Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS BEDAH

LESI NERVUS RADIALIS LETAK TINGGI PADA


FRAKTUR TERTUTUP HUMERUS SEPERTIGA DISTAL

oleh:
dr. Muhammad Gagas Sasongko

pembimbing:

dr. Rachmat Saleh Rahardjo, Sp.OT

pendamping:

dr. Wiji Kusbiyah

dr. M. Kartikanuddin

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

ANGKATAN II PERIODE MEI TAHUN 2020 - 2021

WAHANA RSUD dr. SOEDOMO TRENGGALEK

SEPTEMBER 2020
LEMBAR PERESETUJUAN PORTOFOLIO
BEDAH

LESI NERVUS RADIALIS LETAK TINGGI PADA


FRAKTUR TERTUTUP HUMERUS SEPERTIGA DISTAL

Oleh :
dr. Muhammad Gagas Sasongko

Laporan Kasus telah disetujui dan dikoreksi oleh pembimbing

Tanggal: ..................

Pembimbing

dr. Rachmat Saleh Rahardjo, Sp.OT

Mengetahui,

Pendamping I Pendamping II

dr. Wiji Kusbiyah dr. M. Kartikanuddin


Portofolio Kasus

No. ID dan Nama Peserta : dr. Muhammad Gagas Sasongko


No. ID dan Nama Wahana: RSUD dr Soedomo Trenggalek
Topik : Lesi Nervus Radialis Letak Tinggi Pada Fraktur Tertutup Humerus Sepertiga Distal
Tanggal (kasus): 16-6-2020
Nama Pasien: Ny. SM No RM: 443532
Tanggal Presentasi: Pendamping:
dr. Rachmat Saleh Rahardjo, Sp.OT
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi: Menganalisis pemeriksaan fisik dan diagnosis pada fraktur humerus, serta
memahami komplikasi neurovaskularnya.
Tujuan: Mengetahui penanganan cedera kepala sedang dengan penurunan kesadaran
Bahan bahasan Tinjauan Riset Kasus Audit
Pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos
membahas
Data pasien Nama: Ny. SM No RM: 443532
Nama Klinik: Telp pasien: 0859183997087
RSUD dr Soedomo
Trenggalek
Data utama untuk bahan diskusi
1. Keluhan Utama : Nyeri lengan atas tangan kiri

Anamnesis :
Pasien datang ke IGD jam 18.00 dengan keluhan post KLL 1 jam yang lalu, saat
bersepedah motor dalam kecepatan 40km/jam menabrak truk yang belok mendadak
menghindari mobil. Saat kejadian setir motor tersenggol truk, dan pasien dalam kondisi
dibonceng terjungkal kedepan, jatuh ke aspal bertopang siku kiri. Setelah itu tangan
pasien terasa kesemutan, makin lama makin linu. Siku kebawah sulit digerakkan, hanya
jari jari dapat bergerak sedikit. Pasien dibawa ke PKM Baruharjo, dibidai dan dirujuk ke
RSUD dr.Soedomo Trenggalek. Terdapat luka babras di siku kiri, perdarahan aktif (-),
penurunan kesadaran (-), hilang ingatan (-), mual (-) muntah (-).

2. Riwayat Penyakit Dahulu :


Sakit dengan gejala serupa (-) HT (-) DM (-) Operasi (-) Gangguan pembekuan darah (-)
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
Sakit dengan gejala yang sama (-)
Riwayat HT disangkal
Riwayat DM disangkal
4. Riwayat Pekerjaan :
Pasien seorang pedagang sayur, KLL terjadi saat mau belanja ke Ngemplak. Kebiasaan
merokok (-). Kebiasaan minum alkohol (-)
5. Pemeriksaan Fisik :

Keadaan Umum : Lemah


Kesadaran : CM
TD : 121/64 mmHg N : 88x/menit t : 36,7C RR : 20x/menit SpO2:100%
GCS E4V5M6
Kepala : Conjunctiva Anemis (-) Ikterik (-) Sianosis (-) Dyspneu (-) , Pupil Isokor
3cm/3cm
Thorax :
Thorax : jejas -, NT -, krepitasi -
Cor : HR 88 x/menit, Bunyi jantung I-II, reguler, murmur (-)
Pulmo : SDV +/+, Rh -/- Whz -/-
-/- -/-
-/- -/-

Abdomen : jejas -, flat, BU + normal, NT (-), timpani (+), supel


Extremitas : akral hangat, kering, merah +/+ edema -/+
+/+ -/-

Status Lokalis Et Regio Brachii Sinistra:


Look:
 Vulnus -
 Deformitas +
 Edema +
 Hiperemi –
 Bleeding –
Feel:
 Krepitasi +
 False Movement + (angulasi)
 Nyeri Tekan +
Move:
 ROM: Elbow: Pronasi terbatas (Nyeri)
Supinasi terbatas (Nyeri)
Fleksi elbow terbatas (Nyeri)
Shoulder : Abduksi Normal
Adduksi Normal
Fleksi Normal
Ekstensi Normal
Internal Rotasi Normal
Eksternal Rotasi Normal
 Kekuatan otot : 5/4
5/5
Neurovaskular Distal:
 Pulsasi arteri radialis teraba
Motorik:
 Extensi Wrist –
 Extensi Thumb –
 Extensi Metacarpofalangeal –
Sensorik:
 1st dorsal web space sensorik menurun
6. Pemeriksaan Penunjang :

Darah Rutin 16/6/2020


HGB: 9.7
WBC: 13.93 H
PLT: 314
HCT: 30.3
MCV 79.7
MCH: 25.5
MCHC: 32.0

RBC : 3.80
RDW: 15.8 H
PDW: 9.7
MPV: 9.3
P-LCR: 18.6
NEUT%: 90.4 H
LYMPH%: 7.3
NEUT#: 12.58 H
LYMPH#: 1.02

Foto Klinis :
Rontgen Humerus S Endo/Eksorotasi:

7. Diagnosa:
CF Humerus S 1/3 distal Displace + High Radial nerve Palsy
8. Tata Laksana:
- Inf RL 24tpm
- Inj.Dexketoprofen 3x1amp
- Inj.Ranitidin 2x1amp
- Inj.Mecobalamin 3x1amp
- Bidai
- Puasa
- Pro ORIF
9. Follow Up:
Foto xray humerus AP post ORIF + Plate Screw 18-Juni-2020:
Klinis pasien 12-Juli-2020:

 Inspeksi : scar bekas operasi pada lengan atas kiri, tanpa deformitas dan atrofi
lengan maupun jari tangan.
 Palpasi : Tidak di dapatkan nyeri pada scar bekas operasi, paraesthesia pada
punggung tangan sisi lateral, pulsasi arteri radialis dan ulnaris kuat, capillary
refil time kurang dari 2 detik.
 Pergerakan : tidak mampu elevasi ibu jari tangan, ekstensi pada pergelangan
tangan kiri dan abduksi kelima jari pada tangan kiri.
PEMBAHASAN

1. Anatomi
1.1 Anatomi Humerus
Humerus atau tulang pangkal lengan ada sepasang dan berbentuk tulang
panjang dan terletak pada brachium. Humerus berartikulasi dengan scapula di
proksimal dan dengan radius ulna di distal. Humerus dapat dibagi menjadi 3
bagian, yaitu proksimal humeri, shaft humeri dan distal humeri (Maurice, 1997).
1. Proksimal Humeri
Pada proksimal humeri, terdapat caput humeri yang setengah bulat dan
dilapisi oleh tulang rawan. Caput humeri merupakan bagian humerus yang
berartikulasi dengan kavitas glenoidalis yang merupakan bagian scapula. Arah
caput humeri serong mediosuperior dan sedikit posterior. Caput humeri
dipisahkan dengan struktur di bawahnya oleh collum anatomicum (Subagyo,
2002).
Didapatkan dua tonjolan tulang yang disebut tuberculum majus dan
tuberculum minor. Tuberculum majus mengarah ke lateral dan melanjutkan diri
ke distal sebagai crista tuberculi majoris. Tuberculum minor mengarah ke anterior
dan melanjutkan diri sebagai crista tuberculi minoris. Di antara kedua tuberculum
serta crista tuberculi dibentuk sulcus intertubercularis yang dilapisi tulang rawan
dan dilalui tendon caput longum m. bicipitis.
2. Shaft humeri
Shaft humeri memiliki penampang melintang berbentuk segitiga.
Permukaan shaft humeri dapat dibagi menjadi facies anterior medialis, facies
anterior lateralis dan facies posterior. Pertemuan facies anterior medialis dengan
facies posterior membentuk margo medialis. Margo medialis ke arah distal makin
menonjol dan tajam sebagai crista supracondilaris medialis. Pertemuan facies
anterior lateralis dengan facies posterior membentuk margo lateralis. Margo
lateralis ini juga ke arah distal makin menonjol dan tajam sebagai crista
supracondilaris lateralis.

Dipertengahan sedikit proksimal facies anterior lateralis didapatkan


tuberositas deltoidea. Di posterior dari tuberositas deltoidea dan di facies posterior
humeri didapatkan sulcus nervi radialis (sulcus spiralis) yang berjalan
superomedial ke inferolateral. Foramen nutricium didapatkan dekat margo
medialis dan merupakan lubang masuk ke canalis nutricium yang mengarah ke
distal.
3. Distal humeri
Distal humeri lebih tipis dan lebar dibandingkan dengan shaft humeri.
Margo medialis yang melanjutkan diri sebagai crista supracondilaris medialis
berakhir sebagai epicondilus medialis. Demikian pula margo lateralis yang
melanjutkan diri sebagai crista supracondilaris lateralis berakhir sebagai
epicondilus lateralis. Epicondilus medialis lebih menonjol dibandingkan
epicondilus lateralis serta di permukaan posterior epicondilus medialis didapatkan
sulcus nervi ulnaris.
Diantara kedua epicondilus didapatkan struktur yang dilapisi tulang rawan
untuk artikulasi dengan tulang-tulang antebrachii. Struktur ini mempunyai sumbu
yang sedikit serong terhadap sumbu panjang shaft humeri. Struktur ini disebut
trochlea humeri di medial dan capitulum humeri di lateral. Trochlea humeri
dilapisi oleh tulang rawan yang melingkar dari permukaan anterior sampai
permukaan posterior dan berartikulasi dengan ulna. Di proksimal trochlea baik di
permukaan anterior maupun di permukaan posterior didapatkan lekukan sehingga
tulang menjadi sangat tipis. Dipermukaan anterior disebut fossa coronoidea dan di
permukaan posterior disebut fossa olecrani.
Capitulum humeri lebih kecil dibandingkan trochlea humeri, dilapisi
tulang rawan setengah bulatan dan tidak mencapai permukaan posterior.
Capitulum humeri berartikulasi dengan radius. Di permukaan anterior capitulum
humeri didapatkan fossa radialis.

1.2 Anatomi Muskuloskletal


Otot-otot yang berhubungan dengan pergerakan dari tulang humerus
meliputi mm. biceps brachii, coracobrachialis, brachialis dan triceps brachii.
Selain itu humerus juga sebagai tempat insersi mm. latissimus dorsi, deltoideus,
pectoralis mayor, teres mayor, teres minor, subscapularis dan tendon insersio mm.
supraspinatus dan infraspinatus (Sjamsuhidajat R, 2004).
1. M. Latissimus Dorsi
Otot ini besar dan berbentuk segitia. Batas posterior trigonum lumbale
dibentuk oleh m. latissimus dorsi. Bersama m. teres mayor, otot ini membentuk
plica axillaris posterior, serta ikut membentuk dinding posterior fossa axillaris.
Otot ini berorigo pada processi spinosi vertebrae thoracales VII – sacrales V dan
crista iliaca. Dan berinsersi pada sulcus intertubercularis humeri. Otot ini
berfungsi untuk ekstensi, adduksi dan endorotasi pada artikulasi humeri.
2. M. Deltoideus
Otot yang tebal dan letaknya superficial ini berorigo di tepi anterior dan
permukaan superior sepertiga bagian lateral clavicula, tepi lateral permukaan
superior acromion, serta tepi inferior spina scapulae. Insersi pada tuberositas
deltoidea humeri. Otot ini diinervasi oleh n. axillaris. Otot ini berfungsi untuk
abduksi artikulasi humeri, bagian anterior untuk fleksi dan endorotasi artikulasi
humeri, sedang bagian posterior untuk ekstensi dan eksorotasi artikulasi humeri.
3. M. Supraspinatus
Bagian medial fossa supraspinatus merupakan origo otot ini dan insersinya
di tuberculum majus humeri. Otot ini mendapat inervasi dari n. suprascapularis.
Otot ini berfungsi untuk abduksi artikulasi humeri. Otot ini bersama mm.
infraspinatus, teres minor et subscapularis membentuk rotator cuff, yang berfungsi
mempertahankan caput humeri tetap pada tempatnya dan mencegahnya tertarik
oleh m. deltoideus menuju acromion.
4. M. Infraspinatus
Mm. deltoideus et trapezius berada di superficial dari sebagian otot ini.
Origonya di dua pertiga bagian medial fossa infraspinatus dan permukaan inferior
spina scapulae. Tendo insersinya juga menyatu dengan capsul artikulasi humeri
dan berinsersi pada tuberculum majus humeri. Otot ini diinervasi oleh n.
suprascapularis. Otot ini berfungsi untuk eksorotasi artikulasi humeri. Bagian
superior untuk abduksi dan bagian inferior untuk adduksi artikulasi humeri.

5. M. Subscapularis
Otot ini membentuk dinding posterior fossa axillaris. Origonya di fossa
subscapularis. Tendo insersinya berjalan di anterior dan melekat pada capsula
artikulasi humeri serta tuberculum minor humeri. Otot ini diinervasi oleh n.
subscapularis. Otot ini berfungsi untuk endorotasi artikulasi humeri.
6. M. Teres Minor
Otot ini mungkin sulit dipisahkan dengan m. infraspinatus. Otot ini
berorigo pada tepi lateral fossa infraspinata dan tendo insersinya mula-mula
melekat pada capsula articularis humeri, kemudian melekat pada tuberculum
minor humeri. Otot ini diinervasi oleh n. axillaris. Otot ini berfungsi untuk
eksorotasi artikulasi humeri.
7. M. Teres Mayor
Otot ini berorigo di facies dorsalis scapulae dekat angulus inferior.
Berinsersi di labium medial sulcus intertubercularis humeri di inferior dari tempat
insersi m. subscapularis. Inervasi otot ini berasal dari n. subscapularis. Bersama
m. latissimus dorsi, otot ini berfungsi untuk adduksi artikulasi.
8. M. Biceps Brachii
Otot yang berorigo di scapula ini, memiliki dua caput yaitu caput longum
et brevis. Caput brevis berorigo bersama dengan m. coracobrachialis di processus
coracoideus. Sedang caput longum berorigo di tuberositas supraglenoidalis.
Ketika melalui sulcus intertubercularis humeri, tendo origonya di fiksasi oleh
ligamentum transversum humeri. Insersi otot ini pada tuberositas radii. Sebagian
tendo insersinya, sebagai lacertus fibrous, berinsersi di fascia antebrachii dan ulna.
Fungsi caput longum m. biceps brachii untuk fleksi artikulasi humeri et cubiti,
sedangkan caput brevisnya untuk supinasi artikulasi radioulnaris.
9. M. Coracobrachialis
Otot ini berorigo di processus coracoideus. Otot ini ditembuw oleh n.
musculocutaneus dan insersi di sepertiga distal medial humeri. Otot ini berfungsi
untuk fleksi dan adduksi artikulasi humeri.
10. M. Brachialis
Otot ini berorigo di dua pertiga distal fascia anteromedial et anterolateral
humeri dan insersi pada capsula artikulasi cubiti, processus coronoideus et
tuberositas ulna. Otot ini berfungsi untuk fleksi artikulasi cubiti.
11. M. Triceps Brachii
Otot ini berada di regio brachii dorsalis. Otot ini memiliki tiga caput dan
tersusun dalam dua lapisan. Caput longum et lateralis menempati lapisan
superficial, sedang caput medial menempati lapisan profundus. Caput longumnya
berorigo pada tuberositas infraglenoidalis. Dalam perjalanannya ke inferior, caput
ini memisahkan hiatus axillaris medialis dari hiatus axillaris lateralis. Origo lateral
et medial dipisahkan oleh sulcus n. radialis humeri. Caput lateral berorigo di
facies posterior humeri di superior dari sulcus ini, sedang caput medial berorigo di
inferiornya. Insersinya di bagian posterior permukaan superior olecranon, fascia
antebrachii dan capsula articularis cubiti. Inervasi otot ini berasal dari n. radialis.
Fungsi dari caput longum m. triceps brachii untuk ekstensi dan adduksi
artikulasi humeri, sedangkan caput lateral et medial untuk ekstensi artikulasi
cubiti.

1.3 Anatomi Saraf


Persarafan yang berjalan pada regio brachii adalah saraf axillaris,
medianus dan ulnaris (Mansjoer A, 2000).
1. N. Axillaris (C5-C6)
Awalnya saraf ini berjalan sejajar dengan n. radialis. Setinggi inferior m.
subscapularis memisahkan diri dari n. radialis dan berada di lateralnya, kemudian
berjalan ke posterior bersama a. circumflexa humeri posterior melewati hiatus
axillaris lateralis. Selanjutnya saraf ini berjalan di inferior dari tepi inferior m.
teres minor dan menginervasinya. Ketika mencapai sisi posteromedial collum
chirurgicum humeri, n axillaris member cabang n. cutaneus brachii lateralis untuk
menginervasi kulit di superficial m. deltoideus. Akhirnya melanjutkan diri ke
anterior sekeliling sisi lateral collum chirurgicum humeri untuk menginervasi m.
deltoideus.
2. N. Musculocutaneus (C5-C7)
Merupakan cabang fasciculus lateralis pleksus brachialis. M.
coracobrachialis ditembus oleh saraf ini. N. musculocutaneus menginervasi otot-
otot fleksor regio brachii (mm. biceps brachii et brachialis), kulit sisi lateral regio
antebrachii dan arilkulasi cubiti. Selanjutnya saraf ini muncul di lateral dari m.
biceps brachii sebagai n. cutaneus antebrachii lateralis.
3. N. Medianus (C5-T1)
Di sisi anterolateral dari a. axillaris, saraf ini terbentuk dari pertemuan
radiks lateralisnya yang merupakan cabang fasciculus lateralis plexus brachialis
dan radiks medialis, yang merupakan cabang fasciculus medialis plexus
brachialis. Selanjutnya berjalan bersama a. axillaris dan lanjutannya, yaitu a.
brachialis. Saraf ini menyilang di anterior a. brachialis untuk berada di medial dari
arteri ini di dalam fossa cubiti. N. medianus bersama a. brachialis berjalan di
permukaan anterior m. brachialis menuju fossa cubiti.
4. N. Radialis (C5-T1)
Cabang terbesar dari pleksus brachialis ini awalnya berjalan di posterior
dari a. axillaris dan di anterior dari m. subscapularis. Saraf ini menginervasi kulit
di sisi posterior regio brachii, antebrachii et manus, otot-otot ekstensor regio
brachii et antebrachii, artikulasi cubiti dan beberapa artikulasi di regio manus.
5. N. Ulnaris (C7-T1)
Saraf ini berjalan ke inferior di posteromedial dari a. brachialis, jadi sejajar
dengan n. medianus. Kira-kira di pertengahan region brachii, n. ulnaris menjauhi
a. brachialis dan n. medianus untuk berjalan ke poter oinferior menembus septum
intermusculare medial bersama a. collateralis ulnaris proksimal menuju sisi
medial m. triceps brachii. Akhirnya berada di sisi posterior epicondylus medialis
humeri.

1.4 Anatomi Vaskulariasi


Arteri brachialis merupakan lanjutan a. axillaris, dimulai dari tepi inferior
m. teres mayor. Arteri ini melanjutkan diri ke fossa cubiti dan di sini berakhir
sebagai dua cabang terminal, yaitu aa. Ulnaris et radialis. Cabang-cabangnya yang
berada di regio ini adalah aa. Profunda brachii, collaterales ulnares proksimal et
distalis (Kenneth J. et all, 2002).
Arteri profunda brachii berjalan ke posterior bersama n. radialis. Di sini
lateral regio brachii arteri ini berakhir sebagai dua cabang terminalnya, yaitu a.
collateralis radialis, yang berjalan ke anterior bersama n. radialis dan a.
collateralis media, yang menuju sisi posterior epicondylus lateralis humeri.
Arteri collateralis ulnaris proksimalis berawal dipertengahan regio brachii
dan berjalan bersama n. ulnaris menuju sisi posterior epicondylus medialis
humeri.
Arteri collateralis ulnaris distalis awalnya sedikit di superior dari artikulasi
cubiti dan berjalan di posterior dari n. medianus, kemudian cabang-cabangnya
menuju sisi anterior dan posterior epicondylus medialis humeri. 4 Vena brachialis
mengikuti arterinya dan kira-kira di dua pertiga proksimal regio ini v. basilica
berjalan superficial terhadap a. brachialis.

2. Klasifikasi Fraktur
Berikut klasifikasi fraktur diafisis humerus menurut Ortopaedics Trauma
Association (OTA)
 Tipe A: fraktur sederhana (simple fracture)
 A1: spiral
 A2: oblik (>30°)
 A3: transversa (<30°)
 Tipe B: fraktur baji (wedge fracture)
 B1: spiral wedge
 B2: bending wedge
 B3: fragmented wedge
 Tipe C: fraktur kompleks (complex fracture)
 C1: Spiral
 C2: Segmental
 C3: Ireguler (significant comminution)
Tipe A = fraktur sederhana. A1 = fraktur spiral (.1 pada sepertiga proksimal, .2 pada sepertiga tengah, dan .3
pada sepertiga distal), A2 = fraktur oblik, A3 = fraktur transversa.

Tipe B = fraktur baji (wedge fracture). B1 = fraktur baji spiral (spiral wedge fracture), B2 = bending wedge
fracture, A3 = fragmented wedge fracture.
Tipe C = complex fracture. C1 = fraktur spiral kompleks, C2 = fraktur segmental kompleks, C3 = fraktur
ireguler.

Gambar 2.1 klasifikasi fraktur diafisis humerus (OTA)

Berdasarkan arah pergeserannya, fraktur humerus dibagi menjadi (Holmes E.J.,


2004);
a. Fraktur sepertiga proksimal humerus
Fraktur yang mengenai proksimal metafisis sampai insersi m. pectoralis
mayor diklasifikasikan sebagai fraktur leher humerus. Fraktur di atas insersi
pectoralis mayor menyebabkan fragmen proksimal abduksi dan eksorotasi
rotator cuff serta distal fragmen bergeser ke arah medial. Fraktur antara
insersi m. pectoralis mayor dan deltoid umumnya terlihat adduksi pada
akhir distal dari proksimal fragmen dengan pergeseran lateral dan proksimal
dari distal fragmen.
b. Fraktur sepertiga tengah dan distal humerus
Jika fraktur terjadi di distal dari insersi deltoid pada sepertiga tengah korpus
humerus, pergeseran ke medial dari fragmen distal dan abduksi dari fragmen
proksimal akan terjadi.
3. Gambaran Klinis
Secara umum gambaran fraktur meliputi tanda pasti dan tidak pasti
fraktur, berupa
1. Tanda tidak pasti fraktur
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat. Nyeri berkurang jika
fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai
fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Hilangnya fungsi, diakibatkan oleh rasa nyeri atau tidak
mampu melakukan gerakan.
3. Deformitas dapat disebabkan oleh pergeseran fragmen pada
eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
4.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda
ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah
cedera.
2. Tanda pasti fraktur
1. Gerakan abnormal (“false movement”), gerakan yang pada
keadaan normal tidak terjadi.
2. Deformitas akibat fraktur, umumnya pemendekan tulang,
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur.
3. Tulang ekspose karena robekan kulit dan otot akibat
diskontinuitas kulit.
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan,
teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat
gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
Pada pemeriksaan harus diperhatikan keutuhan faal nervus radialis dan
arteri brakialis. Saat pemeriksaan apakah ia dapat melakukan dorsofleksi
pergelangan tangan atau ekstensi jari-jari tangan.

4. Cedera Saraf Radialis


Fraktur pada humerus sering disertai komplikasi cedera nervus radialis,
insiden 11.8% dari seluruh cereda saraf perifer yang terkait fraktur tulang
Panjang. Hal ini terjadi karena posisi nervus radialis dan kontak langsung pada
periosteum humerus pada celah spiral dan melewati septum intermuscular bagian
lateral, sehingga mudah terjepit, memar atau cedera. Fraktur spiral atau oblik pada
sepertiga tengah dan distal humerus memiliki resiko tinggi cedera saraf radialis
(Shao Y.C, 2005).
Cedera nervus radialis dapat diakibatkan cedera primer maupun sekunder,
cedera primer berupa cedera langsung terkait patah tulang humerus, intervensi
pembedahan maupun kompresi. Sedangkan cedera saraf sekunder terjadi karena
saraf terjepit pada patahan setelah reduksi (manipulasi patahan). Cedera iatrogenik
pada nervus radialis mungkin terjadi saat manipulasi tindakan closed reduction
atau saat intervensi pembedahan, saat internal fixation dengan compression plate
atau intramedullary nail (Foster et al, 1993).

Gambar 2.2 Lokasi Nervus Radialis (Russell, 2006)


4.1 Anatomi nervus radialis
Secara anatomi, nervus radialis adalah “great extensor” pada lengan atas,
mempersarafi seluruh pergerakan ekstensi dan memiliki resiko lebih besar
terjadinya cedera sepertiga distal humerus karena tidak adanya proteksi otot. Ini
sesuai dengan gambaran pola fraktur Holstein-Lewis di mana laserasi saraf terjadi
antara fragmen fraktur spiral pada sepertiga distal humerus (Holstein. et al, 1963).
Cedera saraf dapat berupa neuropraksia, axonotmesis dan neurotmesis.
Neuropraksia adalah gangguan konduktivitas saraf tanpa cedera akson.
Axonotmesis, adalah cedera pada akson saraf dan selubung myelin tetapi
endometrium, perineum dan epineurium intak. Neurotmesis adalah total disrupsi
pada seluruh serabut saraf.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik (motorik, sensorik dan
pemeriksaan khusus). Nervus radialis adalah cabang terminal terbesar dari plexus
brachialis, dari serabut saraf cervical (C5-8). Nervus radialis terletak di posterior
arteri axilaris pada axila, yang kontras dengan nervus ulnaris dan medianus yang
terletak lebih anterior. Pada lengan atas proksimal, nervus radialis berlanjut
dengan berjalan di permukaan anterior kepala triseps, otot yang berasal dari aksila
dari skapula lateral.

Gambar 2.3 Perjalanan nervus radialis (Russel, 2006)


Nervus radialis terletak superficial ke tiga otot pada axila (dari proksimal
ke distal); otot subskapularis yang berinsersio pada kepala humerus; dan teres
mayor berinsersio pada leher humerus. Dari pertengahan lengan ke fossa
antecubital, nervus radialis berjalan di bawah tiga otot yang berurutan: (1).
Brachioradialis, (2). Ekstensor carpi radialis longus, dan (3). Ekstensor carpi
radialis brevis.

Gambar 2.4 Insertio nervus radialis (Russel, 2006)

Cabang nervus radialis pada distal forearm yaitu nervus posterior


interosseus, tidak membawa sensibilitas dan hanya motorik murni. Setelah
muncul dari antara dua otot supinator di kompartemen ekstensor lengan bawah,
saraf interoseus posterior terletak ke ekstensor digitorum communis, dan
superfisial untuk abductor pollicis longus kemudian cabang-cabang yang tidak
bernama sering disebut cauda equina lengan.
Gambar 2.5 Penyempitan nervus radialis pada cubiti (Russel, 2006)

Innervasi sensoris pada nervus radialis berlokasi pada distal lengan,


cabang terminal melewati brachioradialis dan otot extersor carpi radialis.

Gambar 2.6 Innervasi nervus radialis (Russell, 2006)

Inervasi motorik sebagai “great extensor” pada ekstremitas atas, nervus


radialis menginervasi empat kelompok otot: tricep, lateral epicondilus, posterior
interosseus superfisialis dan posterior interosseus profunda.
1. Otot Tricep
Tricep merupakan otot pertama yang di inervasi oleh nervus radialis,
serabut saraf darinproksimal menuju axilobrachial junction. Pemeriksaan
otot tricep (C6-8) dengan ekstensi lengan.
2. Otot lateral epicondylus
Seluruh cabang brachioradialis (C5, C6) berasal dari nervus radialis
priksimal ke epicondilus lateral. Pemeriksaan dengan fleksi lengan antara
pronasi dan supinasi melawah tahanan. Untuk ekstensor carpi radialis
longus (C6, C7) dan brevis (C7, C8) dengan ekstensi dan abduksi
pergelangan tangan.
3. Posterior interosseus superfisialis
Kelompok ini terdiri dari ekstensor karpi ulnaris, ekstensor digitorum
komunis, dan ekstensor digiti minimi, yang sering dipersarafi oleh cabang
umum. Uji ekstensor carpi ulnaris (C7, C8) dengan menstabilkan lengan
bawah bagian distal dan membuat ekstensi dan adduksi (menekuk ke arah
ulnar) tangan.
4. Posterior interosseus profunda
Merupakan innervasi paling distal meliputi muskulus abduktor policis
longus (C7, C8) dengan ekstensi ibu jari tangan menjauhi jari telunjuk
sejajar telapak tangan. Ekstensor policis longus (C7, C8) dan ekstensor
policis brevis (C7, C8).

Innervasi sensoris dapat membantu melokalisir tingkat cedera, terbagi atas


empat kelompok sensoris diantaranya: (1) lower lateral cutaneus nerve to the arm,
(2) posterior cutaneus nerve to the arm, (3) posterior cutaneus nerve to the
forearm, dan (4) superficial sensory radial nerve.
Gambar 2.7 Innervasi sensoris nervus radialis (Russell, 2006)

Pemeriksaan penunjang dengan EMG-NCV digunakan untuk menentukan


lokasi dan tingkat cedera saraf. Selain itu, EMG sangat membantu pada pasien
yang menjalani eksplorasi dan rekonstruksi nervus radialis untuk memantau
pemulihan. Evaluasi elektrodiagnostik tidak dapat dilakukan untuk membedakan
antara saraf yang terputus dan saraf yang intak selama hari pertama setelah cedera
(Robinson, 2000). Diperlukan 3-5 minggu diperlukan untuk potensi patologis
denervasi otot untuk berkembang (Thomsen, 2007).
4.2 Pemeriksaan fisik nervus radialis
Pemeriksaan kekuatan otot (motorik) dan sensibilitas (nyeri, tekan, suhu,
raba). (Russell, 2006). Evaluasi motorik dimulai dari tingkat paling atas, berupa:
1. Evaluasi motorik dimulai dengan kelompok otot. triceps (C6-8)
Gambar 2.8 Evaluasi otot tricep dengan ekstensi, serta
kemampuan melawan tahanan.

2. Evaluasi otot lateral epicondylus, dengan cabang Brachioradialis (C5,


C6), Extensor Carpi Radialis Longus (ECRL) (C6, C7), dan Brevis
(C7, C8).

Gambar 2.9. Evaluasi otot brachioradialis fleksi siku


dengan lengan bawah antara pronasi-supinasi.
Gambar 2.10 Otot ECRL dan ECRB diperiksa bersamaan, extensi dan
abduksi tangan melawan tahanan.

Gambar 2.11 Otot supinator (C6, C7) pasien mempertahankan supinasi


lengan bawah saat pemeriksa mencoba pronasi.
3. Evaluasi Posterior interosseus
1. Kelompok superfisial diantaranya Extensor Carpi Ulnaris (C7, C8)
dan Extensor digitorum communis (C7, C8)

Gambar 2.12. Extensor Carpi Ulnaris, dengan bending ulnar


(ekstensi dan adduksi) lengan bawah
Gambar 2.13. Extensor digitorum communis, dengan extensi
kelima jari tangan melawan tahanan pada Proximal interphalangeal
(PIP) joint
2. Kelompok profunda diantaranya Extensor digiti minimi (C7, C8),
Abductor policis longus (C7, C8), Extensor policis longus (C7,
C8), dan Extensor policis brevis (C7, C8)

Gambar 2.14. Extensor digiti minimi, ekxtensi jari ke lima pada


MCP joint

Gambar 2.15. Abductor policis longus, kemampuan abduksi ibu


jari
Gambar 2.16. Ekstensor policis longus dan brevis, dengan ekstensi
ibu jari tangan.

5. Penatalaksanaan
5.1 Penatalaksanaan Fraktur Humerus
5.1.1 Konservatif
Berikut beberapa metode dan alat yang digunakan pada terapi konservatif
(Harorld E, 2006).
1. Hanging cast
Indikasi penggunaan meliputi pergeseran shaft tengah fraktur humerus
dengan pemendekan, terutama fraktur spiral dan oblik. Penggunaan pada
fraktur transversa dan oblik pendek menunjukkan kontraindikasi relatif
karena berpotensial terjadinya gangguan dan komplikasi pada saat
penyembuhan. Pasien harus mengangkat tangan atau setengah diangkat
sepanjang waktu dengan posisi cast tetap untuk efektivitas. Seringkali diganti
dengan fuctional brace 1-2 minggu pasca trauma. Lebih dari 96% telah
dilaporkan mengalami union.
2. Coaptation splint
Diberikan untuk efek reduksi pada fraktur tapi coaptation splint memiliki
stabilitas yang lebih besar dan mengalami gangguan lebih kecil daripada
hanging arm cast. Lengan bawah digantung dengan collar dan cuff.
Coaptation splint diindikasikan pada terapi akut fraktur shaft humerus dengan
pemendekan minimal dan untuk jenis fraktur oblik pendek dan transversa
yang dapat bergeser dengan penggunaan hanging arm cast. Kerugian
coaptation splint meliputi iritasi aksilla, bulkiness dan berpotensial slippage.
Splint seringkali diganti dengan fuctional brace pada 1-2 minggu pasca
trauma.
3. Thoracobranchial immobilization (velpeu dressing)
Biasanya digunakan pada pasien lebih tua dan anak-anak yang tidak dapat
ditoleransi dengan metode terapi lain dan lebih nyaman jadi pilihan. Teknik
ini diindikasikan untuk pergeseran fraktur yang minimal atau fraktur yang
tidak bergeser yang tidak membutuhkan reduksi. Latihan pasif pendulum
bahu dapat dilakukan dalam 1-2 minggu pasca trauma.
4. Shoulder spica cast
Teknik ini diindikasikan pada jenis fraktur yang mengharuskan abduksi
dan eksorotasi ektremitas atas. Kerugian teknik ini meliputi kesulitan aplikasi
cast, berat cast dan bulkiness, iritasi kulit, ketidaknyamanan dan kesusahan
memposisikan ektremitas atas.
5. Functional bracing
Memberikan efek kompresi hidrostatik jaringan lunak dan mempertahankan
aligment fraktur ketika melakukan pergerakan pada sendi yang berdekatan.
Brace biasanya dipasang selama 1-2 minggu pasca trauma setelah pasien
diberikan hanging arm cast atau coaptation splint dan bengkak berkurang.
Kontraindikasi metode ini meliputi cedera massif jaringan lunak, pasien yang
tidak dapat dipercaya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan
asseptabilitas reduksi. Collar dan cuff dapat digunakan untuk menopang
lengan bawah; aplikasi sling dapat menghasilkan angulasi varus (kearah
midline).
5.1.2 Pembedahan
Beberapa indikasi untuk dilakukan tindakan pembedahan, diantaranya:
 Cedera multiple berat
 Fraktur terbuka
 Fraktur segmental
 Fraktur ekstensi intra-artikuler yang bergeser
 Fraktur patologis
 Siku melayang (floating elbow) pada fraktur lengan bawah
(antebrachii) dan humerus tidak stabil bersamaan
 Palsi saraf radialis (radial nerve palsy) setelah manipulasi
 Non-union

Fiksasi dapat berhasil dengan;


1. Kompresi plate and screws
2. Interlocking intramedullary nail atau pin semifleksibel
3. External Fixation

Plating menjadikan reduksi dan fiksasi lebih baik dan memiliki


keuntungan tambahan bahwa tidak dapat mengganggu fungsi bahu dan siku.
Biar bagaimanapun, ini membutuhkan diseksi luas dan perlindungan pada
saraf radialis. Plating umumnya diindikasikan pada fraktur humerus dengan
kanal medulla yang kecil, fraktur proksimal dan distal shaft humerus,
fraktur humerus dengan ekstensi intraartikuler, fraktur yang memerlukan
eksplorasi untuk evaluasi dan perawatan yang berhubungan dengan lesi
neurovaskuler, serta humerus non-union.
Interlocking intramedullary nail diindikasi pada fraktur segmental
dimana penempatan plate akan memerlukan diseksi jaringan lunak, fraktur
humerus pada tulang osteopenic, serta pada fraktur humrus patologis.
Antegrade nailing terbentuk dari paku pengunci yang kaku (rigid
interlocking nail) yang dimasukkan kedalam rotator cuff dibawah kontrol
(petunjuk) fluoroskopi. Pada cara ini, dibutuhkan diseksi minimal namun
memiliki kerugian, yaitu menyebabkan masalah pada rotator cuff pada
beberapa kasus yang berarti. Jika hal ini terjadi, atau apabila nail keluar dan
fraktur belum mengalami union, penggantian nailing dan bone grafting
mungkin diperlukan; atau dapat diganti dengan external fixator.
Retrograde nailing dengan multiple flexible rods dapat menghindari
masalah tersebut, tapi penggunaannya lebih sulit, secara luas kurang
aplikatif dan kurang aman dalam mengontrol rotasi dari sisi yang fraktur.
External fixation mungkin merupakan pilihan terbaik pada fraktur terbuka
dan fraktur segmental energy tinggi. External fixation ini juga prosedur
penyelamatan yang paling berguna setelah intermedullary nailing gagal.
Indikasi umumnya pada fraktur humerus dengan non-union infeksi, defek
atau kehilangan tulang, dengan luka bakar, serta pada luka terbuka dengan
cedera jaringan lunak yang luas.

5.2 Penatalaksanaan Cedera Saraf Radialis


Saat ini konsensus untuk eksplorasi pembedahan pada cedera nervus
radialis yang terkait dengan fraktur terbuka dari shaft humerus dan pengobatan
yang tepat dari fraktur tertutup dengan komplikasi oleh cedera saraf radialis masih
diperdebatkan. Memang, pemulihan spontan fungsi saraf radialis setelah cedera
terjadi pada 73-92% pasien (Bumbasirevic, 2010). Berbagai penelitian
menyatakan bahwa regenerasi saraf dapat terjadi dengan cara yang lebih memadai
jika penyembuhan fraktur selesai dan selanjutnya penebalan selubung
neurilemmal memungkinkan penentuan lesi saraf dan memfasilitasi perbaikan
saraf (Lowe, 2002).
Berikut indikasi untuk eksplorasi segera saraf radial:
1. Fraktur terbuka yang membutuhkan debridemen dan stabilisasi
2. Fraktur yang tidak dapat diperkecil atau reduksi yang tidak dapat diterima
3. Cedera vaskular yang terkait
4. Palsi saraf radial setelah manipulas
5. Nyeri neurogenik yang sulit dipikirkan yang menunjukkan jeratan atau
kompresi saraf (Korompilias et al, 2013).
Waktu optimal untuk pembedahan repair saraf masih diperdebatkan.
Degenerasi motor endplate dan atrofi otot ireversibel terjadi jika reinnervasi yang
cukup tidak terjadi dalam 12-18 bulan setelah cedera (Lowe, 2002). Studi
eksperimental menunjukkan pemulihan fungsional yang buruk ketika perbaikan
saraf tertunda selama 3 bulan karena penurunan kapasitas regenerasi neuron
motoric (Fu et all, 1995).
Jika ditemukan transeksi pada nervus radialis pada saat explorasi
pembedahan, primary repair di perlukan. Outcome perbaikan dipengaruhi oleh
berat ringannya cedera. Graft saraf dapat dilakukan pada kasus tension
neurrorrhapy atau bila terdapat gap/jeda, keberhasilannya dipengaruhi oleh jarak
defek yang harus dijembatani dan waktu denervasi (Lowe, 2002). Pada pasien
tanpa fungsional reinervasi setelah perbaikan primer, dapat dilakukan tendon
transfer (Kruft et al, 1997).
Tendon transfer merupakan prosedur relokasi insersi fungsional tendon
otot unit untuk menggantikan hilangnya kemampuan motorik dan fungsional sisi
lainnya. Indikasi yang tersering adalah pada cedera saraf perifer yang tidak
mengalami perbaikan, diantaranya avulsi saraf, gagal repair dan kegagalan
transfer saraf (Sammer, et all, 2009).

Tabel 1. Management cedera nervus radialis terkait fraktur humerus ( YuLin,


2013)
6. Komplikasi
6.1 Komplikasi Awal
Komplikasi awal merupakan komplikasi yang terjadi setelah cedera,
diantaranya (Kenneth. et al, 2002)
1. Cedera vaskuler
Jika ada tanda-tanda insufisiensi vaskuler pada ekstremitas,
kerusakan arteri brakhialis harus disingkirkan. Angiografi akan
memperlihatkan tingkat cedera. Hal ini merupakan kegawatdaruratan,
yang memerlukan eksplorasi dan perbaikan langsung ataupun cangkok
(grafting) vaskuler. Pada keadan ini internal fixation dianjurkan.
2. Cedera saraf
Radial nerve palsy (wrist drop dan paralisis otot-otot ekstensor
metacarpophalangeal) dapat terjadi pada fraktur shaft humerus,
terutama fraktur oblik pada sepertiga tengah dan distal tulang humerus.
Pada cedera yang tertutup, saraf ini sangat jarang terpotong, jadi tidak
diperlukan operasi segera.
Pergelangan tangan dan telapak tangan harus secara teratur
digerakkan dari pergerakan pasif putaran penuh hingga
mempertahankan (preserve) pergerakan sendi sampai saraf pulih. Jika
tidak ada tanda-tanda perbaikkan dalam 12 minggu, saraf harus
dieksplorasi. Pada lesi komplit, jahitan saraf kadang tidak memuaskan,
tetapi fungsi dapat kembali dengan baik dengan pemindahan tendon.
Jika fungsi saraf masih ada sebelum manipulasi lalu kemudian
cacat setelah dilakukan manipulasi, hal ini dapat diasumsikan bahwa
saraf sudah mengalami robekan dan dibutuhkan operasi eksplorasi.
3. Infeksi
Infeksi luka pasca trauma sering menyebabkan osteitis kronik.
Osteitis tidak mencegah fraktur mengalami union, namun union akan
berjalan lambat dan kejadian fraktur berulang meningkat.
Jika ada tanda-tanda infeksi akut dan pembentukan pus, jaringan
lunak disekitar fraktur harus dibuka dan didrainase. Pilihan antibiotik
harus disesuaikan dengan hasil sensitivitas bakteri.
External fixation sangat berguna pada kasus ini, namun jika
intramedullary nail sudah terlanjur digunakan dan terfiksasi stabil, nail tidak
perlu dilepas.

6.2 Komplikasi Lanjut (Kenneth. et al, 2002)


1. Delayed Union dan Non-Union
Fraktur transversa kadang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk
menyambung kembali, terutama jika traksi digunakan berlebihan (penggunaan
hanging cast jangan terlalu berat). Penggunaan teknik yang sederhana mungkin
dapat menyelesaikan masalah, sejauh ada tanda-tanda pembentukkan kalus
(callus) cukup baik dengan penanganan tanpa operasi, tetapi ingat untuk tetap
membiarkan bahu tetap bergerak. Tingkat non-union dengan pengobatan
konservatif pada fraktur energi rendah kurang dari 3%. Fraktur energi tinggi
segmental dan fraktur terbuka lebih cenderung mengalami baik delayed union
dan non-union.
Intermedullary nailing menyebabkan delayed union, tetapi jika fiksasi
rigid dapat dipertahankan tingkat non-union dapat tetap dibawah 10%.
2. Joint stiffness
Joint stiffness sering terjadi. Hal ini dapat dikurangi dengan aktivitas
lebih awal, namun fraktur transversa (dimana abduksi bahu nyeri disarankan)
dapat membatasi pergerakan bahu untuk beberapa minggu.
Tambahan, pada anak-anak, fraktur humerus jarang terjadi. Pada anak-
anak di bawah 3 tahun kemungkinan kekerasan pada anak perlu difikirkan.
Fraktur dirawat dengan bandage sederhana pada lengan hingga ke badan untuk
2-3 minggu. Pada anak yang lebih tua memerlukan plaster splint pendek.

34
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Widya Medika:
Jakarta.
Bloch, B. 1996. Fraktur dan Dislokasi. Yayasan essentica Medica :Yogyakarta
p. 1028-1030
Bumbasirevic, M. 2010. The management of humeral shaft fractures with
associated radial nerve palsy: a review of 117 cases. Arch Orthop Trauma
Surg vol 130:519–22.
Elis Harorld, 2006, Part 3: Upper Limb, The Bones and Joint of the Upper
Limbs; In: Clinical Anatomy Eleventh Edition (e-book); Blackwell
Publishing; Oxford University; p 169-170
Ekholm R., et al. 2008. The Holstein-Lewis Humeral Shaft Fracture: Aspects of
Radial Nerve Injury, Primary Treatment, and Outcome. J Orthop Trauma
vol 22:693-697.
Fu SY, Gordon T. 1995. Contributing factors to poor functional recovery after
delayed nerve repair: prolonged denervation. J Neurosci vol 15:3886–95.
Holmes E.J and Misra R.R; 2004; Humerus fracture – Shaft fracture In: A-Z of
Emergency Radiology (e-book); UK; Cambridge University Press; p.110-
111.
Holstein A, Lewis G.M,. 1963. Fractures of the humerus with radial nerve
paralysis. J Bone Joint Surg vol 45:1382–8
Kenneth J, dkk. 2002. Fractures Of The Shaft Of The Humerus In Chapter 43:
Orthopedic; In: Handbook of Fracture second edition. Wolters Klunser
Company : New York
Korompilias, A.V. et all. 2013. Approach to radial nerve palsy caused by
humerus shaft fracture: Is primary exploration necessary?. Injury, Int. J.
Care Injured vol 44:323-326
Kruft S, et al. 1997. Treatment of irreversible lesion of the radial nerve by
tendon transfer: indication and long-term results of the Merle d’Aubigne
procedure. Plastic Reconstr Surg vol 100:610–8.
Lowe J, et al. 2002. Current approach to radial nerve paralysis. Plastic Reconstr
Surg vol 110:1099–112.
Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Medika Aesculapius
FKUI : Jakarta 32
Maurice, K. 1997. Fracture of the Shaft of the Humerus In: Primary Surgery
Volume Two: Trauma; Oxford University Press; UK; p. 233-235
Rasjad C.2007. Pengantar Bedah Ortopedi. PT. Yarsef Watampone : Jakarta.
Hal 380-395.
Robinson, L.R,. 2000. Traumatic injury to peripheral nerves. MuscleNerve vol
23:863–73.
Russell, S.M. 2006. The diagnostic anatomy of the radial nerve; in Examination

35
of Peripheral Nerve Injuries an anatomical approach. Thieme. New York
Santoso M.W.A, Alimsardjono H dan Subagjo; 2002; Anatomi Bagian I,
Penerbit Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga; Surabaya
Sammer, D.M. et al. 2009. Tendon Transfers part 1; principles of Transfer and
Transfers for Radial Nerve Palsy. Plast Reconstr Surg. 125(5):169c-177c
Shao Y.C, et all. 2005. Radial nerve palsy associated with fractures of the shaft
of the humerus. A systematic review. J Bone Joint Surg Brit Vol 87:1647–
52.
Thomsen, N.O., Dahlin, L.B,. 2007. Injury to the radial nerve caused by
fracture of the humeral shaft: timing and neurobiological aspects related to
treatment and diagnosis. Scand J Plast Surg Hand Surg vol41:153–7.
Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2 .EGC
: Jakarta.
YuLin, et all. 2013. Review of Literature of Radial Nerve Injuries Associated
with Humeral Fractures- An Integrated Management Strategy. PLoS ONE
8(11); e78576.

36

Anda mungkin juga menyukai