Anda di halaman 1dari 13

Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi

Nama : Fatimah Nur Azizah Kelas : A

NIM : K4519025 Prodi : Pendidikan IPA

Rangkuman Materi Pertemuan 6

Pengertian, Landasan, Sekolah, dan Kurikulum Pendidikan Inklusif

A. Pengertian Pendidikan Inklusif


Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkebutuhan Khusus yang
diadakan oleh (UNESCO, 1994) menyatakan bahwa pendidikan inklusif merupakan
perkembangan pelayanan pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus, di mana prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama
memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar bersama-sama tanpa
memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Menurut (Smith, 2006:45) Pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan
penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program
sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan
anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial
yang ada di sekolah.
B. Landasan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai
berikut.
a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung
Garuda yang berarti ‘bhineka tunggal ika.’ Keragaman dalam etnik, adat istiadat,
keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap
menjungjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Pandangan agama khususnya Islam antara lain ditegaskan bahwa: (1) manusia
dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan
karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum
kecuali kaum itu sendiri, (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling
silaturahmi (‘inklusif’)
c. Pandangan universal hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia
mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.
2. Landasan Yuridis
a. UUD 1945 (Amandemen) Ps 31 : (1) berbunyi setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
b. UU no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps 48 Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak. Ps 49
Negara, Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
c. UU no 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Ps 5 ayat (1) setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu.
Ayat (2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual dan /atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3)
Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Ayat (4) Warga negara
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus. Pasal 11 ayat (1) dan (2) Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah
dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas
tahun. Pasal 12 ayat (1) setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dngan bakat, minat dan
kemampuannya (1b) Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan
pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1e) Pasal 32 ayat (1)
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. Ayat (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan /atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Dalam penjelasan pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa pendidikan khusus
merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara
inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Pasal 45 ayat (1) Setiap satuan pendidikan formal dan non formal
menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual,
sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
d. Peraturan pemerintah no 19 tahun 2005 tentang standar Nasional pendidikan Pasal
2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar
sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. Dalam PP No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan
pendidikan khusus terdiri atas SDLB, SMPLB, SMA LB.
e. Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003 tanggal 20
Januari 2003 perihal pendidikan inklusif.menyelenggarakanb dan
mengembangkan di setiap kabupaten /kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang
terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.
3. Landasan Empiris
a. Deklarasi Hak Azasi Manusia, 1948
b. Konvensi Hak Anak, 1989
c. Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk semua, 1990
d. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang persamaan kesempatan bagi orang
berkelainan.
e. Pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusi, 1994
f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk semua, 2000
g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan
inklusif,”
h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah
terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai :
1) sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh
yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk semua adalah benar-benar
untuk semua
2) sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan
pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai
bagian dari program- program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi
3) sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan
menghormati perbedaan individu semua warga negara.
C. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pendidikan Inklusif
Stubbs (2002) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi yang sukses ditentukan oleh 3
faktor penentu utama, yaitu:
a. Adanya kerangka yang kuat.
Pengembangan kerangka yang kuat merupakan komponen utama pendidikan
inklusi, yang akan berfungsi sebagai program. Kerangka ini harus terdiri dari:
1) Nilai-nilai dan keyakinan yang kuat dan mendalam yang tidak mudah untuk
diubah. Salah satu hambatan utama implementasi inklusi sering kali adalah sikap
negatif.
2) Prinsip-prinsip dasar
Pendidikan inklusi memiliki prinsip-prinsip yang berakar pada nilai dan keyakinan
dan semuanya memunculkan tindakan yang harus dilakukan agar inklusi terlaksana.
3) Indikator keberhasilan
Indikator atau ukuran keberhasilan perlu dikembangkan secara partisipatif di dalam
budaya dan konteks lokal. Pendekatan untuk mengembangkan indikator tersebut
adalah:
- Membentuk tim koordinasi partisipatori.
- Menyiapkan materi untuk menstimulasi diskusi yang didasarkan pada pernyataan-
pernyataan tentang inklusi dari berbagai dokumen internasional, studi kasus, dan
definisi pendidikan inklusi.
- Menggunakan pendekatan partisipatori untuk membuat daftar nilai- nilai, keyakinan
dan prinsip-prinsip inti yang berkaitan dengan pendidikan inklusi.
- Mendapatkan opini dari kelompok-kelompok yang tersisihkan, seperti perempuan,
anak-anak, penyandang cacat, orang lanjut usia.
- Menggunakan penerapan isu kebijakan, kurikulum, pelatihan, bangunan sekolah
dengan menyesuaikan pada kondisi dan situasi yang ada.
- Mendeskripsikan perilaku, keterampilan, pengetahuan dan perubahan konkret yang
akan menunjukkan bahwa nilai-nilai, keyakinan atau prinsip-prinsip itu benar-benar
dipraktikkan.
b. Implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal.
Masalah yang muncul dalam pendidikan inklusi dapat diatasi dengan cara
menyesuaikan permasalahan yang muncul dalam budaya konteks tertentu. Sehingga,
solusi yang diekspor dari suatu budaya konteks tidak dapat mengatasi permasalahan
dalam budaya konteks lain yang sama sekali berbeda.
Maka, pendidikan inklusi mempertimbangkan hal-hal berikut:
1) Situasi praktis, jelaslah isu-isu setiap budaya akan berbeda menurut tiap budaya
dan konteks. Pendidikan inklusi akan berjalan optimal jika disesuaikan dengan
budaya dan konteks lokal yang ada.
2) Sumber-sumber daya yang tersedia orang, keuangan, materi. Banyak orang
beragumen bahwa mereka tidak dapat melaksanakan pendidikan inklusi karena kita
tidak memiliki sumber daya yang cukup. Padahal, pendidikan inklusi dapat
berkembang optimal dengan memaksimalkan sumber daya yang ada.
3) Faktor-faktor budaya. Sangatlah penting untuk secara sadar mempertimbangkan
faktor- faktor budaya dalam merencanakan pendidikan inklusi. Dimana, budaya yang
berbeda memiliki kebutuhan, pengetahuan, kondisi dan masalah yang berbeda. Setiap
budaya juga memiliki faktor-faktor utama yang terkait dengan budaya lokal, baik
faktor pendukung maupun faktor penghambat. Pendidikan inklusi dapat berjalan
optimal jika mampu memahami dan mengidentifikasi hal tersebut.
c. Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis.
Pendidikan inklusi tidak akan berhasil jika hanya merupakan struktur yang
mati. Pendidikan inklusi merupakan proses yang dinamis dan agar pendidikan inklusi
terus hidup, diperlukan adanya monitoring yang melibatkan semua stakeholder. Satu
prinsip inti dari pendidikan inklusi adalah harus tanggap terhadap keberagaman secara
fleksibel, yang senantiasa berubah dan tidak dapat diprediksi. Jadi, pendidikan inklusi
harus tetap hidup dan mengalir. Secara bersama-sama, ketiga faktor penentu utama
tersebut membentuk organisme hidup yang kuat, yang dapat beradaptasi dan tumbuh
dalam budaya dan konteks lokal.
D. Pengertian Sekolah Inklusif
Sekolah inklusi merupakan salah satu bentuk pemerataan dan bentuk perwujudan
pendidikan tanpa diskriminasi dimana anak berkebutuhan khusus dan anak-anak pada
umumnya dapat memperoleh pendidikan yang sama. Dalam pendidikan inklusi anak
berkebutuhan khusus tidak mendapat perlakuan khusus ataupun hak-hak istimewa,
melainkan persamaan hak dan kewajiban yang sama dengan peserta didik lainnya.
Kerjasama dari berbagai pihak baik itu pemerintah, pihak sekolah, dan masyarakat sangat
berpengaruh dalam pelaksaannya, karena sekolah inklusi merupakan tantangan baru bagi
pihak sekolah dan masyarakat. Adanya sekolah inklusi akan menciptakan generasi
penerus yang dapat memahami dan menerima segala bentuk perbedaan dan tidak
menciptakan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat kedepannya. (Darma & Rusyidi,
2015)
E. Tujuan Pengembangan Kurikulum, Model Pengembangan, Konsep Dasar
Pembelajaran Individual, Perencanaan Program Pembelajaran Individual, dan
Pelaksanaan Program Pembelajaran Individual.
a. Tujuan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah perubahan dan peralihan total dari satu
kurikulum ke kurikulum lain (Soemanto, 1986: 45). Kegiatan pengembangan
kurikulum mencakup penyusunan kurikulum itu sendiri, pelaksanaan di sekolah-
sekolah yang disertai dengan penilaian yang intensif, dan penyempurnaan-
penyempurnaan yang dilakukan terhadap komponenkomponen tertentu dari
kurikulum tersebut atas dasar hasil penilaian. Hamalik menyebutkan (2007: 183)
bahwa pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan kurikulum agar
menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan
dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen situasi belajar-mengajar,
antara lain jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan yang
disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pegukur pengembangan
kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber-sumber mengacu pada unit, rencana
unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan proses belajar
mengajar.
Setiap pengembangan kurikulum mempunyai tujuan. Adapun tujuan
pengembangan kurikulum antara lain adalah untuk mengurutkan tujuantujuan
pengajaran secara sistematis logis sehingga siswa dapat mengembangkan
keterampilan dan pengetahuannya secara saling berhubungan sepanjang tahun
(Nurgiyantoro, 1988: 86).
b. Model Pengembangan Kurikulum
1.) Model Tyler
Model Tyler adalah model yang paling dikenal bagi perkembangan kurikulum
dengan perhatian khusus pada fase perencanaan, dalam bukunya Basic Principles
of Curriculum and Instruction. The Tyler Rationale, suatu proses pemilihan tujuan
pendidikan, dikenal luas dan dipraktekkan dalam lingkungan kurikulum.
Walaupun Tyler mengajukan suatu model yang komprehensif bagi perkembangan
kurikulum, bagian pertarna dari model Tyler, pemilihan tujuan, mendapat banyak
perhatian dari pendidik lain.
2.) Model Taba (Converter Model)
Taba menggunakan pendekatan akar rumput (grass-roots approach) bagi
perkembangan kurikulum. Taba percaya kurikulum harus dirancang oleh guru dan
bukan diberikan oleh pihak berwenang. Menurut Taba guru harus memulai proses
dengan menciptakan suatu unit belajar mengajar khusus bagi murid-murid mereka
disekolah dan bukan terlibat dalam rancangan suatu kurikulum umum. Karena itu
Taba menganut pendekatan induktif yang dimulai dengan hal khusus dan
dibangun menjadi suatu rancangan umum.
3.) Model Wheeler
Pendakatan yang digunakan Wheeler dalam pengembangan kurikulum pada
dasarnya memiliki bentuk rasional. Setiap langkah kurikulum pada dasarnya
memiliki bentuk rasional. Setiap langkah (phase)nya merupakan pengembangan
secara logis terhadap model sebelumnya, di mana secara umum langkah tidak
dapat dilakukan sebelum langkah-langkah sebelumnya telah diselesaikan. Sebagai
mantan akademisi Univerrsity of Western Australia, Wheeler mengembangkan
ide-idenya sebagimana yang telah dilakukan pleh Tayler dan Taba. Wheeler
menawarkan lima langkah itu jika dikembangkan dengan logis temporer, akan
menghasilkan suatu kurikulum yang efektif. Dari lima langkahnya ini, sangat
tampak bahwa Wheeler mengembangkan lebih lanjut apa yang telah dilakukan
Tyler dan Taba meski hanya dipresentasikan agak berbeda.
4.) Model Nicholis
Langkah-langkah terbut menurut Nicholls adalah; a. Situsional analysis (analisis
situasional), b. Selection of objectives (seleksi tujuan), c. Selection ang
organization of content (seleksi dan organisasi isi), d. Selction and organization of
methods (seleksi dan organisasi metode), e. Evaluation (evaluasi).
5.) Model Skillbek
Skilbeck (1976) mengajurkan suatu pendekatan dan mengembangkan kurikulum
pada tingkat sekolah. Pendapatnya mengenai sekolah di dasarkan pada
pengembangan kurikulum (SCBD), sehingga Skilbeck memberikan suatu model
yang membuat pendidik dapat mengembangkan kurikulum secara tepat dan
realistic. Dalam hal ini, Skilbeck memepertimbangkan model dynamic in nature.
6.) Model Saylor
Model ini membentuk curriculum planning process (proses perencanaan
kurikulum).Untuk mengerti model ini, kita harus menganalisa konsep kurikulum
dan konsep rencana kurikulum mereka. Kurikulum menurut mereka adalah "a plan
for providing sets of learning opportunities for persons to be educated" ; sebuah
rencana yang menyediakan kesempatan belajar bagi orang yang akan dididik.
Namun, rencana kurikulum tidak dapat dimengerti sebagai sebuah dokumen tetapi
lebih sebagai beberapa rencana yang lebih kecil untuk porsi atau bagian
kurikulum tertentu.
7.) Model Kemmis dan Mc. Taggart
c. Konsep Dasar Pembelajaran Individual
Secara umum pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses perubahan
tingkah laku sebagai hasil interaksi antara diri dan lingkungannya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya (Surya,1996:9).
Kondisi atau situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus
dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh perancang, yaitu guru. Tugas
guru bukan hanya menyuapi siswa dengan materi pelajaran tetapi guru sebagai
fasilitator, yang diantaranya bertugas menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa
giat melakukan belajar.
d. Perencanaan Program Pembelajaran Individual
Empat Langkah Program Individualisasi Pembelajaran (Mercer&Mercer,1989:6)
Langkah I: Mengidentifikasi keterampilan yang ditargetkan melalui asesmen.
Langkah II: Menentukan kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang mungkin dapat
memudahkan (memfasilitasi) pembelajaran.
Langkah III. Merencanakan Pembelajaran.
Langkah IV: Memulai pembelajaran yang mengatur data harian.
e. Pelaksanaan Program Pembelajaran Individual
Contoh Prosedur Kegiatan Pembelajaran Individual (Mercer&Mercer,1989:8)
1. Presentation
– Pendahuluan; Guru membicarakan sasaran keterampilan belajar yang dibutuhkan
yang merupakan tanggung jawab siswa terhadap pengajarannya.
– Demonstrasi & Modeling; Guru memecah-mecahkan sasaran keterampilan kedalam
komponenkomponen bagian sehingga menjadi sub-sub yang lebih kecil. Kemudian
guru mendemonstrasikannya atau memberi contoh dari sub keterampilan tersebut
sehingga siswa memahami tugasnya.
2. Controlled Practice (Siswa melakukan tugas dengan bimbingan & pengawasan
guru)
– Siswa melakukan tugas yang dipilih dengan bimbingan dan pengawasan dari guru,
kemudian guru memberikan umpan balik dan penguatan.
– Siswa melakukan tugas yang sejenis dari keterampilan/sub dengan pengawasan dan
bimbingan guru, kemudian guru memberikan umpan balik dan penguatan.
3. Independent Practice (Siswa melakukan tugas tanpa bimbingan guru)
– Siswa melakukan seluruh tugas dari keterampilan/sub dengan kriteria yang telah
ditentukan kemudia guru memberikan umpan balik dan penguatan tanpa bimbingan
dari guru.
– Siswa melakukan tugas-tugas yang sejenis secara bervariasi dari keterampilan/sub
ketrampilan tersebut berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, kemudian guru
memberikan umpan balik dan penguatan.
Rangkuman Materi Pertemuan 7

Inklusi Sebagai Sistem, Keterkaitan Antar Komponen, dan Implikasi Manajerial

A. Inklusi Sebagai Sistem


Inklusi sebagai sistem diartikan sebagai suatu sistem dalam proses pendidikan
dimana secara bersama-sama tiap-tiap warga sekolah menyadari tanggung jawab
bersama dalam kesempatan memperoleh pembelajaran bagi semua peserta didik
sehingga potensi diri berkembang secara optimal sesuai potensi mereka dari
kemampuan yang dimiliki. Inklusi bukanlah sekedar memasukkan anak berkebutuhan
khusus sebanyak mungkin dalam lingkungan belajar siswa normal, tetapi inklusi
merupakan suatu sistem pendidikan yang berstruktur dan menyeluruh yang hanya
dapat diterapkan ketika semua warga sekolah mampu memahami seluruh potensi serta
hambatan para peserta didik dalam proses dalam pendidikan. Secara sadar pemerintah
Indonesia melalui kementerian pendidikan telah berusaha mentransformasi sistem
pendidikan inklusi dalam proses pembelajaran dengan meminimalisir adanya
hambatan yang dimiliki setiap peserta didik untuk mampu berpartisipasi penuh dalam
menyukseskan keberhasilan pendidikan.
B. Keterkaitan Antar Komponen
Komponen-komponen dalam pendidikan inklusi, diantaranya:
a. Manajemen Kesiswaan.
Langkah awal untuk menandai anak-anak yang mengalami kelainan atau anak
dengan kebutuhan khusus adalah dengan melakukan identifikasi dan assesmen
terhadap peserta didik baru. Identifikasi merupakan proses untuk menemukan dan
mengenali keberagaman anak/peserta didik.
b. Manajemen Kurikulum dan Penilaian.
Kurikulum pada penyelenggara pendidikan inklusif harus mencakup kurikulum
nasional yang merupakan standar nasional yang dikembangkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Kurikulum yang digunakan di kelas inklusif adalah
kurikulum anak normal (reguler) yang disesuaikan (dimodifikasi) dengan
kemampuan awal dan karakteristik siswa.
c. Manajemen Tenaga Pendidik.
Pendidik atau guru yang terlibat di sekolah inklusif yaitu guru kelas, guru mata
pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Guru pembimbing khusus adalah guru
yang mempunyai latar pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) atau guru yang
pernah mendapat pelatihan tentang pendidikan khusus (luar biasa), yang
ditugaskan di sekolah inklusif.
d. Manajemen Sarana Prasarana.
Sarana dan prasarana merupakan salah satu komponen penting dalam
penyelenggaraan pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif sarana
prasarana yang dibutuhkan akan lebih bervariasi, karena siswa berkebutuhan
khusus juga memerlukan beberapa sarana prasarana khusus penunjang proses
pembelajaran, yang menyesuaikan dengan jenis kebutuhan khusus siswa. Sekolah
inklusif harus menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang bagi siswa
berkebutuhan khusus, misalnya buku-buku pelajaran dalam bentuk braille, buku
audio atau talking-books untuk siswa tunanetra, dan peralatan khusus yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
e. Manajemen Keuangan/Dana.
Pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti pemerintah, pemerintah daerah, swasta, Non Governemnt
Organization (NGO), masyarakat (orang tua peserta didik dan lembaga swadaya
masyarakat), dan/atau dana dari luar negeri. Manajemen keuangan pada sekolah
inklusif harus mengalokasikan sebagian dananya untuk berbagai keperluan
khusus, seperti penilaian, modifikasi kurikulum, media, metode dan insentif bagi
tenaga ahli yang terlibat. Sebab pada dasarnya kelas inklusif memiliki perbedaan
dengan kelas reguler, baik dari segi fasilitas, guru, maupun materi. Oleh karena
itu, kebutuhan dana sekolah inklusif akan lebih besar daripada sekolah reguler.
f. Manajemen Lingkungan (internal dan eksternal).
Masyarakat selaku mitra sekolah penyelenggara pendidikan inklusif memiliki
peran yang strategis dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif dan
pembangunan pendidikan, baik sebagai pelaku, penyelenggara, pengelola,
penyandang dana, pengawas maupun tenaga kependidikan.
g. Manajemen Layanan Khusus.
Manajemen layanan khusus merupakan suatu proses kegiatan yang memberikan
pelayanan kebutuhan kepada siswa untuk menunjang kegiatan pembelajaran agar
tujuan pendidikan bisa tercapai secara efektif dan efisien.
h. Monitoring dan Evaluasi Penyelenggara Pendidikan Inklusif.
Monitoring dan evaluasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan pada suatu kegiatan
atau program dalam hal ini penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sedang atau
sudah berlangsung.

Keterkaitan antar komponen dalam sistem pendidikan inklusi diatas contohnya


adalah dalam menentukan bahan pelajaran merujuk pada tujuan yang telah ditentukan,
bagaimana materi tersebut akan disampaikan maka akan menggunakan
metode/strategi yang tepat serta didukung oleh media pembelajaran yang sesuai. `
Demikian juga evaluasi, akan merujuk pada tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai. Komponen pembelajran yang lain adalah adanya anak didik/siswa,
pendidik/guru, dan masyarakat sebagai pendukung terlaksananya proses
pembelajaran.
C. Implikasi Manajerial
Secara garis besar implikasi manajerial pendidikan inklusif adalah sebagai berikut :
1.) Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
2.) Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan
kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
3.) Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
4.) Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau
sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
5.) Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam
proses pendidikan.
Sumber Referensi:
1. Abdurahman,M.(1995) Program Pendidikan Individual, Jakarta: Depdikbud
2. Darma, I. P., & Rusyidi, B. (2015). Pelaksanaan sekolah inklusi di
Indonesia. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyar
3. Erawati, I. L., Sudjarwo, S., & Sinaga, R. M. (2016). Pendidikan Karakter Bangsa
pada Anak Berkebutuhan Khusus dalam Pendidikan Inklusif. Jurnal Studi
Sosial, 4(1).
4. Kenneth & Rita (1978) Teaching Student trough Their Individual Learning Styles, A
Practical Approach, Virginia: Prentice Hall
5. Mercer & Mercer (1989) Teaching Student With Learning Problems, USA: Merrill
Publishing Company
6. Prawijaya, W. (2012). MODEL–MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM.
http://wisnucorner.blogs.uny.ac.id/wp-content/uploads/sites/1955/2015/11/WISNU-
PRAWIJAYA_RESUME_VIII_MODEL-PENG-KUR.pdf. Diakses pada 9 April
2021.
7. Rochyadi & Alimin (2005) Pengembangan Program Pembelajaran Individual bagi
Anak Tunagrahita, Jakarta: Depdiknas
8. Smith, J. David. (2006). Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua. Bandung: Penerbit
Nuansa.
9. Stubbs, Sue. 2002. Inclusive Education Where There Are Resources : The Atlas
Alliance
10. UNESCO. (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special
Needs Education. Paris: Auth
11. https://www.coursehero.com/file/p3sj6kv/Hubungan-antar-komponen-tersebut-
misalnya-adalah-dalam-menentukan-bahan/
12. https://text-id.123dok.com/document/9yn9eld0q-implikasi-manajerial-pendidikan-
inklusif-pro-dan-kontra-pendidikan inklusif.html#:~:text=Secara%20garis%20besar
%20implikasi%20manajerila,menerima%20keanekaragaman%20dan%20menghargai
%20perbedaan.&text=3%20Guru%20di%20kelas%20reguler%20harus
%20menerapkan%20pembelajaran%20yang%20interaktif.

Anda mungkin juga menyukai