Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KESEHATAN REPRODUKSI

ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM KESEHATAN REPRODUKSI

Disusun Oleh :

KELOMPOK II

CHRISTINE SRIULINA HUTAGALUNG (202013201001)

SETIA HOTMA RIA

DOSEN PENGAMPU :

TINAWATI NAINGGOLAN, SKM, M.Kes

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT

STIKES NAULI HUSADA

SIBOLGA

MARET 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya
lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”ASPEK SOSIAL BUDAYA
DALAM KESEHATAN REPRODUKSI” tepat waktu.

Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Akhir kata, sayaucapkanterimakasih.

Sibolga, Maret 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang kaya akan seni dan budaya. Setiap daerah di
Indonesia mempunyai kebudayanaan atau adat istiadat yang berbeda.Kebudayaan
tersebut muncul dari kebiasaan nenek moyang terdahulu dan seolah-olah sudah melekat
dalam jiwa setiap masyarakat. Dukungan sosial merupakan inti bagi kehidupan
bermasyarakat yang efektif.

1. Adanya suatu fakta yang dapat dipertimbangkan yang menyatakan bahwa


dukungan sosal mempengaruhi kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.
2. Perubahan sosial dan medis telah meningkatkan harapan hidup manusia.
3. Tenaga kesehatan berada pada posisi memberikan intervensi secara sukses baik
langsung maupun tidak langsung pada area dukungan sosial dengan
memfasilitasi pertumbuhan dan pertahanan jarngan sosial.
4. penampilan tenaga kesehatan dapat ditingkatkan dengan mengetahui pentingnya
dukungan sosial bagi penanggulangan stres dalam asuhan kebidanan. Makalah
ini akan membahas tentang masalah tersebut dengan berbagai sumber agar
diperoleh hasil yang mampu menjawab pertanyaan tentang aspek sosial dan
budaya pada kehamilan, persalinan dan nifas.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas terdapat masalah yang dapat di indentifikasi yaitu:

1. Aspek sosial budaya dalam kesehatan reproduksi.

C. TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah yang berjudul “Aspek sosial budaya dalam kesehatan


reproduksi” ini kiranya bertujuan untuk memberikan pengetahuan agar lebih memahami
aspek-aspek sosial dan budaya dalam kesehatan reproduksi di tengah masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASPEK SOSIAL

Pada beberapa tulisan disebutkan bahwa kehidupan masyarakat terasing atau


terpencil yang masih sagat sederhana peradapannya, dilaporkan adanya adat melahirkan
yang dilakukan oleh wanita yang berkepentingan tanpa bantuan siapapun.Biasanya
alasan untuk “menyembunyikan” kelahiran dari keterbukaan bagi banyak orang adalah
karena kebudayaan yang bersangkutan memandang kelahiran sebagai masalah pribadi
dan dari segi adat sopan santun, perlu dijaga dari keterbukaan bagi orang lain, termasuk
kerabat. Misalnya tradisi orang Mentawai di pulau Siberut pada masa lalu, kelahiran
merupakan peristiwa pribadi yang hanya dihadapai oleh suami dan ibu sang wanita yang
melahirkan, dengan suami sebagai penolong utama dari kelahiran anaknya. Pada
kebudayaan lainya, kelahiran masih tetap merupakan masalah pribadi, namun lebih
bersifat terbuka bagi kerabat terdekat yang dianggap mempunyai fungsi tertentu dalam
menghadapi peristiwa itu. Biasanya mereka adalah kerabat wanita yang sudah berumur
dan sudah biasa menghadapi peristiwa pesalinan.

Masyarakat Bali Aga di desa Trunyan, Bali memandang kelahiran sebagai hal yang
wajar dan bersifat”publik”. Kelahiran dianggap sebagai urusan laki-laki, karena dukun
bayi pria dan suami merupakan pemeran utama dari penolong persalinan. Berbeda
dengan masyarakat Krikati di brazilia tengah, handai tolan termasuk anak-anak bisa
berkerumun di depanpintu yang dibiarkan terbuka, untuk menyaksikan proses kelahiran
tersebut di luar ruangan. Meski demikian hanya dukun pria, suami, ibu kandung sang
wanita melahirkan, dan ank-anaknya yang lahir terdahulu saja yang berada di ruangan,
ditambah satu orang wanita lainnya atau lebih, yang ,mempunyai fungsi sebagai
pembantu persalinan apabila tenaganya diperlukan.

Para penolong dan cara-cara menolong persalinan merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan, karena diikat oleh kesaman pemahaman mengenai sifat dari proses
kelahiran itu dengan pengaruhnya terhadap kondisi bayi dan ibunya. Dalam proses
persalinan di lingkungan di masyarakat Bali Aga, wanita akan melahirkan duduk
dengan posisi bersandar pada dada balian tekuk(dukun beranak) di atas bangku.Sang
suami duduk tepat di hadapan isterinya, karena berfungsi sebagai penerima bayi pada
saat lahirnya. Diantara suami isteri terdapat lubang dangkal yang diberi alas untuk
menampung plasenta, air tembuni, dan darah yang keluar dari tubuh wanita yang
melahirkan. Disisi wanita itu, berdiri seorang gadis yang berfungsi untuk menarik
rambutnya, agar sang wanita yang melahirkan dapat tetap dalam posisi duduk tegak.
Tujuannya adalah untuk menjaga agar jiwanya dapat tetap diam dalam tubuhnya dan
tidak akan meninggalkannya. Sang balian tekun akan mengurutnya untuk membetulkan
posisi bayi bila terasa sungsang dalam perut ibunya. Namun bila proses kelahirran
tampak berjalan normal, ia tak kan berbuat apa-apa kecuali berfungsi sebagai tempat
bersandar sang wanita melahirkan dan memberikan ketenangan psikologis. Seorang
pelaku lain, balian usada hanya berperan apabila terjadi proses persalinan yang sulit. Ia
akan membacakan mantera-mantera dan doa, serta memberikan minuman air suci
kepada si ibu, lalu menyemburnya dengan ludah yang dicampur kunyahan daun sirih.
Para pelaku, khususnya sang gadis, senantiasa mengusahakan agar si ibu tidak pingsan,
karena hal itu dianggap dapat menyebabkan kematiannya. Sementara itu, ibu dari
wanita yang melahirkan turut berada di ruangan yang sama untuk memberikan
ketenangan bathin bagi putrinya yang sedang dalam proses melahirkan. Selama proses
pertolongan persalinan, diyakini oleh semua pelaku bahwa selama ari-ari belum keluar,
tali pusat tak boleh dipotong karena kuatir akan tertarik kembali ke dalam rahim sang
ibu. Dari segi kedokteran hal dianggap membahayakan karena pedarahan pada ari-ari
dapat menyebabkan perdarahan pada bayi pula. Setelah ari-ari keluar, ayah sang bayi
memotong tali pusat anaknya dan para pelaku lain mulai sibuk mengambil air hangat
dan rempah-rempah. Sementara itu tugas dukun bayi dan ayah sang bayi masih
berlanjut dengan upacara untuk merawat dan membungkus plasenta, darah, air tembuni
dan tali pusat sang bayi, untuk digantungkan pada tempat khusus yang disediakan untuk
keperluan itu, di bagian selatan induk trunyan. Uraian tersebut menunjukkan interaksi
antara aspek budaya dan aspek sosial yang terwujud dalam kegiatan menolong
persalinan yang dilakukan oleh para pelaku, masing-masing dengan peran dan tugasnya
selama proses persalinan berlangsung, tidak saja bagi sang bayi, melainkan juga bagi
perawatan plasentanya. Kerjasama yang terpola itu dilandasi oleh pengetahuan budaya
yang sama mengenai sifat-sifat dan fisiologi kelahiran.

Citra tentang wanita, pandangan budaya mengenai organ reproduksi dan


penanganan plasenta. Dalam banyak kebudayaan di berbagai penjuru dunia citra tentang
wanita dan pandangan budaya mengenai bentuk, sifat dan fungsi organ reproduksi
maupun pandangan budaya mengenai plasenta mendorong berbagai perilaku tertentu
dalam menghadapi kehamilan dan kelahiran bayi. Citra tentang wanita : Ibu dan istri.
Banyak suku bangsa di dunia khususnya dunia ketiga beranggapan bahwa kemampuan
melahirkan bayi merupakan suatu tolok ukur bagi seorang istri untuk menunjukkan
keberhasilannya dalam tugas budayanya untuk mempersembahkan keturunan bagi
suaminya. Di lingkungan yang mempunyai budaya seperti itu, mempunyai anak segera
setelah pernikahan merupakan tujuan utama dari perkawinan. Di Bangladesh pandangan
serupa juga ditemukan, pengantin baru diharapkan untuk segera mempunyai anak untuk
membuktikan kesuburan mereka dan untuk mengesahkan mereka dalam keluarga,
karena status sebagai ibu lebih tinggi dari status sebagai istri. Di samping itu status
sebagai ibu memberikan lebih banyak kebebasan untuk keluar rumah dan
mempraktekkan hak-hak mereka. Keinginan untuk segera memiliki anak mendorong
terwujudnya cara-cara budaya dalam mengupayakan kelahiran anak. Lucille Newman
menghimpun sejumlah tulisan mengenai berbagai kebudayaan di Asia, Amerika Tengah
dan Selatan, yang berkenaan dengan pengetahuan dan cara-cara budaya untuk mengatur
kesuburan dengan tujuan mendapatkan bayi, membatasi kelahiran bayi dan berbagai
pertimbangan tertentu. Di pihak lain citra tentang wanita dalam kaitannya dengan tugas
budaya mereka tidak selalu mendorong disukainya kelahiran anak tambanhan, setelah
lahirnya beberapa anak. Tidak disukainya tambahan anak tidak selalu disebabkan oleh
faktor sosial ekonomiyang dari segi tenaga dan biaya tidak menguntungkan untuk
merawat seorang bayi lagi. Dalam masyarakat Dan di Kecamatan Kurulu Lembah
Baliem Papua misalnya tugas budaya yang utama bagi wanita dan yang dianggap amat
penting adalah melakukan kegiatan mata pencaharian yakni menghasilkan ubi jalar dan
babi. Sehingga tambhan anak cenderung tidak disukai karena dianggap mengganggu
tugas mereka di ladang. Keadaan ini sering mendorong untuk melakukan aborsi
tradisionalyang menyebabkan resiko yang buruk.

Pandangan budaya terhadap organ reproduksi, masa pembuahan dan ngidam.


Perubahan fisiologi terjadi pada wanita hamil dan hal ini umumnya diterima secara
wajar. Meskipun demikian respons masyarakat terhadap reaksi fisiologi saat
pembentukan janin berbeda-beda. Munculnya rasa mual dan muntah dipahami dengan
berbagai respons budaya. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikenal sejumlah
respons budaya yang umum dikenal dengan istilah ngidam, antara lain berupa keinginan
ibu untuk makan makanan yang rasanya asam, makan jenis-jenis makanan tertentu,
makan makanan yang tidak lazim di makan seperti tanah lempung atau keinginan
menyaksikan atau melakukan perbuatan tertentu walaupun kurang pantas menurut
norma yang berlaku. Suku Jawa dan Sunda berkeyakinan bahwa kegagalan para kerabat
memenuhi keinginan ngidam dari wanita hamil sebagai hal yang akan mengakibatkan
bayinya kelak akan terus menerus melelehkan air liurnya. Pandangan budaya mengenai
plasenta. Pada masyarakat Indonesia dan Malaysia plasenta dianggap sebagai saudara
sang bayi, sehingga harus diperlakukan dengan cara yang baik. Plasenta tidak selalu
dikuburkan melainkan ditenggelamkan ke laut. Pada kebudayaan- kebudayaan tertentu
di dalam wadah yang berisi plasenta bayi diletakkan pula bahan-bahan ramuan atau
benda-benda lain yang secara simbolik dianggap sebagai barang kebutuhan saudara si
bayi dalam kehidupan di dunianya yang ghoib.

B. ASPEK BUDAYA

Sebagai makhluk biologi manusia dipelajari dalam ilmu biologi atau anatomi dan
sebagai makhluk sosio budaya manusia dipelajari dalam anthropologi budaya, yaitu
tentang seluruh cara hidup manusia, bagaimana manusia dengan akal budinya dan
struktur fisiknya dapat mengubah lingkungan berdasarkan pengalamannya.
Kebudayanan manusia menganalisis masalah-masalah hidup sosial-kebudayaan manusia
dan memberi wawasan bahwa hanya manusialah yang mampu berkebudayaan. Seperti
halnya pada ritus penyambutan bayi lahir pada suku Rimbo di Jambi. Pada masyarakat
Rimbo lahirnya seorang anak berarti kelangsungan hidup generasinya terjamin, begitu
juga perkembangan mreka tetap terpelihara tetapi kenyataannya sering terjadi peristiwa
di luar jangkauan kemampuan manusia, seperti kematian, bahkan mati bayinya atau
ibunya. Keadaan ini membuat orang rimbo diliputi oleh hal-hal yang menggelisahkan
dan tidak menentramkan hidupnya. Kemudian mereka mencari sandaran yang dapat
enghilangkan kegelisahan, yang berasal dari bantuan yang luar biasa di atas segala
kemampuan manusia dengan diadakan upacara keagamaan khusus. Upacara dimulai
sejak ibu mengandung delapan bulan yaitu dengan menyerahkan kepada dukun bayi
yang biasanya juga merangkap orang alim, hal ini dilakukna karena orang rimbo
berpengalaman bahwa umur kandungan delapan bulan merupakan umur yang kritis,
sering terjadi hal-hal yang diluar dugaan manusia, dengan diserahkan ibu ke dalam
pengawasan dukun bayi/orang alim yang dianggap ahli kandungan ibu tersebut akan
terjaga dan selamat. Selanjutnya alim memerintahkan untuk membuat tempat khusus
dalam upacara penyambutan bayi yang akan lahir di suatu tempat yang disebut tanah
peranakan, yaitu suatu tempat yang datar, air cukup, ramu-ramuan yang diperlukan
banyak di tempat itu, mudah dujangkau, dan terlindung dari gangguan binatang buas.
Bangunan balai tersebut terdiri dari minimal tiga gubug, satu untuk suami istri yang
akan melahirkan, satu khusus untuk dukun bayi/alim, sati lagi agak besar unuk kerabat
dekat. Peralatan yang digunkan untuk upacara : bedaro putih untuk minuman bagi ibu
yang melahirkan agar mudah dalam persalinan, ramuramuan yang khusus dicari oleh
dukun, kemenyan untuk mengusir roh jahat, suluh damar untuk penerangan di malam
hari, bubuk kulit kayu tenggiris untuk menempel pada pusat bayi agat cepat kering,
makanan dan lauk-pauk untuk menjamu peserta upacara terutama ibu yang baru
melahirkan, tempat pembungkus bayi, senjata berupa tombak dan parang untuk
menangkal serangan yang mungkin terjadi. Setelah bayi lahir engan selamat maka
masing-masing sibuk dengan tugasnya masing-masing, ada yang bertugas menanam
bali(ari-ari) yang harus ditanam di tempat yang tidak mungkin digunakan untuk ladang
atau bangunan, sebagian yang lain membuat makanan dari ubi yang diparut dan dibubur
dengan dicampur hati atau daging, untuk makanan ibu yang baru melahirkan sisanya
untuk kerabat yang menyaksikan dan menunggu kelahiran bayi. Setelah sehari semalam
maka seluruh orang yang berada di tanah peranakan pulang ke rumah masing-masing,
bayinya cukup digendong dengan kain panjang tanpa bungkus dengan sesuatu benda
apapun dan mereka langsung bekerja termasuk ibu yang baru saja melahirkan
tadi.Kebiasaan ini kemungkinan menjadi penyebab banyak anak yang meninggal di
bawah lima tahun terutama tahun pertama. Menurut kepercayaan orang rimbo bila bayi
lahir dengan selamat dan kelahirannya di tanah peranakan dengan pertolongan orang
alim dan sudah diupacarakan, maka anak tersebut sudah lepas dari marabahaya untuk di
bawa kemanapun ibunya pergi. Rasa terlindungi oleh sang pencipta inilah yang
membuat mereka leluasa pergi membawa serta bayi yang baru lahir meskipun beru
berumur sehari semalam.

Masyarakat Kerinci Jambi, wanita hamil dilarang makan hamil agar bayinya tidak
berbulu sepeti rebung. Mereka juga dilarang makan jantung pisang agar anaknya lahir
tidak terlalu kecil, atau mengonsumsi senawa/jamur karena akan menyebabkan placenta
menjadi kembar sehingga mengalami kesulitan waktu melahirkan, alasan ini merupakan
keyakinan budaya.

Keyakinan lain pada masyarakat Keruak Lombok timur, wanita hamil dilarang
makan gurita, cumi, kepiting, udang dan ikan pari.Ikan gurita dan cumi dianggap
mempunyai kaki yang lekat dan mencengkeram, hal ini diasosiasikan ari-ari bayi akan
lekat dan mencengkeram rahim ibu sehingga bayi susah lahir.Makan udang yang
bentuknya melengkung dianggap akan menyebabkan bayi berbrntuk serupa sehingga
mempersulit kelahiran. Ikan pari yang hidungnya tajam akan menyebabkan bayi sulit
keluar, sementara kepiting menyebabkan bayi akan lebih dahulu keluar tangannya atau
letaknya melintang. Sebaliknya adapula makanan yang dianjurka karena dianggap baik
bagi wanita hamil, ia harus makan tanah kaken/lempung merah.Penduduk setempat juga
percaya bahwa pada saat hamil harus makan sebanyak-banyaknya dalam arti
kuantitas,bukan kualitas. Pada masyarakat Biak Numfor( Irian ), suami isteri yang
tengah menantikan kelahiran bayinya dilarang makan daging hewan tertentu
diantaranya kura-kura.

Pantangan yang hubungannya dengan asosiatif atau adat memantang yang


berhubungan dengan pantangan perbuatan atas dasar keyakinan sifat ghoib, karena
terdapat sejmlah pantangan perbuatan yang melarang wanita hamil dan suaminya
melakkan hal-al tertentu yang secara ghoib diaggap dapat berakibat buruk bagi beyi
mereka, sebagai contoh di Kemantan Kabupaten Kebalai.Seorang wanita hamil pantang
masuk hutan karena akan diintai harimau, pantang keluar waktu maghrib akan
menyebabkan beranak hantu, panting menjalin rambut bila keluar rumah akan
menyebabkan leher bayi terlilit tali pusatnya sendiri, pantang duduk di tanah atau di
batu, akan terjadi ketuban bumi/sulit melahirkan, pantang bernadzar yang hebat-hebat
karena kelak air liur bayinya akan meleleh terus.

Ada kepercayaan di Bali: kesulitan seorang wanita yang melahirkan berkaitan


dengan perbuatan suaminya sewaktu isterinya hamil, misalnya karena melanggar
pantangan untuk membuat atau menancapkan pagar, karenan sering memukul binatang
atau mencukur rambut. Larangan menyiksa hewan juga ditemukan pada banyak suku
bangsa seperti masyarakat Sakai, Jawa dan beberapa suku di Papua. Pada masyarakat
Sarmi ada larangan bagi suami dan isteri yang hamil untuk mengucapkan kata-kata
tertentu yang dianggap berkaitan dengan maut atau makan bersama anggota keluarga
yang baru pulang melayat. Pada masyarakat Marind Anim terdapat larangan bagi
seorang pria untuk menceritakan dongeng-dongeng yang dianggap sakral ketika
isterinya sedang hamil sampai melahirkan. Demikian pula masyarakat Riau dan Papua
terdapat larangan bagi suami isteri yang menantikan elahiran bayi untu melakukan
beberapa perbuatan tertentu seperti menebang dan membakar pohon, menanam tebu,
berburu, dan membicarakan cerita-cerita suci serta membelah puntung kayu yang masih
menyala.

Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses yang semata-
mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, karena pada saat itu, dari rahim sang
ibu keluar pula unsur-unsur yang biasanya dikategorikan sebagai unsur kotor, seperti
darah, air ketuban, tali pusat dan plasenta.Dari segi budaya, pengetian ”kotor” tidak
selalu mengacu pada arti harfiahnya, namun kotor dalam arti “duniawi”, sebagai lawan
dari sifat sakral, suci dan ghoib. Karena itu kebudayaan menetapkan bahwa proses
mengeluarkan unsur-unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat
yang sesuai untuk keperluan itu.disini dijlaskan bahwa pandangan masyarakat tentang
wilayah bersih yang tidak boleh dikotori, sedangkan melahirkan adalah proses
membuang nsur-unsur yang kotor, sehingga pilihan melahirkan ditetapkan di dapur
sebagai wilayah kotor, sebagian masyarakat Dayak Kenyah di Desa Long merah,
kalimantan timur, yang tinggal di ummaq dadog (Rumah komunal tradisional dengan
bilik-bilik yang berjajar) juga memilih dapur sebagai tempat melahirkan.Namun
alasannya lebih cenderung kepada faktor adat sopan santun.Bagian tengan rumah yang
disebut sinong terlalu terbuka bagi umum dan kurang memberikan suasana yang
dibutuhkan oleh wanita hamil untuk melahirkan bayinya, baik dari segi ketenangan
maupun adat sopan santun. Maka dapur sebagai satu-satunya bagian rumah yang
tertutup dan memberikan ruang pribadi yang dibutuhkan untuk melahirkan, menjadi
pilihan sebagai tempat melahirkan.

Menurut adat tradisional orang Mentawai di pulau Siberut, yang terutama dianut
scara etat di masa lalu, melahirkan dianggap sebagai kategori non sakral sehingga
kelahiran dilangsungkan di tempat yang sesuai untuk itu.ialah ladang yang bersifat
duniawi, yang merupakan salah satu dari pusat kehidupan selain desa dimana rumah-
rumah penduduk berada. Oleha karena itu sekitar seminggu sebelum sang wanita
melahirkan, ia akan dibawa oleh suami dan ibunya untuk tinggal di ladanga hingga
saatnya melahirkan. Meskipun pad masa kini kebudayaan orang Mentawai telah
mengalami perubahan, masih ada di pedalaman penduduk pulau siberut yang
menjalankan adat melahirkan berdasarkan konsep itu.

Pandangan budayan tentang lokasi melahirkan an sifatnya juga tidak sama dalam
berbagai kebudayan. Di Desa Trunyan, melihat kelahiran sebagai sifat terbuka untuk
dihadiri handai tolan.Namun tetap terdapat batasan dari norma-norma adat mengenai
siapa yang dapat dan tidak boleh berada di dalam ruangan. Suasana kelahiran bayi juga
dihadapi sebagai peristiws yang wajar secara alamiah, dan merupakan bagian dari
proses sosialisasi anak-anak setempat. Di dalam ruangan, para pelaku berperan sesuai
dengan tugasnya masing-masing, tap orang berada di tempatnya masingmasing sesuai
tugas yang ditentukan baginya dalam pertolongan persalinan.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pengadaadn tempat melahirkan dan


para pelaku pada kegiatan tersebut, termasuk tugas dan aturan masing-masing
ditetapkan secara budaya. Pertimbangan-pertimbangan tertentu yang bersifat kultural ini
kadang-kadang tidak mudah untuk diubah.

Tentang ramu-ramuan dalam proses kelahiran dan pasca persalinan, Setiap


kebudayaan memiliki kepercayaan mengenai berbagai ramuan atau bahan obat-obatan
yang dapat digunkan pada saat wanita hamil telah merasakan akan lahirnya sang
bayi.Umumnya bahan obat-obatan itu terdiri dari ramu-ramuan yang diracik dari
berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti daun-daunan, akar-akara, atau bahan-bahan lainnya
yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan.
Ramuan yang dianjurkan ole dukun bayi untuk diminum atau dimakan oleh calon ibu
bervariasi, sesuai dengan pengetahuan budaya setempat dan menurut ketersediaan
bahan-bahan di lingkungan sekitar. Di Bali, misalnya, balian manak menganjurkan
pasienya yang hamil tua untuk minm jamu daun waru atau minum air kelapa muda agar
kelak persalinannya lancar, juga dianjurkan minum air kelapa dari kelapa yang masih
sangat muda yang dicampur dengan madu dan kunyit dengan tujuan menambah tenaga.

Pada masyarakat Kerinci, walaupun jantung pisan dipantangkan selama sebagaian


besar dari masa hamil, saat memasuki usia kandungan 9 bulan, jantung pisang
merupakan bagian dari pelusuh(sarana untuk memperlancar lahirnya bayi)yang
diberikan, setelah sebelumnya diberi penawar berupa doa-doa oleh dukun dan dmakan
sebagai lauk nasi. Kemudian pada saat bayi hampir lahi, pelusuh terdii dari telur aam
mentah yang dikocok dengan campuran kopi atau sirih dengan perangkatnya(pinang,
gambir,dan kapur), yang diberi doa. Setelah ketuban pecah, ibun diberi minyak kelapa
untuk diminumkan. Tujuannya untuk memberi semangat kepada ibu, meskipun dari segi
kesehatan hal itu tidak jelas khasiatnya. Pada saat bayi telah lahir terdapat pula ramu-
ramuan yang ditujukan pada perawatan ibu melahirkan. Bahan-bahan ramuan itu
digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk mengembalikan tenaga, untuk
memperkuat tubuh ibu, mengembalikan fungsi-fungsi tubuh menjadi sebelum hamil,
membersihkan tubuh dari nifas dan zat-zat yang diangap kotr lainnya, serta
mengembalikan bentuk tubuh dalam konteks keindahan tubuh.
Jenis-jenis ramuan dan obat-obatan yang digunakan oleh setiap kelompok
masyarakat pada masa hamil, menjelang saat melahirkan dan sesudah bersalin
merupakan bahan –bahan yang berasal dari pengetahuan budaya masyarakat ang
bersangkutan.Sebagian diantaranya sudah digunkan secara turun temurun sejak
beberapa generasi. Namun dalam hal-hal tertentu tidak selalu bahan-bahan yang
digunakan berkhasiat menurut ilmu kesehatan atau mendukung tercapainya tujuan
kesehatan dengan baik.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pandangan budayawan tentang lokasi melahirkan dan sifatnya tidak sama dalam
berbagai kebudayan. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses
yang semata-mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, karena pada saat itu, dari
rahim sang ibu keluar pula unsur-unsur yang biasanya dikategorikan sebagai unsur
kotor, seperti darah, air ketuban, tali pusat dan plasenta. Tentang ramu-ramuan dalam
proses kelahiran dan pasca persalinan, Setiap kebudayaan memiliki kepercayaan
mengenai berbagai ramuan atau bahan obat-obatan yang dapat digunkan pada saat
wanita hamil telah merasakan akan lahirnya sang bayi.Umumnya bahan obat-obatan itu
terdiri dari ramu-ramuan yang diracik dari berbagai tumbuh-tumbuhan, seperti daun-
daunan, akar-akara, atau bahan-bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat
tubuh atau pelancar proses persalinan. Gambaran-gambaran di atas telah menunjukkan
interaksi antara aspek budaya dan aspek sosial yang terwujud dalam kegiatan menolong
persalinan yang dilakukan oleh para pelaku, masing-masing dengan peran dan tugasnya
selama proses persalinan berlangsung, tidak saja bagi sang bayi, melainkan juga bagi
perawatan plasentanya.

DAFTAR PUSTAKA

Prasetyo JT, Ilmu budaya dasar, Rineka cipta, Jakarta 2004. Muzaham F,
Memperkenalkan sosiologi kesehatan, UI-Pres , Jakarta 1995. Khoirudin H, Sosiologi
keluarga, Liberty, Yogyakarta, 2002. Mc Ghie A, Penerapan psikologi dalam
perawatan, yayasan essentia medika dan Andi, Yogyakarta, 1996. Mahmud A, Islam
dan realitas sosial di mata intelektual muslim Indonesia, Edi Indonesia Sinergi, Jakarta,
2005. Swasono MF, Kehamilan, keahiran, perawatan ibu dan bayi dalam konteks
budaya, UI-Press, Jakarta 1998. www.kompas.co.id/kesehatan/news/’bebaskan isteri
dari baby blues’ hal.3 diperoleh tgl 07/11/2007
Htt://situs.kesrepro.info/kia/des/2004/kia01.htm’faktor yang mempengaruhi
kehamilan”diperoleh tgl 07/11/2007 www.ui.ac.id/indonesia/main.php?
hlm=berita&id=2005-02-07, diperoleh tgl 07/11/200

Anda mungkin juga menyukai