Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Termasuk iman kepada Allah adalah iman kepada apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-
an yang telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam serta yang telah
disepakati oleh generasi pertama dari ummat ini (para Sahabat Radhiyallahu anhum) bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala berada di atas semua langit[1], bersemayam di atas ‘Arsy[3], Mahatinggi di atas
segala makhluk-Nya, Allah tetap bersama mereka dimana saja mereka berada, yaitu Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “…Pandangan yang kami ikuti berkenaan dengan masalah ini
adalah pandangan Salafush Shalih seperti Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, Imam asy-
Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Imam-Imam lainnya sejak dahulu hingga sekarang, yaitu
mem-biarkannya seperti apa adanya, tanpa takyif (mempersoalkan kaifiyahnya/hakikatnya), tanpa
tasybih (penyerupaan) dan tanpa ta’thil (penolakan). Dan setiap makna zhahir yang terlintas pada benak
orang yang menganut faham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna
tersebut sangat jauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang menyerupai-Nya.
Seperti yang difirmankan-Nya:
‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.’ [Asy-Syuuraa: 11]
Tetapi persoalannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para Imam, di antaranya adalah
Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i -guru Imam al-Bukhari-, ia mengatakan: ‘Barangsiapa yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang mengingkari sifat yang
telah Allah berikan untuk Diri-Nya sendiri, berarti ia juga telah kafir.’ Tidaklah apa-apa yang telah
disifatkan Allah bagi Diri-Nya sendiri dan oleh Rasul-Nya merupakan suatu bentuk penyerupaan.
Barangsiapa yang menetapkan bagi Allah Azza wa Jalla setiap apa yang disebutkan pada ayat-ayat Al-
Qur-an yang jelas dan hadits-hadits yang shahih, dengan pengertian yang sesuai dengan kebesaran
Allah, serta menafikan segala kekurangan dari Diri-Nya, berarti ia telah me-nempuh jalan hidayah
(petunjuk).” [3]
ًَّضاال َ َو َما أَ َر، َوالس َُّؤا ُل َع ْن ُه ِب ْد َع ٌة، ٌإل ْي َمانُ ِب ِه َوا ِجب
َ َّاك إِال ِ َو ْا، َو ْال َكيْفُ غَ ْي ُر َمعْ قُ ْو ٍل،إلسْ ت َِوا ُء َغ ْي ُر َمجْ ه ُْو ٍل
ِ ْا.
“Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak
diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid’ah, dan aku
tidak melihatmu kecuali da-lam kesesatan.”
Kemudian Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut pergi dari majelisnya.[4]
َمنْ اَ ْن َك َر أَنَّ هللاَ َع َّز َو َج َّل فِي ال َّس َما ِ@ء َف َق ْد َك َف َر.
“Barangsiapa yang mengingkari bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas langit, maka ia telah kafir.” [5]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni
2006M]
_______
Footnote
[1]. Dalil-dalil Allah berada di atas langit: QS. Al-Mulk: 16-17, al-An’aam: 18, 61, an-Nahl: 50, al-Mu’min:
36-37 dan Faathir: 10.
[2]. Dalil-dalil tentang Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy-Nya disebut di tujuh tempat: QS. Al-A’raaf: 54, Yunus: 3,
ar-Ra’d: 2, Thaahaa: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajdah: 4 dan al-Hadiid: 4.
[3]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (II/246-247), cet. Daarus Salaam, th. 1413 H.
[4]. Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171), Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi (hal.
141), cet. Al-Maktab al-Islami, tahqiq Syaikh al-Albani.
[5]. Lihat Mukhtashar al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffaar (hal. 137, no. 119) tahqiq Syaikh al-Albani dan Syarhul
‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 386-387) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil
Muhsin at-Turki.
Kelima belas:
AHLUS SUNNAH MENETAPKAN MA’IYYAH (KEBERSAMAAN ALLAH)
“Dan tidaklah terjadi pembicaraan yang rahasia antara tiga orang, melainkan Allah yang keempatnya,
dan tidak terjadi pembicaraan antara lima orang, melainkan Allah yang keenamnya, dan tidak pula
pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di
mana pun mereka berada…” [Al-Mujaadilah: 7]
Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap bersama mereka di mana saja mereka berada, yaitu Allah
Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”
[An-Nahl: 128]
ض َو َما َي ْخ ُر ُج ِم ْن َها َو َما َي ْن ِز ُل م َِن ال َّس َما ِء َو َما ِ ْش ۚ َيعْ لَ ُم َما َيلِ ُج فِي اأْل َر َ ْت َواأْل َر
ِ ْض فِي سِ َّت ِة أَي ٍَّام ُث َّم اسْ َت َو ٰى َعلَى ْال َعر ِ ه َُو الَّذِي َخلَقَ ال َّس َم َاوا
ون بَصِ ي ٌر َ َ ُ ل م ْعتَ ام ب هَّللا
َِ ُ َ ْ و ۚ متُ ْ
ن ُ
ك ا م ْن يَ أ مكُ
َ َ ْ ََ َ َ َ ع م ُو
ه و ۖ اه ِي ف ج
ُ ر
ُ ْع ي
َ
“Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia istiwa’ (bersemayam) di
atas Arsy. Dia menge-tahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari-padanya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik ke-padanya. Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Al-Hadiid: 4]
Pengertian “ ه َُو َم َع ُك ْمAllah bersamamu,” bukanlah berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala bersatu, bercampur
atau bergabung dengan makhluk-Nya, karena hal ini tidak dibenarkan secara bahasa serta menyalahi
ijma’ Salafush Shalih, dan hal ini bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan bulan sebagai satu tanda
dari tanda-tanda (kebesaran dan ketinggian) Ilahi, yang termasuk di antara makhluk-Nya yang terkecil
yang terletak di langit, ia (bulan) dikatakan bersama musafir di mana saja musafir itu berada meskipun ia
berada di ketinggian sana.
Allah bersemayam di atas ‘Arsy dan Allah tetap mengawasi makhluk-Nya, mengamati (gerak-gerik)
mereka, serta mengintai (memperhatikan) perbuatan mereka.
Termasuk dalam hal ini adalah mengimani bahwa Allah itu dekat dan Dia mengabulkan (setiap do’a
hamba-Nya).
Apa yang telah dituturkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, bahwa Allah dekat dan bersama makhluk-Nya,
tidaklah bertentangan dengan yang Allah firmankan, bahwa Allah Mahatinggi dan bersemayam di atas
‘Arsy, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala Sifat-
Sifat-Nya. Dia Mahatinggi dalam kedekatan-Nya, tetapi dekat dalam ketinggian-Nya.[1]
…إِنَّ الَّذِيْ َت ْدع ُْو َن ُه أَ ْق َربُ إِلَى أَ َح ِد ُك ْم مِنْ ُع ُن ِق َرا ِحلَ ِت ِه.
“… Sesungguhnya Allah Yang engkau berdo’a kepada-Nya, lebih dekat kepada seseorang di antara kamu
daripada leher binatang tunggangannya.” [2]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni
2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat at-Tanbiihaatul Lathiifah (hal. 63-66) oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dan Syarah ‘Aqiidah al-
Waasithiyyah (hal. 167) oleh Khalil Hirras.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 2992, 4202, 6384, 6409, 6610), Muslim (no. 2704 (46)) dan Ahmad dalam
Musnadnya (IV/402), dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu. Lafazh hadits ini milik Ahmad.
Sumber: https://almanhaj.or.id/3258-ahlus-sunnah-menetapkan-istiwa-bersemayam-ahlus-sunnah-
menetapkan-maiyyah-kebersamaan-allah.html