Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MASAILUL FIQHIYAH

PROBLEM ZIS (ZAKAT, INFAQ, SADAQOH)


Disusun untuk memenuhi tugas

Dosen Pengampu : Muamar, S.Ag., M.Ag.

Disusun oleh :
Kristia Monika (3180025)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG


Jl.D.I.Pandjaitan Km.3 Paduraksa Pemalang 52319
Telp.(0284) 323741, Email : stitpemalang@yahoo.co.id, Website : stitpemalang.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
pertolongan-Nya kami dapat menyusun makalah ini. Shalawat beserta salam, selalu tercurah
limpah kepada baginda Rosul sekaligus Nabiyullah yang terakhir yakni Muhammad SAW,
tak lupa kepada keluarga, sahabat, dan semoga sampai kepada kita sebagai umat yang
terakhir. Amin Selama ini mungkin kita sudah mengenal Islam, tapi banyak diantara kita
yang belum memahami islam itu sendiri. Namun, banyak juga orang yang telah mengenal
Islam, tetapi sejauh mana sudah memahami potret Islam. Ini adalah salah satu persoalan
yang perlu kita diskusikan lebih lanjut. Dengan demikian Islam itu mempunyai karakteristik
yang sangat luas dan tidak bisa memisah-memisahkan dengan yang lainnya.
Fiqh senantiasa berkembang sesuai dengan konteks sosio kultural yang
melingkupinya. Sebagai disiplin ilmu yang dinamis, fiqih merupakan korpus terbuka yang
senantiasa menerima perubahan dan pengembangan, dengan catatan harus tetap pada frame
work kaidah ushuliyah dan kaidah fiqhiyyah. Karena itu, fiqih menjadi sangat fleksibel dan
harus tetap menjadi acuan umat Islam dalam menjalankan kehidupan keberagamaannya.
Secara faktual, persoalan di tengah masyarakat senantiasa berkembang dan menuntut
adanya jawaban dalam perspektif fiqih. Di satu sisi, al-Qur’an can hadis tetap (tidak mungkin
turun lagi), sementara di sisi yang lain persoalan di tengah masyarakat senantiasa
berkembang, maka diperlukan upaya untuk menyelesaikannya dari sisi fiqh. Sejumlah
permasalahan yang di era kontemporer ini muncul baik dalam ranah ubudiyah, munakahat,
maupun mu’amalah seringkali berbeda kasusnya dengan persoalan fiqh di masa klasik
skolastik. Namun, jika ditelusuri secara mendalam, para ulama sudah menyiapkan perangkat
ijtihad yang bisa digunakan untuk menjawab permasalahn fiqih oleh ulama saat ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan kami sadar bahwa masih banyak
kekurangan yang terdapat pada makalah ini, oleh karena itu kami mengaharapkan kritik yang
membangun dari para pembaca, akhir kata kami ucapkan Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Pemalang, 23 Maret 2021


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang universal dan berlaku untuk semua ruang dan
waktu. Islam mengandung ajaran-ajaran yang mengatur hubungan dengan Allah
Swt dan mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Salah satu ajaran
tersebut adalah Zakat, karena dengan menunaikan zakat dapat ikut membantu dan
menolong kaum yang berekonomi lemah serta bisa memberantas kemiskinan.
Zakat adalah ibadah pokok yang berkaitan dengan harta benda dan ibadah yang
berdimensi sosial, Zakat merupakan salah satu ketetapan Allah dalam pengunaan
dan pengelolaan harta.Allah menjadikan harta sebagai sarana kehidupan umat
manusia seluruhnya dan karna itu harus diarahkan kearah kepentingan bersama.
Zakat yaitu suatu kewajiban Agama yang diwajibkan terhadap orang-orang
muslim yang digolongkan sebagai muzakki menurut ketentuan syariat Islam.
Seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat berkewajiban menunaikan Zakat.
Dari sudut pandang syariat islam, keenganan atau keingkaran terhadap
Kewajiban membayar Zakat dikenakan sanksi yang tegas, bahkan sebagian
ulama mengolongkan orang tersebut orang murtad. Menyadari akan pentingnya
peran Zakat dalam mensejahtrakan ekonomi umat, maka tidaklah mengherankan
jika Khalifah Abu Bakar as-Siddiq r.a telah memerangi kaum yang ingkar zakat,
yang dikenal dengan perang Siffin.1 Zakat harus berperan secara maksimum
dalam memberdayakan ekonomi umat, maka haruslah dilaksanakan oleh setiap
negara Islam sesuai dengan perintah Al-Qur’an dan Hadis.2 Seharunya praktekpraktek
yang digalakkan Syariat Islam semestinya dilaksanakan dengan sunguhsunguh,
seperti menjalankan hukum warisan, berskap sederhana dalam konsumsi,
mewujutkan hak-hak kepemilikan individu dan sosial terhadap alat-alat produksi,
serta berbagai aktivitas lainnya yang mendukung kesuksesan institusi Zakat dalam
mensejahtrakan umat. Dengan cara ini zakat akan dapat memberdayakan ekonomi
dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam islam keberadaan Zakat
mempunyai kajian-kajian tersendiri. Maka sepakat bahwa Zakat merupakan
kewajiban mutlaq bagi setiap muslim yang mempunyai kelebihan harta, sebab
baik Alqur’an maupan hadits telah menjelaskan secara qath’i kewajiban tersebut.
Namun dalam praktiknya ZIS sendiri tidak menutup kemungkinan untuk
menemui sebuah permasalahan. Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas
eksistensi Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat dalam pemberdayaan ekonomi
umat, Teknik pelaksanaan zakat produktif serta terkait dengan Sadaqoh dan Wakaf.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana eksistensi BAZ dan LAZ dalam pemberdayaan ekonomi umat ?
2. Bagaimana pelaksanaan zakat produktif ?
3. Bagaimana problem sadaqah dan wakaf ?

1
Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklipedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar baru van hoeve,1996).
hlm.1023
2
Ibid.,hlm.1024
BAB II
PEMBAHASAN
A. Eksistensi BAZ dan LAZ dalam Pembangunan Ekonomi Umat
Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta
pendayaan zakat.
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan
yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.
Badan Amil Zakat Nasional adalah lembaga pemerintahan nonstruktural yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melaui Menteri Agama.
BAZNAS bertugas melaksanakan pengelolaan zakat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyampaikan laporan hasil
pelaksanaan tugasnya setiap tahun kepada Presiden dan DPR. BAZNAS terdiri atas
Badan Pelaksana, Dewan Pertimbangan, dan Komisi Pengawas. Badan Pelaksana
mempunyai menyelenggarakan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat sesuai dengan ketentuan agama dan tugas lain berkenaan dengan pengelolaan
zakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dewan
Pertimbangan mempunyai tugas memberikan pertimbangan berkenaan dengan
pelaksanaan pengumpulan, pendistrubusian, dan pendayagunaan zakat kepada Badan
Pelaksana. Komisi Pengawas mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan atas
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat oleh Badan
Pelaksana.
Pengelolaan zakat ditunjukkan dalam QS Al-Taubah: 60, yang disebut amil
(wa al-'amilina 'alaiha). Karena itu, wajib hukumnya membayar zakat melalui
BAZ/LAZ. Jika memang dipandang perlu, MUI dapat mengeluarkan fatwa bahwa
menyalurkan zakat melalui BAZ/LAZ adalah wajib. BAZ/LAZ harus dikelola dengan
manajemen zakat yang profesional. Sementara, sekarang masih ditangani oleh "panitia
kecil" yang amatiran dan tidak profesional. Tugas amil belum diimplementasikan
secara benar. Implikasinya, para muzaki tidak menaruh kepercayaan pada amil dan
mereka cenderung membagi zakatnya sendiri langsung kepada para mustahik, tidak
melalui amil. BAZ/LAZ yang profesional memiliki beberapa persyaratan. Syarat itu
di antaranya: Pertama, mempunyai data muzakki dan mustahiq yang valid. Kedua,
menyampaikan laporan keuangannya kepada masyarakat. Ketiga, diawasi oleh
akuntan publik, dan memiliki amilin atau sumber daya yang profesional. Dengan
demikian, maka dengan adanya sistem yang terintegrasi dengan teknologi informasi
akan mempermudah pengelolaan zakat. Adanya teknologi informasi, akan membantu
kerja pengelola zakat. Pengelolaan zakat telah menggunakan teknologi untuk setiap
prosesnya. Dengan menggunakan teknologi, proses pengelolaan zakat akan semakin
cepat dan mudah. Hambatan jarak yang selama ini sering menjadi penghambat dalam
pertukaran data dan informasi lembaga zakat kini bisa diatasi. Teknologi informasi
yang terintegrasi memudahkan pengelola zakat untuk mengontrol setiap dana zakat
yang dititipkan muzaki untuk kemudian disalurkan tepat kepada mustahiknya.
Penggunaan infrastruktur teknologi informasi yang canggih akan membuat LAZ
efisien dalam mengumpulkan dana dari para muzakki dan semakin mudah menyimpan
berbagai data. Penggunaan teknologi sebetulnya dapat memperkuat database yang
dibutuhkan para pengelola zakat. Data itu di antaranya: data penerima zakat; data
wilayah penerima zakat; data wilayah binaan lembaga zakat; data lembaga yang
mendapat dukungan dari dana zakat; data wajib zakat, dan lain-lain. Bahkan,
penggunaan teknologi ini juga dapat mempermudah para muzakki membayarkan
zakat. Kemudahan itu misalnya para muzakki dapat membayar zakat via SMS, bisa
menghitung zakatnya lewat internet, dapat memperoleh informasi mengenai laporan
penggunaan dana zakatnya via internet, dan lain-lain. Pengelolaan zakat dengan
memggunakan teknologi, khususnya teknologi perbankkan. Dengan dukungan
teknologi perbankan, donatur akan termudahkan dengan fasilitas-fasilitas transaksi
milik perbankan. Misalnya metode pembayaran zakat dengan menggunakan kartu
kredit atau dikenal dengan istilah recurring. Secara syariah pembayaran lewat kartu
kredit ini sah dengan komitmen dari pemegang kartu kredit untuk melunasi
pembayaran sebelum jatuh tempo, kartu kredit untuk pembayaran zakat, infaq,
shadaqah dan wakaf tunai. Layanan perbankan seperti ini diharapkan memberikan
kemudahan bagi masyarakat yang mempunyai kesibukan padat.
Kendala Yang Dihadapi Baz/Laz, Persoalannya sekarang adalah bagaimana
mengupayakan Badan Amil Zakat (BAZ)/Lembaga Amil Zakat (LAZ) dapat bekerja
secara profesional, transparan, dan akuntabel. Selama ini ada beberapa kendala yang
dihadapi BAZ / LAZ :
1. Pemahaman pengurus terhadap konsep atau fikih zakat dan manajemennya relatif
kurang. Indikasinya, belum banyak BAZ/LAZ yang sukses di dalam mengelola
zakat, infak dan shadaqah. Apalagi mengelola zakat fitrah yang cenderung ad hoc
dan temporer, minggu keempat dari bulan Ramadan dibentuk panitia, malam Idul
Fitri selesai, tanpa dokumen administrasi dan pelaporan yang memadai.
2. Karena kinerja BAZ/LAZ tidak terukur dengan jelas, maka JISPO VOL. 6 No. 2
Edisi: Juli-Desember Tahun 2016 38 kepercayaan masyarakat/muzakki sangat
rendah.
3. Implikasi dari rendahnya kepercayaan masyarakat, para muzakki lebih suka
membagi sendiri zakatnya secara langsung kepada mustahik. Pembagiannya sudah
pasti konsumtif, kira-kira Rp 20.000 sampai Rp 50.000 plus sarung atau
mukena/rukuh.
4. Jika zakat dibagikan sendiri oleh para muzakki kepada mustahik secara langsung,
maka tujuan utama zakat untuk mengubah nasib seseorang mustahik menjadi
muzakki atau dari fuqara menjadi aghniya (orang kaya), hanya ada dalam angan-
angan saja. Padahal untuk mengubah mentalitas dan pemahaman para pengurus
BAZ/LAZ yang sudah bertahun-tahun mapan di dalam pemahaman mereka
tentang zakat dan manajemennya, diperlukan motivasi ekstra yang
sungguhsungguh dan memadai. Oleh karena itu, pengurus badan/amil zakat untuk:
a. perlu memiliki visi, misi, tujuan, dan program yang jelas dan terukur.
b. melakukan pelatihan atau pencerahan tentang fikih dan pengembangan serta
manajemennya. Ketika ada muzakki yang akan menyerahkan atau
membayarkan zakatnya, semua bisa melayani dengan baik, termasuk ketika
ada yang ingin berkonsultasi mengenai zakat.
c. menyiapkan data muzakki dan mustahik secara memadai, lengkap dengan data
pribadi dan penghasilannya, dan menyiapkan instrumen analisis, identifikasi,
dan klasifikasinya.
d. hasil identifikasi terhadap muzakki ditindaklanjuti dengan penghimpunan
zakat secara proaktif kepada para muzakki.
e. identifikasi dan klasifikasi mustahik, mana yang akan diberi zakat dalam
bentuk konsumtif, dan mana yang akan diberi zakat produktif.
f. semua data, mulai dari perencanaan, program, data muzakki, data mustahik,
klasifikasi dan pendistribusiannya, diadministrasikan secara rapi dan baik.
g. membuat laporan secara berkala atau periodik siapa-siapa yang akan diberi
laporan, dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas amanah
harta yang dititipkan para muzakki untuk orang-orang yang sangat
membutuhkannya. Pemerintah dan pihak-pihak lain termasuk swasta Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) telah melakukan berbagai upaya perbaikan
kelayakan hidup bagi bangsa terutama bagi kaum miskin melalui program
pengentasan kemiskinan, baik yang ditangani secara langsung maupun tidak
langsung (imbasan suatu program). Upaya tersebut hingga kini masih
berlangsung, dan selalu gonta ganti model dan format.
Menurut statistik sebagian besar sumber penerimaan lembaga zakat adalah dari zakat,
sedangkan potensi infaq, shadaqah dan wakaf belum maksimal.
Badan Amil Zakat Nasional (disingkat BAZNAS) adalah lembaga yang
melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Secara definitif, lembaga
pengelola zakat (LPZ) merupakan sebuah institusi yang bertugas
dalampengelolaan zakat, infaq dan shadaqah, baik yang dibentuk oleh
pemerintah seperti BAZ maupun yang dibentuk oleh masyarakat dan
dilindungi oleh pemerintah seperti LAZ. Manajemen pendayagunaan zakat
adalah pemanfaatan dana zakat secara maksimum tanpa mengurangi nilai dan
kegunaannya, sehingga berdayaguna untuk mencapai kemaslahatan umat
(Kementerian Agama RI)
Allah telah memberikan ilmu pengetahuan zakat kepada kita semuat
tentang cara pengelolaan zakat sehingga dapat mensejahterakan umat.
Menurut aturan, baik yang ada pada Al-Quran dan as-Sunnah, yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya adalah pemerintah, karena
peran pemerintah sebagai “khalifah Allah” dan sebagai “khalifah
khala’ifillah”. Lembaga/badan yang berhak mengelola zakat adalah
pemerintah atau penguasa. Hal ini sesuai dengan pengertian dari ayat 103
Surat At-Taubah, hadits-hadits nabi baik yang berupa ucapan maupun yang
berupa perbuatan dan kebijaksanaan para Al-Khulafa Rasyidin (Permono,
2005).
Pemberdayaan Ekonomi Umat
pemberdayaan ekonomi umat, berarti upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat Islam dari kondisi tidak mampu, serta melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi. Dengan kata lain, sebagai
upaya membangun kemandirian umat di bidang ekonomi. Pemberdayaan ekonomi
untuk masyarakat miskin menjadi program nasional yang melibatkan semua pihak,
begitupun dengan lembaga zakat baik BAZNAS maupun LAZNAS. Di Indonesia
sendiri sudah melakukan beberpapa program zakat yang difokuskan untuk
kepentingan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, seperti
Launching Program Community Development “Misi Zakat Community Development
di Pulau Kera”, Rumah Pintar dan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan
Masyarakat Dhuafa melalui program Zakat Community Development (ZCD). Menurut
Ketua Umum BAZNAS Didin Hafidhudin, pemberdayaan ini bersifat integratif dan
komprehensif. “Pemberdayaannya bukan hanya ekonomi, dan kesehatan, tapi
juga agama, akhlak dan moral.”
Pola pendayagunaan zakat adalah dengan menginvestasikan dana zakat. Yusuf
Qardhawi dalam Fiqhuz Zakat mengemukakan bahwa pemerintah Islam
diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaanperusahaan dari dana zakat
untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin,
sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Pengganti
pemerintah saat ini dapat diperankan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil
Zakat yang amanah dan professional (Nawawi, 2010). Selain zakat ada instrumen
lainnya yang bisa dipakai untuk pemberdayaan umat yaitu infaq dan shadaqah. Infaq
dan shadaqah menjadi bagian dari zakat. Jadi maksud dari pemberdayaan umat adalah
agar masyarakat dhuafa dapat mandiri dengan penghasilan dari usaha yang
dijalankan. Modal usaha yang diberikan dapat terus diputar, tidak hanya habis dalam
beberapa hari saja, tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha
masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Al–Ba’ly,2006). Menurut
George R. Terry seperti dikutip Herujito (2004) merumuskan fungsi manajemen
menjadi empat fungsi pokok yaitu: Planning, Actuating, Organizing, dan Controlling.
Dalam manajemen pengelolaan, ada 4 hal yang menjadi bagian penting manajemen
zakat oleh suatu lembaga yakni penghimpunan, pengelolaan, pendayagunaan dan
pendistribusian.
1.Penghimpunan
Penghimpunan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan dana ZIS dari
muzakki. Pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf yang diambil dari
masyarakat merupakan peran, fungsi dan tugas bidang penghimpunan. Dalam
melaksanakan aktivitas pengumpulan dana tersebut bagian penghimpunan dapat
menyelenggarakan berbagai macam kegiatan. Menurut Sudewo (2004) kegiatan
penghimpunan ada dua yaitu yaitu manajemen penggalangan dana dan layanan
donator. Dengan adanya pelayanan untuk donatur, mereka tidak merasa kecewa
karena merasa tidak diperhatikan. Pencatatan nama-nama donator dirasakan sangat
penting karena hal ini menyangkut hubungan silaturrahim antara muzakki, amil, dan
juga mustahiq. Potensi zakat yang ada pada lembaga sangat berpengaruh pada
hubungan ini. Di Indonesia, potensi zakat ini cukup besar dan banyak peneliti yang
menilai bahwa zakat mampu menjadi bagian dari solusi persoalan kesejahteraan.

2.Pengelolaan
Tidak ada bedanya struktur keuangan zakat dengan truktur keuangan lembaga yang
lain, struktur keuangan zakat terdiri atas dua bidang yaitu akuntansi dan bendahara.
Ada dua verifikasi yang dikerjakan yakni verifikasi penerimaan dan pengeluaran.
Verifikasi penerimaan dimulai sejak dana ditransfer dari muzakki hingga masuk ke
lembaga zakat. Verifikasi dana keluar dicermatit sejak diajukan hingga pencairan
dana. Sedangkan pencatatan keluar masuknya uang merupakan fungsi dari bidang
akuntansi. Dalam kerjanya sesungguhnya akuntansi memilah atas dua segi yakni
akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen. Akuntansi keuangan dibuat sesuai
pernyataan standar akuntansi, sementara akuntansi manajemen dikerjakan sesuai
dengan kebutuhan lembaga. Manajemen administrasi dan akuntansi menjadi syarat
utama bagi manajemen pengelolaan di lembaga zakat. Pengelolaan zakat harus
memiliki perencanaan kerja dan system adminstasi yang lebih jelas dan tidak bisa
menjalankan lembaga hanya sesuka hati. Apalagi, zakat adalah bagian dari ibadah
wajib yang harus dilakukan oleh umat Islam dan pengelolaannya juga menjadi bagian
untuk mencapai tujuan syariat zakat itu sendiri. Di sinilah arti penting manajemen
islami dalam pengelolaan zakat.

3.Pendayagunaan
Kreativitas divisi pendayagunaan merupakan hal yang memotori maju atau
mundurnya suatu lembaga zakat, yaitu bagaimana lembaga zakat mendistribusikan
dana zakat dengan inovasi-inovasi yang tentunya semakin baik dan bisa memenuhi
tujuan pendistribusian dana zakat kepada mustahiq. Inti dari zakat itu sendiri adalah
Pendayagunaan program pemberdayaan mustahiq. Beberapa kegiatan bidang
pendayagunaan yang dapat dikembangkan yaitu pengembangan ekonomi, pembinaan
Sumber Daya Manusia dan Layanan Sosial. Artinya, dana zakat bisa digunakan untuk
keperluan konsumtif dan juga produktif. Peyaluran ini diberikan kepada orang-orang
yang berhak menerima zakat, yaitu 8 golongan asnaf.

4.Pendistribusian
Kegiatan pendistribusian sangat berkaitan dengan pendayagunaan, karena apa yang
akan didistribusikan disesuaikan dengan pendayagunaan. Akan tetapi juga tidak bisa
terlepas dari penghimpunan dan pengelolaan. Meski demikian, lembaga zakat juga
perlu memperhatikan manajemen pendistribusian. Ada beberapa ketentuan dalam
mendistribusikan dana zakat kepada mustahiq yaitu, mengutamakan distribusi
domestik, pendistribusian yang merata, membangun kepercayaan antara pemberi dan
penerima zakat. Pola manajemen ini patut diterapkan agar distribusi zakat sesuai
dengan syariat dan mampu mencapai tujuannya, yakni kemaslahatan umat. Distribusi
zakat perlu diatur secara baik agar tidak terjadi tumpang tindih dalam proses
distribusi.
Dengan menjalankan pola manajemen zakat di atas, akan sangat mungkin jika
masyarakat muslim menjadi sejahtera. Begitupula Islam telah mengatur hubungan
manusia dengan manusia dalam bentuk kepedulian terhadap sesama.

B. Teknis Pelaksanaan Zakat Produktif


Pengelolaan atau manajemen zakat dalam Islam merupakan aktifitas pengelolaan
zakat yang telah diajarkan oleh Islam dan telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW
dan penerusnya yaitu para sahabat. Pelaksanaan zakat pada awal sejarahnya ditangani
sendiri oleh Rasulullah SAW dengan mengirim para petugasnya untuk menarik zakat
dari mereka yang ditetapkan sebagai pembayar zakat, lalu dicatat, dikumpulkan
dirawat dan akhirnya dibagikan kepada para penerima zakat. Untuk melestarikan
pelaksanaan tersebut, khalifah Abu Bakar R.A. terpaksa mengambil tindakan keras
kepada para pembangkang-pembangkang yang menolak membayarkan zakatnya.
Selanjutnya setelah masa khalifah berakhir hingga sekarang peran pengganti
pemerintah sebagai pengelola zakat dapat diperankan oleh Badan Amil Zakat atau
Lembaga Amil Zakat. Sejarah Islam menginformsikan bahwa Rasulullah SAW telah
mengutus Umar bin Khattab pergi memungut zakat, demikian juga Mu’az bin Jabal
yang diutus ke Yaman. Di antara pegawai-pegawai pemungut zakat yang diangkat
Rasulullah SAW adalah Ibnu Lutabiyah, Abu Mas’ud, Abu Jahm, Uqbah bin Amir,
Dahhaq, Ibnu Qais dan Ubadah as-Samit. Mereka bertugas untuk mengumpulkan
zakat dan membaginya kepada mereka yang berhak . Cara-cara pelaksanaan zakat
sangatlah terinci dalam ajaran Islam seperti yang dapat kita lihat penjabarannya yang
lengkap dalam kitab-kitab fiqh. Yang terpenting diantaranya adalah ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :
a. Jenis-jenis harta benda atau kekayaan yang dikenai zakat.
b. Besarnya kekayaan yang dikenai zakat dari tiap-tiap jenis tersebut (nishab).
c. Besarnya zakat yang dipungut dari tiap-tiap jenis tersebut.
d. Waktu pemungutannya (haul).
e. Jenis-jenis penerima zakat (ashnaf).
f. Cara-cara pembagiannya
Setelah membahas sasaran ekonomi zakat berupa 8 golongan yang berhak menerima
zakat, maka penulis akan membahas cara pembagian atau distribusi zakat yang
khususnya dilakukan oleh lembaga pengelola zakat. Sebuah pendistribusian zakat
dilakukan untuk mencapai visi zakat yaitu menciptakan masyarakat muslim yang
kokoh baik dalam bidang ekonomi maupun non ekonomi. Untuk mencapai visi
tersebut diperlukan misi distribusi zakat yang memadai. Misi yang diharapkan bersifat
produktif yakni mengalokasikan zakat kepada mustahiq, dengan harapan langsung
menimbulkan muzakki-muzakki baru. Di Indonesia pengelolaan zakat diatur
berdasarkan UU No.38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat pasal 5 yang sudah di
revisi dengan UU zakat yang disyahkan pada tanggal 27 Oktober 2011. Dalam UU
tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat
dan dipercaya oleh masyarakat. Lembaga amil zakat yang telah dikukuhkan di
instansi-instansi pemerintah maupun swasta berdasarkan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999, oleh Undang-Undang ini diubah statusnya menjadi unit pengumpul zakat
dari badan amil zakat setempat. Sedang lembaga amil zakat lainnya yang telah
dikukuhkan oleh pemerintah diintegrasikan ke dalam badan amil zakat setempat
sebagai unsur masyarakat. Pengumpulan zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris,
dan kafarah akan dilakukan di seluruh desa/kelurahan oleh badan amil zakat
desa/kelurahan dengan melibatkan pengurus-pengurus masjid sebagai unit pengumpul
zakat di wilayah masingmasing dibantu oleh petugas penyuluh dan petugas
pengumpul yang dilatih oleh badan amil zakat kabupaten/kota dibawah bimbingan
ulama dan pemerintah setempat Beberapa keuntungan dari pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh lembaga pengelola zakat dan yang memiliki kekuatan hukum formal
antara lain : Pertama, untuk menjamin kepastian dan kedisiplinan pembayar zakat.
Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan
langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi
dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala
prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar Islam
dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. 3 Model pengelolaan
zakat secara produktif ini telah dicontohkan pada masa Khalifah Umar Ibn Khathab
yang menyerahkan zakat berupa tiga ekor unta sekaligus kepada salah seorang
mustahiq yang sudah rutin meminta zakatnya tetapi belum berubah nasibnya. Pada
saat penyerahan tiga ekor unta itu, khalifah mengharapkan agar yang bersangkutan
tidak datang lagi sebagai penerima zakat tetapi diharapkan khalifah sebagai pembayar
zakat. Harapan Khalifah Umar Ibn Khathab tersebut ternyata menjadi kenyataan,
karena pada tahun berikutnya orang ini datang kepada Khalifah Umar Ibn Khathab
bukan meminta zakat, tetapi untuk menyerahkan zakatnya.4

C. Sadaqah Jariyah dan Wakaf


Wakaf adalah kata yang berasal dari kata kerja waqofa (fiil madi ), yaqifu (fiil
mudori’), waqfan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf
menurut syara’ adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa
menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.
Secara terminologis fiqih tampak diantara para ahli (fuqoha), baik Maliki, Hanafi,
Syafi’i maupun Hambali berbeda pendapat terhadap batasan pendefinisian
wakaf. Realitas dan kenyataan ini disebabkan karena adanya perbedaan landasan dan
pemahaman serta penginterpretasiannya terhadap ketentuan-ketentuan yang ada
dalam berbagai hadits yang menerangkan tentang wakaf.
3
Didin Hafidhuddin, Panduan Zakat bersama DR. KH. Didin Hafidhuddin. (Jakarta: Republika, 2002), hlm. 126
4
Irfan Mahmud Ra'ana, Economics System Under The Great (Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn
Khathab), terj. Mansuruddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1979), hlm. 88
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa wakaf adalah mubah. Sedangkan para faqih yang
lain berpendapat hukum wakaf adalah mandub (mustahab). Arti mandub (mustahab)
ialah “Suatu perbuatan yang diberi pahala bagi pelakunya, tetapi tidak dijatuhi sanksi
bagi yang meninggalkannya”. Sumber masyru’ (legitimasi) wakaf dan sejarahnya
dalam Islam adalah Al-Quran, Sunnah dan respon sahabat-sahabat Rasulullah
Muhammad SAW.
Dalil-dalil yang dijadikan sandaran atau dasar hukum wakaf dalam Agama Islam
adalah:

ِ ‫وا ِم ن شي ٍء فَإ ِ َّن اللّهب ِه‬


‫عل يم‬ ْ ُ‫تنف ق‬
ِ ‫تح بونَ وما‬ ْ ُ‫تنف ق‬
ِ ‫وا ِم ما‬ ْ ْ‫لَن تناُلو‬
ِ ‫االبِرحتى‬

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apasaja yang
kamunafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali-Imran : 92)

‫ياأيهاالذين آمنوا أنفقوا من طيبت ماكسبتم ومماأخرجنالكم من األرض‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dariapa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu, ”. (QS. Al-Baqarah: 267).

‫وتعاونواعلى البروالتقوى والتعاونوا على اإلثم والعدوان واتقوااهللا إناهللا شديدالعقاب‬

Artinya: “………Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-
Maidah: 2).
Menurut para ulama, wakaf ada dua macam, yaitu wakaf ahli (khusus) dan wakaf
khairi (umum). Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus.
Maksudnya, wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik kepada keluarga
maupun kepada pihak lain. Wakaf ahli terkadang disebut juga dengan wakaf ‘alal
aulad, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam
lingkuanga keluarga (famili), lingkungan keluarga sendiri.
Wakaf khairi, secara tegas diperuntukkan untuk kepentingan agama atau masyarakat
umum. Seperti wakaf yang diserahkan untuk pembangunan masjid, rumah sakit,
rumah anak yatim dan lain sebagainya.
Dalam fiqih Islam dikenal ada 4 (empat) rukun atau unsur wakaf, antara lain adalah:
1. Orang yang berwakaf (waqif);
2. Benda yang diwakafkan (mauquf);
3. Penerima wakaf (nadzir);
4. Lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf.
Menurut Jumhur, Mazhab Syafi’I, Maliki dan Hambali; rukun wakaf itu ada 4 (empat)
perkara. Menurut Khatib As Sarbun dalam Mugni Al-Muhtaj, 4 (empat) rukun wakaf
tersebut adalah orang yang berwakaf (Al- waqif), benda yang diwakafkan (Al-
mauquf), orang atau objek yang diberi wakaf (Al-mauquf alaih), dan sighat wakaf. PP
No. 28 tahun 1977 tidak mencantumkan secara lengkap unsur-unsur perwakafan.
Kendatipun demikian, untuk memenuhi fungsi wakaf di dalam ketentuan umum dan
dalam peraturan pelaksananya, nadzir merupakan salah satu unsur perwakafan di
Indonesia. Oleh karenanya unsur-unsur perwakafan tanah milik adalah waqif, ikrar,
benda yang diwakafkan, tujuan wakaf dan nadzir.
Pelaksanaan wakaf dianggap sah apabila terpenuhi syarat-syarat yaitu:
1. Wakaf harus orang yang sepenuhnya menguasai sebagai pemilik benda yang akan
diwakafkan. Si Wakif tersebut harus mukallaf (akil baligh) dan atas kehendak
sendiri.
2. Benda yang akan diwakafkan harus kekal dzatnya, berarti ketika timbul
manfaatnya dzat barang tidak rusak. Harta wakaf hendaknya disebutkan dengan
terang dan jelas kepada siapa dan untuk apa diwakafkan.
3. Penerima wakaf haruslah orang yang berhak memiliki sesuatu, maka tidak sah
wakaf kepada hamba sahaya.
4. Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas baik dengan lisan maupun tulisan.
5. Dilakukan secara tunai dan tidak ada khiyar (pilihan) karena wakaf berarti
memindahkan wakaf pada waktu itu. Jadi, peralihan hak terjadi pada saat ijab
qobul ikrar wakaf oleh Wakif kepada Nadzir sebagai penerima benda wakaf.

Kebanyakan para ulama menjelaskan bahwa sedekah jariyah yang dimaksud dalam
hadis tersebut adalah waqaf, namun Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim
al-Mubarakfuri (w.1353 H) dalam kitab Tuhfat al-Ahwadzi (syarh sunan at-Tirmidzi),
mengatakan bahwa arti dari hadis tentang sedekah jariyah tidak hanya berlaku pada
wakaf semata. Hal itu berlaku pada tiap aktifitas yang masih berkelanjutan
manfaatnya.
ُ‫َار ِه َي ْال َو ْقفُ َو َشبَهُهُ ِم َّما يَدُو ُم نَ ْف ُعه‬
ِ ‫قَا َل فِي اأْل َ ْزه‬
Pendapat ini tentunya tidak mengherankan mengingat sebagian ulama sebelumnya
telah ada yang berpikiran demikian seperti pendapat Ibnu al-‘Arabi sebagaimana
dikutip dalam kitab Dalil al-Falihin syarh Riyadh as-Shalihin karya Muhammad Ali
bin Muhammad bin ‘Allan bin Ibrahim al-Bakri (W 1057 H): ‫ من سعة كرم‬:‫قال ابن العربي‬
،‫ أو علم ينتفع به‬،‫ صدقة جارية‬:‫هللا تعالى أن يثيب على ما بعد الحياة كما يثيب على ذلك في الحياة وذلك في ستة‬
‫ أو الرباط‬،‫ أو زرع‬،‫ أو غرس‬،‫أو ولد صالح يدعو له‬
Artinya; Ibnu al-‘Arabi berkata: “Sebagaian dari luasnya kedermawanan Allah swt
adalah bahwa Dia akan memberi pahala kepada orang yang telah meninggal
sebagaimana pemberian yang diberikan kepadanya ketika masih hidup. Hal itu
berlaku dalam enam hal: sedekah jariyah, ilmu yang masih dimanfaatkan oleh orang
lain, anak shaleh yang bersedia mendo’akannya, menanam pohon (mengadakan
penghijauan), menanam benih di ladang/kebun, serta menyediakan tempat untuk
kaum dhuafa’.” Saudara penanya yang kami hormati. Dengan penjelasan dari
beberapa ulama tersebut dapat kita fahami bahwa medan atau cakupan sedekah
jariyah dapat diperluas ke berbagai bidang selama masih bermanfaat bagi generasi
mendatang. Standar kemanfaatan tentunya mengacu kepada hal-hal yang telah
dibenarkan oleh syari’at. Dalam hal ini bidang keagaamaan, bidang sosial, serta
bidang pendidikan masih membuka peluang yang sangat besar untuk bersedekah.
Mendirikan, membangun serta merawat berbagai fasilitas yang sering dipergunakan
seperti lembaga pendidikan, pendirian rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim dan
anak-anak terlantar serta hal-hal lain yang masih membutuhkan uluran tangan dari
kaum dermawan, kesemuanya itu dapat dimasukkan dalam kategori sedekah jariyah.
Jadi cakupan sedekah jariyah sebagaimana pertanyaan yang anda sampaikan tentunya
tidak hanya berlaku pada waqaf untuk sarana peribadatan (masjid) saja. Umat Islam
perlu mengembangkan dan memerapkan arti sedekah jariyah dalam lingkup yang
lebih luas. Jika ini yang terjadi maka cita-cita untuk mewujudkan ‘Izz al-Islam wa al-
Muslimin (kemuliaan Islam dan pemeluknya) sebagaimana harapan Nabi kita akan
terwujud.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemberdayaan ekonomi umat, berarti upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat lapisan masyarakat Islam dari kondisi tidak mampu, serta melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi. Dengan kata lain, sebagai
upaya membangun kemandirian umat di bidang ekonomi. Pemberdayaan ekonomi
untuk masyarakat miskin menjadi program nasional yang melibatkan semua pihak,
begitupun dengan lembaga zakat baik BAZNAS maupun LAZNAS. Di Indonesia
sendiri sudah melakukan beberpapa program zakat yang difokuskan untuk
kepentingan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, seperti
Launching Program Community Development “Misi Zakat Community Development
di Pulau Kera”, Rumah Pintar dan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan
Masyarakat Dhuafa melalui program Zakat Community Development (ZCD). Menurut
Ketua Umum BAZNAS Didin Hafidhudin, pemberdayaan ini bersifat integratif dan
komprehensif. “Pemberdayaannya bukan hanya ekonomi, dan kesehatan, tapi
juga agama, akhlak dan moral.”
Cara-cara pelaksanaan zakat sangatlah terinci dalam ajaran Islam seperti yang
dapat kita lihat penjabarannya yang lengkap dalam kitab-kitab fiqh. Yang terpenting
diantaranya adalah ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
g. Jenis-jenis harta benda atau kekayaan yang dikenai zakat.
h. Besarnya kekayaan yang dikenai zakat dari tiap-tiap jenis tersebut (nishab).
i. Besarnya zakat yang dipungut dari tiap-tiap jenis tersebut.
j. Waktu pemungutannya (haul).
k. Jenis-jenis penerima zakat (ashnaf).
l. Cara-cara pembagiannya
Wakaf adalah kata yang berasal dari kata kerja waqofa (fiil madi ), yaqifu (fiil mudori’),
waqfan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf menurut syara’
adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2001 tentang Badan Amil
Zakat Nasional, hlm. 2 – 5 .
Dahlan, Abdul Aziz dkk. Ensiklipedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar baru van
hoeve,1996).
Hafidhuddin, Didin. Panduan Zakat bersama DR. KH. Didin Hafidhuddin. (Jakarta:
Republika, 2002).
Ra'ana, Irfan Mahmud. Economics System Under The Great (Sistem Ekonomi
Pemerintahan Umar Ibn Khathab), terj. Mansuruddin Djoely, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1979).
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani.
https://mui.or.id
Amin, Makruf, et.al, 2011. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta: Erlangga.
https://islam.nu.or.id/post/read/56977/apa-saja-yang-digolongkan-amal-jariyah

Anda mungkin juga menyukai