistem sosial. Secara sosiologis pula, bahwa
demokrasi mengandung nilai- nilai sosial , seperti nilai kebersamaan, keterwakilan,
kebebasan, toleransi dan nilai- nilai musyawarah. Dalam perspektif demokrasi
yang paling sederhana, secara sosiologis demokrasi semacam ini dapat ditemukan
dalam masyarakat desa, yakni demokrasi desa. Sedangkan secara psikologis,
demokrasi mengandung konsep sikap dan perilaku wakil- wakil rakyat yang dapat

3
melaksanakan amanah tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab, jujur dan
berkepribadian luhur sesuai dengan Pancasila.

Dengan kata lain bahwa dalam sistem ketatanegaraan yang modern, demokrasi
mengalami perluasan makna dan nilai, bukan hanya memiliki dimensi politik,
sosiologis dan psikologis semata, melainkan lebih jauh dari itu juga dimensi
hukum. Dimensi politik selalu dikaitkan dengan proses- proses pengambilan
keputusan politik negara melalui peilihan umum, baik pada tingkat eksekutif,
seperti pemilihan presiden dan kepala daerah maupun juga proses pemilihan umum
pada tingkat legislatif dalam pemilihan wakil- wakil rakyat di perlemem. Dimensi
sosiologis bahwa demokrasi selalu dikaitkan dengan prinsip musyawarah yang
menjunjung tinggi nilai- nilai kebersamaan, musyawarah dan mufakat. Sedangkan
demokrasi hukum bahwa demokrasi selalu dikaitkan dengan penyelenggaraan
pemerintahan negara yang berdasarkan pada peraturan perundang- undangan.
Konsep demokrasi inilah yang disebut dengan demokrasi konstitusional.

Untuk memperjelas konsep demokrasi, maka perlu dijelaskan mengenai pilar


atau sokoguru demokrasi, unsur- unsur, tetapi antara satu dengan yang lain
berbeda- beda. Perbedaan itu berkaitan dengan perspektif dan sudut pandang yang
digunakan para ahli dalam memahami.

Sebagai sistem sosial kenegaraan, menurut USIS (Karsadi, 2016: 121)


mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang memiliki 11 pilar atau sokoguru
sebagai berikut:

1. Kedaulatan rakyat.
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
3. Kekuasaan mayoritas.
4. Hak- hak minoritas.
5. Jaminan hak asasi manusia.
6. Pemilihan yang bebas dan jujur.
7. Persamaan di depan hukum.
8. Proses hukum yang wajar.
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional.
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik.
11. Nilai- nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat.

4
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, menurut Sanusi (Karsadi, 2016:121)
mengidentifikasi adanya 10 pilar demokrasi konstitusional menurut UUD 1945
sebagai berikut:

1. Demokrasi yang berKetuhanan Yang Maha Esa.


2. Demokrasi dengan kecerdasan
3. Demokrasi yang berkedaulatan rakyat.
4. Demokrasi dengan rule of law.
5. Demokrasi dengan pembagian kekuasaan negara.
6. Demokrasi dengan hak asasi manusia.
7. Demokrasi dengan pengadilan yang merdeka.
8. Demokrasi dengan otonomi daerah.
9. Demokrasi dengan keadilan sosial.
10. Demokrasi yang berkeadilan sosial.

Dengan melihat beberapa pilar atau sokoguru demokrasi tersebut, maka jelaslah
bahwa konsep demokrasi memiliki nilai- nilai dan makna yang penting dan
strategis bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai- nilai
demokrasi tersebut sesungguhnya sudah mengakar dari kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia jauh sebelum indonesia merdeka dan sudah ditetapkan dalam
kehidupan masyarakat sehari- hari. Nilai – nilai demokrasi tersebut antara lain,
seperti nilai kebebasan (liberty), kemerdekaan (freedom), keadilan sosial (social
justice), hak asasi manusia (human right), peradilan yang bebas dan merdeka
(freedom the court), persamaan (equality), dan kedaulatan (sovereignty). Dengan
kata lain bahwa demokrasi merupakan seperangkat nilai- nilai yang dijunjung
tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat di dalam kerangka civil society (masyarakat madani).

2.1.3 Norma- Norma yang Mendasari Demokrasi

Menurut Henry B. Mayo (Erwin, 2013: 131) demokrasi harus didasari oleh
beberapa norma, yaki dengan:
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat
yang sedang berubah
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur

5
4. Membatasi pemakaian kekerasan minimum
5. Mengakui serta meganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat
yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentinagan, serta tingkah
laku
6. Menjamin tegaknya keadilan

Sementara menurut Nurcholish Madjid (Erwin, 2013:130), yang menjadi


pandangan hidup demokrasi haruslah disadari atas tujuh norma sebagai
berikut:
1. Kesadaran Atas Pluralisme
Masyaraat sudah dapat memandang secara positif kemajemukan dan
keberagaman dalam masyarakat, serta telah mampu mengelaborasikan ke
dalam sikap tindak secara kreatif.
2. Musyawarah
Korelasi prinsip ini ialah kedewasaan untuk menerima bentuk-bentuk
kompromi dengan bersikap dewasa dalam mengemukakan pendapat,
mendengarkan pendapat orang lai, menerima perbedan pendapat, dan
kemungkinan megambil pendapat yng lebih baik.
3. Pemufakatan yang Jujur dan Sehat
Prinsip masyarakat demokrasi dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni
permusyawaratan yang jujur dan sehat guna mencapai pemufakatan yang juga
jujur dan sehat, bukannya pemufakatan yang dicpai melalui intrik-intrik yang
curang, tidak sehat atau sifatnya melalui konsfirasi.
4. Kerjasama
Prinsip kerjasama antarwarga dalam msyarakat dan sikap saling memercayai
itikad baik masing-masing, kemudian jalinan dukung-mendukung secara
fungsional anatar berbagai umsur kelembagaan kemasyarakatan yang ada,
merupakan segi penunjang efisiensi untuk demokrasi.
5. Pemenuhan Segi-Segi Ekonomi
Untuk mendukung hadirnya stuasi demokrasidlam masyarakat sangat perlu
memperhatikan pemenuhan segi-segi ekonominya terutama pemenuhan
terhadap keperluan pokok, yaitu pangan, sandang, dan papan. Pemenuhan
kebutuhan ekonomi harus pula mempertimbangkan aspek keharmonisan dan
keteraturan ekonomi harus pula mempertimbangkan aspek kehrmonisan dan

6
keteraturan sosial (seperti masaah mengapa kita makan nasi, bersandangkan
sarung, kopiah, kebaya, serta berpapankan rumah ‘joglo’ yang dalam
pemenuhannya tidak lepas dari perencanaan sosial budaya).
6. Pertimbangan Moral
Pandangan hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara
berdemokrasi haruslah sejalan denagn tujuan. Bahkan sesungguhnya klaim
atas suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan oleh kebaikan ara yang
ditempuh untuk meraihnya.
7. Sistem Pendidikan Yang Menunjang
Pendidikan demokrasi selama ini pada umumnya masih terbatas pada usaha
indoktrinisasi dan penyuapan konsep- konsep secara verbalistik. Terjadinya
diskrepansi (jurang pemisah) antara das sein dan das sollen dalam konteks ini
adalah akibat dari kuatnya budaya “menggurui” dalam masyarakat kita,
sehingga verbalisme yang dihasilkannya juga menghasilkan kepuasan
tersendiri dan membuat yang berssangkutan telah berbuat sesuatu dalam
penegakan demokrasi hanya karena telah berbicara tanpa perilaku.

2.1.4 Komponen- Komponen Penegak Demokrasi

Erwin (2013: 132) mengatakan tegaknya demokrasi suatu negara sangat


bergantung pada komponen- komponen sebagi berikut:

1. Negara Hukum
Demokrasi suatu negra dapat berdiri, kalau negaranya adalah negara hukum,
yakni sebagai negara yang memberikan perlindungan hukum bagi warga
negaranya melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak
sekaligus juga terdapat jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia.
2. Pemerintahan yang Good Govermance
Berdirinya suatu demokrasi sangat perlu ditopang oleh bentuk pemerintahan
yang good governance yang pelaksanaannya dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratif,
akuntabel serta transparan.
3. Badan Pemegang Kekuasaan Legislatif
Badan pemegang kekuasaan legislatif yang dapat menopang tegaknya
demokrasi suatu negara adalah badan pemegang kekuasaan legislatif yang diisi

7
orang- orang yang memang memiliki civic skill yang solid dan tinggi, sebagai
contoh DPR RI yang memiliki fungsi membuat UU, fungsi pengawasan dan
fungsi anggaran, maka para anggota- anggotanya memiliki civic skill dalam
ketiga bidang tersebut.
4. Peradilan yang Bebas dan Mandiri
Peran dunia peradilan dalam kaitannya dengan demokrasi juga berada pada
peran yang sentral. Adapun corak peradilan yang dapat menopang tegaaknya
demokrasi suatu negara adalah peradilan yang bebas, dalam artian tidak berada/
tidaak terpengaruh dengan dan kepentingan, selain daripada itu juga harus
mandiri, dalam artian tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun.
5. Masyarakat Madani
Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang terbuka, masyarakat
yang bebas dari tekanan negara dan pengaruh kekuasaan negara, masyarakat
yang kritis dan berpatisipasi aktif serta masyarakat egaliter. Masyarakat madani
merupakan salah satu elemen penting dalam terbentuknya demokrasi. Sebab
salah satu syarat penting dalam membanagun demokrasi adalah terciptanya
partisipasi masyarakat dalam proses- proses pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh negara atau pemerintahan.
6. Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab
Berkembangnya demokrasi suatu negara sangat perlu dikalwal oleh pers yang
memang tidaak berada di bawah tekanan penguasa atau pihak manapun dan
dalam pemberitaannya senantiasa dilandasi oleh rasa tanggung jawab kepada
masyarakat dan bangsa dengan berdasarkan kepada fakta- fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan.
7. Infrastruktur Politik
Infrastruktur politik terdiri dari partai politik dan kelompok gerakan. Partai
politik mengemban fungsi sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana
sosialiasi politik, sebagai sarana rekrutmen kader dan sebagai sarana pengatur
konflik. Keempat fungsi parpol tersebut merupakan pengejawantahan dari
nilai- nilai demokrasi yaitu adanya partisipasi, kontrol rakyat melalui parpol
terhadap kehidupan kenegaraan dan pemerintahan sert adanya pelaatihan
penyelesaian konflik secara damai. Begitupula aktivitas yang dilakukan oleh
kelompok gerakan dan kelompok penekan yang merupakan perwujudan adanya
kebebasan berorganisasi, menyampaikan pendapat dan melakukan oposisi

8
terhadap negara dan peerintah. Hal itu merupakan idikatir bagi tegaknya sebuah
organisasi.,

2.1.5 Dinamika Demokrasi di Indonesia dan Problematikanya

Pada konteks dan tataran yang ideal, demokrasi mengandung nilai-nilai


kedaulatan, kebebasan, kemerdekaan, keadilan, persamaan, hak asasi manusia,
dan peradilan yang merdeka dan bebas, tetapi dalam praktik penyelenggara
pemerintahan negara, nilai-nilai demokrasi tersebut menjadi sulit dicapai dan
diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Praktik
penyelenggaraan demokrasi yang demikian sungguh-sungguh mencederai nilai-
nilai demokrasi itu sendiri. Bahkan, dalam berbagai kasus penyelenggaraan
pemerintahan negara, terjadi penyanderaan demokrasi hanya dengan alasan dapat
mengganggu stabilitas nasional, ketertiban umum, dan keamanan nasional. Di sisi
lain, bahwa demokrasi itu sendiri dibungkus dengan nilai kebebasan dan keadilan,
tetapi dalam praktiknya yang terjadi adalah praktik penyelenggaraan
pemerintahan yang mengarah pada tirani, monarki, oligarki dan otoritarian,
bahkan dalam beberapa kasus penyelenggaraan pemerintahan dikhawatirkan
diikuti oleh praktik kleptokrasi.

Keberhasilan demokrasi di indonesia tidak dapat hanya diukur secara


kuantitatif dari terselenggaranya pemilihan presiden dan pemilihan umum
legislatif semata, melainkan bahwa apakah demokrasi itu mampu mewujudkan
keadilan sosial dan kesejahteraan bagi masyarakat, terlaksannya kebebasan
berserikat dan berkumpul, adanya akses masyarakat terhadap sumber-sumber
ekonomi nasional (akses ekonomi), akses politik, jaminan keamanan dan
kenyamanan, terlindunginya hak-hak minoritas, peradilan yang mandiri, bebas,
dan merdeka, adanya jaminan Hak Asasi Manusia, terciptanya pemerintahan yang
“clean and good governance” , dan terselenggaranya pemerintahan yang
menjunjung tinggi prinsip “rule of law” serta terwujudnya “equality before the
law” dalam penegakan hukum. Dengan kata lain, bahwa demokrasi yang
diterapkan di indonesia tidak sekedar menekankan pada aspek formalitas semata,
tetapi justru yang terutama dan terpenting dari demokrasi di Indonesia adalah
aspek substansinya. Dari perspektif ini, substansi demokrasi dapat diartikan
bahwa demokrasi sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan dan

9
penyelenggaraan negara harus dapat mewujudkan keadilan dalam kemakmuran
dan kemakmuran dalam keadilan bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk
memakmurkan dan menyejahterakan segelintir orang yang duduk di
pemerintahan, elite partai politik, dan sebagian kelompok masyarakat tertentu
serta kroni-kroni penguasa

Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut. Berbagai


persoalan dan masalah-masalah dalam implementasi demokrasi semakin rumit
dan kompleks. Ada sebagian kalangan menyebutnya bahwa demokrasi yang
diterapkan di Indonesia sebagai “demokrasi gelang karet”, “defisit demokrasi”,
ataupun “frozen democracy”. Ketiga sebutan tersebut menunjukan bahwa proses
dan dinamika perkembangan demokrasi di Indonesia sejak kemerdekaan
mengalami kemandekan, bahkan dapat disebut sebagai kemunduran, terutama
pada saat rezim Orde Baru berkuasa. Pada saat itu demokrasi yang sedang
dijalankan menurut versi rezim Orde Baru merupakan demokrasi Pancasila, tetapi
itu baru dilihat dari segi formalitas. Sebaliknya dilihat dari segi substansi,
demokrasi yang dijalankan pada saat itu merupakan demokrasi yang banyak
kalangan menyebutnya sebagai demokrasi semu.

Pengalaman selama masa Orde Baru menunjukkan bahwa demokrasi yang


diterapkan di Indonesia menurut Riswanda Imawan (Karsadi, 2016: 125) dengan
meminjam istilah dari Arief Budiman merupakan “demokrasi gelang karet”.
Demokrasi “gelang karet” dicerminkan melalui tarikan antara stabilitas politik
(tarikan politik) dan pembangunan ekonomi (tarikan ekonomi) kedua titik yang
berbeda. Untuk mengukur stabilitas politik diukur melalui rendahnya (kalau perlu
tidak adanya) demonstrasi, keresahan sosial, gerakan separatis, dan sebagainya,
telah membawa politik Indonesia condong ke arah praktik-praktik
otoritarianisme. Depolitisasi, floating mass, sampai sensor yang ketat terhadap
kehidupan pers merupakan fenomena yang mendukung penilaian terhadap
stabilitas politik. Sebaliknya, pemilihan indikator-indikator pembangunan
ekonomi, seperti angka pertumbuhan ekonomi, jumlah investasi, dan sebagainya
telah membawa suasana liberal ke dalam masyarakat Indonesia. Maraknya
budaya global yang menohok budaya lokal, munculnya sifat konsumeris
(terutama di kalangan generasi muda) merupakan fenomena tarikan liberal.

10
Bila dampak pembangunan ekonomi, seperti kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, dirasa cukup aman terhadap mekanisme politik yang berlangsung,
maka kontrol terhadap kehidupan politik terasa agak dilunakkan. Sebaliknya, bila
dampak yang lain yang menonjol, seperti masyarakat yang makin kritis dan sadar
akan hak-hak politiknya, maka kontrol terhadap kehidupan politik terasa agak
dikencangkan kembali. Akibat fleksibitas kontrol seperti ini membawa problem-
problem tersendiri dalam kehidupan politik Indonesia, sehingga menggaburkan
batas-batas antara tindakan yang demokratis , semi demokratis, dan tidak
demokratis, menjadi demikian kabur. Dampak lainnya adalah etika politik bangsa
Indonesia semakin kabur sebagai akibat demokrasi “gelang karet” tersebut.

Masih pengalaman selama pemerintahan Orde Baru atau rezim Orde Baru
menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia mengalami defisit (defisit demokrasi).
Satu istilah yang digunakan oleh Franz Magnis-Suseno (Karsadi, 2016: 124)
untuk menunjukkan bahwa keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam bidang
pembangunan ekonomi, perwujudan administrasi kenegaraan, dan politik luar
negeri tidak dibarengi dengan keberhasilan dalam pembangunan kehidupan
demokratis. Ciri khas suasana politik dalam pemerintahan Orde Baru adalah
pendekatan top down. Kebijakan massa mengambang (floating mass), penataan
kembali kehidupan kepartaian, domestikasi pemilihan umum, lemahnya fungsi
DPR, menyusutnya ciri-ciri negara hukum menjadi negara kekuasaan,
kekhawatiran tak proposional alat-alat negara terhadap pertemuan, rapat, seminar
yang bernada kritis, dan sebagainya telah menciptakan suasana yang segala-
galanya tergantung dari koneksi dengan penguasa.

Istilah “defisit demokrasi” tersebut diatas, secara konkret dapat ditunjukkan


melalui pasang surutnya antara gelombang keterbukaan (salah satu dari ciri
demokrasi atau negara yang demokratis) dengan ketertutupan. Pemerintah
Indonesia di nilai masih samar-samar dan belum beres untuk menata struktur-
struktur kekuasaan politik. Pola peningkatan keterbukaan masih bersifat on-of dan
buka of-on. Pola on-of didalam praktik demokrasi di Indonesia dicerminkan dari
setiap gelombang keterbukaan selalu berakhir dalam ketertutupan. Sikap
pemerintah Indonesia waktu itu masih memiliki kecurigaan terhadap gerakan
prodemokrasi yang ingin menyelamatkan kelangsungan substansi demokrasi di
negara Indonesia. Gerakan prodemokrasi yang dimotori oleh kalangan intelektual

11
Indonesia yang independen bekerja untuk memperbaiki demokrasi Indonesia
yang mengalami defisit (defisit demokrasi). Gelombang keterbukaan yang
digaungkan oleh pemerintah masih bersifat semu (pseudo democracy), justru
yang terjadi sebaliknya, yaitu penangkapan para aktivis prodemokrasi tanpa
melalui proses peradilan yang benar.

Demokrasi yang juga berlangsung selama masa pemerintahan Orde Baru


menurut Heru Nugroho (Karsadi, 2016: 126) sering disebut sebagai demokrasi
beku (frozen democracy) atau dengan meninjam terminologi Cliford Geertz
bahwa demokrasi Indonesia disebut sebagai gejala involusi politik. Menurutnya
bahwa demokrasi beku digambarkan sebagai demokrasi yang ditandai oleh suatu
kondisi masyarakat dimana sistem politik demokrasi yang sedang bersemi
berubah menjadi layu karena berbagai kendala yang ada. Hal ini ditunjukkan pula
bahwa proses perubahan politik tidak menuju pada perubahan tatanan sosial-
politik yang demokratis, tetapi yang terjadi justru berjalan menyimpang atau
bahkan berlawanan dengan arah demokrasi yang sesungguhnya yang dicita-
citakan. Itulah sebabnya demokrasi beku di cerminkan sebagai demokrasi jalan
ditempat, sehingga tidak menjangkau target demokratisasi.

Untuk menjelaskan kondisi demokrasi beku (fozen democracy), dapat


digunakan empat indikator yang mendasari beroperasinya konsep demokrasi beku
dari Sorensen (Karsadi, 2016:127). Indikator-indikator demokrasi beku:
sempoyongannya ekonomi, baik pada tingkat nasional maupun lokal, mandeknya
proses pembentukan masyarakat warga (civil society), konsolidasi sosial-politik
yang tidak pernah mencapai solidaritas, namun cenderung semu, dan
penyelesaian masalah-masalah sosial-politik-hukum yang tidak pernah tuntas
yang diwariskan oleh rezim-rezim pendahulu (seperti pelanggaran HAM, KKN,
kekejaman aparat birokrasi dan militer, penegakan hukum, dan lain-lain).

Dinamika demokrasi di era reformasi belum menunjukkan kemajuan yang


berarti bagi terwujudnya negara yang demokratis. Demokrasi yang dipraktikkan
dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terlalu jauh berbeda dengan
praktik-praktik demokrasi apa yang disebut demokrasi “gelang karet” atau
demokrasi yang defisit (defisit demokrasi) atau demokrasi yang beku (frozen
democracy). Meskipun, ada klaim dari sebagian kalangan pejabat negara bahwa

12
demokrasi sekarang sudah tumbuh dan berkembang ke arah demokratisasi, seperti
legitimasi pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat, pemilihan wakil-wakil
rakyat secara langsung, one man one vote, pemilihan kepala daerah secara
langsung, dan terbentuknya lembaga-lembaga negara yang independen, seperti
KPK, KY, dan Mahkamah Konstitusi, tetapi dalam praktiknya proses
demokratisasi masih tersandera oleh praktik-praktik penyelenggaraan negara
yang masih koruptif, manupulatif, KKN, dan maraknya praktik-praktik money
politic pada saat pesta demokrasi.

Secara formalitas dapat dikatakan bahwa dinamika demokrasi di Indonesia


mengalami kemajuan. Kemajuan ini dapat dilihat dari indikator, seperti
kebebasan berbicara dan berserikat, kebebasan pers, HAM, dan sebagainya, tetapi
secara substansial bahwa demokrasi yang dipraktikkan dalam penyelenggaraan
negara dan pemerintahan Indonesia masih timpang. Berbagai kasus yang
mencederai praktik-praktik demokrasi yang waktu ke waktu semakin menggurita
dan tidak terkendali lagi, seperti masih adanya oknum pejabat daerah dan kepala
daerah, baik ditingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota tersandung kasus
korupsi dan suap, masih ada oknum pejabat negara tersandung kasus korupsi,
masih belum akuratnya data pada saat berlangsungnya pemilu, baik pemilu
legislatif maupun pemilihan kepala daerah, money politic pada saat pemilihan
umum, masih adanya oknum aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan
Mahkamah Agung) yang tersandung kasus korupsi, suap, dan gratifikasi, serta
berbagai penyimpangan dan penyelewengan lainnya yang semakin lama semakin
menggurita di semua level pemerintahan.

2.2 Konstitusi
2.2.1 Pengertian Konstitusi

Konstitusi adalah istilah yang berasal dari bahasa inggris yaitu “constitution”
atau dari bahasa belanda “constitutie”. Terjemahan dari istilah tersebut adalah
undang – undang dasar, dan hal ini memang sesuai dengan kebiasaan orang
belanda dan jerman, yang dalam percakapan sehari – hari memakai kata
“grondwet” ( grond adalah dasar, wet adalah undang – undang ) yang keduanaya
menunjukkan naskah tertulis. Namun pengertian konstitusi dalam praktek

13
ketatanegaraan umumnya dapat mempunyai artiyang lebih luas dari pada Undang –
Undang Dasar atau sama dengan pengertian Undang – Undang Dasar. (Kaelan &
Zubaidi. 2010: 87)

Menurut F. Laselle arti yang menunjuk pada pengertian ada dua, yang
pertama berarti dengan adanya organisasi yang dilegalisisir oleh pemerintah, maka
ia dapat mejalankan fungsinya, hal tersebut sudah merupkan konstitusi. Kedua,
konstitusi dalam arti yuridis yang dapat diterjemahkan sebagai suatu naskah yang
memuat semua bangunan negara dan sendi- sendi pemerintahan. Sedangkan
menurut L.J Van Apeldoorn UUD merupakan bagian tertulis dari konstitusi dan
konstitusi sendiri memuat baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis. (Erwin,
2013). Beberapa ahli lain, seperti C.F Srong , James Bryce, dan Hene van
Marrseveen yang mengatakan bahwa konstitusi merupakan ketentuan yang
memberikan pengaturan dan pemberian fungsi lembaga-lembaga Negara. (Karsadi,
2016)

Dari pengertian- pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa konstitusi dapat


mempunyai arti lebih luas dari pada pengertian Undang – Undang Dasar, karena
pengertian Undang – Undang Dasar hanya meliputi konstitusi tertulis saja, dan
selain itu masih terdapat konstitusi tidak tertulis yang tidak tercangkup dalam
Undang – Undang Dasar. Namun dalam praktek ketatanegaraan Negara Republik
Indonesia pengertian konstitusi adalah sama dengan pengertian Undang – Undang
Dasar. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi Republik Indonesia
Serikat bagi Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.

2.2.2 Konsep Konstitusi

Dengan mengutip beberapa pakar dari kalangan akademis dan aktifis, seperti
soetandyo Wignjosoeberoto dan bambang widjoyanto mengenai konsep konsitusi
Moh.Mahfud Md (Karsadi, 2016) menerangkan bahwa esensi konstitusionalisme
terdiri atas dua hal sebagai berikut:

1. Konsepsi Negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan


hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah yang karenanya hukum harus
mampu mengontrol dan mengendalikan politik.

14
2. Konsepsi hak-hak sipil warga Negara yang menggariskan adanya kebebasan
warga Negara dibawah jaminan konstitusi sekligus adanya pembatasan
kekuasaan Negara yang dasar legitimasinya hanya dapat diperoleh dari
konstitusi.

Berkaitan dengan kedua ciri minimal tersebut, maka beberapa hal yang harus
ditegaskan didalam konstitusi itu adalah sebagai berikut:

1. Public aut hority hanya dapat di legitimasi menurut ketentuan konstitusi.


2. Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilakukan menggunakan prinsip
universal.
3. Pemisahan atau pembagian kekuasaan serta pembatasaan wewenang.
4. Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri yang dapat menegakkan hukum
dan keadilan.
5. Adanya system control terhadap militer dan kepolisian untuk menegakkan
hukum dan menghormati hak-hak rakyat.
6. Adanya jaminan perlindungan atas HAM.

Untuk menegeskan beberapa konsep konstitusi tersebut diatas pendapat serupa


juga dikemukakan oleh Moh.Mahfud Md (Karsadi, 2016) sebagai berikut:

1. Supremasi hukum dalam arti memberi posisi sentral pada hukum sebagai
pedoman dan pengarah menurut hierarrkisnya dan menegakkannya tanpa
pandnag bulu.
2. Pengambilan keputusan secara legal oleh pemerintah dalam arti bahwa setiap
keputusan haruslah sah baik formal prosedurnya maupun substansinya.
3. Jaminan atas rakyat untuk menikmti hak-hakny secara bebas berdasarkan
ketentuan hukum yang yang adil.
4. Kebebasan pers untuk mengungkap dan mengekrisikan kehendak, kejadian,
dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat mapun aspirasi institusi
pers itu sendiri.
5. Partisipasi masyarakat dalam setiap proses kenegaraan.
6. Pembuatan kebijakan yang tidak diskriminatif terhadap golongan, gender,
agama, ras, dan ikatan primordial lainnya.
7. Akuntabilitas pemerintah terhdap masyarakat

15
8. Terbukanya akses masyarakat bagi keputusan bagi keptusan-kepusan Negara
dan pemerintah.

Pertama, Pengertian dan konsep konstitusi yang telah dikemukakan para ahli
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konstitusi suatu Negara atau undang-
undang dasar suatu Negara haruslah memperhatikan berbagai aspek. Aspek
kepentingan rakyat harus ditempatkan pada posisi yang sentral, mulai dari jaminan
perlindungan atas HAM, Askes terhadap penyusunan dan penetapan keputusan
politik, baik menyangkut aspek kebijakan public maupun peraturan perundang
undangan lainnya agar terhindar dari bias biroksasi sampai adanya jaminan Negara.

Kedua, Negara dan pemerintah harus menegakkan hukum karena Negara


Indonesia adalah Negara hukum, bukan Negara kekuasaan dan menempatkan
hukum sebagai panglima sebaliknya perlu menghindari politisasi hukum untuk
kepentingan penguasa dan kelompok kelompok tertentu.

Ketiga, keterlibatan civil society (masyarakat madani) untuk mengontrol,


mengendalikan, dan mengevaluasi secara kritis dan cermat terhadap jalannya
penyelengaraan Negara dan pemerintah, seperti peran aktif NGOs dan media pers,
dan komponen civil society lainnya.

Dalam persepektif sosiologis-yuridis, konsep konstitusi tidak hanya berkaitan


dengan aspek-aspek yuridis semata, melainkan mengandung aspek-aspek
sosiologis. Secara sosiologis bahwa substansi yang sesungguhnya harus difokuskan
untuk kemaslahata dan kesejateraan rakyat dalam suasana kehidupan yang tertib
norma, aman, dan keadilan social bagi seluruh rakyat. Konstitusi disusun dan
ditetapkan semata mata untuk mengimplementasikan dan mewujudkan tujuan
Negara, seperti tujuan Negara yang tercantum didalam alinea ke empat pembukaan
undang-undang 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Dengan demikian, konsep
konstitusi memiliki makna yang sangat luas dan mendalam, terutama jika dikaitkan
dengan dimensi social justice dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

16
2.2.3 Materi Muatan Konstitusi
Perihal yang terkandung dalam teori konstitusi tidak hanya memuat masalah
yuridis (hukum), namun juga memuat faktor- faktor kekuatan yang nyata dalam
masyarakat. Menurut Erwin di dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan Republik
Indonesia suatu konstitusi dapat dikatakan memuat teori konstitusi secara lengkap
apabila merupakan:
1. Hasil filsafat, artinya pasal- pasal atau btang tubuh dari konstitusi itu merupakan
pengkhususan dari sendi- sendi, dan dari sendi- sendi tersebut dirumuskan ke
dalam suatu peraturan yang lengkap.
2. Hasil kesenian, artinya kata- kata yang digunakan di dalam konstitusi itu
sederhana, yang menggambarkan dengan jelas apa yang dimaksudkan.
3. Hasil ilmu pegetahuan, artinya di dalam peraturan itu tidak terdapat
pertentangan antara ssatu sengan lainnya, melainkan sistematis dan harmonis.

Menurut Prof. Miriam Budiardjo (Erwin, 2013) , ada terdapat 5 ketentuan


dalam muatan Undang- Undang Dasar , yaitu :
1. Susunan orang ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental 
2. Pembagian tugas , pembagian kekuasaan dan hubungan antar lembaga negara
3. Jaminan terhadap HAM dan warga negaranya
4. Prosedur mengubah Undang-undang
5. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-
undang

2.2.4 Klasifikasi Konstitusi


Menurut K.C Wheare (Erwin, 2013) konsstitusi diklasifikasikan menjadi:
1. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi tertulis dapat diterjemahkan sebagai suatu konstitusi (Undang-
Undang Dasar) yang diadakan dalam bentuk dokumen formal (resmi) secara
tertulis, sedangkan untuk konstitusi yang tidak tertulis tidak diadakan dalam
suatu bentuk dokumen formal dan tidak dibuat secara tertulis akan tetapi
dipahami dan diakui oleh masyarakatnya, seperti konstitusi yang berlaku di
Inggris.
2. Konstitusi Rijid dan Fleksibel

17
Klasifikasi fleksibel dan rijid umumnya dikaitkan dengan cara perubahan
terhadap Undang- Undang Dasar tersebut. Jika dalam merubah Undang-
Undang Dasar itu sulit karena harus mengikuti dan melalui prosedur yang sulit
serta memerlukan cara- cara yang istimewa maka konstitusi tersebut
dinamakan rijid. Sebaliknya, jika dalam merubah UUD tidak sulit maka
dinamakan konstitusi fleksibel
3. Konstitusi derajat Tinggi dan Derajat Tidak Tinggi
Konstitusi derajat tinggi dan derajat tidak tinggi berkaitan dengan posisi UUD
suatu negara terhadap peraturan perundang- undangan lain di negara tersebut.
Jika UUD tersebut menduduki posisi tertinggi dalam aturan tata urutan
peraturan perundang- undangan, UUDnya mendasari dari keberadaan
peraturan perundang- undangan lainnya serta sulit dalam merubahnya, maka
konstitusi tersebut dinamakan konstitusi derajat tinggi, begitupun sebaliknya.
4. Konstitusi Serikat dan Konstitusi Kesatuan
Perbedaan dalam konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan berhubungan
dengan bentuk negaranya. Jika pada isi konstitusi suatu negara diatur
mengenai pembagian kekuasaan antara negara- negara serikat dan negara
bagian, maka konstitusi tersebut dinamakan konstitusi negara serikat.
Sedangkan pada konstitusi negara kesatuan, bentuk negaranya kesatuan, baik
yang mengggunaka sistem sentralistik maupun desentralistik.
5. Konstitusi Sistem Pemerintahan Presidensial dan Konstitusi Sistem
Pemerintahan Parlementer
Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem
pemerintahan parlementer berhubungan dengan sistem pemerintahan yang
dipakai.

Berkaca pada teori diatas, konstitusi di Indonesia dalam hal ini UUD Negara
Republik Indonesia 1945 (Amandemen pertam, kedua, ketiga, dan keempat) dari
segi bentuk merupakan konstitusi tertulis. Sifat perubahannya mengacu pada Pasal
37 merupakan konstitusi rijid. Dari segi kedudukan mengacu pada UU No. 10
tahun 2004 Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang- Undangan RI merupakan
konstitusi berderajat tinggi. Lalu untuk segi bentuk negara mengacu pada Pasal 1
Ayat (1) UUD 1945 merupakan konstitusi negara kesatuan. Kemudian dari segi

18
sistem pemerintahan mengacu pada Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal
7C UUD 1945 merupakan sistem pemerintahan presidensial.

2.2.5 Dinamika Konstitusi Di Indonesia Dan Problematikanya


Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sudah beberapa kali di
Indonesia berlaku beberapa macam konstitusi. Pasang surut berlakunya konstitusi
di negara Indonesia mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS, UUDS 1950 sampai
pada kembalinya UUD 1945 (melaui dekrit presiden 5 Juli 1959) tidak terlepas dari
pasang surutnya dan dinamika kehidupan politik ketanahnegaraan di Indonesia.
Suasana kehidupan politik ketanah negaraan yang dinamis dan tidak stabil seiring
dengan dinamika kehidupan masyarakat yang dinamis pula dan perubahan politik,
ekonomi, sosial budaya, dan keamanan dunia membawa dampak sistem
ketanahnegaraan mengalami dinamika dan perubahan yang sangat mendasar.
Perubahan sistem ketanahnegaraan Indonesia pasca kemerdekaan republik
Indonesia sangat cepat. Hanya beberapa tahun kemudian setelah Indonesia
merdeka, konstitusi negara Indonesia mengalami perubahan dan pergantian.
Periodisasi konstitusi Indonesia tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. UUD 1945 berlaku sejak 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949.


2. UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) berlaku 27 Desember 1949 sampai 17
Agustus 1950.
3. UUDS 1950 berlaku 17 agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.
4. UUD 1945 berlaku kembali sejak 5 Juli 1959 melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959.

Periodisasi tersebut merupakan periode berlakunya konstitudi negara Indonesia


kedalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan negara yang
mengalami pasang surut. Penyelenggaraan pemerintahan dan penyelenggaraan
negara dan situasi serta kondisi politik yang tidak stabil dan dinamis menimbulkan
guncangan terhadap konstitusi yang berlaku, sehingga konstitusi mengalami
perubahan dan pergantian. Suasana politik yang tidak stabil tersebut dengan
ditandai jatuh-bangunnya perlemen negara menimbulkan tututan terhadap
perubahan konstitusi. Sistem pemerintahan parlementer dalam pratiknya sangat
rawan menimbulkan kegaduhan politik dan konflik politik, terutama pada

19
konstituante dan presiden saling menyandera. Presiden dapat membubarkan
konstituante (parlemen) dapat menjatuhkan presiden. Sitiasi dan kondisi sistem
pemerintahan demikian inilah yang memiliki dampak terjadinya perubahan
konstitusi neagara Indonesia yang sangat cepat.
Dilihat dari segi substansinya, terutama jika dilihat dari keberadaan pasalnya
masing-masing konstitusi yang pernah berlaku di negara Indonesia tersebut
memiliki perbedaan, baik dari jumlah pasal-pasal dari batang tubuh, bentuk negara,
bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahannya. Perbedaan masing-masing
konstitusi tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Pertama, periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 berlaku UUD
1945. Pada periode ini UUD 1945 terdiri atas: pembukaan (preambule), batang
tubuh dan penjelasan. Pembukaan UUD 1945 terdiri atas 4 alinea, sedangkan dari
batang tubuh terdiri dari 16 bab, 37 pasal, empat pasal aturan peralihan, dan 2 ayat
aturan tambahan serta penjelasan UUD 1945 terdiri atas penjelasan umum dan
penjelasan umum dan penjelasan tentang pasal-pasal. Khusus penjelasan umum
tentang UUD 1945 memuat hal-hal sebagai berikut.
1. Undang-Undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
2. Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan.
3. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam pembukaam dan pasal-pasalnya.
4. Undang-Undang Dasar bersifat singkat dan simple.

Selain memuat hal dasar tentang UUD 1945, penjelasan UUD 1945 juga
memuat penjelasan mengenai sistem pemerintahan negara. Sistem pemerintahan
negara yang ditegaskan didalam UUD 1945 tersebut adalah sebagai berikut.
1. Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (macthsstaat).
2. Sistem konstitusional. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak tebatas).
3. Kekuasaan negara yang tertinggi ditangan Majelis Permusyawaratan Rakyak
(die gesamte staat sgestaatgewalt liegt allein bei der Majelis).
4. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang yang tertinggi
dibawahnya Majelis.

20
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan negara tidak terbatas, meskipun kepala negara tidak bertanggung
jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan diktator artinya kekuasaan
tidak tak terbatas.

Dalam perkembangannya pada penyelenggaraan negara, pelaksanaan UUD


1945 belum berjalan dengan baik. Pertama, suasana pasca kemerdekaan masih
diliputi oleh leinginan penjajahan kolonial Belanda yang ingin mengusai Idonesia
kembali. Perhatian negara, pemerintahan, dan rakyat masih memfokuskan untuk
mempertahankan kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Kedua, sistem
pemerintahan dan kelembagaan yang diamanahkan dalam UUD 1945 belum
terbentuk. MPR dan DPR belum terbentuk, sedangkan lembaga lain baru dibentuk
sementara, yaitu DPA Sementara. Ketiga, terjadi penyimpangngan konstitusional
yang mendasar, yaitu perubahan sistem kabinet presidensial menjadi sistem kabinet
parlementer, berdasarkan Maklumat pemerintahan No. X tanggal 14 November
1945. Sejak saat itu kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dipegan oleh Predana
Menteri.
Kedua, periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 berlaku UUD
RIS (Republik Indonesia Serikat). Pada periode ini UUD RIS terdiri atas:
Mukadimah dan Batang Tubuh. Mukadimah terdiri atas 4 alinea dan Btang Tubuh
terdiri atas 6 bab dan 197 pasal, dengan berlakunya UUD RIS, maka terjadi
perubahan sistem ketatanegaraan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
berubah menjadi negara federasi Republik Indonesia Serikat. Dalam
pelaksanaanya, UUD RIS ini hanya berlaku sangat singkat karena pada 17 Agustus
1950 berlaku UUD Sementara (UUDS).
Ketiga, periode 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 berlaku UUD
Sementara 1950. UUDS 1950 ini terdiri atas Mukadinah dan Batang Tubuh.
Mukadinah UUDS 1950 terdiri atas empat alinea dan Batang Tubuh sendiri atas 6
bab dan 146 pasal. Menurut UUDS 1950. Sistem pemerintahan yang dianut adalah
sistem pemerintahan parlementer. Menurut sistem pemerintahan parlementer,
presiden dan wakil presiden adalah sekadar presiden konstitusional dan tidak dapat
diganggu gugat karena pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri. UUDS

21
1950 dilandasi oleh pemikiran demokrasi liberal yang mengutamakan pada
kebebasan individu semata. Pada saat berlakunya UUDS 1950 pemerintahan
negara tidak stabil. Sementara itu, konstituante yang diberikan mandat oleh UUDS
1950 menyusun Undang-Undang Dasar yang tidak berhasil dan negara justru
dalam keadaan bahaya. Dengan alasan seperti itu, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut.
1. Mentapkan pembubaran konstituante
2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Terhitung mulai dari tanggal
penetapanya Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasae
Sementara 1950.
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan
dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung
Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Keempat, periode 5 Juli 1959 sampai sekarang berlaku kembali UUD 1945
dengan dinamikanya dengan sistem ketatanegaraanya Indonesia. Pada periode
keempat ini pelaksanna UUD 1945 mengalami fase yang sangat bersejarah bagi
bangsa dan negara indonesia, karena sejak reformasi 1999, UDD 1945 mengalami
amademen (perubahan) yang berdampak pada perubahan sistem ketatanegaraan di
Indonesia.
Dalam pelaksanaanya kembali UUD 1945, UUD 1945 dibagi menjadi 3
periode, yaitu periode Orde Lama (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), dan Orde
Reformasi (1999-sekarang). Masing-masing periodisasi berlakunya UUD 1945
tersebut meiliki ciri-ciri dan karakteristik tersendiri dalam penyelenggaraan negara
dan pemerintahan negara Indonesia.
Periode dalam masa berlakunya UUD 1945 oleh rezim Orde Lama ditandai
oleh belum dibentuknya lembaga-lembaga negara, seperti MPR, DPR, BPK, dan
DPA. Selain itu, pada periode itu telah terjadi penyimpangan bahwa Presiden
mengeluarkan produk legislatif yang seharusnya berbentuk undang-undang melalui
persetujuan DPR, tetapi dalam praktiknya dalam bentuk Penetapan Presiden.
Hal-hal lain dalam periode itu adalah Presiden memubarkan DPR dan terjadinya
perubahan G-30 S/PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia).

22
Mengingat kondisi negara dalam keadaan negara dalam keadaan bahaya, kondisi
politik negara tidak stabil, dan memburuknya perekonomian negara, maka
kemudian muncul tuntutan yang dipelopori mahasiswa yang dikenal dengan
TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat), yaitu:
1. Bubarkan PKI.
2. Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI.
3. Turunkan harga-harga/perbaikan ekonomi
Periode pada masa berlakunya UUD 1945 oleh rezim Orde Baru ditandai oleh
dibentuknya lembaga-lembaga negara, seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK. Selain
itu telah dilaksanakanya pemiliham umum pertama tahun 1971 untuk memilih
DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Meskipun dalam berbagai aspek
kenegaraan dapat dikatakan berhasil mengubah kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara, tetapi dalam beberapa kasus telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan dari
demokrasi menuju oligarki, bahkan dalam kondisi tertentu yang terjadi adalah
tirani oleh rezim dalam praktik-praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan
telah terjadi kasus penyimpangan dan penyelewangan seperti terjadinya
penyelenggaraan HAM (penangkapan para aktivis prodemokrasi, intimidasi,
stikmasisasi, dan lain-lain), maraknya kasus-kasus Korupsi, Kolusi, Nepotisme
(KKN), dan penyelenggaraan mengarah pada pemerintah yang otoritarianisme dan
tiranisme. Melalui gerakan perubahan dan pembaharuan (reformasi) yang
dipelopori oleh mahasiswa pada 20 Mei 1998, rezim pemerintahan Orde Baru jatuh
dan Presiden Soeharto mengundurkan diri (dipaksa mundur) sebagai Presiden
Republik Indonesia.
Periode pada masa berlakunya UUD 1945 oleh pemerintahan Orde Reformasi.
Semangat perubahan yang mendasar terhadap penyelenggaraan negara dan
pemerintahan negara menjadi dasar utama untuk memperbaiki sistem
ketatanegaraan dan pemeintahan yang mengalami kebobrokan dan penyimpangan
serta penyelewangan, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Perubahan
sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang sangat mendasar di era Orde
Reformasi ialah tuntutan dari berbagai kalangan mulai dari para aktivis
prodemokrasi, ilmuwan-akademisi, NGO’s, pers, tokoh-tokoh nasional, dan dari
kalangan masyarakat luas untuk melakukan amandemen UUD 1945. Alasan yang
sangat mnedasar bahwa sebagian isi (substabsi) UUD 1945 masih menunjukkan
rasa ketidal adilan masyarakat, sebagai contoh misalnya tidak adanya pembatasan

23
masa jabatan Presiden. Pasal 7 UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil
Presiden memegang masa jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali. Pasal ini sangat berbahaya karena dapat menjadikan seseorang menjadi
Presiden seumur hidup, pasal 7 UUD 1945 tersebut dianggap melanggar prinsip-
prinsip demokrasi dan keadilan sosial serta quality before the law. Kita jadi ingat
ucapan Lord Acton sebagai berikut: “Power tends to corrupt, but absolute power
corrupt absolutly”, (seseorang yang memiliki kekuasaan cenderung
menyalahgunakan kekuasaan (korup), tetapi seseorang yang memiliki kekuasaan
yang absolut sudah pasti menyalahgunakan kekuasaanya (korup).
Belajar dari sejarah mengenai beberapa penyimpangan terhadap konstitusi
tersebut (UUD 1945), maka pada masa Orde Reformasi dilakukan amandemen
UUD 1945. Amandemen UUD 1945 tersebut terbagi atas amandemen pertama
sidang umum MPR Tahun 1999, yang disahkan pada 19 Oktober 1999,
amandemen kedua pada sidang Tahunan MPR, yang disahkan pada 18 Agustus
2000, amandemen ketiga pada sidang Tahunan MPR. Yang disahkan pada 10
November 2001, dan sidang keempat pada sidang Tahunan MPR, yang disahkan
pada 10 Agustus 2002.

2.3 Rule Of Law

2.3.1 Pengertian Rule Of Law


Menurut The Oxford English Dictionary definisi dari Rule of law adalah
prinsip hukum yang menyatakan bahwa hukum harus memerintah sebuh negara
dan bukan keputusan pejabat- pejabat secara individual. Prinsip tersebut biasanya
merujuk pada pengaruh dan otoritas hukum dalam masyarakat, terutama sebagai
pengatur perilaku, termasuk perilaku para pejabat pemerintah.
Dalam beberapa literatur, istilah rule of law diartikan dengan negara hukum.
Ada beberapa pandangan berbeda mengenai pengertian rule of law. Friedman,
misalnya membedakan pegertian Rule of Law menjadi dua, yaitu rule of law dalam
pengertian formal (in the formal sense), dan dalam pengertian yang hakiki
(ideological sense). Dalam pengertian formal, “the rule of law” tidak lain adalah
“organized publik power” atau kekuasaan umum yang terorganisasikan. Oleh
karena itu, setiap organisasi hukum (termasuk organisasi yang namanya negara)
mempunyai rule of law. Rule of law dalam pengertia hakiki (materiel) sangat erat

24
hubungannya dengan menegakkan the rule of law, karena dalam pengertian hakiki
telah menyangkut ukuran- ukuran tentang hukum yang baik dan hukum yang
buruk. (Karsadi, 2016)

Unsur dasar dari pengertian rule of law adalah berkaitan dengan adanya kaidah-
kaidah hukum yang berlaku sebagai pedoman dalam kehidupan bermayarakat dan
bernegara dan juga adanya unsur keadilan. Dengan demikian, rule of law yang
diartikan sebagai negara hukum apabila negara itu memiliki peraturan perundang-
undangan atau kaidah- kaidah hukum yang dijalankan dan ditegakkan (law
inforcemen) melalui sistem peradilan yan menjamin perlakuan yang adil atau
dengan kata lain keadilan menjadi tujuan dari hukum itu sendiri.

2.3.2 Konsep Rule Of Law


Konsep Rule Of Law bertumpu atas sistem hukum yang disebut “Common
Law”. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik
common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan
karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada Zaman Romawi, kekuasaan
yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu
kemudian didelegasi kepada pejabatpejabat administratif yang membuat
pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu
sengkata. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah mengherankan
kalau dalam sistem continental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru
yang disebut “droit administraf“ dan inti dari “droit administraf“ adalah
hubungan antara administrasi dengan rakyat, di kontinen dipikirkan langkah-
langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (hukum administrasi
dan peradilan administrasi). Dalam perkembangannya konsep negara hukum
tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat
di antaranya:
1. Sistem pemerintah negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau Peraturan Perundang-Undangan;
3. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
5. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

25
6. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang
bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak
memihak dan tidak berada di bawah pangaruh eksekutif;
7. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga
negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
8. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata
sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

2.3.3 Prinsip-Prinsip Rule Of Law

Menurut Teguh dalam jurnal Rule Of Law Dalam Dimensi Hukum Indonesia,
prinsip-prinsip secara formal (in the formal sense) Rule Of Law tertera dalam UUD
1945 dan pasal-pasal UUD negara RI tahun 1945. Inti dari Rule Of Law adalah
jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial.

Prinsip-prinsip Rule of Law Secara Formal (UUD 1945) :

1. Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1: 3)


2. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa
kecuali (pasal 27:1)
3. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum (pasal 28 D:1)
4. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil  dan layak dalam hubungan kerja ( pasal 28 D: 2)

Prinsip-prinsip Rule of Law secara Materiil / Hakiki :

1. Berkaitan erat dengan the enforcement of the Rule of Law


2. Keberhasilan the enforcement of the rule of law tergantung pada kepribadian
nasional masing-masing bangsa
3. Rule of law mempunyai akar sosial dan akar budaya Eropa
4. Rule of law juga merupakan suatu legalisme, aliran pemikiran hukum,
mengandung wawasansosial, gagasan tentang hubungan antarmanusia,
masyarakat dan negara.

26
5. Rule of law merupakan suatu legalisme liberal.

     Menurut Dicey terdapat 3 unsur yang fundamental dalam Rule Of Law, yaitu :

1. Supremasi aturan-aturan hukum


2. Kedudukan yang sama dimuka hukum
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-undang serta keputusan
pengadilan.

Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa dalam hubungan dengan negara
hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara
hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara
yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang
termaktub dalam konstitusi semata.

2.3.4 Rule Of Law di Indonesia dan problematikanya

Di dalam konstitusi negara Indonesia sudah jelas sekali disebutkan bahwa


Indonesia menganut paham negara hukum (rule of law). Paham ini mengandung
makna bahwa kekuasaan negara dibatasi dan ditentukan oleh hukum. Bahkan
secara tegas di dalam konstitusi Indonesia, yaitu pasal 1 ayat (3) UUD 1945
dinyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan pasal 1 ayat
(3) tersebut dipertegas kembali di dalam penjelasan UUD 1945, terutama yang
membahas sistem pemerintahan negara. Menurut penjelasan UUD 1945 tersebut
disebutkan bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (matchsstaat). Ketentuan
konstitusi negara Indonesia ini jelas memberi pedoman dan payung hukum bagi
para penyelenggara negara dan pemerintahan ( di lembaga eksekutif, yudikatif, dan
lembaga negara lainnya) bahwa hukum sebagai panglima dan hukum digunakan
untuk mengatur dan mengelola negara dan bangsa Indonesia.

Dalam praktik-praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan di Indonesia


sering kali ditemukan berbagai kasus yang menunjukkanadanya kesenjangan antara
yang seharusnya (dass sollen). Sebagai contoh misalnya, ketentuan pasal 24 ayat 1
UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakimanmerupakan kekuasaa yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan, itu adalah dass sollenya, tetapi praktiknya (dass seinnya) di dalam proses

27
peradilam Indonesia ketentuan itu belum dilaksanakan dengan baik dan benar.
Sebagai contoh konkretnya, ada kasus korupsi, duan dan gratifikasi yang
melibatkan oknum aparat pemerintah dan oknum aparat penegak hukum, sehingga
pelakunya hanya dijatuhi dengan vonis(hukuman) yang riagan, bahkan ada
beberapa kasus pelakunya justru dibebaskan. Kenyatannya itu berbanding terbalik
dengan kasus pidana yang dilakukan rakyat kecil. Dalam kasus pidana rakyat kecil
dijatuhi hukuman yang berat. Kasus korupsi Gayus Tambunan, dab kasus-kasus
korupsi lainnya di satu pihak, pelakunya diajtuhi hukuman ringan, sementara untuk
kasus Mbok Minah di Purwokerto, proses hukumnya cepat dan vonis tidak sesuai
dengan rasa keadilan. Konidisi yang demikian ini sungguh sangat melukai hati
rakyat dan keadilan itu sendiri dan justru terjadi di negara yang menganut paham
rule of law, sehingga hal ini sangat memilukan dan memalukan dalam menerapkan
prinsip-prinsip rule of law oleh aparat negara penegak hukum. Kasus Gayus
Tambunan diputus bebas oleh pengadilan (meskipun sekarang diproses kembali
karena terungkap adanya mafia hukum dan mafia peradilan) dengan diseretnya
oknum kepolisian, oknim kejaksaan dan oknum hakim, sementara kasus Mbok
Minah, seorang nenek yang hanya mengambil buah kakao di perkebunan negara
dijatuhi hukuman tanpa mempertimbangakan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan
(perlu diketahui bahwa Mbok Minah ini adalah seorang nenek yang sudah tua
renta).

Proses keadilan kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum-okmum pejabat


negara dan pemerintahan serta oknum penegak hukum sering kali lambat
prosesnya, sebaliknya kalau kasus-kasus pidana yang melibatkan rakyat kecil
proses peradilannya sangat cepat. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip negara
hukum sebagaimana amanah konstitusi negara Indonesia pada pasal 1 ayat (3)
UUD 1945 masih sebatas retorika yang utopia. Masih jauh dari kenyataan.
Sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa kasus-kasus hukum masih sering kali
diperjualbelikan oleh oknum-oknum aparat penegak hukum. Karena hukum dapat
dibeli, sehingga dapat dikatakan bahwa mafia hukum dan peradilan sesungguhnya
sudah menggurita dan mengerogoti sistem peradilam di Indonesia dan penagak
hukum di Indonesia. Wajah hukum Indoneia masih buram dan begitu pula keadilan
sebagai simbol peradilan di Indonesia menjadi sulit diwujudkan dalam kehidupan
nyata. Prinsip negara hukum sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 24 ayat

28
(1) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dan
pasal 28D ayat (1) UUD 1945 bahwa setia orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlidungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum masih jauh dari kenyataan. Sebagaimana telah dikemukakan para ahli
bahwa suatu negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang
diterapkannya di negara itu adalah hukum yag baik dan adil. Hukum harus
menjujung tinggi keadilan dan menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia.
Sistem peradilan harus mandiri, bebas dan merdeka dari intervensi dari berbagai
pihak atau kelompok lain, baik pengusaha maupun penguasa, termasuk kekuatan
politik yang ada.

Dalam praktik penyelenggraan negara dan pemerintah di Indonesia, telah


terjadi pergeseran konsep negara hukum ke watak negara hukum yang positivist-
instrumentalistik. Kenyataan menunjukkan bahwa tindakan-tindakan pemerintah
yang melanggar prinsip konstitualisme terutama melanggar HAM selalu bisa di
benarkan karena diberi baju hukum berupa UU atau peraturan perundang-undangan
lainnya telah menyebabkan terjadinya pergeseran prisip daan konsensi dari negara
hukum menjadi negara undang-undang yang meletakkan undang-undang yang
dibuat pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Didalam negara undang-undang yang
seperti itu ukuran kebenaran bukan lagi rasa keadilan dan kepatutan dengan sukma
etika yang tinggi, melainkan kalimat-kalimat undang-undang yang pembuatannya
dilakukan melalui rekayasa bagi kepentingan pemerintah. Di dalam negara undang-
undang yang seperti ini, setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi
pembenaran dengan pembuatan UU melalui penggunaan atribut lewenangan,
sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist
instrumentalistik.

Dari perspektif negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum


di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka hukum harus dijalankan landasan
berpijak bagi setiap penyelenggara negara dan pemerintahan serta rakyat
Indonesia. Untuk mewujudkan negara hukum di Indonesia tidakklah mudah karen
adanya berbagai kendala yang bersifat politis, yuridis maupun kendala yang
bersifat struktural. Kendala yang bersifat politis tampak dari adanya intervensi
dalam proses peradilan dan penegakan hukum di dalam pelaksanaan peradilan di

29
Indonesia. Politisasi hukum untuk kepentingan politik (kriminalisasi) seringkali
mewarnai proses-proses peradilan di Indonesia, apalagi klau sudah melibatkan
oknum pejabat negara dan pemerintahan yang memiliki kekuasaan besar dan uang
banyak. Akibat politisasi hukum untuk kepentingan politik tertentu sangat
mencederai rasa keadilan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hukum hanya
melindungi kepentigan politik oknum-oknum pejabat dan menindas rakyat.
Kondisi inilah sesungguhnya yang menjadi problema dan persoalan yang sangat
fundamental bagi penerapan paham negara hukum sebagiamana amanah Uud 1945
dan perwujudan prinsip-prinsip negara hukum di indonesia.

Dalam perspektif mengenai paham negara hukum, telah berkembang persepsi


dan pandangan dari berbagai kalangan masyarakat bahwa hukum itu hanya tajam
ke bawah tapu tumpul ke atas, persepti dan pandangan masyarakat itu sangat
beralasan karena sudah banyak contoh kasus-kasus hukum yang melibatkan banyak
oknum pejabat tetapi tidak diproses secara hukum dengan menjunjung tinggi
prinsip equality before the law, bahwa di depan hukum semua orang harus
diperlakukan sama tnapa diskriminasi. Perlakuan yang istimewa (privelege) kepada
oknum pejabata atau kelompok tertentu yang terseret pada kasus hukum
menunjukan adanya ketidakadilan dan perlakuan yang diskriminatif. Prinsip bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum seperti bunyi pada pasal 1 ayat (3) UUD
1945 sebagian kalangan dan masyarakat hanyalah sebagai retorika dan masih jauh
dari kenyataan. Oleh karena itu, revolusi mental yang disampaikan oleh presiden
Joko Widodo haruslah dilaksanakan dan diprektikkan oleh aparatur pemerintahan
negara dan penyelenggara negara, termasuk oleh aparat penegak huku di Indonesia,
sehingga pemenuhan rasa keadilan masyarakat tanpa diskriminasi dalam proses
peradilan di Indonesia dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Revolusi
mental yang diserukan oleh presiden Jokowi Widodo memberi harapan yang baik
terhadap terlaksananya clean and good governance. Dengan ditunjukkan oleh
aparatur negara dan pemerintah, termasuk aparat penegak hukum yang memiliki
integritas, kejujuran dan moralitas serta mental yang baik, bersih dan jujur
kepribadiannya serta keberanian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
dengan segala resiko (teror, intimidasi, ancaman, kriminalisasi) (Karsadi, 2016).

30
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Demokrasi sesungguhnya menempatkan rakyat menjadi subjek dan sekaligus objek


dari demokrasi itu sendiri, konstitusi dapat diartikan sebagai Undang- Undang Dasar
sedangkan rule of law merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa hukum harus
memerintah sebuh negara dan bukan keputusan pejabat- pejabat secara individual.
Indonesia sebagai negara demokrasi dan merupakan negara yang memiliki konstitusi
hendaknya selalu berpegang teguh pada prinsip rule of law yaitu selalu berpatokan pada
hukum bukan pada pejabat- pejabat secara individual.

31
DAFTAR PUSTAKA

Karsadi. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Erwin, Muhammad. 2013. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Bandung:


Refika Aditama

Kaelan & Zubaidi, Achmad. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Paradigma

Ardi, Sanit. 2016. Hukum dalam Perkembangan Demokrasi di Indonesia. Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM, 6(9), 90-110.

Nasution, Adnan Buyung. 2016. Konstituante: Perjuangan Menuju Pemerintah


Konstitusional di Indonesia. Jurnal Sejarah, 4.

Prasetya, Teguh. 2010. Rule Of Law Dalam Dimensi Negara Hukum Indonesia. Jurnal Ilmu
Hukum Refleksi Hukum Edisi Oktober 2010

32

Anda mungkin juga menyukai