Anda di halaman 1dari 22

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343211462

Kristalisasi Nilai Materialisme dalam Pembentukan Perilaku Konsumeristik di


Kalangan Masyarakat Perkotaan Banda Aceh

Article  in  Kontekstualita · July 2019


DOI: 10.30631/kontekstualita.v34il.166

CITATIONS READS

0 880

2 authors:

Syamsul Rijal Umiarso Umiarso


Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Indonesia, Banda Aceh University of Muhammadiyah Malang
10 PUBLICATIONS   7 CITATIONS    19 PUBLICATIONS   15 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Syamsul Rijal on 21 August 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KONTEKSTUALITA p-ISSN: 1979-598X
Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan e-ISSN: 2548-1770
Vol. 34 No. 1, Juli 2019 (hlm. 60-80)
DOI: 10.30631/kontekstualita.v34il.166

Kristalisasi Nilai Materialisme dalam Pembentukan Perilaku


Konsumeristik di Kalangan Masyarakat Perkotaan Banda Aceh

Crystallization of the Value of Materialism in the Formation of


Consumeristic Behavior among the Banda Aceh Urban
Communities
Umiarso1 dan Syamsul Rijal2
1Universitas Muhammadiyah Malang
2Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Aceh

umiarso@umm.ac.id1, literasi.syamsulrijal@ar-raniry.ac.id2

Abstrak: Manusia modern saat ini mulai terjebak dalam kehidupan serba material
yang dipengaruhi oleh suatu paham yang dikembangkan oleh Karl Marx. Paham
materialis ini hanya menyandarkan diri pada hal-hal kebendaan saja dan menolak
segala bentuk pemikiran yang mengarah pada spiritualitas. Sikap hidup dengan
orientasi materialis akan mendorong seseorang cenderung konsumtif demi
mendapatkan kesenangan dan kepuasaan. Kecendrungan tersebut sudah
merasuki sebagian besar masyarakat dunia tidak terkecuali masyarakat Kota
Banda Aceh. Artikel ini membahas perilaku konsumtif yang cenderung hedonis
sebagai dampak internalisasi nila-nilai materialisme sehingga mengabaikan spirit
sosial-keagamaan pada masyarakat Kota Banda Aceh. Didasarkan pada
pengamatan lapangan serta wawancara, artikel ini berargumen bahwa tumbuh
suburnya perilaku hidup konsumtif akan mendorong munculnya pengingkaran
terhadap nilai-nilai agama dan hukum yang berlaku sehingga perlu dieliminir
sedapat mungkin agar terciptanya masyarakat yang sehat dari penyakit sosial.
Kata Kunci: materialisme, konsumerisme, sosial-keagamaan
Abstract: Modern humans are now trapped in material life which is influenced by
an understanding developed by Karl Marx. This materialist understanding only
relies on material things and rejects all forms of thought that lead to spirituality.
Attitudes of life with a materialist orientation will encourage someone to be
consumptive in order to get pleasure and satisfaction. This tendency has
permeated most of the world community, including the people of Banda Aceh City.
This article discusses consumptive behaviors that tend to be hedonic as a result of
the internalization of the values of materialism so that it ignores the socio-
religious spirit in the people of Banda Aceh City. Based on field observations and
interviews, this article argues that the flourishing of consumptive life behavior will
encourage the emergence of denial of religious values and applicable laws so that
they need to be eliminated wherever possible in order to create a healthy society
from social ills.
Keywords: materialism, consumerism, social-religion

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 60


Pendahuluan
Pengaruh modernisasi yang serba instan telah membuat masyarakat memudahkan
segala cara untuk mencapai kenikmatan sesaat, tidak terkecuali kondisi seperti ini juga
sudah merambah gaya hidup masyarakat Aceh. Hal ini tidak lepas dari tata kehidupan
materialistik yang banyak didengungkan oleh kalangan pemikir, salah satunya adalah
Karl Marx. Ia dengan pemikiran filosofis materialistik membangun ajaran-ajarannya
yang melihat fenomena dari fakta yang tampak (materialistik) dan mengingkari varian
yang bersifat spiritualitas.1 Lazim apabila ia sangat mengingkari varian-varian yang
bersifat imajinatif-adi kodrati sebagai nomena yang bersanding lurus dengan fenomena.
Bakan manusia semakin terasing dengan dirinya sendiri.2
Modernisasi yang sekarang menjadi bagian dari kehidupan manusia cenderung
memiliki landasan orientasi materialistik sebagai nilai normatif tata masyarakat
modern. Hal ini pada akhirnya mendorong manusia pada sikap dan perilaku konsumtif
untuk memenuhi segala kebutuhan diri mereka. Lambat laun, masyarakat mengalami
perubahan yang secara asumtif bisa dikatakan, perubahan pada masyarakat di dunia ini
merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke bagian-
bagian lain dari dunia. 3 Dengan demikian, diantara pengaruh yang sangat nyata adalah
persaingan yang semakin tajam dan perubahan masa sekarang dan masa akan datang
yang tidak hanya konstan, tetapi berubah menjadi pesat, radikal, dan serentak.
Namun ada varian perubahan yang sangat menyesakkan dada yaitu proses
sistemik dan masif yang terjadi pada kehidupan manusia. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mansour Fakih4 bahwa proses dehumanisasi yang terjadi akibat dari
neoliberalisme yang percaya bahwa hasil normal dari “kompetisi bebas”. Kompetisi
yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar bebas” adalah lebih efisien
dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumberdaya rakyat yang langka untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Dari kerangka ini lahir sikap konsumtif pada diri
manusia sebagai suatu konsekuensi dari propaganda sistemik budaya yang dikonstruksi
oleh neoliberalisme. Wajar apabila budaya tersebut memiliki karakteristik yang
berorientasi pada arus hedonistik-pragmatis sebagai ciri khas dari liberalisme-
modernistik.
Keadaan yang demikian tersebut juga mencengkram masyarakat Banda Aceh.
Sebelum tsunami jumlah rumah mewah masih belum kentara terlihat, begitu juga
dengan kendaraan bermotor yang masih minim dibandingkan dengan kuantitas yang

61 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


sekarang. Dampak dari tingginya jumlah kenderaan bermotor tersebut mengakibatkan
angka kemacetan semakin tinggi dengan tidak berbandingnya luas jalan raya yang ada.
Di satu sisi pertumbuhan kualitas budaya konsumtif mendorong masyarakat daerah
tersebut melebelkan dirinya sebagai masyarakat yang fashionable; termasuk,
sebagaimana riset Mawaddah5 atau Istiani, 6 dalam perilaku keagamaan. Beragam corak
mode pakaian serta perhiasan dan gadget terus menerus membanjiri pangsa pasar
masyarakat tersebut yang dikamuflase dengan ragam promo, diskon dan penawaran
yang menggiurkan. Dalam salah satu riset gaya kehidupan ini sering dikatakan sebagai
komoditas baru dalam kapitalisme. 7 Wajar apabila masyarakat Aceh yang tergolong
sebagai masyarakat urban merupakan masyarakat yang menghasilkan bentuk estetika
fashion. 8
Peluang tersebut juga didukung oleh penempatan Banda Aceh sebagai wilayah
dengan otonomi khusus, sehingga memungkinkan ia mampu untuk mengelola keuangan
yang jauh lebih besar dibandingkan ketika masih belum jadi wilayah istimewa.
Implikasinya, pemerintahan Aceh lebih leluasa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
mampu menarik investasi ke daerah tersebut. Para pelaku bisnis mulai melirik Banda
Aceh sebagai tempat yang menjanjikan bagi pendirian pusat-pusat perbelanjaan, hotel
dan restoran cepat saji. Tersedianya berbagai tempat tersebut dengan berbagai servis
yang ditawarkan, maka menimbulkan hasrat masyarakat untuk dapat menikmati dan
merasakannya. Lalu dengan berbagai cara kenikmatan hidup yang ditawarkan akan
diusahakan untuk dinikmati melalui penawaran-penawaran yang menggiurkan. Dalam
masyarakat serba glamor inilah akan tumbuh pribadi konsumtif dengan
mengedepankan jiwa yang materialistis.9 Pola kehidupan yang demikian akhirnya
menyebabkan sendi kehidupan masyarakat Banda Aceh terus mengalami pendangkalan
pada sisi spiritualitas, bahkan mengalami alinasi terhadap hakikat dirinya sebagai
makhluk yang berketuhanan.
Dalam situasi masyarakat yang konsumtif, maka pemerintah harus dapat
meciptakan lapangan pekerjaan untuk menumbuhkan penguatan ekonomi di
masyarakat kelas menengah dan bawah. Ketika hal tersebut tidak terwujud, maka akan
memunculkan problem baru, yaitu tingginya angka kemiskinan dan kriminalitas akibat
kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dengan rendahnya pendapatan.
Di tengah gempuran gaya hidup materialiatis yang konsumtif sebagai masyarakat
yang hidup dalam bingkai religi dan mayoritas beragama Islam, maka perlu

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 62


ditumbuhkan sikap hidup yang mengarah pada panduan ajaran agama Islam, agar
masyarakat terbebas dari ambisi duniawi yang menjurus pada krisis iman dan moral 10
dan menemukan “kebenaran” hakiki. 11
Memang seharusnya pandangan hidup materialistis yang mengarah pada hedonis
di tengah zaman globalisasi ini, perlu disikapi dengan sikap arif penuh kebijaksanaan.
Bagaimanapun pola hidup ini telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan umat
manusia tanpa peduli asal dan suku manusia tersebut. Sebagai salah satu isu global,
maka yang perlu dilakukan adalah membentengi diri agar tidak terjerumus dalam unsur
negatif yang ditawarkan dari gaya hidup ini. Maka penguatan Aqidah Islamiah dan
penanaman nilai-nilai agama sejak dini serta menambalkan gaya hidup yang mengarah
religiusitas menjadi sangat urgen bagi masyarakat Aceh sekarang ini. Nadjib12
menyebutkan bahwa longgarnya pemahaman terhadap agama dan etika membentuk
sifat dan karakter yang pemissif, foya-foya, dan boros. Ini artinya, agama mampu
menjadi banteng terhadap pembentukan gaya hidup hedonis dan materialistik.
Kajian terkait materislisme dan konsumerisme di dalam masyarakat yang ada
relevansinya dengan kehidupan keagamaan masyarakat telah banyak dilakukan
sebelumnya, Husna13 misalnya yang melakukan kajian tentang orientasi materialisme
dari sudut pandang psikologi berdasarkan sejumlah teori materialisme, hubungan
negatif antara materialisme dan kesejahteraan psikologis, sejumlah hal yang menjadi
konsekuensi dari materialisme, faktor-faktor yang mempengaruhi materialisme.
Sementara Saifulloh14 dalam penelitiannya menawarkanTasawuf sebagai solusi
alternatif dalam problematika modernitasmengingat manusia modern sangat kaya
akan fasilitas kehidupan serba ada,.tetapi miskin dan kering dengan siraman nilai-nilai
ketuhanan disisi spiritualitas. Sehingga, kecerdasan yang dimiliki manusia sekarang tak
punya makna apapun, kecuali sebagai ancaman bagi kehidupan dan peradaban manusia
sendiri. Di sisi yang lain, tulisan dari Fromm15 tentang “Konsep Manusia Menurut Marx”
yang salah satu bab mengkaji tentang konsep alienasi yaitu suatu konsep yang
mendeskripsikan keterasingan manusia atas hakikat dirinya sampai ia sendiri
menghamba pada fakta yang ia ciptakan sendiri.
Terkait konsumerisme, Santoso16 mencoba menelaah pengaruh konsumerisme
dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat perkotaan, senada puladengan
Fukuyama17.Mereka memberikan suatu tesis bahwa manusia pada saat ini tidak bisa
memisahkan antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya, i juga memberikan

63 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


kepastian pada alur riset ini, budaya materialisme merupakan kesesuaian dan kepastian
antara budaya konsumtif di dalam masyarakat.
Ada pula beberapa tulisan yang menjadi suatu kerangka utama dalam riset ini,
antara lain: tulisan Giddens18 tentang “Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan: Masa Depan
Politik Radikal”; Zubaedi19 tentang “Islam & Benturan Peradaban: Dialog Filsafat Barat
dengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama’; Giddens20 “Beyond Left and Right:
Tarian “Ideologi Alternatif” di atas Pusara Sosialisme dan Kapitalisme”; dan Masdar21
“Agama Kolonial: Kolonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal” merupakan tulisan-
tulisan yang dijadikan lokus atau pijakan utama dalam riset ini. Dengan arus yang
demikian tersebut jelas, riset ini memfokuskan pada kerangka besar dari dampak
kehidupan materialistis terhadap gaya hidup konsumerisme pada masyarakat Banda
Aceh.

Fokus dan Metode Penelitian


Atas dasar realias sebagaimanayang telah dipaparkan di pembahasan sebelumnya, riset
ini mengangkat permasalahan tentang dampak kehidupan materialistis terhadap gaya
hidup konsumtif pada masyarakat Banda Aceh. Di sisi yang lain, riset ini juga
memfokuskan pada spirit sosial-keagamaan kehidupan masyarakat Banda Aceh yang
makin lama mengalami anomali. Oleh sebab itu, riset ini menggunakan pendekatan
kualitatif yang perhatiaannya lebih banyak ditujukan pada pembentukan teori
substantif berdasarkan dari konsep-konsep yang muncul dari data empiris.
Informannya penulis menentukan dengan tehnik purposive berdasarkan ciri-ciri atau
karakteristik tertentu. Berdasarkan tehnik ini, maka yang menjadi informan adalah
tokoh masyarakat (kiai/ustadz, pastor, kepala rumah tangga yang reatif kaya dan
miskin), tokoh di lingkungan birokrasi (kepolisian, aparatur kecamatan dan desa), dan
beberapa pakar atau akademisi di lingkungan perguruan tinggi (dosen, mahasiwa, dan
tenaga kependidikan). Jelasnya riset di dalam mengumpulkan data menggunakan tehnik
wawancara mendalam dan observasi partisipan, dengan analisa data yang digunakan
adalah model analisa data interaktif milik Miles dan Hubermann.

Materalisme dan Pengaruhnya Terhadap Sikap Hidup Konsumerisme


Materialisme adalah aliran yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada adalah
benda yang kongkrit dan bukan abstrak. Suatu benda atau aktivitas dianggap memiliki
nilai karena ada manfaat secara materi; bahkan ia menjadikan pencapaian materi

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 64


sebagai bentuk kejayaan. 22 Materialisme lebih mengarah pada kehidupan ekonomi,
sebab perhitungan yang muncul kemudian adalah materi, sedangkan materi sangat
identik dengan ekonomi, uang dan kebendaan. Penekanan pada nilai materi
mengarahkan orang pada berpikir yang ada untungnya dengan melepaskan diri dari hal-
hal yang bersifat spiritual.
Materialisme berasal dari bahasa Latin, yaitu materia yang berarti bahan atau
bahan untuk menyusun sesuatu.23 Secara istilah materialisme dapat diberi definisi,
antara lain: pertama, materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi
sendiri yang ada, dan materi yang bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk
alam, dan yang dikatakan akal, pikiran serta kesadaran manusia, termasuk didalamnya
segala proses psikal (sesuatu yang tidak tampak, seperti jiwa, roh, ide) merupakan
mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik atau materi
yang bergerak. Kedua, bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya
dengan sains fisik. 24 Oleh karena itu, materialisme berpendirian bahwa pada hakikatnya
segala sesuatu itu adalah bahan belaka atau materi. 25
Di zaman modern, paham materialis ini dikembangkan oleh Karl Marx yang
kemudian membius banyak orang untuk mengikutinya. Ia menganggap transformasi
sosial dan historikal yang terjadi di masyarakat merupakan refleksi dari arus
transformasi ekonomi masyarakat. 26 Paham tersebut terus berkembang hingga abad
modern. Dalam pandangan materialisme modern menyatakan bahwa alam itu
merupakan kesatuan materi yang tidak terbatas, dan alam temasuk didalamnya segala
materi dan energi (gerak dan tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan bahwa alam
adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material, dan objektif yang dapat diketahui
oleh semua manusia. Materialisme modern mengatakan bahwa materi itu ada sebelum
jiwa, dan dunia material adalah yang pertama. 27
Kaum materialisme berkeyakinan bahwa tidak ada sesuatu selain materi itu
sendiri, apa yang disebut dengan pikiran, roh, kesadaran dan jiwa, tidak lain adalah
materi yang sedang bergerak. 28 Dalam kajian filsafat nilai, penempatan materi bagi
sebab segala sesuatu yang bernilai dalam kehidupan kemasyarakatan, satu-satunya
yang nyata adalah adanya masyarakat. Kesadaran masyarakat merupakan ide, teori, dan
pandangan mereka yang hanya mewujudkan suatu gambar-cermin dari apa yang nyata.
Ibarat kita bercermin, wujud kita yang ada dalam cermin itu bukan yang nyata, tetapi
pantulan dari yang nyata. Oleh karena itu, dalam memahami daya-daya pendorong dan

65 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


perkembangan yang ada di dalam kehidupan kemasyarakatan, jangan berdasarkan pada
ide-ide dan teori-teori masyarakat itu, sebab semuanya itu hanya gambaran-gambaran
dari hal yang nyata. Untuk mencari daya pendorong kehidupan kemasyarakatan harus
berdasarkan materi, yaitu cara memproduksi barang-barang materi, seperti mesin dan
alat-alat kerja lainnya. Karena alat-alat produksi tersebut yang menentukan
perkembangan kehidupan kemasyarakatan. 29
Konsumerisme sendiri menjadi paradigma manusia untuk berperilaku konsumtif,
dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu: Pertama, pendapatan saat ini membuat konsumen
memutuskan untuk membelanjakan berdasarkan anggaran yang ada; Kedua, kekayaan
yang berasal dari tabungan masa lalu yang telah tersimpan dalam jumlah besar,
membuat sipemilik tabungan dapat dengan leluasa membelanjakan uangnya, jika
pendapatnya semakin banyak maka tingkat konsumtifnya menjadi tinggi, sebaliknya
jika pendapatnya menurun maka akan dikurangi; dan Ketiga, faktor yang sangat
mempengaruhi manusia lekat dengan budaya konsumtif adalah adanya variable wealth.
Upaya untuk meredam tingkat konsumerisme masyarakat Indonesia juga
masyarakat di kota Banda Aceh telah dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan
perhatian terkait masalah pangan juga konsumen melalui peraturan regulasi barang
juga pengawasan konsumen. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Koonsumen,
UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, PP RI No. 28 Tahun 2008 Tentang Keamanan,
Mutu dan Gizi Pangan, PP RI No. 58 Tahun 2001 Tahun Tentang Pembinaan dan
Pengawasan Perlindungan Konsumen, Keppres RI No. 103 Tahun 2001 Tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Kep Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan No
02592/B/SK/VIII/911 Tentang Penggunaan Bahan Tambahan Makanan. Akan tetapi
harus diakui bahwa semua aturan ini masih belum sepenuhnya mengurangi gaya hidup
konsumtif yang timbul dikalangan masyarakat Indonesia.30
Pola hidup konsumerisme mencerminkan situasi masyarakat yang sedang sakit
atau dengan kata lain sedang mengalami benturan kebudayaan. Modernisasi dipahami
salah dengan menempatkan gaya hidup materialis sebagai ukuran nilai kebahagiaan
dan kesenangan. Ada sebagian orang beranggapan bahwa derajat hidupnya semakin
tinggi jika orang tersebut memiliki harta yang banyak, memakan makanan yang serba
impor, berbelanja pakaian ala desainer ternama dan hidup dengan gaya glamor;
faktanya simbol kemodernan adalah Barat, sehingga standarnya adalah Barat,

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 66


sebagaimana kesimpulan riset Larasati.31 Situasi ini akan mendorong pengakuan
masyarakat terhadap eksistensi dirinya sebagai orang yang hebat. Untuk mencapai
derajat ini maka tidak segan-segan seseorang melakukan apa saja agar memperoleh
uang yang banyak walaupun dengan jalan yang haram, agar mendapatkan kekayaan
berlimpah demi mendapatkan pujian sebagai orang yang berhasil di segala bidang.
Globalisasi yang membuat dunia yang besar menjadi kecil dan cepatnya arus
informasi masuk keberbagai wilayah, jarak jauh menjadi dekat, sehingga orang menjadi
satu dalam perbedaan, tentu membawa dampak besar terhadap gaya hidup orang lain
yang kemudian diterima oleh orang lain sebagai sesuatu yang hebat. Apalagi gaya hidup
orang yang dianggap lebih moderen seperti bangsa Barat, akan diikuti oleh orang Timur
apa adanya supaya disejajarkan dengan orang Barat yang dikenal maju. Jika yang diikuti
itu baik maka tidak menjadi masalah, tetapi apabila yang diikuti tersebut bertentangan
dengan nilai-nilai moral masyarakat setempat, disinilah muncul benturan peradaban,
yang dapat mengakibatkan suatu bangsa kehilangan identitas dirinya, bahkan
kehilangan asset bangsa berupa generasi muda yang tanggung dengan segala macam
terpaan gaya hidup merusak diri sendiri dan orang lain.
Dalam kajian filsafat Barat modern dikenal seorang filsuf Prancis Rene Descates
yang dikenal dengan semboyan berpikirnya, Cogito Ergo Sum (Saya berpikir maka saya
ada),32 tetapi kalau semboyan itu diterapkan di zaman sekarang ini maka bukan
berpikir yang diutamakan tetapi berbelanja, sehingga semboyannya harus dibalik
menjadi Emo Ergo Sum (Saya berbelanja, maka saya ada). Mengingat tingginya
masyarakat yang konsumerisme maka istilah ini sangat tepat dilabelkan pada sikap
hidup masyarakat sekarang ini.

Masyarakat Kota dalam Ancaman Konsumerisme


Masyarakat kota Banda Aceh hari ini disuguhi dengan gaya hidup penuh relaksasi di
tempat-tempat santai seperti cafe, pusat pembelanjaan dan taman-taman rekreasi yang
tumbuh bagai jamur di musim hujan. Sangat mudah menemukan tempat minum kopi
yang didesain ala sangat indah serta menarik diseputar kota Banda Aceh. Letak cafe-
cafe itupun sangat berdekatan antara satu dengan yang lain, sehingga mudah didatangi
dan dijangkau. Bukan saja cafe-cafe ala bar yang bertaburan dikota Banda Aceh,
berbagai macam kuliner lain dari berbagai provinsi di Indonesia bahkan restoran
Internasional sudah dapat dijumpai di kota Banda Aceh. Di samping itu kota Banda Aceh

67 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


juga sudah dipenuhi oleh pusat pembelajaan seperti Hermes Palace Mall, yang
dilengkapi dengan pakaian murah dan barang-barang menarik lainnya. Bukan hanya itu
saja disetiap pinggiran jalan raya dipenuhi oleh berbagai jajanan yang mengiurkan dan
membuat orang terpengaruh untuk menikmatinya.
Tentu saja keberadaan cafe, mall, restoran ternama akan menarik perhatian
masyarakat untuk mendatangi dan mencicipi makanan serta fashion yang
diperjualbelikan. Untuk membeli barang-barang tersebut dibutuhkan uang yang
banyak, sehingga para remaja, kaum ibu dan bapak berusaha sedapat mungkin memiliki
barang-barang yang diinginkan. Sayangnya kondisi ekonomi masyarakat yang masih
kategori menengah ke bawah, semakin mempersempit ruang gerak dalam pengelolaan
keuangan. Di tengah gempuran budaya konsumtif, membuat masyarakat menjadi
ambisius melakukan segala cara agar mendapatkan kehidupan yang penuh kenikmatan.
Gaya hidup konsumtif menjadi ancaman besar bagi generasi muda yang sedang
bekerja keras untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Bagaimana tidak waktu yang
seharusnya digunakan untuk belajar, malah dihabiskan hanya untuk duduk-duduk
menikmati kopi dan makanan favorit dicafe-cafe yang tersebar di sekitar kota Banda
Aceh. Bahkan diakui oleh Andi seorang mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi Negeri
di Banda Aceh, kalau setiap malam ia berada di cafe untuk nongkrong, makan dan
minum kopi. Aktivitas tersebut ia lakukan hingga berjam-jam dari sore hingga dini hari,
dan aktivitas itu dilakukan hampir setiap malam. Pola tidurnya pun bukan lagi pola
tidur ideal, sehingga aktivitas perkuliahan menjadi tidak efektif. Tidak jarang ia pergi
ke kampus dengan mata yang mengantuk dan kelelahan, sehingga kurang mampu
berkonsentrasi dalam aktivitas perkuliahan.
Andi bukan satu-satunya mahasiswa yang terpengaruh dengan gaya hidup
konsumtif dan terlena dengan kehidupan malam, ada banyak kawan Andi yang sudah
hidup tidak menentu lagi. Tidak jarang kehidupan anak-anak muda ini terjebak dalam
sex bebas dan narkoba. Menurutnya kecendrungan untuk tergoda dengan sex bebas dan
narkoba sangat besar, semua terpulang pada diri orang tersebut. Ia masih bersyukur
belum terpengaruh dengan sex bebas dan narkoba, tetapi yang sangat sulit dilepaskan
oleh Andi sekarang adalah kebiasaan bergadang di cafe pada malam hari. Dijelaskan
oleh Andi, bahwa prestasi belajarnya sangat menurun selama ini, hidup bagai tidak
terarah dan tanpa tujuan. Waktu dihabiskan hanya untuk bermain-main saja, tidak lagi
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, terbuang begitu saja karena pengaruh gaya

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 68


hidup konsumtif yang mengarah pada hedonis. Kebiasaan menghabiskan waktu di cafe,
restoran dan Mall tidak saja menghinggapi kaum laki-laki, juga mempengaruhi kaum
perempuan. Fenomena seperti itu dapat ditemukan dengan mudah.
Pusat-pusat perbelanjaan juga dipenuhi oleh kaum laki-laki dan perempuan, dari
yang muda dan sampai yang tua. Meskipun dalam hal berbelanja fashion kaum
perempuan lebih dominan daripada laki-laki. Tingkat konsumerisme dalam bidang
fashion sudah sangat tinggi di kota Banda Aceh, kenyataan tersebut dapat dilihat dari
model pakaian yang berubah hampir setiap hari. Perubahan model yang cepat
menandakan bahwa tingkat permintaan konsumen sangat tinggi untuk pengadaan
pakaian. Meskipun harga pakaian tersebut sangat mahal, tetapi daya beli dari
masyarakat tetap ada, hal ini dipengaruhi oleh keinginan yang besar dari konsumen
terutama ibu-ibu dan remaja puteri agar dapat memiliki pakaian tersebut
bagaimanapun caranya. Akibat gaya hidup konsumtif ini berdampak pada pergeseran
nilai-nilai moral terutama bagi kaum remaja juga kepada kaum perempuan.
Sebagaimana cerita ibu Lia yang sudah terpengaruh dengan gaya hidup
materialistis dan konsumerisme mulai berubah sikapnya yang dulunya seorang ibu
rumah tangga yang baik dan lugu, menjadi berubah perempuan nakal yang mau
berhubungan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Kondisi rumah tangganya
secara ekonomi memang dapat dikategorikan kurang, karena suaminya hanya seorang
buruh antar barang di salah satu perusahaan swasta. Kondisi ekonomi yang pas-pasan
sebenarnya bukan menjadi masalah baginya untuk hidup bahagia bersama suaminya,
sebab Dia seorang istri yang produktif dan siap bekerja sampingan membantu
keuangan suaminya dengan bekerja apa saja dari berjualan baju, gorengan, dan menjadi
agen barang-barang elektronik. Semua dilakukan demi mencukupi kebutuhan keluarga,
tanpa mengenal lelah atau komplain pada suaminya. Sampai suatu hari beberapa tahun
yang lalu, ia diajak temannya menjadi broker di sebuah perusahaan asuransi, disinilah
ia berkenalan dengan ibu-ibu yang notabenenya memiliki gaya hidup konsumtif dan
diajak untuk berpenampilan menarik- mahal agar nasabah yang akan diajak masuk
asuransi jadi lebih tertarik untuk masuk ke asuransi, lalu ia akan mendapatkan komisi
besar.
Penghasilan Lia yang sangat sedikit menuntutnya harus berpenampilan menarik
dan elegan, ditambah lagi pergaulannya dengan beberapa lelaki bonafit yang gemar
bermain perempuan. Lia kemudian diajak berjalan-jalan, makan-makan, dan berbelanja

69 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


pakaian. Kebutuhan yang tinggi untuk tampil menarik, dukungan lingkungan
membuatnya lupa diri dan menyibukkan hidupnya dengan bersenang-senang bersama
laki-laki yang bukan suaminya. Keadaan ini terus berjalan sampai suatu hari suaminya
menangkap basah istrinya berjalan dengan lelaki yang sudah jadi selingkuhannya
diseputaran kota Sigli. Suami Lia sudah lama mencurigai perubahan perilaku istrinya,
yang selalu keluar malam, berpakaian serba ketat dan glamor, tidak peduli lagi pada
anak-anak juga urusan rumah tangga yang lain. Lia sering menghilang entah kemana
dan Hpnya selalu dihubungi oleh lelaki, kondisi ini membuat suaminya marah besar,
dan berusaha mencari tahu penyebab perubahan sikapnya, sampai akhirnya suami Lia
menangkap basah istrinya bersama dengan lelaki lain.
Lia juga menjadi salah satu contoh perempuan yang dibutakan oleh kehidupan
materialistis yang berujung pada sikap hidup konsumtif. Ada juga perempuan lain di
kota Banda Aceh yang memilih jalan hidup seperti Lia demi mendapatkan uang untuk
membeli pakaian yang mewah serta dapat menikmati berbagai makanan enak. Cerita
yang sama disampaikan oleh Az, seorang sarjana asal kota Calang, yang mengatakan
bahwa ada temannya dari Calang datang ke kota Banda Aceh, dan menemui pacarnya
yang masih berstatus mahasiswi. Dari Az peneliti mendapatkan informasi bahwa
beberapa mahasiswi yang dikenal Az bersedia pacaran seperti suami istri asal diberikan
uang, pakaian yang bagus, serta diajak jalan-jalan dengan mobil untuk menikmati aneka
kuliner nikmat yang dijual diseputar kota Banda Aceh. Para perempuan ini tidak mau
mendekati lelaki yang tidak punya uang atau lelaki miskin, mereka hanya mau dengan
lelaki kaya, meskipun perempuan-perempuan ini sangat mengerti bahwa hubungan
dengan pacar hanya semata kenikmatan belaka, tanpa ada ikatan resmi sebagai suami
istri. Perempuan tersebut rela menyerahkan tubuhnya untuk dinikmati, sedangkan
lelaki menyerahkan uang kepada perempuan demi mendapatkan kepuasan seksual
terlarang.
Realitas tentang buruknya pergaulan remaja putri dan ibu rumah tangga akibat
dari gaya hidup konsumerisme, memang sudah terasa dan menjadi ancaman besar bagi
kelangsungan kenyamanan dan ketentraman masyarakat. Sebagai bukti buruknya gaya
hidup konsumerisme di tengah masyarakat Aceh dengan adanya kasus seorang istri
yang menuntut cerai suaminya karena tidak dapat membelikan Ipad terbaru. Kasus ini
bermula ketika istri Bapak Ab mulai berkenalan dengan dunia fashion dan mulai
bergaya hidup mewah, sering bergonta-ganti barang elektronik, seperti Hp dan Ipad.

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 70


Pada awalnya Bapak Ab masih sanggup melayani semua permintaan istrinya, tetapi
lama kelamaan Bapak Ab sudah tidak mampu melayani permintaan istrinya yang sudah
sangat kelewatan. Akibatnya rumah tangga keduanya menjadi tidak harmonis, istrinya
sering marah-marah dan tidak mau mendengar perkataan suaminya. Sampai akhirnya
istrinya minta cerai pada suaminya, karena suami dianggap sudah tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan istrinya. Kejadian ini terungkap ketika Bapak Ab membuat surat
pengurusan perceraian di sebuah rental yang ada di Darussalam Banda Aceh.
Cerita tentang kasus ini diungkapkan oleh petugas rental tersebut kepada peneliti,
yang merasakan betapa persoalan konsumtif sudah sangat berbahaya bagi
kelangsungan sebuah rumah tangga. Awalnya kehidupan rumah tangga Bapak Ab
sangat harmonis, akan tetapi setelah istrinya memulai kehidupan gaya materialistis,
kehidupan rumah tangga mereka menjadi berubah total. Inilah bentuk ancaman gaya
hidup konsumtif yang sudah menghinggapi masyarakat di Kota Banda. Ada banyak
kasus lain yang belum terungkap dari penelitian ini, akan tetapi realitas yang terlihat di
lapangan sangat memiriskan hati, betapa gaya hidup konsumtif telah memperdaya
kehidupan masyarakat Kota Banda Aceh.
Pada tanggal 2 Oktober 2013 peneliti mendapatkan informasi dari seorang alumni
fakultas Ushuluddin yang baru saja pulang dari bandaran Sultan Iskandar Muda. Ada
kejadian menarik disana bahwa sepasang suami istri bertengkar hebat yang dipicu oleh
masalah perselingkuhan. Istrinya yang masih sangat muda dan cantik tergoda dengan
seorang lelaki yang lebih muda dan kaya dibandingkan dengan suaminya. Istri merasa
tidak puas dengan apa yang diperoleh dari suaminya, padahal suami adalah lelaki yang
sangat bertanggung jawab, tetapi ketidakpuasan telah melenakan mata istri dan melihat
lelaki lain jauh lebih kaya dan tampan, sehingga perselingkuhan yang sangat terlarang
pun rela dilakukan demi kepuasan sesaat. Pertengkaran hebat tidak bisa dihindari
karena suami melihat langsung istri berpelukan dengan lelaki lain dalam sebuah
pesawat terbang. Perjalanan istri ke Jakarta diikuti oleh suami, yang sebelumnya sudah
mencium gelagat istrinya yang mulai berubah tingkah laku. Tanpa sepengetahuan
istrinya, suami mengikuti perjalanan istri sampai berakhir dalam pesawat yang sama.
Inilah gambaran mengerikan dari gaya hidup materialisme yang berujung sikap
konsumtif.
Tumbuh suburnya budaya konsumerisme tidak terlepas dari maraknya iklan yang
ditampilkan diberbagai media untuk mendorong penjualan barang-barang yang

71 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


disediakan oleh produsen. Masyarakat sebagai konsumen memang memiliki kebebasan
untuk memilih produk apa saja yang diinginkan asalkan memiliki uang untuk
memberlinya. Akan tetapi sayangnya tidak semua orang mampu membelinya, bagi yang
sadar akan kemampuan diri, tentu akan menahan keinginan tersebut. Namun lain
halnya bagi seorang remaja yang masih labil dan membutuhkan eksistensi diri agar
diakui oleh lingkungan sekitarnya, tentu produk-produk teknologi yang lagi trend akan
dicari bahkan tidak jarang memaksa orang tua membelinya dengan berbagai dalih.
Wakil Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 menceritakan kepada salah satu
anggota Satpol PP dan WH Aceh dalam sebuah pertemuan tidak resmi terkait kondisi
pelajar saat ini bahwa ada siswanya yang bolos sekolah dan mengancam orang tuanya
untuk putus sekolah kalau tidak dibelikan HP versi terbaru seperti teman-temannya.
Padahal kondisi orang tua siswa tersebut sangat memprihatinkan, pekerjaannya hanya
sebagai petani, dan tidak mampu membeli HP tersebut. Sayangnya siswa tersebut tidak
mau tahu dan terus mengancam orang tuanya. Kalau ada HP versi terbaru –dibelikan
oleh orang tuanya- maka sekolah dilanjutkan dan kalau tidak siswa ini akan berhenti
sekolah dan bekerja agar dapat membeli HP tersebut.
Kasus di atas sangat memiriskan hati siapa saja terkait dengan gaya hidup remaja
sekarang, yang rela putus sekolah hanya untuk satu Hp ternama. Meskikah orang
tuanya mencuri atau melakukan perbuatan terlarang demi memenuhi kebutuhan
anaknya, semoga orang tua tersebut diberikan kekuatan untuk tidak berpikir nekat
melanggar hukum Islam, dan semoga anak tersebut diberikan kesadaran tentang
kondisi orang tuanya.

Masyarakat Kota dalam Kegersangan Spiritual


Materialisme merupakan lawan spiritualisme, jadi ketika seseorang menggantungkan
hidupnya pada kekuatan materialisme, maka nilai-nilai spiritual akan menghilang
dalam dirinya.33 Hal ini jika diliat dari sudut pandangan Karl Marx merupakan bentuk
proses alinasi manusia terhadap dirinya sendiri. Wajar apabila dalam kesimpulan riset
Farihah34 dinyataan bahwa manusialah yang membuat agama; bukan sebaliknya.
Padahal nilai-nilai spiritual menjaga umat manusia untuk senantiasa tunduk pada
kebaikan dan sikap malu, sehingga tidak mudah melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan suara hatinya. Bayangkan jika rasa malu telah hilang, dan semua kebaikan
terhapus dari jiwa seseorang, maka yang akan timbul adalah bisikan nafsu untuk hidup

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 72


memperkaya diri meskipun harus melanggar nilai-nilai hukum yang sudah ditetapkan
dalam agamanya.
Wajar jika sikap konsumerisme mendorong terbentuknya sikap destruktif seperti
sikap hedonis atau sikap-sikap tercela lainnya. Artinya, berdasarkan riset, materialisme
merupakan bentuk anteseden bagi rendahnya kemakmuran, meningkatnya
kesengsaraan dan ketidakpuasan hidup, serta memunculkan stres dan depresi. 35

Masyarakat yang sudah ditimpa oleh penyakit materialistis dan konsumerisme akan
menjadi buas untuk sesamanya, tidak lagi peduli terhadap hak-hak orang lain.
Gambaran tentang sikap hidup manusia yang tamak, rakus, tanpa malu melanggar
hukum Islam, telah terlihat di dalam diri masyarakat kota Banda Aceh. Keinginan untuk
memperkaya diri ditunjukkan dengan tingginya angka korupsi pejabat di Aceh, begitu
juga dengan sikap konsumtif di bidang kuliner, ditunjukkan dengan penuhnya cafe-cafe
serta restoran yang ada di Kota Banda Aceh. Tanpa peduli suara azan di Mesjid, waktu
salatpun dihabiskan di cafe demi menikmati makanan dan minuman lezat yang tersedia.
Maka tidak heran jumlah pengunjung cafe lebih banyak dari jamaah Mesjid. Ini
menunjukkan bahwa masyarakat kota Banda Aceh sudah lebih mencintai kehidupan
materialis duniawi dibandingkan dengan kehidupan ukhrawi.
Ironinya sikap hidup konsumerisme telah mengubah rasa malu baik bagi kaum
lelaki dan perempuan melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama Islam, seperti mau
menjual diri demi mendapatkan uang. Dari pola hidup inilah muncul praktek-praktek
hidup tercela seperti perampokan, pencurian atau bahkan prostitusi. Walaupun di sisi
yang lain, prostitusi tidak selamanya muncul dikarenakan oleh faktor ekonomi, tetapi ia
dapat muncul dari kerangka kepahitan hidup dari aspek budaya patrilineal yang tidak
memihak perempuan, atau karena memang muncul dari dirinya sendiri –baca karena
nafsu liar.36 Indikasi lainnya adalah muncul kasus-kasus perselingkuhan sebagaimana
yang diberitakan di media massa baik surat kabar maupun televisi. Bahkan tidak
tanggung-tanggung pelajar dan mahasiswa pun yang notabenenya adalah asset
pembangunan masa depan mulai menjajaki kehidupan malam menjadi penjaja sex demi
mendapatkan uang yang banyak.
Menanggapi persoalan materialisme yang sudah merajalela, maka keimanan harus
diperkuat kembali, ajaran agama Islam perlu diamalkan secara kaffah, dan yang paling
penting adanya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi yang mencari kekayaan
untuk kepentingan sendiri dan golongannya. Masyarakat kota Banda Aceh khususnya

73 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


harus disadarkan bahwa kehidupan materialis duniawi bukanlah segalanya, ada
kehidupan lain yang abadi diakhirat nanti. Penjelasan yang rasional tentang pentingnya
nilai-nilai spiritual sangat urgen diberikan sejak anak-anak menginjak usia remaja atau
dari sejak anak mengenal dunia sekitarnya, agar tumbuh kesadaran bahwa apa yang ada
di dunia ini hanya fatamorgana semata. Bahkan dalam salah satu kesimpulan riset
Haryanto37 menyatakan, dari 401 responden (keberadaan agama membuat hidup
menjadi terarah (41,85%), memberi ketenangan dalam hidup (25,32%), meningkatkan
keyakinan dalam beragama (15,67%), menghindarkan dari perilaku yang buruk
(11,16%) dan meningkatkan toleransi (0,43%)).
Harus diakui bahwa cara berpikir dan berperilaku konsumrisme tidak terlepas
dari pola pikir kapitalis yang menginginkan keutungan besar dengan penjualan
berbagai produk, untuk itu masyarakat harus cerdas menyikapi dan merespon pola
pikir ini, sehingga dapat terbebas dari budaya masyarakat yang mengalami krisis
ekonomi, sosial, dan psikologi. Diperlukan strategi jitu menanggapi sikap
konsumerisme ini, diantaranya: pertama, masyarakat harus lebih bijaksana dan
proposional menempatkan kebutuhan hidup sesuai dengan fungsinya. Prioritas
kebutuhan harus diurut berdasarkan kebutuhan pokok, primer dan kebutuhan
sekunder. Kalau sudah memiliki lima tas yang bagus, maka harus bisa menahan diri
untuk membeli tas lain meskipun model baru keluaran terkini. Kedua, mengoptimalkan
membeli barang-barang yang memang sangat dibutuhkan dan mengakhirkan barang-
barang yang kurang diperlukan. Ketiga, dukungan tokoh masyarakat, ulama, elit politik,
dan para pejabat untuk membudayakan hidup secara fungsional agar masyarakat dapat
mencontoh sikap hidup tersebut. Misalnya seorang pejabat hidup sederhana dan tidak
boros dalam berbelanja, maka masyarakat lain akan malu bersikap hidup konsumen,
orang kaya saja bisa hidup sederhana apalagi yang ekonomi pas-pasan. Keempat,
menanamkan dan mensosialisasikan budaya menabung sebagai saving masa depan.
Menabung juga akan membentuk sikap hidup untuk selalu mendahulukan sesuatu yang
urgen daripada hanya sekunder. Dan kelima, pihak pemerintah serta lembaga-lembaga
tinggi sebagai pemegang keputusan agar dapat mengontrol arah kebijakan ekonomi,
agar lebih memihak pada rakyat kecil dan tidak hanya berpikir mensenjahterakan
orang-orang kaya saja. Saatnya pemerintah daerah seperti kota Banda Aceh tidak
mudah memberikan izin kepada pendirian mall besar, tetapi lebih konsen membangun
ekonomi kerakyatan.

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 74


Mendobrak budaya konsumerisme yang dibentuk dari pengaruh materialisme
adalah kembali pada kehidupan sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad,
dengan mengedepankan kehidupan sederhana, tawakkal, ridha, serta menerima apapun
yang diberikan oleh Allah. Mengontrol nafsu duniawi akan tidak merajai hati nurani,
sehingga yang muncul adalah sikap hidup penuh kebajikan, jauh dari hal-hal yang
dibenci oleh Allah. Artinya, melalui nilai-nilai agama yang terinternalisasi dalam diri
masyarakat akan menuntun mereka pada perilaku destruktif yang muncul dari
konsumerisme. Melalui pengembangan sikap religius inilah, masyarakat mempunyai
pegangan normatif untuk menjalankan hidup kehidupan mereka.
Nilai religius yang tertanam akan memberikan orientasi hidup bahwa kehidupan
akhirat merupakan tujuan akhir kehidupan manusia di dunia. Implikasinya, gaya hidup
sederhana sesuai dengan kebutuhan –bukan keinginan- terutama yang disesuaikan
dengan nilai-nilai agama akan terbangun. Membiasakan hidup dengan mengutamakan
kebutuhan yang menjadi prioritas utama, dan tidak mudah terbius dengan tawaran
benda-benda yang dipertontonkan diberbagai media massa tanpa melihat fungsinya
terlebih dahulu. Maka suasana kehidupan masyarakat akan terarah dan berorientasi
pada aspek kemanfaatan. Serta masyarakat akan berprinsip bahwa kehidupan dunia
harus dipahami hanyalah sesaat saja, sehingga apapun yang ada di dunia ini tidak lebih
merupakan benda-benda semu semata.

Kesimpulan
Materialisme merupakan suatu ajaran, paham yang mengganggap segala sesuatu
yang ada adalah materi atau kebendaan. Segala sesuatu yang tidak dapat dilihat secara
riil dianggap tidak ada. Seseorang yang sudah terkena penyakit materialisme maka yang
dipikirkan hanyalah materi saja, dan tidak tersentuh pada hal-hal yang inmaterial.
Bahkan segala sesuatu yang tidak dapat dilihat dianggap tidak ada. Sikap hidup
materialis mendorong orang untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan materi semata
sebagai bentuk kesenangan dan kepuasan. Dalam posisi ini seseorang tidak peduli lagi
pada nilai baik dan buruk, asalkan memuaskan jiwanya akan diambil tanpa
pertimbangan apapun. Dari pola pikir materialis ini, seseorang akan didorong menjadi
konsumrisme, membeli semua barang agar dirinya merasa senang atau untuk gaya
hidup demi pengakuan bahwa dirinya orang yang sukses.
Gaya hidup konsumerisme telah membius jutaan orang-orang yang hidup di

75 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


dunia ini, tidak penting kaya atau meski. Dengan dorongan globalisasi dan media
komunikasi yang sangat cepat, model hidup konsumerisme telah ditiru oleh banyak
orang dari kota hingga ke desa. Orang-orang sudah tidak peduli pada kebutuhan hidup
yang primer atau sekunder, semua barang dan makanan dibeli karena dipengaruhi oleh
tontonan yang dilihat, atau melalui iklan yang marak ditampilan di semua tempat. Sikap
hidup konsumerisme terbangun berawal dari paham hidup materialis, sehingga kedua
unsur ini saling berhubungan dan terkait satu dengan yang lain. Kalau seseorang sudah
menjadi materialis, maka yang dipikirkan adalah bagaimana dapat mengumpulan
barang-barang sebanyaknya agar dirinya terpuaskan dengan benda-benda tersebut.
Tumbuh suburnya perilaku hidup konsumerisme akan mendorong munculnya
pengingkaran terhadap nilai-nilai agama dan hukum yang berlaku. Demi memperoleh
benda yang diinginkan orang akan melakukan segala cara, baik dengan jalan halal
ataupun haram. Demi uang orang mau melakukan korupsi, menjual diri, dan perbuatan
buruk lainnya, sehingga pola hidup konsumerisme ini harus dapat dieliminir sedapat
mungkin agar terciptanya masyarakat yang sehat dari penyakit sosial.
Islam memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi gaya hidup konsumerisme
dengan mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Islam mengajarkan
hidup sederhana dan tidak berlebihan, Islam mengajarkan umatnya untuk selalu
menabung, hemat dan tidak boros. Islam mengajarkan umatnya hidup dengan nilai-nilai
kebaikan dan menjauhkan diri dari berbagai keburukan, sebab keburukan akan
menghancurkan manusia itu sendiri. Pola hidup konsumerisme tidak sesuai dengan
ajaran Islam, tetapi bukan berarti Islam melarang umatnya berbelanja barang-barang
yang dibutuhkan, tetapi utamakan yang penting daripada yang tidak dibutuhkan. Sikap
boros mendorong orang untuk menghalalkan segala cara, jika orang lebih senang
mengumpulkan semua barang yang disukainya, maka jika suatu tidak memiliki
kemampuan untuk membelinya, tentu akan memaksa orang tersebut melakukan segala
acara agar mendapatkan benda yang diinginkan. Disinilah muncul perilaku
menyimpang dari hukum Islam yang dapat menghancurkan tatanan sosial
kemasyarakatan.

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 76


Catatan
1
Irzum Farihah. Filsafat Materialisme Karl Marx: Epistemologi Dialectical and Historical Materialism,
dalam Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi keagamaan Vol. 3, No. 2, 2015, 431-454.
2
Derajat Fitra Marandika, Keterasingan Manusia Menurut Karl Marx, dalam Tsaqafah: Jurnal Peradaban
Islam Vol. 12, No. 2, 2018, 299-322.
3
Ellya Rosana, Modernisasi dan Perubahan Sosial, dalam Jurnal TAPIS: Jurnal Teropong Aspirasi Politik
Islam, Vol. 7, No. 12, 2011, 46-62.
4
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, (Yogyakarta: Insist, 2003).
5
Mawadah, Motivasi Ibu Muda Bergabung dengan Hijabersmom Community Aceh, dalam Jurnal
Komunikasi Global Vol. 6, No. 1, 2017, 90-101.
6
Ade Nur Istiani, Konstruksi Makna Hijab Fashion Bagi Moslem Fashion Blogger, dalam Jurnal Kajian
Komunikasi Vol. 3, No. 1, 2015, 48-55.
7
Retno Hendrariningrum & M. Edy Susilo, Fashion dan Gaya Hidup: Identitas dan Komunikasi, dalam
Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 6, No. 2, 2008, 25-32.
8
Tri Aru Wiratno, Estetika Fashion Urban, dalam Jurnal Sosiologi Reflektif Vol. 12, No. 1, 2017, 137-150.
9
Rabia Jamil, dkk., Perilaku Konsumeris Pengunjung Mall Lippo Plaza Kota Kendari, dalam Jurnal Neo
Societal Vol. 3, No. 2, 2018, 518-525.
10
Rika Dwi Ayu Parmitasari, dkk., Peran Kecerdasan Spiritual dan Gaya Hidup Hedonisme dalam
manajemen Keuangan Pribadi Maasiswa di Kota Makasar, dalam Jurnal manajemen, Ide, Inspirasi (MINDS)
Vol. 5, No. 2, 2018, 147-162.
11
Syamsul Rijal & Umiarso, Syari’ah dan Tasawuf: Pergulatan Integratif Kebenaran dalam Mencapai
Tuhan, dalam Jurnal Ushuluddin Vol. 25, No. 2, 2017, 124-136.
12
Mochammad Nadjib, Agama, Etika dan Etos Kerja dalam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Nelayan Jawa,
dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 21, No. 2, 2013, 137-150.
13
Aftina Nurul Husna, Orientasi Hidup Materialistis dan Kesejahteraan Psikologis, dalam Seminar Psikologi
dan Kemanusiaan 2015.
14
Moh. Saifulloh, Tasawuf sebagai Solusi Alternatif dalam Problematika Modernitas, dalam Islamica, Vol. 2,
No. 2, 2008, 207-2016.
15
Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Peterj.: Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004).
16
Bibit Santoso, Konsumerisme dalam Kehidupan Masyarakat Urban: Studi Kasus Masyarakat Perkotaan di
Kecamatan Senen Jakarta Pusat, (Disertasi tidak Dipublikasikan), (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,
2012).
17
Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Peterj.: Ruslani, (Yogyakarta:
Qalam, 2002).
18
Anthony Giddens, Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan Masa Depan Politik Radikal, Peterj.: Dariyatno,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
19
Zubaedi, Islam & Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban, dan
Dialog Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).
20
Anthony Giddens, Beyond Left and Right: Tarian “Ideologi Alternatif” di Atas Pusara Sosialisme dan
Kapitalisme, Peterj.: Imam Khoiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).
21
Umaruddin Masdar, Agama Kolonial: Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal, (Yogyakarta:
KLIK.R, 2003).
22
Rudiaji Mulya, Feodalisme & Imperialisme di Era Global, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012).
23
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).
24
Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006).
25
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005).
26
Vinsensio Dugis (Edit.), Teori Hubungan Internasional: Perspektif-Perspketif Klasik, (Surabaya: Airlangga
University Press, 2018).
27
Atang Abdul Hakim, dkk., Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
28
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).
29
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980).
30
Agus Dwi Saputro, Melawan Mindset Konsumerisme, dalam Opini hidayatullah.com, edisi Selasa, 8 Mei
2012.
31
Dinda Larasati, Globalisasi Budaya dan Identitas: Pengaruh Eksistensi Hallyu (Korean Wave) versus
Westernisasi di Indonesia, dalam Jurnal Hubungan Internasional Vol. 11, No. 1, 2018, 109-120.

77 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


32
Richard A. Watson, Cogito, Ergo Sum: The Life of Rene Descartes, (Boston: David R. Godine, Publisher,
2007); lihat pula Gordon Baker & Katherine J. Morris, Descartes Dualism, (London: Routledge, 1996).
33
Aftina Nurul Husna, Psikologi Anti-Materialisme, dalam Buletin Psikologi Vol. 24, No. 1, 2016, 12-21.
34
Irzum Farihah, Filsafat Materialisme Karl Marx: Epistemologi Dialectical and Historical Materialism,
dalam Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi keagamaan Vol. 3, No. 2, 2015, 431-454.
35
Serdar Karabati & Zeynep Cemalcilar, Values, Materialism, and Well-Being: a Study With Turkish
University Students, dalam Journal of Economic Psychology Vol. 31, No. 4, 2010, 624-633; lihat pula dalam
Helga Dittmar & Pallavi Kapur, Consumerism and Well-Being in India and the UK: Identity Projection and
Emotion Regulation as Underlying Psychological Processes, dalam Psychology Study Vol. 26, No. 1, 2011,
71-85; senada dengan Vasliliki Brouskeli & Maria Loumakou, Materialism, Stress and Health Behavior
Among Future Educators, dalam Journal of Education and Training Studies Vol. 2, No. 2, 2014, 145-150.
36
Syamsul Rijal & Umiarso, Sex Workers’ Religiousity and Faith in God: Case Study on “Ayam Kampus” in
East Java, Indonesia, dalam Kalam Vol. 12, No. 2, 2018, 257-282.
37
Endrix Chris Haryanto, Apa Manfaat dari Agama?: Studi pada Masyarakat Beragama Islam di Jakarta,
dalam InSight: Jurnal Ilmiah Psikologi Vol. 13, No. 1, 2016, 19-31.

Daftar Pustaka

Abdur Rohman, Budaya Konsumerisme dan Teori Kebocoran di Kalangan Mahasiswa,


dalam Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman Vol. 24, No. 2, 2016, 237-253.
Ade Nur Istiani, Konstruksi Makna Hijab Fashion Bagi Moslem Fashion Blogger, dalam
Jurnal Kajian Komunikasi Vol. 3, No. 1, 2015, 48-55.
Aftina Nurul Husna, Orientasi Hidup Materialistis dan Kesejahteraan Psikologis, dalam
Seminar Psikologi dan Kemanusiaan 2015.
Aftina Nurul Husna, Psikologi Anti-Materialisme, dalam Buletin Psikologi Vol. 24, No. 1,
2016, 12-21.
Agus Dwi Saputro, Melawan Mindset Konsumerisme, dalam Opini hidayatullah.com, edisi
Selasa, 8 Mei 2012.
Anthony Giddens, Beyond Left and Right: Tarian “Ideologi Alternatif” di Atas Pusara
Sosialisme dan Kapitalisme, Peterj.: Imam Khoiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).
Anthony Giddens, How Globalization is Reshaping Our Lives, (London: Profile Books,
1999).
Anthony Giddens, Melampaui Ekstrim Kiri dan Kanan Masa Depan Politik Radikal,
Peterj.: Dariyatno, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
Atang Abdul Hakim, dkk., Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Bibit Santoso, Konsumerisme dalam Kehidupan Masyarakat Urban: Studi Kasus
Masyarakat Perkotaan di Kecamatan Senen Jakarta Pusat, (Disertasi tidak
Dipublikasikan), (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2012).
Derajat Fitra Marandika, Keterasingan Manusia Menurut Karl Marx, dalam Tsaqafah:
Jurnal Peradaban Islam Vol. 12, No. 2, 2018, 299-322.
Dinda Larasati, Globalisasi Budaya dan Identitas: Pengaruh Eksistensi Hallyu (Korean
Wave) versus Westernisasi di Indonesia, dalam Jurnal Hubungan Internasional
Vol. 11, No. 1, 2018, 109-120.

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 78


Ellya Rosana, Modernisasi dan Perubahan Sosial, dalam Jurnal TAPIS: Jurnal Teropong
Aspirasi Politik Islam, Vol. 7, No. 12, 2011, 46-62.
Endrix Chris Haryanto, Apa Manfaat dari Agama?: Studi pada Masyarakat Beragama
Islam di Jakarta, dalam InSight: Jurnal Ilmiah Psikologi Vol. 13, No. 1, 2016, 19-
31.
Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Peterj.: Agung Prihantoro, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004).
Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Peterj.: Ruslani,
(Yogyakarta: Qalam, 2002).
Gordon Baker & Katherine J. Morris, Descartes Dualism, (London: Routledge, 1996).
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 1980).
Helga Dittmar & Pallavi Kapur, Consumerism and Well-Being in India and the UK: Identity
Projection and Emotion Regulation as Underlying Psychological Processes, dalam
Psychology Study Vol. 26, No. 1, 2011, 71-85.
Irzum Farihah, Filsafat Materialisme Karl Marx: Epistemologi Dialectical and Historical
Materialism, dalam Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi keagamaan Vol. 3, No. 2,
2015, 431-454.
Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat, dan Sejarah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006).
Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006).
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, (Yogyakarta: Insist, 2003).
Mawadah, Motivasi Ibu Muda Bergabung dengan Hijabersmom Community Aceh, dalam
Jurnal Komunikasi Global Vol. 6, No. 1, 2017, 90-101.
Mochammad Nadjib, Agama, Etika dan Etos Kerja dalam Aktivitas Ekonomi Masyarakat
Nelayan Jawa, dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol. 21, No. 2, 2013,
137-150.
Moh. Saifulloh, Tasawuf sebagai Solusi Alternatif dalam Problematika Modernitas, dalam
Islamica, Vol. 2, No. 2, 2008, 207-2016.
Rabia Jamil, dkk., Perilaku Konsumeris Pengunjung Mall Lippo Plaza Kota Kendari, dalam
Jurnal Neo Societal Vol. 3, No. 2, 2018, 518-525.
Retno Hendrariningrum & M. Edy Susilo, Fashion dan Gaya Hidup: Identitas dan
Komunikasi, dalam Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 6, No. 2, 2008, 25-32.
Richard A. Watson, Cogito, Ergo Sum: The Life of Rene Descartes, (Boston: David R.
Godine, Publisher, 2007).
Rika Dwi Ayu Parmitasari, dkk., Peran Kecerdasan Spiritual dan Gaya Hidup Hedonisme
dalam manajemen Keuangan Pribadi Maasiswa di Kota Makasar, dalam Jurnal
manajemen, Ide, Inspirasi (MINDS) Vol. 5, No. 2, 2018, 147-162.

79 Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019


Rudiaji Mulya, Feodalisme & Imperialisme di Era Global, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2012).
Saifullah Kamalie, Karakteristik Metode Islam, (Jakarta: Media Da’wah, t.th).
Serdar Karabati & Zeynep Cemalcilar, Values, Materialism, and Well-Being: a Study With
Turkish University Students, dalam Journal of Economic Psychology Vol. 31, No. 4,
2010, 624-633.
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2005).
Syamsul Rijal & Umiarso, Sex Workers’ Religiousity and Faith in God: Case Study on
“Ayam Kampus” in East Java, Indonesia, dalam Kalam Vol. 12, No. 2, 2018, 257-
282.
Syamsul Rijal & Umiarso, Syari’ah dan Tasawuf: Pergulatan Integratif Kebenaran dalam
Mencapai Tuhan, dalam Jurnal Ushuluddin Vol. 25, No. 2, 2017, 124-136.
Tri Aru Wiratno, Estetika Fashion Urban, dalam Jurnal Sosiologi Reflektif Vol. 12, No. 1,
2017, 137-150.
Umaruddin Masdar, Agama Kolonial: Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal,
(Yogyakarta: KLIK.R, 2003).
Vasliliki Brouskeli & Maria Loumakou, Materialism, Stress and Health Behavior Among
Future Educators, dalam Journal of Education and Training Studies Vol. 2, No. 2,
2014, 145-150.
Vinsensio Dugis (Edit.), Teori Hubungan Internasional: Perspektif-Perspketif Klasik,
(Surabaya: Airlangga University Press, 2018).
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1986).
William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme,
Kapitalisme, Sosialisme, (Yogyakarta: Narasi, 2006).
Zubaedi, Islam & Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog
Peradaban, dan Dialog Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007).

Kontekstualita, Vol. 34, No. 1, 2019 80

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai