Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN KARDIOLOGI & LAPORAN KASUS

KEDOKTERAN VASKULAR APRIL 2016


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

ST-ELEVASI MYOCARDIAL INFARCTION


EXTENSIVE ANTERIOR
ONSET <12 JAM KILLIP I

DISUSUN OLEH :
DEBBY CHRISTIANA S

SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr. dr. Muzakkir Amir, Sp.JP, .FINA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Debby Christiana Soemitha


Universitas : Universitas Hasanuddin
Judul Laporan Kasus : ST-Elevation Myocard Infarction Extensive Anterior
onset <12jam KILLIP 1

telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Kardiologi dan


Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Agustus 2015

Supervisor Pembimbing

Dr. dr. Muzakkir Amir, SpJP, FINA

2
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. H
Tanggal Lahir / Usia : 7-12-1960 / 56 tahun
No.Rekam Medis : 532990
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS (pensiun)
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Massamba

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri Dada

Riwayat Penyakit Sekarang


Nyeri dada dialami sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit (12 April 2016),
terasa tertekan benda berat pada dada sebelah kiri. Durasi lebih dari 15-20
menit, menjalar ke punggung belakang. Mual ada, muntah tidak ada. Keringat
dingin ada. Nyeri ulu hati tidak ada. Demam tidak ada. Riwayat nyeri dada
sebelumnya tidak ada. Sesak napas ada. Riwayat merokok ada. Riwayat minum
beralkohol disangkal. Riwayat hipertensi ada kurang lebih 5 tahun,teratur
mengkonsumsi obat. Riwayat diabetes melitus tidak ada. Riwayat berobat
jantung sebelumnya tidak ada.

BAB : Biasa, kesan cukup


BAK : Kesan lancar, warna kekuningan

Riwayat Penyakit Sebelumnya

3
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya

Riwayat Penyakit yang Sama dalam Keluarga


Tidak ada

Faktor Risiko
Riwayat merokok tidak ada
Riwayat minum minuman beralkohol tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Sakit sedang/gizi baik/GCS 15 (compos mentis)

Status Antropometri
- Tinggi Badan : 170 cm
- Berat Badan : 70 kg
- Indeks Massa Tubuh : kg/m2

Tanda-tanda Vital
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 78 kali/menit, reguler
- Frekuensi napas: 20 kali/menit
- Suhu (aksilla) : 36,5oC

Kepala
Deformitas : Tidak ada Mata
Simetris muka : Simetris Eksoftalmus : Tidak ada
Rambut : Sukar dicabut Konjungtiva : Anemis (-)

Ukuran : Normocephal Kornea : Refleks kornea (+)


Bentuk : Mesocephal Enoptalmus : Tidak ada
Sklera : Ikterus (-)
Pupil : Isokor 2,5 mm/2,5 mm

4
Telinga Hidung
Pendengaran: Dalam batas normal Epistaksis : Tidak ada
Otorrhea : Tidak ada Rhinorrhea: Tidak ada

5
Mulut
Bibir : Kering (-) Lidah : Kotor (-)
Tonsil : T1-T1 Tidak Hiperemis Faring : Tidak Hiperemis

Leher
KGB : Tidak ada pembesaran DVS : R+2 cmH2O
Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran Kaku kuduk : Tidak Ada

Dada
Bentuk : Simetris kiri sama dengan kanan
Buah dada : Simetris kira sama dengan kanan, tidak ada kelainan
Sela iga : Simetris kiri sama dengan kanan

Pulmo
Palpasi : Fremitus simetris kiri sama dengan kanan
Nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Batas paru hepar ICS VI dekstra
Batas paru belakang kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X
Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler
Bunyi Tambahan : Ronkhi (-), Wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, ukuran jantung membesar.
 Batas kanan : Linea parasternalis kanan
 Batas kiri : Linea medioklavikularis kiri
 Batas atas : ICS II parasternalis
Aukultasi : BJ I/II murni reguler
Bising jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba
Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+), ascites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Ekstremitas
Tidak ada udem

D. ELEKTROKARDIOGRAM (15 Agustus 2015)


Interpretasi
- Irama dasar : Sinus
- P wave : 0,04
- Heart Rate : 78 x/ menit
- PR Interval : 0,12
- Axis : Normo Axis
- QRS Kompleks : QRS duration 0,08s
- ST Segmen : ST elevasi II-III, aVF
- T wave : 5mm (normal)
- Kesimpulan : Sinus rythm, heart rate 78x/menit, ST elevasi
miokard inferior.

E. LABORATORIUM
Hematologi Rutin (16 Agustus 2015)
PEMERIKSAAN HASIL NORMAL

WBC 11,4x 103/mm3 4.0-10.0 x 103

RBC 3.9x 106/mm3 4.0-6.0 x 106

HGB 11,7 gr/dL 12-16

HCT 35,5% 37-48

PLT 323 x 103/mm3 150-400 x 103

GDS 176 200 mg/dl

Ureum 41 10-50 mg/dl

Creatinin 1.3 0.5-1.2 mg/dl

SGOT 43 <35 U/L

SGPT 21 <45 U/L

Na 142 136-145 mmol/l

K 3,6 3.5-5.1 mmol/l

Cl 106 97-111 mmol/l

CK 425 L(<190U/L) P(<167U/L)

CK-MB 55,8 <25U/L

Troponin I 2,18 <0,023mg/mL

Kolesterol total 215 200 mg/dl

HDL 38 L>55; P>65

LDL 150 <130 mg/dl

Trigliserida 143 200 mg/dl

Tabel 1: Pemeriksaan Laboratorium


F. RADIOLOGI
Foto Thorax AP (15 Agustus 2015)
- Corakan bronkovaskuler dalam batas normal.
- Tidak tampak proses spesifik aktif dan lesi nodular pada kedua lapangan
paru.
- Cor : Kesan membesar dengan apex tertanam, pinggang jantung cekung
(LVH), aorta dilatasi dengan elongasi.
- Kedua sinus dan diafragma baik.
- Tulang-tulang intak.
Kesan : - Cardiomegaly disertai dilation ec elongation aorta

G. ECHOCARDIOGRAPHY
Kesimpulan :
- Fungsi sistolic ventricle kiri cukup
- LVH konsentrik
- Hipokinetik segmental
- Disfungsi diastolic grade I
H. ASSESSMENT
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) inferior onset <12jam Killip I

I. TERAPI
Bed Rest

 O2 4 lpm via nasal kanul


 IVFD NaCl0.9% 500 ml/24 hr
 Anti platelet :
 Aspilet Loading dose 160 mg
 Clopidogrel 300mg
 Obat Statin :
 Simvastatin 40mg/24jam/oral
Rencana Pemberian Trombolitik Actilyse 100mg/IV:
a. Bolus IV 15mg
b. 50mg dalam 30 menit/ IV
c. 35mg dalam 60 menit / IV
Maintenance
 Anti platelet :
 Aspilet maintanance dose 80mg/24jam/oral
 Clopidogrel maintanance dose 75mg/12jam/oral
 Obat anti angina :
 Isosorbid dinitrat (ISDN)/ 5mg/SL (jika nyeri dada)
 Anti coagulant :
 Fondaparinux (Arixtra) 2,5mg/24hr/SC
 Obat anti anxietas :
 Alprazolam 0,5mg/24jam/oral
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
INFARK MIOKARD AKUT

1. Pendahuluan

Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung


yang menyebabkan sel otot jantung mati.Aliran darah di pembuluh darah terhenti
setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari
pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial
Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang
terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan
elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya.Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

2. Definisi
Konsensus internasional mendefenisikan keadaan infark miokard akut
digunakan apabila terdapat bukti nekrosis otot jantung dengan tampilan klinis
yang konsisten dengan keadaan iskemik miokard.WHO memberikan panduan
penegakkan diagnosis infark miokard jika terdapat kombinasi 2 dari 3
keadaanberikut :
a. Gejala khas infark (nyeri dan rasa tidak nyaman yang tipikal pada dada)
b. Pola EKG yang tipikal
c. Peningkatan serum enzim biomarker jantung
Dikatakan STEMI (ST Elevasi Miokard Infark) jika pada pasien dapat ditegakkan
infark dengan pola ST Elevasi pada EKG.

3. Patofisiologi
Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.Stenosis arteri koroner berat yang
berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu.STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi cedera vaskular, di mana cedera ini dicetuskan
oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner.Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga
STEMI memberikan respons terhadap trombolitik.

Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri
koronaria yang paling sering ditemukan.Aterosklerosis menyebabkan penimbunan
lipid dan jaringan fibrosadalam arteri koronaria, sehingga secara progresif
mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi
terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah
miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan
diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk
melebar. Dengan demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan
oksigen menjadi tidak seimbang sehingga membahayakan miokardium.
Lesi biasanya diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak fibrosa, dan
lesi komplikata:
1. Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis,
dicirikan dengan penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi
lemak pada daerah fokal tunika intima. Makrofag tersebut akan
memfagosit lemak dan berubah menjadi foam cell. Sebagian endapan
lemak berkurang, tetapi yang lain berkembang menjadi plak fibrosa.
2. Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan tunika
intima yang meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan lesi paling
khas aterosklerosis. Biasanya, plak fibrosa berbentuk kubah dengan
permukaan opak dan mengilat yang menyembul ke arah lumen sehingga
menyebabkan obstruksi. Plak fibrosa terdiri atas inti pusat lipid dan
debris sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan fibromuskular
mengandung banyak sel-sel otot polos dan kolagen. Sejalan dengan
semakin matangnya lesi, terjadi pembatasan aliran darah koroner dari
ekspansi luminal, remodeling vaskular, dan stenosis luminal. Setelah itu
terjadi perbaikan plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan rentan
timbulnya fenomena yang disebut "ruptur plak" dan akhirnya trombosis
vena.
3. Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan
mengalami gangguan akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan,
trombosis, atau ulserasi dan dapat menyebabkan infark miokardium.

Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi


plak.Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi,
menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark
miokard.Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan
keparahan manifestasi klinis penyakit.Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri
koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya.
Meskipun penyempitan lumen berlangsung progresif dan kemampuan

pembuluh darah untuk berespons juga berkurang, manifestasi klinis penyakit belum

tampak sampai proses aterogenik mencapai tingkat lanjut. Lesi bermakna secara klinis

yang mengakibatkan iskemia dan disfungsi miokardium biasanya menyumbat lebih dari

75% lumen pembuluh darah.

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan


miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis,
biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung
menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang
disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan
kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi.
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,
fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa
menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam
lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel
menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi
membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh
monosit.Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel
(<20 menit) atau ireversibel (>20 menit).Iskemia yang ireversibel berakhir pada
infark miokard.
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST
(STEMI).Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan
STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah
kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat
cepat.
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang
disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur plak.Erosi dan ruptur
plak ateroma menimbulkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan
oklusi menyeluruh lumen arteri koroner.
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot
jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan.Infark
miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian
nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda.

4. Faktor Resiko
Dapat dimodifikasi
a. Merokok
Merokok  zat-zat yang terkandung di dalam rokok serta asap rokok
itu sendiri merupakan zat radikal bebas yang bersifat oksidatif dan
dapat merusak pembuluh darah. Hal ini akan memperbesar
kemungkinan terjadinya penurunan elastisitas maupun kesehatan dari
jantung, yang bisa juga menjadi premature tidak lagi mengacu pada
umur.
b. Hipertensi
Hipertensi  dengan kondisi hipertensi, diketahui bahwa beban usaha
serta kontraksi jantung telah meningkat untuk mengompensasi kondisi
di perifer yang kemungkinan telah mengalami atherosclerosis. Dan
tidaklah tidak mungkin bahwa plak yang ada di perifer tersebut akan
mengalami ruptur dan menyumbat pembuluh darah koroner.
c. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus  individu dengan penyakit ini rentan menderita
atherosclerosis karena akan mengalami berbagai proses yang tidak
lazim did alam tubuhnya, terutama di tingkat seluler, yang nantinya
akan mempengaruhi pembuluh darah dan reaksi-reaksi yang terjadi di
dalamnya.
d. Dislipidemia
Dislipidemia  terkait dengan kadar lemak dan kolesterol yang tidak
terkontrol, yang kemungkinan akan menempel di pembuluh darah
e. Faktor resiko gaya hidup (Obesitas, Inaktivitas fisik dan diet
aterogenik)

Tidak dapat dimodifikasi

a. Umur (Laki-laki>45 tahun ;Perempuan >55 tahun )


Umur seiring dengan bertambahnya umur, maka resiko penyakit jantung
akan meningkat, sama seperti penyakit-penyakit lainnya. Hal ini terkait
dengan kemungkinan terjadinya atherosclerosis yangmakin besar, terkait
dengan deposit lemak serta elastisistas pembuluh darah yang makin
menurun seiring dengan bertambahnya umur.
b. Riwayat keluarga terkena penyakit jantung koroner pada usia dini (Laki-
laki<55 tahun , Perempuan < 65 tahun)
Genetik  terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria
brakhialis, pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media
Jenis kelamin  lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita. Diduga karena pengaruh estrogen. Namun, setelah wanita
menopause, insidensi terjadinya hampir sama.

5. Gejala Klinis

Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada


substernum yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang
dijalarkan ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya
rasa tidak enak di dada.IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris
pada sekitar 50% pasien.Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung
beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan
biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi
biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada
sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada.
Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan
hipertensi serta pada pasien berusia lanjut.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogarfi (EKG)

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien


dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI.Pemeriksaan ini
harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan ke Instalasi
Gawat Darurat. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk
STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior,
EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada
ventrikel kanan.

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST


mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total dan
bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina
pektoris tak stabil atau Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi
segmen ST tidak menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.
Sebelumnya, istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark
miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan
sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada
korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/ transmural)
sehingga terminologi Infark Miokard Akut gelombang Q dan non Q
menggantikan Infark Miokard Akut mural/ nontransmural.

Gambaran spesifik pada rekaman EKG


Daerah infark Perubahan EKG

Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada lead V7-V9

Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan


resiprokal (depresi ST) V2, V3, I, aVL

Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6,


perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II, III,
aVF

Posterior Elevasi segmen ST V7,V8,V9, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada V1,V2, V3

Ventrikel kanan Elevasi segmen ST V3R-V4R, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada lead I, aVL

Septum Elevasi segmen ST pada lead V1,V2, perubahan


resiprokal (depresi ST) pada lead V7, V8, V9

b. Laboratorium

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CK)MB dan


cardiac specific troponin cTnT atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn
harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB, pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker.Peningkatan nilai enzim di atas dua kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).

 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10- 24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
 cTn: ada 2 jenis cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T
masih dapat dideteksi setelah 5- 14 hari, sedangkan cTnI setelah 5- 10
hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:


 Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai
puncak dalam 4- 8 jam.
 Creatinine kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali
normal dalam 3- 4 hari.
 Lactate dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila
ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal
dalam 8- 14 hari.

c. Echokardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau
dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup.Dapat pula
digunakan untuk melihat luasnya iskemia bila dilakukan waktu dada
sedang berlangsung.

d. Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan
menggunakan sinar x pada jantung dan pembuluh darah.Sering dilakukan
selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner.

7. Diagnosis

WHO memberikan panduan penegakkan diagnosis Infark Miokard jika


terdapat kombinasi 2 dari 3 keadaanberikut :
a. Gejala khas infark (Nyeri dan rasa tidak nyaman yang tipikal pada dada)
b. Pola EKG yang tipikal : gambaran EKG adanya elevasi ST >2 mm, minimal pada 2
sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2 sandapan ekstremitas
c. Peningkatan serum enzim biomarker jantung

8. Penatalaksaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan
nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terdapat
beberapa pedoman (guideline) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari
ACC/AHA tahun 2009 dan ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi
sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.

Pengontrolan nyeri dan rasa tidak nyaman

 Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi


oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
 Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
o Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
o Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang
emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
o Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik

Stabilisasi keadaan hemodinamik


 Istirahat
 Kontrol tekanan darah dan denyut jantung
 Stool softener

Terapi reperfusi

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan


derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan
infark miokard dan menurunkan angka kematian.
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada
pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik),
semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin
kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi
reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.Adanya
fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan.

 Percutaneous Coronary Interventions (PCI)


Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama
infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome
klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik.11,16 PCI primer
lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75
tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-
kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah
hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya
sarana, hanya di beberapa rumah sakit.

 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat
kontraindikasi.Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri
koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik
antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu
konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus
fibrin.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian
fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena,
sehingga pada pasien paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi
yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :
 Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3
jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

 Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau
diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau
operasi besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari
sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi
risiko perdarahan.
Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies
to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan
tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan
yang sama dibandingkan dengan tPA.

Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti
perdarahan.

Terapi Lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet
(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated
Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat
beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.

1. Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal
STEMI berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri
koroner yang terkait infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada
STEMI.Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan
mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah
komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Penelitian
ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting dengan placebo dan
stenting, dengan hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi
segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis
adalah unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan
sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik
fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.Dosis yang
direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U) dilanjutkan
infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam).Activated partial
thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2
kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal
jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2
dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru
sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh
(UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3
bulan.

2. Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin
untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien
dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry
investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin pada
pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau tanpa terapi
reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan pembuluh
darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal). Manfaat
dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi
reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi
(18%).

3. Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat
yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang
diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan
sekunder setelah infark.Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi
luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang
serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian
besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali
pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau
fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi
ortostatik, atau riwayat asma).

4. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan memberikan
manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan aspirin dan penyekat
beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE
pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat
infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian
infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien
STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan
imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.2
9. Komplikasi
1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks
ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih
sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.

2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI.Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark)
dan sesudahnya.

3) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan.Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.

4) Infark ventrikel kanan


Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.

5) Aritmia paska STEMI

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem


saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona
iskemi miokard.

6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.2

7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel


Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama. 2

8) Fibrilasi atrium
9) Aritmia supraventrikular
10) Asistol ventrikel
11) Bradiaritmia dan Blok
12) Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel.

10. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA :
1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik

Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


Kelas Definisi Mortalitas (%)

I Tak ada tanda gagal 6


jantung
II +S3 dan atau ronki basah 17
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks


jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)

Tabel 2. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut


Kelas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)

I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51

Anda mungkin juga menyukai