Karakteristik Komplikasi Ekstrapulmonal Pada Pasien Covid
Karakteristik Komplikasi Ekstrapulmonal Pada Pasien Covid
ABSTRAK
Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit infeksius yang disebabkan
oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit ini
pertama kali berhasil diidentifikasi di Wuhan, Cina pada Desember 2019. Meskipun sistem
respiratorik merupakan target sistem organ utama yang diserang oleh SARS-CoV-2, sistem
renal, neurologis, imun, dan kutaneus juga telah berhasil diidentifikasi dan dilaporkan.
Berdasarkan Centers for Disease Control (CDC), keluhan yang paling sering dijumpai pada
kasus coronavirus disease 2019 (COVID-19) antara lain demam, batuk, nyeri tenggorokan,
sesak napas, nyeri dada, mialgia, dan anosmia. Bukti terbaru menyebutkan bahwa gagal
ginjal akut pada pasien COVID-19 merupakan hasil interaksi antara virus SARS-CoV-2,
disregulasi respons inflammatorik, aktivasi jalur angiotensin II, hiperkoagulasi, dan
mikroangiopati. Faktor spesifik COVID-19 ini berinteraksi dengan faktor risiko lainnya
seperti instabilitas hemodinamik, hipoksia, dan sepsis yang meningkat seiring berjalannya
waktu. Komplikasi yang paling serius dari COVID-19 adalah inflammasi seperti sepsis
yang memicu respons inflammatorik disregulasi yang menyebabkan badai sitokin. Sindrom
ini akan memicu kerusakan organ target multipel lainnya. Mediator proinflammatorik
seperti TNF-α, IL-6 dan IL-10 memegang peranan kunci baik dalam kasus pankreatitis akut
maupun COVID-19.
Kata Kunci:
PENDAHULUAN
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pertama kali dilaporkan di Wuhan,
Provinsi Hubei, Cina dan kemudian menyebar ke wilayah lain di China dan 37 negara,
termasuk Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Prancis. Agen patogen penyebab
penyakit ini adalah virus corona- β RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen yang disebut dengan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2
(SARS-CoV-2) (Velavan,2020).Penambahan jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup
cepat dan sudah terjadi penyebaran antar negara. Pada 12 Maret 2020, WHO
mengumumkan COVID-19 sebagai pandemik (WHO, 2020).
Di Asia tenggara ditemukan 4.689.943 kasus konfirmasi, 83.400 kasus meninggal
dengan persentase 1,8%. Indonesia sendiri terdapat 194.109 kasus konfirmasi, 8.025 kasus
meninggal dengan persentase 4,1% dan 138.575 (71,4%) kasus sembuh. Dilaporkan oleh
website resmi COVID-19 Sumatera Utara (SUMUT) sendiri terdapat 7.552 kasus
konfirmasi, 334 kasus kematian, dan 4.449 kasus sembuh, dimana Medan Kota merupakan
wilayah dengan sebaran kasus terbesar yaitu 4.497 kasus konfirmasi, 2.681 kasus sembuh
dan 183 kasus kematian.
Dari 1 diantara 6 pasien COVID-19 akan mengalami komplikasi-komplikasi baik
pulmonal maupun ekstrapulmonal, termasuk salah satu nya yang dapat mengancam nyawa.
Banyak dari komplikasi-komplikasi COVID-19 ini terjadi karena adanya sindrom
pelepasan sitokin atau sering disebut badai sitokin. Hal ini diakibatkan oleh karena infeksi
virus tersebut memicu sistem imun untuk melepaskan protein inflamasi yang disebut
dengan sitokin. Keadaan ini dapat merusak jaringan dan organ, termasuk jantung, paru, dan
ginjal (Cheng et al, 2020).
PATOGENESIS
1. Entri dan Replikasi
Setelah Coronavirus menemukan sel host yang sesuai, virus akan
melakukan penempelan dipermukaan virus, protein S penentu utama dalam
menginfeksi spesies host-nya.. Setelah virus memasuki sel, genom RNA virus
dilepaskan ke sitoplasma dan diterjemahkan menjadi dua poliprotein dan struktural
protein, setelah itu genom virus mulai bereplikasi (Unhale et al., 2020). Bentuk
baru dari glikoprotein lalu masuk ke dalam membran retikulum endoplasmik.
Akhirnya, vesikel yang mengandung partikel virus bergabung dengan membran
plasma untuk melepaskan virus (X. Li et al.., 2020).
2. Presentasi Antigen
Menurut Xu et al. (2020), saat virus memasuki sel, antigennya akan
ditampilkan oleh sel antigen presentating cells (APC), yang akan diberi sinyal
major histocompatibility complex (MHC) atau human leukocyte antigen (HLA).
Selanjutnya antigen akan dikenali oleh virus spesifik limfosit T-cytotoxic (CTL).
Presentasi antigen SARS-CoV tergantung pada molekul MHC I dan MHC II.
Selain itu, polimorfisme gen MBL (mannose-binding lectin) juga terkait dengan
presentasi antigen terkait dengan risiko infeksi SARS-CoV.
4. Cytokine Storm
Pada COVID-19, ARDS merupakan penyebab utama kematian. Dari
41 pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 yang dirawat di tahap awal wabah, enam
meninggal karena ARDS (Huang et al., 2020). ARDS adalah kejadian
imunopatologi umum untuk SARS-CoV-2. Salah satu mekanisme utama untuk
ARDS adalah badai sitokin, respons inflamasi sistemik yang tidak terkontrol yang
mematikan akibat pelepasan sejumlah besar sitokin proinflamasi (IFN-α, IFN-γ,
IL-1β, IL-6, IL-12, IL-18, IL-33, TNF-α, TGFβ), kemokin (CCL2, CCL3, CCL5,
CXCL8) dalam serum (Li et al., 2020). Hal ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan pengaktivan jalur koagulasi, sehingga saat inflamasi
terjadi konsentrasi antikoagulasi berkurang, terjadi perubahan fibrinogen menjadi
fibrin. Ketidakseimbangan antara koagulasi dan antikoagulasi ini memicu
terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) dan mikrotrombosis (Jose
& Manuel, 2020). Badai sitokin memicu terjadinya ARDS dan kegagalan organ
multipel, dan akhirnya menyebabkan kematian pada kasus berat (Ye, 2020).
5. Evasi Imunitas
Untuk dapat bertahan hidup di sel inang, SARS-CoV menggunakan
berbagai strategi untuk menghindari respon imun tubuh. Melalui Pathogen
Associated Molucular Patterns (PAMPs), SARS-CoV dapat bereplikasi untuk
menghindari deteksi sel imun. IFN-I (IFN-α dan IFN-β) juga memiliki efek
perlindungan pada infeksi SARS-CoV. Karena itu jalur IFN-I perlu dihambat
pada infeksi coronavirus. APC juga dapat menjadi bagian dari strategi
coronavirus. Misalnya dengan mengurangi ekspresi gen sehingga mengurangi
respons sistem imun tubuh. Oleh karena itu, evasi imun SARS-CoV-2 sangat
penting dalam pengobatan dan pengembangan obat spesifiknya (Li et al., 2020).
Pada studi SARS-CoV protein S berkaitan dengan reseptor di sel host yaitu enzim
ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa
oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus,
sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit
usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk
selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA genom virus. Selanjutnya replikasi
dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari
kompleks replikasi virus (Fosbol et al., 2020). Hasil residu pada SARS-CoV-2
berinteraksi dengan mengikat ACE-2 pada manusia. Ini mendukung SARS-
CoV-2 untuk infeksi sel manusia. Hal ini mengakibatkan transmisi manusia ke
manusia (PDPI, 2020).
KOMPLIKASI EKSTRAPULMONAL
SARS-CoV-2 diidentifikasi pada berbagai jaringan lainnya, seperti kardiovaskular,
renal, traktus gastrointestinal, sama seperti SARS-CoV pada tahun 2003. Kedua virus ini
menggunakan angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor fungsional di sel
inang untuk masuk dan replikasi. Meskipun demikian, berbeda degan SARS-CoV, SARS-
CoV-2 tidak menggunakan reseptor lainnya seperti aminopeptidase N dan dipeptidil
peptidase 4, menjadikan virus ini lebih selektif. Lebih lanjut, SARS-CoV-2 memiliki
afinitas yang lebih kuat terhadap ACE2 dibandingkan SARS-CoV sehingga tergolonng
lebih patogen dan meningkatkan kemampuannya dalam bertransmisi (Alves et al., 2020).
Meskipun sistem respiratorik merupakan target sistem organ utama yang diserang
oleh SARS-CoV-2, sistem renal, neurologis, imun, dan kutaneus juga telah berhasil
diidentifikasi dan dilaporkan (Husain et al., 2020). Berdasarkan Centers for Disease
Control (CDC), keluhan yang paling sering dijumpai pada kasus coronavirus disease 2019
(COVID-19) antara lain demam, batuk, nyeri tenggorokan, sesak napas, nyeri dada,
mialgia, dan anosmia (Meegada et al., 2020; Chedid et al, 2020). Kasus ini dipercayai
sebagai penyakit yang bermanifestasi di sistem respiratorik. Bagaimanapun juga, beberapa
presentasi atipikal dan manifestasi ekstrapulmonal juga semakin banyak dilaporkan.
Manifestasi ekstrapulmonal dari COVID-19 termasuk insidensi trombosis seperti emboli
pulmonal, serangan serebrovaskular akut, infark miokardium, aritmia jantung, kerusakan
hepar, gangren, diare, gagal ginjal akut, rhabdomiolisis, dan lain-lain (Meegada et al, 2020;
Alrubaye R & Choudhary H, 2020).
Jenis kelamin laki-laki, usia lansia, ras kulit hitam, indeks massa tubuh berlebih,
hipertensi, penggunaan inhibitor ACE dan OAINS, instabilitas hemodinamik, ventilasi
mekanik, sindrom distres pernapasan akut, dan peningkatan kadar ferritin, kreatinin kinase,
brain natriuretic peptide, dan troponin I diidentifikasi sebagai faktor risiko gagal ginjal
akut selama rawatan rumah sakit.
Tabel 1. Faktor risiko potensial gagal ginjal akut oleh COVID-19 (Nadim et al., 2020).
Faktor risiko demografis
usia lansia, diabetes mellitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular atau
gagal jantung kongestif, indeks massa tubuh tinggi, penyakit ginjal
kronis, faktor risiko genetik (genotipe APOL1; polimorfisme (ACE2),
status immunosupresi, status merokok
Faktor risiko saat pertama kali masuk
derajat keparahan COVID-19, derajat viremia, status respiratorik,
keterlibatan organ nonrespiratorik (diare), leukositosis, limfopenia,
peningkatan kadar marker inflammasi (ferritin, C-reactive protein, D-
dimer), hipovolemia, dehidrasi, rhabdomiolisis, paparan obat-obatan
tertentu (inhibitor ACE, ARB, statin, OAINS)
Faktor risiko selama rawatan
nefrotoksin (iatrogenik, paparan kontras), penggunaan vasopressor,
ventilasi, tingginya positive end-expiratory pressure (PEEP), dan
dinamika cairan (kelebihan cairan atau hipovolemia)
DISFUNGSI HEPAR
Abnormalitas hasil faal hepar diartikan sebagai peningkatan nilai enzim hepar
serum: ALT >40 U/L, AST >40 U/L, γ-glutamiltransferase (GGT) >49 U/L, alkalin
fosfatase (ALP) >135 U/L, dan bilirubin total (TBIL) >17.1 μmol/L. Gamma-
glutamiltransferase (GGT) dan alkalin fosfatase (ALP) dikenal sebagai “enzim
kolangiosit”. Bagaimanapun, selain di duktus biliaris, ALP juga ditemukan di jaringan
tulang, intestinal, renal, dan plasenta, sedangkan GGT terdistribusi secara luas di membran
sel beberapa jaringan termasuk renal, duktus biliaris, pankreas, kantung empedu, limpa,
jantung, otak, dan vesikula seminalis. Oleh karena itu, untuk gangguan duktus biliaris, ALP
jauh lebih sensitif dibandingkan GGT. Pasien dengan kenaikan nilai faal hepar tipe
hepatosit saat pertama kali masuk rawatan biasanya secara signifikan berisiko lebih tinggi
progres menjadi COVID-19 derajat berat. Penting pula diingat, penggunaan obat-obatan
selama rawatan seperti lopinavir dan ritonavir merupakan faktor risiko terhadap kerusakan
hepar. Penggunaan lopinavir/ritonavir meningkatkan risiko kerusakan hepar sampai empat
kali lipat.
PANKREATITIS
Mekanisme yang terjadi di sini melibatkan kerusakan pankreas direk dan indirek.
Efek sitopatik direk ini dimediasi oleh replikasi SARS-CoV-2 lokal, sementara itu
mekanisme indirek melibatkan eksaserbasi dari systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) dan respons imun sellular yang disebabkan oleh respons imun tubuh sendiri yang
diinduksi oleh infeksi SARS-CoV-2 dan gangguan respiratoriknya (Alves et al., 2020;
Aloysius et al., 2020). Angiotensin-converting enzyme-2 (ACE2), reseptor fungsional virus
di sel tubuh inang, diekspresikan baik pada sel pankreas eksokrin maupun endokrin,
memegang peranan penting dalam patogenesis penyakit ini. Mekanisme kerusakan
pankreas pada infeksi SARS-CoV-2 melibatkan efek sitopatik direk atau respons
inflammatorik sistemik indirek dan respons imun sellular, menyebabkan kerusakan organ
atau abnormalitas enzim sekunder (Alves et al., 2020; Kumaran NK, Karmakar BK, Taylor
OM, 2020).
Protein S (spike) akan berikatan dengan ACE2 sebagai celah masuknya via
reseptor. Masuknya virus ke dalam sel difasilitasi dengan proses priming protein S oleh
transmembrane protease serine 2 (TMPRSS2) atau protease lainnya. Kombinasi ekspresi
antara ACE2 dan TMPRSS2 ini dibutuhkan virus agar berhasil masuk ke dalam sel. Begitu
virus berikatan dengan ACE2, disregulasi respons imun dan badai sitokin pun dapat diamati
pada kasus COVID-19 derajat berat-kritis dengan kadar IL-6 yang lebih tinggi dan
ditemukan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk. Kerusakan organ pankreas
lebih sering ditemukan pada kasus COVID-19 derajat berat-kritis daripada derajat ringan
(Samanta et al., 2020).
Secara keseluruhan, kerusakan pankreas, baik eksokrin maupun endokrin, bersifat
multifaktorial: cedera organ eksokrin pankreas diakibatkan virus langsung via ACE2;
infeksi COVID-19 berat memicu proses inflammasi sistemik berat dan kerusakan pankreas;
kerusakan langsung pada sel pulau-pulau kecil pankreas; kerusakan oleh sitokin
proinflammatorik ditandai dengan tingginya kadar IL-1β, monocyte chemoattractant
protein (MCP) dan disregulasi sistem imun; lipotoksisitas virus dari asam lemak tak jenuh
yang menyebabkan hiperlipasemia; cedera organ pankreas akibat iatrogenik (penggunaan
obat-obatan tertentu seperti OAINS dan kortikosteroid) (Samanta et al., 2020).
Tabel 3. : Faktor Predisposisi Tromboemboli Vena menurut British Thoracic Society, 2003
RHABDOMIOLISIS
Mekanisme terjadinya rhabdomiolisis pada kasus COVID-19 masih belum jelas,
dan beberapa mekanisme diajukan sebagai hipotesis dalam miositis viral. Mekanisme
immunologis berperan penting terhadap kerusakan otot melalui reaktivitas silang antara
virus dan miosit (Meegada et al., 2020; Chedid et al., 2020; Martinez et al., 2020; Gilpin et
al., 2020). Sebuah studi berhasil membuktikan bahwa rhabdomiolisis yang diinduksi
SARS-CoV-2 bersifat sekunder terhadap badai sitokin daripada invasi virus secara
langsung. Hal ini disimpulkan berdasarkan kadar marker proinflammatorik yang cukup
tinggi tanpa adanya partikel virus yang dijumpai pada biopsi otot. Mekanisme ini juga
berimplikasi pada rhabdomiolisis yang dimediasi oleh infeksi virus influenza A, meskipun
beberapa studi juga percaya efek invasi viral langsung pada miosit (Pellegrini et al, 2020;
Martinez et al., 2020; Taxbro et al., 2020).
Rhabdomiolisis sering kali berkaitan dengan peningkatan kadar aminotransferase.
Peningkatan kadar AST dan ALT dideteksi pada 95% dan 73% pasien dengan kasus
rhabdomiolisis, berturut-turut. Fenomena ini konsisten dengan pelepasan enzim AST dan
ALT dari massa otot. AST lebih banyak dilepaskan dari massa otot dibandingkan ALT.
Berdasarkan ulasan literatur, tidak ada protokol standar terkait durasi dan laju
pemberian cairan pada pasien rhabdomilisis, masih menyisakan ruang untuk diteliti lebih
lanjut. Manajemen inisial dari rhabdomiolisis termasuk rehidrasi cairan per intraivena
secara agresif dengan monitoring ketat nilai CK berkala, fungsi ginjal, dan elektrolit; terapi
rhabdomiolisis pada populasi lansia yang terinfeksi COVID-19 jauh lebih menantang.
Meegada et al. (2020) menyebutkan bahwa resusitasi cairan dititrasi berdasarkan luaran
urin; pemberian mannitol dan bikarbonat dapat dpertimbangkan pada beberapa kondisi.
Suwanwonge et al. (2020) menjelaskan bahwa rehidrasi cairan secara agresif ini harus
dipantau ketat dari kejadian overload cairan, khususnya pada pasien COVID-19 yang
masuk karena indikasi hipoksia. Tatalaksana cairan ini menjadi begitu penting terutama
pada pasien COVID-19 derajat berat-kritis yang mengalami sindrom distres pernapasan
akut (ARDS), diharapkan tidak eksaserbasi edema pulmonal dari resusitasi cairan secara
agresif ini.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional menggunakan data
sekunder berupa rekam medis pasien dengan diagnosis COVID-19 terkonfirmasi positif
yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilaksanakan selama enam
bulan, dimulai dari penelusuran kepustakaan, konsultasi judul, penyusunan proposal,
seminar proposal, pengumpulan data, analisis data, dan penulisan akhir hasil penelitian.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di rumah sakit H. Adam Malik, Medan dengan
menggunakan data sekunder berupa rekam medis sebanyak 252 sampel yang dilakukan dari
bulan Juli-Desember 2020.
PEMBAHASAN
Dapat dilihat dalam penelitian ini, gagal ginjal akut (acute kidney injury) menjadi
komplikasi yang paling banyak dijumpai, yaitu sebanyak 49 orang (19.4%). Insidensi gagal
ginjal akut akibat COVID-19 cukup bervariasi (Zahid et al., 2020). Kunutsor SK &
Laukkanen JA (2020) melaporkan, dari 22 studi yang terpilih, insidensi gagal ginjal akut
mencapai 11% (7.4-15.1; l2=97%; 95% CI 97, 98%; p<0.01).
Insidensi gagal ginjal akut (AKI) jauh lebih tinggi pada pasien dengan kadar
kreatinin serum basal yang meningkat daripada kelompok kontrol. Kadar kreatinin serum
basal meningkat pada 15.5% pasien yang menjalani rawat inap dengan nilai puncak sebesar
94±102 μmol/L selama rawatan. Proteinuria juga ditemukan pada 44% pasien dan beberapa
di antaranya (26.9%) mengalami hematuria (Pellegrini et al., 2020). Sayangnya, tidak
dijelaskan di sini apakah gagal ginjal akut sudah terjadi pertama kali saat pasien masuk
rawat inap atau merupakan suatu progresivitas dari COVID-19 selama pasien dirawat.
Ditambah lagi, pemeriksaan laboratorium pendukung untuk menegakkan diagnosis ini tidak
diikutsertakan seperti pemeriksaan ureum-kreatinin.
Zahid et al. & Kolhe et al. (2020) melaporkan sebanyak 128 pasien (27.3%)
mengalami gagal ginjal akut, dan insidensinya jauh lebih tinggi pada pasien dengan laju
filtrasi glomerulus (LFG) rendah (N=81, 39.1%; p<0.001). Jenis kelamin laki-laki, usia
lansia, ras kulit hitam, indeks massa tubuh berlebih, hipertensi, penggunaan inhibitor ACE
dan OAINS, instabilitas hemodinamik, ventilasi mekanik, sindrom distres pernapasan akut,
dan peningkatan kadar ferritin, kreatinin kinase, brain natriuretic peptide, dan troponin I
diidentifikasi sebagai faktor risiko gagal ginjal akut selama rawatan rumah sakit.
Gagal ginjal akut meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas dari pasien
COVID-19. Zahid et al. (2020) menjelaskan risiko mortalitas tertinggi dijumpai pada gagal
ginjal akut stadium 3 (HR 2.1; CI 1.3-2.81). Mortalitas mencapai 71.1% pada kelompok
gagal ginjal akut dan 28.5% pada kelompok non-gagal ginjal akut (p<0.001). Angka
mortalitas ini meningkat seiring naiknya stadium 1, 2, dam 3 sebesar 44.2%, 75%, 87.7%
berturut-turut. Kolhe et al. (2020) juga menyebutkan angka mortalitasnya lebih tinggi pada
kelompok pasien COVID-19 dengan gagal ginjal akut dibandingkan non-gagal ginjal akut
(60.5% vs 27.6%, p<0.001) sehingga dianggap sebagai prediktor independen mortalitas
(OR 3.27, 95% CI 2.39-4.48).
Risiko tinggi trombosis juga menjadi komplikasi tersering setelah acute kidney
injury. Kecurigaan insidensi trombosis dijumpai pada 46 pasien (18.3%). Prevalensi
trombosis akibat COVID-19 sejauh ini masih belum diketahui secara pasti, dikarenakan
banyak studi yang tidak menyertakan protokol investigasi komprehensif dan sistematik.
Studi Jerman melaporkan insidensi kumulatif kejadian trombosis di rentang 48-49% pada
pasien COVID-19 rawatan ICU. Bila ditelusuri lebih jauh, proporsi risiko ini besar
kemungkinannnya terjadi pada kelompok penderita COVID-19 dengan nilai D-dimer yang
melebihi >500 ng/mL, yaitu sebanyak 74 orang (29.4%). Price et al. (2020) menyebutkan
studi awal di Cina mendapatkan bahwa kadar D-dimer yang meningkat (>1.000 ng/mL)
saat masuk pertama kali erat kaitannya dengan peningkatan risiko mortalitas di rumah sakit.
Merrill et al. (2020) mendapatkan hazard ratio sebesar 5.4 (95% CI 2.4-12). Oleh karena
itu, kenaikan kadar D-dimer tetap menjadi marker konsisten dari buruknya luaran klinis
pasien.
Huertas et al. (2020) juga mendeskripsikan patogenesis awal dari trombosis ini
sebagai endotelitis yang mempengaruhi berbagai sistem organ multipel. Badan inklusi viral
berhasil diobservasi di dalam sel endotel diikuti proses apoptosis, infiltrasi sel
inflammatorik, dan trombosis mikrovaskular. Saat bersamaan, inflammasi sistemik ini
diiringi dengan peningkatan kadar C-reactive protein, fibrinogen, dan sitokin IL-6.
Trombosis oleh COVID-19 umumnya disebabkan oleh berkurangnya aktivitas fibrinolisis
akibat peningkatan produksi inhibitor aktivator plasminogen 1 (PAI-1). Deposisi komponen
sistem komplemen, seperti Cb5-9 pada pembuluh darah yang rusak mengindikasikan
adanya mekanisme essensial lainnya yang terlibat sebagai mekanisme protrombotik. Lebih
lanjut, afinitas protein S SARS-COV-2 dan CD147 (metalloproteinase matriks
ekstrasellular dan glikoprotein membran) juga menunjukkan mekanisme novel dari
trombosisi dan inflammasi pada sirkulasi arteri-vena (Price et al., 2020). Meskipun
trombosis pada usia muda jauh lebih jarang dibandingkan usia lansia, justru hal inilah yang
sering dilupakan sebagai suatu abnormalitas. Kondisi ‘silent hypoxia’ menandakan
rendahnya oksigenasi tanpa adanya kelainan pulmonal yang signifikan. Hail ini biasanya
berkaitan dengan edema pada ruang alveolar dan interstisial pada paru-paru, dibarengi
dengan ventilation-perfusion mismatch.
Bagaimanapun, penegakan diagnosis tromboembolisme vena pada pasien COVID-
19 tetap mengacu pada modalitas pencitraan tradisional: CT pulmonary angiogram (CTPA)
dan/atau kecurigaan DVT, yang dibuktikan dengan kompresi Doppler vena pada tungkai
bawah. Temuan laboratorium dari pasien risiko tinggi trombosis meliputi kadar D-dimer,
laktat dehidrogenase (LDH), fibrinogen yang tinggi, bersamaan dengan tingginya C-
reactive protein dan trombositopenia (Merrill et al., 2020). Nilai batas D-dimer tidak
sepenuh berguna dalam menentukan apakah pasien memperlukan modalitas pencitraan
lebih lanjut atau tidak; D-dimer lebih digunakan untuk monitoring penggunaan
antikoagulan (Price et al., 2020). Sebaliknya, kadar D-dimer dilaporkan lebih rendah pada
kelompok COVID-19 dibandingkan kelompok kontrol, meskipun kadar fibrinogen plasma
dalam studi ini memang lebih tinggi pada kelompok pasien COVID-19. Sayangnya, hasil
studi tidak cukup signifikan dalam menjelaskan fenomena ini (Hoechter et al., 2020).
Gangguan jantung juga ditemukan pada 10 pasien (4%) dalam penelitian ini. Studi
kasus pada 416 pasien COVID-19 di Cina pada Maret 2020, sekitar 20% pasien mengalami
penyakit jantung iskemik berdasarkan kenaikan nilai enzim marker jantung. Implikasi dari
studi ini berdasarkan usia lansia dan komorbiditas yang dialami pasien, konsisten dengan
faktor risiko trombosis (Merrill et al., 2020).
Terakhir, disfungsi hepar dijumpai pada 8 orang (3.2%). Wang et al., (2020)
melaporkan sebanyak 28.7% pasien COVID-19 mengalami abnormalitas nilai faal hepar.
Penelitian ini tidak mengikutsertakan pelaporan terkait nilai SGOT/SGPT pasien COVID-
19. Huang et al. (2020) melaporkan pertama kali bahwa nilai faal hepar seperti
transaminase serum, billirubin, LDH, dan prothrombin time (PT) secara signifikan
ditemukan lebih tinggi pada pasien COVID-19, khususnya mereka yang masuk ruang ICU.
Ikterik jarang diamati pada penderita COVID-19; bagaimanapun juga, hipoalbuminemia
dan nilai PT memanjang lebih sering ditemukan. Bukti terbaru menemukan bahwa
kerusakan (disfungsi) hepar terjadi lebih sering pada pasien COVID-19 derajat berat-kritis,
yang sudah memiliki faktor risiko disfungsi hepar seperti penggunaan agen hepatotoksik,
respons inflammatorik sistemik, hipoksia induksi sindrom distres pernapasan akut, dan
disfungsi organ multipel (Zheng et al., 2020).
Komplikasi disfungsi hepar meliputi risiko tingkat keparahan COVID-19 dan
luaran klinis meningkat. Disfungsi hepar mencakup gangguan aktivasi kaskade koagulasi
dan fibrinolitik, penurunan jumlah platelet, hitung jenis neutrofil meningkat, hitung jenis
limfosit menurun dan meningkatkan kadar ferritin yang mengganggu regulasi sistem imun
bawaan. Meskipun masih terbilang kontroversi terkait penyebab pasti disfungsi hepar pada
kasus COVID-19, beberapa postulat berhasil diajukan: efek iatrogenik (penggunaan agen
hepatotoksik), cedera direk akibat hepatitis COVID-19 dan peningkatan nilai enzim hepar,
ikatan SARS-CoV-2 dengan ACE2 di kolangiosit, kongesti hepar selama ventilasi mekanik,
dan perburukan kerusakan hepar pada pasien dengan predisposisi hepatitis viral
sebelumnya.
Komorbiditas pasien COVID-19 yang tercatat dalam penelitian ini mayoritas didominasi
oleh hipertensi (27%), diabetes mellitus (23.8%), penyakit ginjal (19.4%), dan penyakit
jantung (15.5%); proporsi lebih kecil dijumpai pada keganasan/malignansi (7.9%),
HIV/AIDS (5.2%), dan status hamil (1.2%). Hal ini sejalan dengan metaanalisis dari 1.786
pasien oleh Sanyaolu et al. (2020) dimana komorbiditas paling banyak adalah hipertensi
(15.8%), kelainan kardiovaskular dan serebrovaskular (11.7%), dan diabetes mellitus
(9.4%). Komorbiditas dengan proporsi lebih kecil adalah HIV dan hepatitis B (1.5%),
malignansi (1.5%), kelainan respiratorik (1.4%), penyakit ginjal (0.8%), dan status
immunodefisiensi (0.01%).
KESIMPULAN
1. Dilihat dari demografis sampel penelitian ini, jenis kelamin laki-laki dan usia 41-60
tahun paling banyak ditemukan, yaitu sebanyak 139 orang (55.2%) dan 99 orang
(39.3%), berturut-turut.
2. Batuk merupakan gejala klinis yang paling banyak dijumpai.
3. Nilai hasil laboratorium menunjukkan distribusi hasil variatif.
4. Bronkopneumonia menjadi gambaran x-ray toraks mayoritas pada pasien COVID-
19 ini.
5. Komplikasi ekstrapulmonal tersering dari COVID-19 yang dilaporkan adalah acute
kidney injury (19.4%) dan risiko trombosis (18.3%).
SARAN
1. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut terkait COVID-19, khususnya komplikasi
dan manajemen terapi, mengingat penyakit ini tergolong novel untuk saat ini, guna
kemajuan kepentingan penelitian, terapi, dan lainnya.