Anda di halaman 1dari 22

I.

PENDAHULUAN
Superimposisi Craniofacial adalah proses yang bertujuan untuk
mengidentifikasi seseorang dengan menumpang tindihkan foto dengan
model tengkorak. Proses ini biasanya dilakukan secara manual oleh
antropolog forensik. Sehingga memakan waktu dan memperlihatkan
beberapa kesulitan dalam menemukan kecocokan yang mendekati antara
model 3 dimensi dari tengkorak dengan foto 2 dimensi wajah. Photographic
Supra-Projection adalah proses forensik dimana foto atau video dari orang
hilang di bandingkan dengan tengkorak yang ditemukan. Dengan
memproyeksikan kedua foto diatas, antropolog forensik dapat mencoba
untuk menetapkan apakah itu adalah orang yang sama.1
Untuk melakukannya, dibutuhkan tengkorak 3 dimensi yang lebih
akurat. Selanjutnya, dipikirkan dua pasang titik radiometrik yang cocok
(titik – titik antropometrik di wajah dalam foto subyek dan titik – titik
antropometrik cranial dalam model tengkorak yang didapatkan). Kemudian,
tahap pengambilan keputusan dimulai dengan menganalisis jenis perbedaan
yang diperoleh antara titik – titik tersebut. Beberapa diantara mereka akan
benar – benar cocok, dan beberapa hanya sebagian yang cocok, dan sisanya
tidak cocok. Setelah seluruh proses, ahli forensik harus mengumumkan jika
tengkorak yang dianalisa sesuai dengan orang hilang tersebut atau tidak.1

II. DEFINISI
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan
identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya
dengan tengkorak yang ditemukan.2 Superimposisi didefinisikan sebagai,
mengatur dan menempatkan satu atau lebih sesuatu yang lain.
Superimposisi craniofacial adalah teknik identifikasi yang membandingkan
pada korban meninggal dengan semasa hidupnya. Oleh karena itu ,
superimposisi cranniofacial adalah metode identifikasi dicapai dengan
perbandingan gambar tengkorak dilapis pada sebuah foto antemortem dari
orang hilang, pikir mungkin menjadi subjek yang sama.3

1
Photographic Superimposition adalah proses forensik dimana foto orang
hilang ditumpangtindihkan dengan tengkorak yang ditemukan untuk
mengetahui identitasnya.4
Video Superimposition adalah proses forensik dimana mirip dengan
photography superimposition hanya saja metode ini lebih menggunakan
video sehingga spesifik dan lebih cepat.3

III. IDENTIFIKASI UMUM TULANG TENGKORAK


a. Ras
Antropolog memiliki banyak metode elaborasi dalam
mengevaluasi ras dan populasi jika ditemukan tulang. Tulang
tengkorak mencerminkan beberapa karakteristik dari
populasi yang cukup diandalkan tetapi mungkin
membingungkan bila orang tersebut adalah seorang
keturunan campuran.5
- Caucasoid
Pada keturunan Caucasoid, memiliki karakteristik wajah yang panjang dan
sempit, dasar tulang orbita rectangular, Apertura nasalis sempit dan oval,
Inferior nasal spine tajam, tulang nasal menengah, sudut mandibula sedikit
tumpul, tulang zygomaticus cenderung mundur terhadap tulang fasial. 5

Gambar 1 Gambar karakteristik di tengkorak manusia dengan keturunan


Caucasoid dalam pandangan frontal dan lateral
- Negroid
Pada keturunan Negroid, memiliki karakteristik wajah yang prognathic,
dasar tulang orbita oval cenderung persegi empat, Apertura nasalis bulat,
Inferior nasal spine pendek, tulang nasal pendek, sudut mandibula tumpul,
tulang zygomaticus tidak begitu menjorok ke depan relatif terhadap tulang
fasial. 5

2
Gambar 2 Gambar karakteristik di tengkorak manusia dengan keturunan
Negroid dalam pandangan frontal dan lateral
- Mongoloid
Pada keturunan Mongoloid, memiliki karakteristik wajah yang datar, dasar
tulang orbita bundar, Apertura nasalis lebar dengan selokan rendah, Inferior
nasal spine tumpul, tulang nasal menonjol, sudut mandibula hampir tepat,
tulang zygomaticus yang menonjol. 5

3
Gambar 3 Gambar karakteristik di tengkorak manusia dengan keturunan
Mongoloid dalam pandangan frontal dan lateral

Tabel Ciri-ciri morfologi untuk penilaian rasial tengkorak dan rahang bawah

b. Jenis Kelamin
- Laki – Laki
Dagu pada tengkorak laki – laki cenderung lebih petak dan lebih lancip
daripada perempuan, dahi lebih landai, berbentuk lebih panjang, processus
mastoideus, arcus zigomaticus, dan protuberentia occipitalis lebih menonjol.
5

Gambar 4 A: laki-laki
- Perempuan
Dagu pada tengkorak perempuan lancip, dahi lebih lurus, berbentuk lebih
pendek dan lebar, processus mastoideus, arcus zigomaticus, dan
protuberentia occipitalis kurang menonjol dan kurang tegas. 5

4
Gambar 5 B: perempuan

Tabel Identifikasi jenis kelamin dari tengkorak kepala6

No Yang Laki – laki Perempuan


membedakan
1 Ukuran Kapasitas Kapasitas
intrakranial intrakranial
lebih besar 10 lebih kecil
% dari 10% dari laki
perempuan – laki
2 Glabella Kurang Lebih
menonjol menonjol
3 Daerah supra Lebih Kurang
orbita menonjol menonjol
4 Processus Lebih Kurang
mastoideus menonjol menonjol
5 Protuberantia Lebih Kurang
occipitalis menonjol menonjol
6 Arcus Lebih Kurang tegas
zigomaticus menonjol
7 Dahi Curam,agak Bulat/bundar
datar
8 Eminentia Lebih Kurang
frontalis menonjol menonjol
9 Orbita Letak lebih Lebih tinggi,
rendah, relatif relatif lebih
lebih kecil, besar, batas
batas agak tajam dan
bulat dan berbentuk
berbentuk bulat
seperti persegi
empat
10 Nasion Angulasi jelas Angulasi
kurang
menonjol
11 Malar Lebih Lebih datar

5
prominence lengkung
12 Lobang hidung Lebih tinggi Lebih rendah
dan sempit dan luas
13 Eminentia Kurang Lebih
parietalis
14 Condilus Besar Kecil
occipitalis
15 Condylar facet Panjang dan Pendek dan
sempit luas
16 Foramina Lebih besar Lebih kecil
17 Palatum Lebih besar Lebih kecil
dan berbentuk dan parabolic
seperti huruf
“U”
18 Digastric Dalam Dangkal
groove
19 Sinus frontalis Lebih Kurang
berkembang berkembang
20 Gigi Lebih besar Lebih kecil
21 Permukaan Permukaan Seluruhnya
tulang seluruhnya halus dengan
kasar dengan tempat
tempat perlengketan
perlekatan otot yang
otot yang kurang
lebih menonjol
menonjol

c. Umur
Range usia meliputi usia perinatal, neonatus, bayi dan anak kecil,
usia kanak – kanak lanjut, usia remaja, dewasa muda, dan dewasa tua. 5
Usia perinatal yaitu bayi yang belum lahir, dapat ditentukan dari
ukuran tulang. Pada neonatus dan bayi yang belum mempunyai gigi sangat
sulit untuk menentukan usianya karena pengaruh proses pengembangan
yang berbeda pada masing – masing individu. Pada bayi dan anak kecil
biasanya telah memiliki gigi. 5
Masa kanak – kanak lanjut dimulai saat gigi permanen mulai
tumbuh. Masa remaja menunjukkan pertumbuhan tulang panjang dan
penyatuan pada ujungnya. Penyatuan ini merupakan teknik yang berguna
dalam penentuan usia. Masing – masing epifisis akan menyatu pada diafisis
pada usia – usia tertentu.5

6
Dewasa muda dan dewasa tua dinilai dari penutupan sutura kranium
yang perlahan – lahan menyatu, morfologi pada ujung iga berubah sesuai
dengan umur. Iga berhubungan dengan sternum melalui tulang rawan.
Ujung iga saat mulai terbentuk tulang rawan awalnya berbentuk datar,
namun selama proses penuaan ujung iga mulai menjadi kasar dan tulang
rawan menjadi berbintik – bintik. Iregularitas dari ujung iga mulai
ditentukan saat usia menua.5
Perubahan yang berkaitan dengan umur secara kasar dibagi ke
dalam dua kategori .6
1. Perubahan bentuk, yang dapat terjadi saat proses pertumbuhan (strain
cardioidal) atau berat badan atau rugi.
2. Dan perubahan karakteristik tekstur permukaan wajah dan warna kulit
dan rambut. Burt dan Perret menyelidiki isyarat visual pada usia dengan
menggunakan komposit wajah, dengan pencampuran warna dan
informasi dari beberapa penyusun wajah. Dengan menggunakan teknik
grafis komputer Burt dan Perret mengumpulkan sejumlah wajah laki-laki
mulai dari usia 20-60 tahun dalam tujuh kelompok usia tertentu. Mereka
menemukan subyek yang cukup akurat dalam menilai usia gambar asli.
Gambar komposit yang dihasilkan dari beberapa gambar wajah yang
berbeda, dengan rata-rata bentuk wajah dan kemudian pencampuran
merah, hijau dan biru intensitas (warna RGB) di seluruh piksel. Hal ini
dicapai dengan menggunakan komputer atau teknik morphing warping,
di mana keselarasan merupakan kunci penting atau landmark pada setiap
wajah, kemudian didapat rata-rata sama tanpa mengaburkan karena
misalignment fitur dari wajah yang berbeda.6

d. Penentuan Ciri Khusus


Pada penentuan ciri khusus ini diharapkan dapat menentukan
identifikasi seseorang secara lebih akurat daripada sekedar mencari
informasi tentang usia/jenis kelamin. Misalnya: terdapat gigi yang
terbungkus logam, ada sejumlah gigi yang tanggal atau patah, tanda – tanda
dekompresi maupun trauma.5

7
IV. ANTROPOMETRI CRANIOFACIAL
a. Titik-Titik Antropometrik
Penanda pada tengkorak yang sering digunakan meliputi :
Craniometric Landmark : 7
1. Dacryon (Da) : penghubung antara tulang frontal, maksilla, dan tulang
lakrimalis di dinding lateral dari mata.
2. Frontomalar Temporal (Fmt) : titik paling lateral yang menghubungkan
tulang frontal dan tulang zigomatikum
3. Glabella (G) : titik paling menonjol antara pinggir supraorbita di bidang
midsagittal
4. Gnathion (Gn) : titik tengah yang dibangun antara titik paling depan dan
paling bawah di dagu
5. Gonion (Go) : titik yang dibangun oleh perpotongan garis singgung antara
ramus asendens dari margin posterior dan basis mandibula, atau titik paling
lateral pada angulus mandibula
6. Nasion (N) : titik tengah sutura antara tulang frontal dan 2 tulang hidung
7. Nasospinale (Ns) : titik dimana garis ditarik antara margin yang lebih
rendah dari apertura hidung kiri dan kanan yang berpotongan dengan bidang
midsagittal
8. Pogonion (Pog) : titik paling anterior di garis tengah pada protuberans
mentalis
9. Prosthion (Pr) : apex dari alveolus di garis tengah antara gigi insisivus
sentralis rahang atas
10. Zygion (Zy) : titik paling lateral dari arcus zygomatikum

8
Gambar 6 Dari kiri ke kanan, craniometric landmarks utama: gambaran
lateral dan frontal

Sementara itu, face landmark yang paling lazim digunakan adalah :


Cephalometric Landmark : 7
1. Alare (Al) : titik paling lateral dari alar contour
2. Ectocanthion (Ec) : titik dari komisura eksterna (canthus lateralis) dari
fissura palpebra tepat di sebelah medial dari tuberkulum malar
(Whitnall) yang man melekat ligamentum palpebra
3. Endocanthion (En) : titik di komisura interna (canthus medial) dari
fissura palpebra
4. Glabella (g’) : di garis tengah, titik yang paling menonjol dari alis
5. Gnathion (gn’) : titik di tengah dagu antara Pog dan Me
6. Gonion (go’) : titik paling lateral dari garis rahang di angulus
mandibula
7. Menton (Me) : titik terbawah dari bidang midsagittal di dagu
8. Nasion (n) : di garis tengah, titik cekung maksimum antara hidung dan
dahi. Frontal, titik ini terletak di titik tengah garis singgung antara
lipatan palpebra superior kanan dan kiri
9. Pogonion (pog’) : titik paling anterior dari dagu
10. Labiale inferius (Li) : titik tengah di garis vermilion dari bibir
bawah
11.Labiale superius (La) : titik tengah di garis vermilion dari bibir atas
12. Subnasale (sn) : titik tengah dari dasar columella di sudut dimana
batas bawah septum nasal bertemu bibir atas

9
13. Tragion (t) : titik di cekukan tepat di atas tragus telinga; dia berada
tepat 1 sampai 2 mm dibawah tulang belakang dari helix, yang dapat
diraba
14. Zygion (Zy’) : titik paling lateral dari regio pipi (zygomaticomalar)

Gambar 7 Dari kiri ke kanan, cephalometric landmarks utama: gambaran


lateral dan frontal
b. Garis-Garis Antropometrik8
1. PNS = posterior nasal spine
2. Gn = gnathion (titik paling bawah depan di atas kontur dari symphysis
tulang pipi yang terletak di bisektris dari N-Pg dan bidang mandibular)
3. Ba = basion (titik terbawah di atas batas depan dari foramen magnum)
4. SE = sphenoidale (titik di persimpangan antara sisi atas sphenoid dan bagian
depan dari dasar kranial, yang dianggap mereprentasikan penghubung antara
tulang ethmoid bagian depan dan tulang sphenoid bagian belakang)
5. H = titik paling atas depan dari tulang hyoid
6. MP-SN = sudut antara garis dari Gn ke Me (bidang mandibular) dan garis
dari S ke N
7. N-S-Ba = sudut antara N dan S serta antara S dan Ba (sudut pelana)
8. N-S-Gn (sudut Y-axis) = sudut antara N dan S serta S dan Gn
9. Co-Go-Me (sudut gonial) = sudut antara Co dan Go serta antara Go dan Me
10. Co-Go = jarak dari Co ke Go (ramus manibula)
11. ANS-PNS = jarak dari ANS ke PNS (dasar maksila)
12. TPFH = tinggi total wajah bagian posterior (jarak dari S ke Go)
13. P = ujung uvula

10
Gambar 8 Garis-garis antropometrik wajah

V. METODE SUPERIMPOSISI
a. Metode Konvensional
Superimposisi digunakan untuk mengidentifikasi atau dalam
beberapa kasus, menyangkal identitas orang yang dicurigai tersebut dengan
menggunakan salah satu teknik superimposisi yang ada. Prinsip-prinsip
utama superimposisi craniofacial sama dengan rekonstruksi craniofacial.
Hal ini adalah untuk mengatakan bahwa korelasi muka dengan tengkorak
sangat penting. Ini termasuk memberikan perhatian khusus pada garis dari
dua gambar yang ditumpahtindihkan, landmark atau titik antropometrik
pada wajah dalam kaitannya dengan tengkorak, ketebalan jaringan lunak
dan morfologi umum dari tengkorak.9
Foto dari seorang individu secara manual ditumpangkan pada
gambar tengkorak untuk perbandingan. Teknik ini paling sering digunakan
untuk menghilangkan ketidakcocokan dari korban. Foto-foto korban yang
pertama kali dikumpulkan. Kemudian foto tengkorak yang cocok diambil
pada setiap individu. Kedua foto tersebut diperbesar sesuai ukuran
sebenarnya. Foto tengkorak ini kemudian ditumpangkan pada foto individu.
Langkah-langkah ini diulang untuk setiap individu dan dibandingkan
hasilnya. 9

11
Keterbatasan utama dari metode ini adalah, diperlukan pembesaran
gambar tengkorak dan foto individu, juga tengkorak perlu diposisikan
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan orientasi foto individu.9

Superimposisi fotografi adalah metode yang dipelopori oleh furue.


Metode ini melibatkan penggunaan dua cermin untuk memproyeksikan
gambar foto wajah di atas tengkorak. Cermin pertama adalah cermin optik
penuh diposisikan secara langsung berlawanan dengan foto. Cermin kedua
adalah cermin setengah perak ditempatkan pada sudut 45⁰ ke cermin optik
penuh dan sejalan dengan tengkorak. Perspektif akurasi dicapai dengan
memastikan jarak cermin setengah perak ke tengkorak (D1) sama dengan
jumlah jarak cermin optik penuh ke foto (d1) dengan jarak cermin optik
penuh untuk cermin setengah-perak (d2). Artinya, D1 = d1 + d2. Lensa
35mm kamera single lens reflex (SLR) dengan fokus layar kaca gambar split
standar digantikan oleh sebuah fokus layar gambar udara yang ditetapkan
pada ujung berlawanan dari tengkorak. Jarak kamera ke tengkorak juga
penting untuk mencapai prospektif yang benar. Maksudnya adalah bahwa
jarak ini kira – kira sama dengan jarak dimana foto wajah awalnya
diambil.10

Gambar 9 Superimposisi Metode Konvensional

b. Metode Superimposisi dengan Bantuan Komputer

12
Dasar ilmiah dari Craniofacial Superimposisi didirikan oleh Broca
(1875) dan Bertillon (1896) lebih dari 100 tahun yang lalu. Sejak itu,
Craniofacial Superimposisi berkembang sebagai teknologi baru yang
tersedia. Pertama identifikasi dengan cara Craniofacial Superimposisi terdiri
dari memperoleh negatif dari foto wajah asli dan menandai titik - titik
cephalometri di atasnya. Tugas yang sama dilakukan dengan foto tengkorak.
Kemudian, kedua negatif ditumpang tindih dan positif dihasilkan. Prosedur
ini secara khusus bernama superimposisi fotografi. Video superimposisi
telah lebih suka fotografi superimposisi sejak awal karena sederhana dan
lebih cepat. Ini mengatasi waktu yang berlarut-larut dalam superimposisi
fotografi, di mana banyak foto-foto tengkorak harus diambil dalam berbagai
orientasi.11
Penggunaan komputer untuk membantu antropolog forensik dalam
proses identifikasi digunakan pada generasi berikutnya dari Sistem
Craniofacial Superimposition. Selain orang yang menggunakan komputer
hanya sebagai perangkat penyimpanan atau alat visualisasi sederhana, hanya
ada beberapa orang yang memanfaatkan keuntungan dari perangkat digital
dan ilmu komputer, terutama menggunakan komputer grafis.11
Proses penumpangtindihan tengkorak dan gambar wajah,
membutuhkan: (1) penentuan ukuran nyata dari tokoh yaitu, scaling, dan (2)
orientasi tengkorak agar sesuai dengan posisi wajah di foto itu, dengan
menggunakan tiga gerakan yang mungkin: inklnasi, ekstensi, dan rotasi.
Dalam semua karya-karya sebelumnya, proses overlay bergantung pada
jumlah landmark antropometris yang sesuai yang diusulkan oleh Martin dan
Saller dan sejak saat itu telah digunakan untuk penilaian kesesuaian antara
tengkorak dan wajah. Prosedur Identifikasi dapat mengikuti baik sebagai
anatomi atau pendekatan antropometris. Zaman dahulu bergantung pada
morfologi korelasi antara tengkorak dan wajah, sedangkan saat ini,
menekankan pengukuran jarak antara pasangan landmark dan perbandingan
rata-rata kedalaman jaringan wajah mereka. Hal ini juga penting untuk
memperhitungkan sebanyak mungkin titik-titik yang sesuai, serta proporsi

13
yang berbeda di antara mereka. Berbagai jenis teknologi mendukung teknik
Craniofacial Superimposition dari segi identifikasi awal yang melibatkan
sejumlah besar pendekatan yang sangat beragam yang ditemukan dalam
literatur. 11
Metode ini didefinisikan sebagai teknik superimposisi kraniofasial
digital atau computer-aided yang telah dianggap metode terkini. Dengan
demikian, perbedaan antara metode computer-aided dan non computer-
aided telah jelas dipandu oleh penggunaan teknologi berbasis komputer
sepanjang proses superimposisi kraniofasial sampai sekarang. 7

Computer-aided dibedakan antara metode non-otomatis dan


otomatis. Metode computer-aided non-otomatis menggunakan beberapa
jenis infrastruktur digital untuk mendukung proses superimposisi
kraniofasial, yaitu komputer yang digunakan untuk menyimpan dan / atau
visualisasi data. Namun, mereka ditandai oleh kenyataan bahwa kapasitas
komputasi mereka untuk mengotomatisasi tugas-tugas manusia tidak
dianggap. Di sisi lain, metode computer-aided otomatis menggunakan
program komputer untuk menyelesaikan identifikasi sub-tugas itu sendiri.7

Gambar 10 Tiga tahapan yang terlibat dalam proses superimposisi craniofacial

14
Ada beberapa pernyataan yang harus dilakukan mengenai 3
tahapan proses: 7

1. Tahap pertama adalah mencapai model digital tengkorak dan perbaikan


dari gambar wajah. Memperoleh model tengkorak tiga dimensi yang
akurat dianggap sebagai tugas yang sulit oleh para antropolog forensik di
masa lalu. Namun, langkah ini dapat dengan mudah dicapai menggunakan
maju perangkat pemindaian seperti scanner laser range. Subyek dari
proses identifikasi , yaitu tengkorak, adalah objek tiga dimensi.
Penggunaan model tengkorak tiga dimensi bukan gambar tengkorak dua
dimensi harus disukai karena merupakan representasi yang lebih akurat.
Hal ini sudah dibuktikan bahwa model tiga dimensi jauh lebih informatif
dalam tugas identifikasi forensik lainnya. Mengenai gambar wajah,
sebagian besar sistem terbaru menggunakan gambar digital dua dimensi.
Tahap ini juga melibatkan aplikasi dari teknik pengolahan gambar untuk
meningkatkan kualitas potret wajah yang biasanya disediakan ketika orang
hilang. Tahap pertama, metode otomatis dapat menangani baik gambar
wajah atau tengkorak 2 dimensi. Di satu sisi, ketika berhadapan dengan
gambar wajah 2 dimensi, sistem otomatis mencapai pemulihan foto itu
dengan menggunakan teknik pengolahan gambar digital. Di sisi lain,
tujuan dari metode otomatis mengenai tengkorak adalah pencapaian model
3 dimensi yang akurat. 3,11
2. Tahap kedua adalah skull-face overlay ( SFO ) yang terdiri dari mencari
overlay terbaik dari kedua gambar dua dimensi dari tengkorak dan wajah
atau dari model tengkorak tiga dimensi dan gambar wajah dua dimensi
yang dicapai selama tahap pertama. Sebuah prosedur trial - error mencari
penempatan terbaik tengkorak diatas wajah berdasarkan titik-titik
antropometrik dan kedalaman jaringan lunak pada titik-titik tersebut.
Tahap kedua, menunjukkan pembagian yang jelas antara metode
computer-aided non-otomatis dan otomatis. Orang dulu menggunakan
komputer untuk mendukung prosedur penumpangtindihan dan / atau untuk
memvisualisasikan tengkorak, wajah, dan superimposisi yang diperoleh.

15
Namun demikian, ukuran dan orientasi tengkorak diubah secara manual
untuk dicocokkan dengan salah satu kepala dalam foto. Hal ini dicapai
dengan menggerakan tengkorak secara fisik, sedangkan komputer hanya
digunakan untuk memvisualisasikan pada monitor, atau (dengan bantuan
beberapa perangkat lunak komersial) dengan memindahkan gambar digital
pada layar sampai ditemukan kecocokan. Sebaliknya, yang terakhir, yaitu
metode Penumpangtindihan tengkorak dan wajah otomatis, menemukan
superimposisi paling bagus antara model tengkorak 3 dimensi dan gambar
wajah 2 dimensi menggunakan program komputer. 3,11
3. Tahap ketiga dari proses Craniofacial Superimposisi adalah pengambilan
keputusan. Berdasarkan SFO yang dicapai , keputusan identifikasi dibuat
oleh kecocokan antara landmark yang sesuai pada tengkorak dan di wajah,
atau dengan menganalisis profil masing-masing, juga digunakan
kraniofasial morphanalisis. Tahap ketiga, mengenai tahap pengambilan
keputusan, sistem otomatis membantu ahli forensik dengan menerapkan
sistem pendukung keputusan. Selain itu, program-program komputer harus
menggunakan data yang obyektif dan numerik untuk mengevaluasi
kecocokan yang diperoleh antara tengkorak dan wajah. Berdasarkan
evaluasi tersebut, sistem menunjukkan keputusan identifikasi untuk ahli
forensik. Dengan demikian, sistem pendukung keputusan ini dimaksudkan
untuk membantu pengambil keputusan kumpulan informasi yang berguna
dari analisis tengkorak dan wajah yang telah ditumpang tindih. Tentu saja,
keputusan akhir akan selalu dibuat oleh antropolog baik menurut dukungan
sistem otomatis dan keahliannya. Di sisi lain, jika keputusan identifikasi
hanya bergantung pada ahli manusia yang secara visual mengevaluasi
tengkorak dan wajah yang ditumpang tindih yang diperoleh pada tahap
sebelumnya, maka metode tersebut akan dianggap sebagai sistem non-
otomatis, meskipun mungkin menggunakan data digital sebagai sarana
pendukung.3,11

16
Gambar 1112

Gambar 1212

Gambar 1312

17
VI. VALIDITAS METODE SUPERIMPOSISI
Berbagai studi kasus telah dilakukan untuk menentukan identitas dari
individu. Namun, dengan kriteria yang lebih ketat baru-baru ini sehubungan
dengan yang diterima untuk dipresentasikan di pengadilan hukum, studi
lebih lanjut tentang keabsahan teknik dan akurasi sangat diperlukan .
Penelitian paling terkenal untuk menilai validitas superimposisi dilakukan
pada tahun 1994 oleh Austin - Smith dan Maples. Para penulis ini
menggunakan tiga tengkorak identitas diketahui dan mereka dibandingkan
dengan 97 foto lateral dan 98 foto anterior. Ditemukan bahwa kemungkinan
memiliki identifikasi positif palsu menggunakan foto lateral yang adalah 9,6
% dan menggunakan tembakan anterior adalah 8,5 %. Namun, bila
menggunakan gabungan foto lateral dan anterior, kemungkinan positif palsu
berkurang menjadi 0,6 %. Dapat disimpulkan bahwa tanpa gigi anterior,
tengkorak / foto superimposisi dapat diandalkan ketika terdapat dua atau
lebih foto, jelas menggambarkan fitur wajah dari sudut yang berbeda, yang
digunakan dalam perbandingan.13

Sebuah studi yang dilakukan di India pada tahun 2001 membuat tingkat
identifikasi positif 91 % dengan memperkenalkan teknik "kraniofasial
morphanalysis" untuk mengkorelasikan perbedaan antara bentuk wajah dan
tengkorak. Penelitian ini menyarankan bahwa metode baru ini bisa
membantu dalam mengurangi ketidakcocokan tapi tidak bisa mengklaim
identifikasi pasti tengkorak. Studi-studi lain telah berusaha mengidentifikasi
melalui superimposisi ante mortem dan post mortem catatan gigi
menggunakan fitur-fitur khusus dari Adobe Photoshop serta penggunaan
gips gigi dibandingkan dengan ante mortem foto. Sayangnya gigi jarang
terlihat pada foto wajah ante-mortem. 13

Beberapa keterbatasan untuk penggunaan superimposisi sebagai alat


untuk identifikasi ditemukan dalam penelitian ini, dan kegunaan dalam
sistem hukum harus dipertanyakan. Teknik ini berguna di negara-negara

18
seperti Afrika Selatan pada khususnya, dimana standar ilmiah teknik nyata
seperti DNA komparatif analisis atau odontologi tidak selalu bisa
digunakan. Namun, dengan tidak adanya faktor individualisasi atau bukti
-bukti yang nyata lain, teknik ini seharusnya hanya digunakan sebagai alat
skrining awal. Namun, harus diperhitungkan bahwa untuk penelitian ini
semua superimposisi dilakukan secara digital di komputer dan itu adalah
mungkin bahwa metode tradisional yang lebih manual, dengan
menggunakan kamera video dll dapat menghasilkan hasil yang agak lebih
baik. 13

Tampaknya menggunakan landmark untuk membuat penghakiman


cocok positif dan lebih obyektif tidak menambahkan banyak untuk seluruh
prosedur. Teknik landmark dapat digunakan sebagai sarana penyaringan
pencocokan yang tidak benar, seperti yang ditunjukkan oleh fakta bahwa
lebih tengkorak yang benar cocok untuk foto mereka ketika dua metode
hasilnya digabungkan . Dengan melakukan morfologi dengan teknik
penilaian diikuti oleh teknik penilaian komputerisasi landmark berbasis
independen dan menggabungkan hasil mereka, rata-rata positif palsu dan
negatif lebih baik secara keseluruhan dan tingkat identifikasi positif
ditingkatkan. 13

Penggunaan landmark anatomi dan kraniofasial juga bukan hal baru


bagi ilmu pengetahuan dan obat-obatan, landmark jaringan lunak telah
digunakan untuk keperluan analisis cephalometri dan operasi maksilofasial
setidaknya selama 20 tahun. Metode akurat mengidentifikasi dan landmark
kraniofasial menjadi masalah lama yang terjadi di lapangan, dengan teknik
penenetuan landmark ini melalui analisis tepi dan digitalisasi yang
disarankan. 13

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah ukuran


tertentu landmark harus digunakan untuk metode ini dan apakah ukuran
tertentu yang lebih menguntungkan atau merugikan tekniknya.
Menempatkan landmark berulang kali merupakan pertimbangan lebih lanjut

19
dalam penelitian ini. Jika landmark tidak bisa berulang kali ditempatkan,
maka hasil penelitian tidak akan berlaku. Dari awal penyidik sadar bahwa
penempatan landmark pada tengkorak tidak akan bermasalah seperti yang di
foto wajah, sebagai landmark tengkorak yang mudah ditemukan dan
diamati. Ini memang menemukan bahwa landmark bisa berulang kali
ditempatkan pada tengkorak dengan tingkat akurasi yang baik, tapi sedikit
akurasi yang lebih rendah dicapai untuk penempatan landmark berulang kali
pada foto. Ini tetap menjadi perhatian yang harus dipertimbangkan ketika
laporan masuk ke dalam sistem hukum. 13

Sebagai kesimpulan, penelitian ini memiliki nilai tambah untuk


penggunaan proses superimposition di Afrika Selatan, karena telah
menunjukkan bahwa ada manfaat dalam menggunakan teknik sebagai
sarana untuk mempersempit identitas sisa-sisa kerangka diketahui, terutama
ketika teknik-teknik lain seperti DNA atau gigi tidak mungkin. Namun,
tingkat akurasi terlalu rendah untuk menggunakannya sendiri sebagai alat
untuk secara pribadi mengidentifikasi seorang individu. Cara di mana proses
ini digunakan di Afrika Selatan harus dipertimbangkan kembali untuk
efisiensi yang lebih baik dan validitas ilmiah . Ini mungkin harus direvisi
untuk mengadopsi sudut pandang yang sama seperti di Amerika Serikat,
yaitu untuk tujuan pengecualian daripada inklusi. Berkenaan dengan studi
validasi yang telah dilakukan, saat ini, 100 % tingkat identifikasi positif
belum pernah dibentuk, dengan kemungkinan positif palsu dan negatif palsu
menjadi kenyataan pernah hadir. Sangat penting, menjadi jelas bahwa
metode ini membutuhkan pengujian konstan untuk memastikan bahwa
teknik terbaik tersedia dan peralatan yang digunakan tersedia untuk proses
tersebut. 13

Kesulitan dalam teknik superimposisi

1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.

2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.

20
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.

4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya sendiri.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballerinin L, Cordon O. Craniofacial Superimposition in Forensic


Identification using Genetic Algorithms. Third International Symposium on
Information Assurance and Security. 2007. IEE Computer Society.
2. Surjit S. Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 41, No 4. Desember 2008.
3. Scully B, Nambiar P dkk, Determining the validity of furue’s method of
craniofacial superimposition for identification; Annal Dent Univ Malaya
2002; 9 : 17-22
4. Ballermi L, Cordon O, Damas S, et al. Craniofacial In Forensic
Identification Using Genetic Alogarithms.
5. Brogdon BG. Forensic Radiology, University Distinguished, Departement
and Former Chairman, Departement Otradiology University of South
Alabama. CRC Press. Washington DC. 1998, pp 71-101.
6. Knight Bernard,Pekka Sauko. Knight’s forensic pathology 3rd : Chapter 3:
The establishment of identy of human remains. Horder Arnold. India: 2004,
P.108-11.
7. Damas S, Cordon O, Ibanez O. Forensic Identification by Computer Aided
Craniofacial Superimposition : a Survey. ACM Journal Name, Vol. V, Pages
1-31.
8. Cistulli AP, Gotsopoulos H, Sullivan CE. Relationship Between Craniofacial
Abnormalities and Sleep Disordered Breathing in Marfan’s Syndrome.
2001.
9. Vanezies M. Forensic Facial Reconstruction Using 3D Computer Graphic:
Evaluation and Improvement of Its Reliablility in Identification. 2007, pp
21-43. Available at : theses.gla.ac.uk/375/1/2008vanezisphd.pdf.2007.

21
10. Yoshino M, Kubota S, Matsuda H, et all. Face to Face Video
Superimposition Using 3 Dimensional Physiognomic Analysis, Japanese
Journal of Science and Technology for Identification (1996).
11. Campomanes-Almarez BR, Cordon O, Damas S, et al. Computer-based
Craniofacial Superimposition In Forensic Identification Using Soft
Computing. Journal of Ambient Intelligence and Humanized Computing.
Springer: Verlag Berlin Heidelberg. 2012.
12. Ibanez O, Cordon O, Damas S, et al. Forensic Identification by Craniofacial
Superimposition using Soft Computing. Genetic And Evolutionary
Computation Conference (Gecco 2010). European Centre for Soft
Computing. Available at : www.softcomputing.es/socovifi.
13. Gordon GM, Steyn M. An investigation into the accuracy and reliability of
skull-photo superimposition in a South African sample. Forensic
Anthropology Research Centre, Department of Anatomy, P.O. Box 2034,
University of Pretoria, Pretoria, 0001, South Africa.

22

Anda mungkin juga menyukai