Anda di halaman 1dari 5

Artikel

Kesultanan Palembang

Sejarah Palembang
Pada Masa Kesultanan

Disusun Oleh :

Muhammad Dzaky Hasyim


X Mipa 2
Absen : 25

SMAN 13 PALEMBANG
TAHUN AJARAN
2020 – 2021
Kesultanan Palembang

Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar
kota Palembang, Sumatra Selatan sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan oleh Sri Susuhunan
Abdurrahman, seorang bangsawan Palembang pada tahun 1659, dan dihapuskan keberadaannya
oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.

Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Prancis mendeskripsikan
keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen
terdiri dari Tiongkok, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat
dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.

Pendirian
Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan disebutkan seorang tokoh Anak
brawijaya sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada
Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Sejarawan Prof. C.C.
Berg menganggapnya identik dengan Adityawarman. Begitu
juga dalam Nagarakretagama, nama Palembang telah
disebutkan sebagai daerah jajahan Majapahit serta Gajah
Mada dalam sumpahnya yang terdapat dalam Pararaton
juga telah menyebutkan Palembang sebagai sebuah
kawasan yang akan ditaklukannya.

Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi
yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang, dan kemudian sekitar
tahun 1513, Tomé Pires seorang petualang dari Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin
oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang
kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta
turut serta menyerang Malaka yang waktu itu
telah dikuasai oleh Portugis. Kemudian pada
tahun 1596, Palembang juga ditaklukan oleh VOC
Seterusnya nama tokoh yang dirujuk memimpin
kesultanan Palembang dari awal adalah Sri
Susuhunan Abdurrahman tahun 1659. Walau
sejak tahun1601 telah memiliki hubungan dengan
VOC dari yang mengaku Sultan Palembang.

Kuto Gawang

Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam
dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut
politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar
Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah
lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan
cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di
tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang
bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x
30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini
mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi
dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam
berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada
tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu
masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di
sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak
Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain
tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di
tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat
Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi
batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah
barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).

Beringin Janggut

Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat
pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl.
Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran
keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut diba¬tasi oleh sungai-
sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai
Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang
Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai
Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan,
penduduk yang

Kuto Tengkuruk

Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Badaruddin I Jayo Wikramo luasnya sekitar 50 hektare dengan batas-batas di sebelah utara Sungai
Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal
Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan
dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya
terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang
atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan
dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat
berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.

Kuto Besak
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak.
Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75
meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-
timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut barat laut
bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada
benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion
Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang
utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu
masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya
sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober
1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas
perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Ekonomi
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama
hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah
kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad
ke-18.

Peperangan
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di
Palembang, tetapi ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga
Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang
Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari
istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin
II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan
Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan
berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali
Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga
dalam kesultanan Palembang.

Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka


sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan
Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali
bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin
oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan
mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal
sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun
1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda
kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan
Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate.[6]
Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III
anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, tetapi
pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada
dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana.
Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, tetapi dapat dengan mudah dipatahkan oleh
Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda
Neira.

Para Penguasa Palembang (1455-1823)

N
Periode Nama Penguasa
o
1 1455-1486 Ario Dillah/Ario Damar
2 ? - 1528 Pangeran Sedo Ing Lautan
3 1528-1545 Ki Gede ing Suro Tuo
4 1546-1575 KI Gede ing Suro Mudo
5 1575-1587 Ki Mas Adipati
6 1588-1623 Pangeran Madi ing Angsoko
7 1623-1624 Pangeran Madi Alit
8 1624-1630 Pangeran Seda in Pura
9 1630-1642 Pangeran Seda ing Kenayan
10 1642-1643 Pangeran Seda Ing Pasarean
11 1643-1659 Pangeran Mangkurat Seda ing Rejek
12 1662-1706 Kiai Mas Hindi (Sultan Abdurrahman)
13 1706-1718 Sultan Muhammad (Ratu) Mansyur Jayo ing Lago
14 1718-1727 Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno
15 1727-1756 Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo
16 1756-1774 Sultan Ahmad Najamuddin I
17 1774-1803 Sultan Muhammad Bahauddin
18 1803-1821 Sultan Mahmud Badaruddin II
Sultan Husin Dhiauddin/ Sultan Ahmad Najamuddin II
19 1812-1813
(adik Mahmud Badaruddin II)
Sultan Ahmad Najamuddin III
20 1819-1821
(putra Mahmud Badaruddin II)
Sultan Ahmad Najamuddin IV
21 1821-1823
(putra Sultan Ahmad Najamuddin II)
22 2003-2017 Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja
23 2017-.... Sultan Mahmud Badaruddin IV Fauwaz Diradja

Anda mungkin juga menyukai