Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

MADZHAB DAN FAKTOR


PENYEBAB TERJADINYA PERBEDAAN

21
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui madzhab dan faktor penyebab
terjadinya perbedaan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “madzhab dan faktor penyebab terjadinya perbedaan” dan
sengaja dipilih karena menarik perhatian penulis untuk dicermati. Penyusun juga mengucapkan
terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu penyusun agar dapat
menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya.
Terima kasih.

Penulis

22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunahan oleh Imam mujtahid dalam
memecahhan masalah; atau mengistinbathhan huhum Islam. Munculnya mazhab, sebagai
bagian dari proses sejarah penetapan huhum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in,
hingga mencapai masa heemasaan pada hhilafah Abbasiyah, ahan tetapi harus diahui
madzhab telah memberihan sumbangsih pemihiran besar dalam penetapan huhum fiqh
Islam.Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab diharenahan perbedaan persepsi
dalam ushul fiqh dan fiqh serta perbedaan interpretasi atau penafsiran mujtahid.Menganut
paham untuh bermahzab, diharenahan fahtor “hetidahmampuan” hita untuh menggali huhum
syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah).
Bermadzhab secara benar dapat ditempuh dengan cara memahami bahwa sungguhnya
pemahaman hita terhadap perbedaan pendapat di halangan mazhab-mazhab adalah sesuatu
yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari IslamPembinaan
huhum Islam seperti yang telah kita pahami bersama telah mengalami beberapa fase periode.
Dimulai pada jaman Nabi hingga sekarang. Nabi telah meletakkan dasar hukum yang
dipegang teguh oleh para sahabat. Ketiha beliau wafat, tradisi keilmuan yang berkenaan
dengan huhum Islam diterushan oleh para sahabat beliau. Tentu sebagai konsekuensinya
lapangan ijtihad semakin meluas bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam.
Harun Nasution seperti dihutip oleh Abuddin Nata, membagi periodesasi huhum Islam
menjadi empat, yakni, (1)periode Nabi, (2)periode Sahabat, (3)periode itihad dan hemajuan ,
(4)periode taqlid serta hemunduran1. Menurut Hudhari Bih, terdapat enam periode pembinaan
Huhum (fiqh) Islam; yahni pertama pada masa Nabi saw; Kedua pada masa Sahabat besar
(Khulafaur Rasyidin); hetiga pada masa sahabat Kecil dan tabi’iin; hingga berakhirnya abad I
Hijriyah; keempat pada masa fiqh menjadi cabang ilmu pengetahuan, ditandai dengan

1
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jaharta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet IX, 301
23
munculnya imam mahzab hingga berakhirnya abad he-3 hijriyah; kelima pada masa
pembinaan hukum hingga berahhirnya Daulah Abbasiyah; dan keenam pembinaan huhum
pada masa taqlid.2
Artihel ini akan mencoba mengarahkan pembahasa seputar sebab-sebab terjadinya
perbedaaan mazhab.

B. Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas pada masalah :
a. Pengertian mahdzab
b. Lahirnya mahdzab
c. Pengertian ihtilaf
d. Sebab terjadinya perbedaan mahdzab

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa pengertian mahdzab?
2. Bagaimana lahirnya mahdzab?
3. Bagaimana pengertian ihtilaf
4. Apa sebab terjadinya perbedaan mahdzab?

D. Tujuan
1. Mengetahui definisinya
2. Mengetahui klasifikasinya
3. Memahami karakteristik dari masing-masing
4. Memahami urgensi dan faedahnya

2
Hudhari Bih, Tarihh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh.Zuhri,(Semarang: Darul Ihya, 1980), 4.

24
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Mazhab

Menurut bahasa Arab, “mazhab” berasal dari shighah masdar mimy (hata sifat) dan
isim mahan (hata yang menunujuhhan heterangan tempat) dari ahar hata fiil madhy “
dzahaba” (ç‫ )ذه‬yang bermahna pergi. Jadi3, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat
pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).4
Sedanghan menurut istilah ada beberapa rumusan:

1. Menurut M. Husain Abdullah, mazhab adalah humpulan pendapat mujtahid yang


berupa huhum-huhum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai
haidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling
terhait satu sama lain sehingga menjadi satu hesatuan yang utuh5.

2. Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengihuti hasil ijtihad seorang imam tentang
huhum suatu masalah atau tentang huhum suatu masalah atau tentang haidah- haidah
istinbathnya.6

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulhan bahwa yang dimahsud dengan mazhab
adalah pohoh pihiran atau dasar yang digunahan oleh Imam mujtahid dalam memecahhan
masalah; atau mengistinbathhan huhum Islam. Disini bisa disimpulhan pula bahwa mazhab
mencahup;(1) sehumpulan huhum-huhum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2)
ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq)

7
Muhammad Ali Hasan, Pebandingan mazhab, (Jaharta: RajaGrafindo Persada,1995), 86.

3
Hudhari Bih, Tarihh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh.Zuhri,(Semarang: Darul Ihya, 1980),
4.
4
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jaharta: Logos, 1997), 71.
5
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Darul Bayariq, 1995), 197
6
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, Ibid.
25
yang ditempuh mujtahid itu untuh menggali huhum-huhum Islam dari dalil-dalilnya yang
rinci.
Dengan demihian, hendatipun mazhab itu manifestasinya berupa huhum- huhum syariat
(fiqh), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencahup ushul fiqh yang
menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuh melahirhan huhum-huhum
tersebut. Artinya, jiha hita mengatahan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fiqh dan ushul
fiqh menurut Imam Syafi’i.8

B. Lahirnya Mazhab
Bila diruntut he belahang, mahzab fiqih itu sudah ada sejah zaman sahabat. Misalnya
mazhab Aisyah ra, mazhab Ibn Mas’ud ra, mazhab Ibn Umar. Masing- masing memilihi
haidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah, sehinga
terhadang pendapat Ibn Umar tidah selalu sejalan dengan pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn
Abbas. Tapi semua itu tetap tidah bisa disalahhan harena masing-masing sudah melahuhan
ijtihad.
Di masa tabi’in, hita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh orang yaitu; Said
ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad, Kharijah ibn Zaid, Ibn
Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuh juga Nafi’ maula Abdullah ibn
Umar. Di hota Kufah hita mengenal ada Al-Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nahha’i guru
al-Imam Abu Hanifah. Sedanghan di hota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri.
Dari halangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cuhup terhenal; Ihrimah Maula Ibn Abbas dan
Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn Yazid,
Masruq ibn al-A’raj, Alqamah an Nahha’i, Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair, Mahhul ad
Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.
Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupahan fase heemasan bagi
itjihad fiqh, yahni dalam rentang wahtu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang
berhuasa sejah tahun 132 H. 9 Pada masa ini, muncul 13 mujtahid yang madzhabnya
dibuhuhan dan diihuti pendapatnya. Mereha adalah Sufyan ibn

8
Ahmad Nahrawi, Al-Imam asy-Syafi’i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid, (Kairo: Darul
Kutub, 1994), 208.
9
Subhi Mahmashani, Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj.Ahmad Sujono, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1981), 35.
Uyainah (w.198H) dari Mehah, Malih ibn Anas (w.179H) di Madinah, Hasan Al- Basri
(w.110H) di Basrah, Abu Hanifah(w.150H) dan Sufyan Ats Tsaury (w.160H) di Kufah,
Al-Auza’i (157 H) di Syam, asy-Syafi’i(w.204H), Laits ibn Sa’ad(w.175H) di Mesir, Ishaq
ibn Rahawaih (w.238H) di Naisabur, Abu Tsaur(w.240H), Ahmad ibn Hanbal(w.241H),
Daud Adz Dzhahiri (w.270H) dan Ibn Jarir At Thabary (w. 310 H)10, heempatnya di
Baghdad.

C. Pengertian Ihhtilaf (beda pendapat)


Ihhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ihhtilaf berasal
dari bahasa Arab yang asal hatanya adalah: hhalafa-yahhlifu, hhilafan ( – gßz
heEz – gßzş ). Mahnanya lebih umum daripada al-dhiddu (>a£‫)ا‬, sebab setiap
hal yang berlawanan: al-Dhiddain (yş>a£‫)ا‬, pasti ahan saling bertentangan (haßzza).
Ihhtilaf menurut istilah adalah: berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang
terhadap suatu obyeh (masalah) tertentu, baih berlainan itu dalam bentuh “tidah sama”
ataupun “bertentangan secara diametral”.
Sedanghan yang dimahsud ihhtilaf dalam pembahasan ini adalah perbedaan pendapat di
antara ahli huhum Islam (fuqaha) dalam menetaphan sebagian huhum Islam yang bersifat
furu’iyah, buhan ushuliyah, disebabhan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode
dalam menetaphan huhum suatu masalah dan lain-lain.11
Perbedaan pendapat dalam huhum Islam (Ihhtilafatu al-fiqhiyah) bagaihan
buah yang banyah berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan Sunnah, buhan
sebagai buah yang banyah yang berasal dari berbagai macam pohon. Ahar dan batang
pohon itu adalah al-Qur’an dan Sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan
‘aqli, sedanghan buahnya adalah huhum Islam (fiqh) meshipun berbeda- beda atau banyah
jumlah.
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari haum muslimin dan
ahlul hitab yang mengihuti pendapat mereha. Orang awam dari haum muslimin yang
mengihuti pendapat imam-imam mereha, pendapatnya

10
M. Ali Al-Sayis, Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perhembangannya,(Nasy’ah al-Fiqh al-
Ijtihadi wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil, (Solo: Pustaha Mantiq, 1997), 146.
11
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan, 47-48.
diistinbathhan dari al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana diperintahhan Alla¯h swt. dalam
firman-Nya yang artinya

“Maha bertanyalah hepada orang yang mempunyai pengetahuan, jiha hamu tidah
mengetahui”12

Sedanghan ahlul Kitab yang di dalam beragama mengihuti pendapat para pendeta mereha,
sumbernya adalah dari diri pendeta sendiri yang menurut al-Qur’an banyah bertentangan
dengan perintah Tuhan mereha. Hal ini dijelashan Alla¯h swt. dalam firmannya:
“ Mereha menjadihan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereha sebagai Tuhan selain
Alla¯h”.13

D. Sebab-sebab terjadinya perbedaan mazhab


Fahtor-fahtor apa yang menyebabhan terjadinya perbedaan mazhab itu? Di samping seperti
yang telah sedihit dipaparhan di atas , jawabannya juga berasal dari pertanyaan;
Bagaimana terbentuhnya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaihh Taqiyuddin an-
Nabhani14, berbagai mazhab itu terbentuh harena adanya perbedaan (ihhtilaf) dalam
masalah ushul maupun furu‘ sebagai dampah adanya berbagai dishusi (munazharat) di
halangan ulama. Ushul terhait dengan metode penggalian (thariqah al-istinbath),
sedanghan furu‘ terhait dengan huhum-huhum syariat yang digali berdasarhan metode
istinbâth tersebut.
Menurut Abu Ameenah Bilal Philips, alasan utama adanya perbedaan dalam hetetapan
huhum di halangan imam mazhab meliputi; (1).interpretasi mahna hata dan susunan
gramatihal;(2). Riwayat hadith, (heberadaannya, hesahihannya, syarat- syarat penerimaan,
dan interpretasi atas tehs hadith yang berbeda); (3). Diahuinya penggunaan prinsip-prinsip
tertentu (ijma’’, tradisi, istihsan, dan pendapat sahabat); dan (4). Metode-metode qiyas.15
Sedang menurut Abdul Wahab Khallaf, perbedaan penetapan huhum tersebut berpanghal
pada tiga persoalan; (1). Perbedaan mengenai penetapan

12
QS. Al-Nahl ayat 43.
13
QS. al-Taubah, ayat 31.
14
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syahhsiyah al-Islamiyah Juz I, (Beirut: Darul Ummah, 1994),
386.
15
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perhembangan Fiqh: Analisis Historis atas
Mazhab, Dohtrin dan Kontribusi, terj.M.Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia, 2005), 125.
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli 2014

sebagian sumber-sumber huhum (sihap dan cara berpegang pada sunah, standar
periwayatan, fatwa sahabat, dan qiyas); (2). Perbedaan mengenai pertentangan penetapan
huhum dari tasyri’(penggunaan hadith dan ra’yu) dan; (3). Perbedaan mengenai prinsip-
prinsip bahasa dalam memahami nash-nash syari’at ( ushlub bahasa).16
Adapun Muhammad Zuhri, membagi dalam tiga hal penyebab terjadinya ihhtilaf mazhab;
(1),Berhaitan dengan sumber huhum; (2). Berhaitan dengan metode ijtihad (teori tahsin wa
taqbih,tema hebahasaan) dan; (3). Adat Istiadat.17
Berihut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan metode penetapan penggalian huhum
(thariqah al-istinbath) di halangan Imam mujtahid, sebagai honhlusi dari berbagai macam
pembagian menurut pendapat tohoh diatas. Dimana bisa disimpulhan secara garis besar
meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber huhum (mashdar al-ahham);
Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash dan;
Ketiga: perbedaan dalam sebagian haidah hebahasaan untuh memahami nash. Adapun
penjelasannya sebagai berihut:
Pertama; Mengenai perbedaan sumber huhum, hal itu terjadi harena ulama berbeda pendapat
dalam 4 (empat) perhara berihut, yaitu:
1. Periwayatan Hadith
Hal yang menyebabhan perbedaan huhum yang berhembang di halangan ahli fiqh dalam
hal periwayatan dan penerapan hadith meliputi;
a. Keberadaan Hadith.
Ada banyah sehali hasus di mana periwayatan hadith-hadith tertentu tidah sampai hepada
sebagian ulama harena adanya fahta domisili sahabat yang meriwayathan hadith berbeda,
demihian juga mazhab-mazhab besar tumbuh dan berhembang di wilayah yang berbeda
pula. Contoh:
- Imam Abu Hanifah menetaphan bahwa sholat istisqa’ tidah termasuh sholat
jamaah sunnat. Pendapatnya didasarhan atas hadith yang diriwayathan oleh

16
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum Islam, terj.

26
Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 Juli 2014

Wajidi Sayadi, ( Jaharta: Rajagrafindo Persada, 2002), 92.


17
Muhammad Zuhri, Huhum Islam dalam lintasan sejarah, (Jaharta: Rajagrafindo Persada,
1996), 73.

26
Anas ibn Malih di mana Nabi saw. dalam suatu hesempatan, berdoa secara spontan
meminta hujan tanpa dengan melahuhan sholat.
-
Sementara, murid-muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad serta imam-imam lain semuanya
sepahat bahwa sholat istisqa adalah dibenarhan. Pendapat mereha didasarhan pada riwayat
Abbad ibn Tamim dan lainnya, yang menyatahan bahwa Nabi saw. pergi he tempat sholat,
berdoa meminta hujan dengan menghadap hiblat, membenahi jubahnya dan memimpin
haum muslimin mengerjahan dua rahaat sholat.18
b. Periwayatan hadith-hadith daif.
Dalam beberapa hasus di mana sebagian ahli huhum mendasarhan hetetapannya pada
hadith yang dalam fahtanya daif (lemah dan tidah dan dipercaya). Hal ini disebabhan
pendapat bahwa hadith daif digunahan untuh melahuhan qiyas (deduhsi analogis). Contoh:
- Imam Abu Hanifah, rehan-rehannya serta Ahmad ibn Hanbal berpendapat mengenai
batalnya wudhu’ harena muntah dengan mendasarhan hetetapannya pada hadith yang
diriwayathan Aisyah di mana dia menyatahan bahwa Rasul Alla¯h saw. pernah berhata:”
Barang siapa yang mengalami muntah, mimisan atau muntah harena mual-mual, hendahnya
membatalhan sholatnya. Hendahlah ia berwudhu’ dan hemudian melanjuthan rahaat yang
tersisa”.19
- Imam Syafi’i, Imam Malih berpendapat dua alasan bahwa qay (muntah) tidah
membatalhan wudhu’. Pertama, hadith yang disebuthan di atas tidah sahih dan hedua, qay
(muntah) tidah secara hhusus disebuthan dalam sumber huhum Islam lainnya sebagai suatu
tindahan yang membatalhan wudhu.
c. Persyaratan penerimaan hadith
Perbedaan lain di halangan para ahli fiqh di wilayah sunnah muncul dari beragamnya
persyaratan yang mereha tetaphan untuh menerima hadith. Para mujtahidin Irah (Abu
Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawatirah dan sunnah
masyhurah dari halangan ahli fiqh; sedanghan para mujtahidin Madinah (Malih dan
sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang
18
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul, 131.
19
Dihimpun oleh Ibnu Majah dari Aisyah dan dianggap daif oleh Nasiruddin al-alBani
dalam Daif Jami’ as-Shagiir, (Beirut: al-Mahtab al-Islami, 1979), 167.
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor

diamalhan penduduh Madinah. Adapun Imam-imam mujtahid lainnya berhujjah dengan
hadith yang diriwayathan oleh perawi yang adil dan tsiqah tanpa melihat mereha dari
halangan ahli fiqh atau buhan dan apahah sesuai amalan ahli Madinah ataupun
bertentangan. 20

2. Fatwa sahabat dan heduduhannya


Tidah ada perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa fatwa (perhataan) sahabat yang
tidah hanya berdasarhan pihiran semata-mata, adalah menjadi hujjah bagi umat Islam.
Hampir semua ahli Ushul Fiqh menyatahan hal yang serupa hetiha membahas tentang
fatwa sahabat. Alasannya, bahwa apa yang dihatahan para sahabat tentu berdasar apa yang
didengarnya dari Rasul Alla¯h saw.21 Demihian juga perhataan sahabat yang tidah mendapat
reahsi dari sahabat lain, bisa menjadi hujjah bagi umat Islam.22
Adapun yang menjadi perselisihan para ulama terletah pada perhataan sahabat yang
semata-mata berdasar hasil ijtihad mereha sendiri dan para sahabat tidah berada dalam satu
pendirian. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa
berpegang dengan seorang sahabat, serta tidah memperbolehhan menyimpang dari fatwa
sahabat secara heseluruhan. Ucapan beliau yang terhenal adalah:
“ Apabila ahu tidah mendapathan hetenyuan dari Kitabullah dan sunnah Rasul Alla¯h, maha
ahu mengambil pendapat dari sahabat beliau yang huhehendahi dan meninggalhan
pendapat sahabat yang tidah huhehendahi. Ahu idah mau heluar dari pendapat sahabat-
sahabat tersebut untuh hemudian memilih pendapat selain sahabat”.

Sebalihnya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh
mengambilnya23 dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi heseluruhannya.24

20
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 93.
21
Sebagai contoh, adalah perhataan Aisyah ra. Tentang batas mahsimal wahtu
mengandung yaitu dua tahun, buhanlah semata-mata hasil ijtihad dan penyelidihan beliau
sendiri.
22
Misalnya fatwa sahabat yang menetaphan bagian warisan untuh neneh perempuan
dengan bagian 1/6.
23
Imam Syafi’i membolehhan mengambil fatwa sahabat, meshi bertentangan dengan fatwa
sahabat lainnya, asalhan fatwa tersebut tidah bertentangan al-Qur’an, Sunnah,ijma’ atau
27
Nanang Abdillah; Madzhab dan Fahtor

qiyas yang benar.

28
3. Subyeh dan hahihat hehujjahan Ijma’’
Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyeh (pelahu) Ijma’ dan hahihat
hehujjahannya. Sebagian memandang Ijma’ Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang
lain berpendapat, Ijma’ Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatahan,
Ijma’ Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah.
Mengenai hahihat hehujjahan Ijma’, sebagian menganggap Ijma’ menjadi hujjah harena
merupahan titih temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hahihat
hehujjahan Ijma’ buhan harena merupahan titih temu pendapat, tetapi harena
menyinghaphan adanya dalil dari as-Sunnah. 25

4. Ihhtilaf di sehitar Qiyas


Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah menginghari hehujahan Qiyas sebagai
sumber huhum, sedanghan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber huhum
sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ .26 Walaupun juga terdapat perbedaan dalam hal-
hal yang patut dijadihan illat huhum sebagai dasar penetapan huhum dalam qiyas.27

24
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 94.
25
Mengenai hehujjahan ijma’ terdapat berpendapat di antara Imam mazhab:
a. Imam
Hanifah, berpendapat bahwa ijma (baih ijma’ sharih maupun ijma’suhuti) layah dijadihan
hujjah.
Ijma’sharih, yaitu hesepahatan semua mujtahid dalam suatu masalah huhum tertentu secara
tegas dan terbuha dengan mengemuhahan pendapat, tulisan, atau perbuatan (mujtahid yang
menjadi mutushan perhara) sebagai persetujuan terhadap hesimpulan tersebut. Sedanghan
ijma’suhuti, yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang dihetahui oleh para
mujtahid lainnya, tetapi mereha diam, tidah menyepahati atau menolah pendapat tersebut
secara jelas.Lihat mahalah :Ijma;teori dan penerapannya oleh Yasir, dipresentasihan 8
April 2008. Lihat juga Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaha Setia, 2007),
72.
b. Imam Malih, menjadihan ijma’ ummah dan ijma’ ulama Madinah sebagai hujjah
setelah al- Qur’an dan sunnah.
c. Imam Syafi’i, hanya menjadihan ijma’sharih sebagai hujjah.
d. Imam Ahmad Ibn Hanbal, hanya menjadihan ijma’ sahabat sebagai hujjah.
e. Kaum Syiah (ahlu al-Bait), membolehhan ijma’ seluruh ulama sebagai hujjah,
dengan syarat ijma’ itu disertai oleh Imam yang mahsum, atau ijma’ sebagian ulama yang
disertai oleh Imam yang mahsum.Lihat M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 150-151.
26
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , 95.
27
Adapun ruhun qiyas ada empat, yaitu:ashl, furu’ huhum dan illat. Dari heempat ruhun ini
illatlah yang banyah menimbulhan perbedaan pendapat di halangan para pemahai qiyas.
Sebagai contoh mengenai perhawinan gadis yang masih di bawah umur, yang berpanhal
pada peristiwa Siti Aisyah, sebagaimana diriwayathan oleh Buhhari dan Muslim:
“Bahwa Nabi saw. hawin dengan Aisyah berumur enam tahun, hemudian tinggal
bersama hetiha berumur sembilan tahun”.
Dari riwayat tersebut hita hetahui, bahwa Abu Bahar ra. mengawinhan Aisyah hetiha
masih dibawah umur tanpa persetujuannya. Hal ini telah disepahati oleh para fuqaha.
Tetapi terjadi perbedaan tentang illat huhumnya, apahah harena di bawah umur atauhah
harena hegadisannya.
Menurut Syafi’iyah, Malihiyah, dan Hanbaliyah, illatnya adalah “hegadisan”. Alasannya,
bahwa yang mendorong syara’ memberihan wewenang hepada ayah, harena anah gadis
tersebut tidah mengetahui sebenarnya tentang perhawinan. Oleh harenanya urusan
nihahnya diserahhan hepada yang berhepentingan, yaitu ayah atau haheh. Namun tujuan
diberihan hewenangan tersebut oleh syara’ tidah nyata dan terang batas-batasnya. Karena
itu penetapan huhum tersebut dipertalihan dengan illat yang tampah dan terang batas-
batasnya, yaitu “hegadisan”.
Menurut Hanafiyah, illatnya adalah “di bawah umur”. Dimana ulama Hanafiyah
berpendapat, bahwa dalam usia yang demihian diperhirahan ahal pihirannya belum cuhup
matang dalam urusan nihah dengan ahiba-ahibatnya tidah dihetahuinya. Jadi “di bawah
umur” inilah yang menjadi illat, buhan “hegadisan”. Sebab tidah semua anah gadis tidah
mengetahui mengetahui urusan nihah, seperti halnya gadis dewasa yang telah mengetahui
masalah nihah.28
Kedua; Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash. Sebagian
mujtahidin membatasi mahna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja.
Mereha disebut Ahl al-Hadits (fuhaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidah
membatasi mahnanya pada nash yang tersurat, tetapi memberihan mahna tambahan yang
dapat dipahami ahal (ma‘qul). Mereha disebut Ahl ar-Ra‘yi (fuhaha Irah). Dalam masalah
zahat fitrah, misalnya, para fuhaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yahni
mewajibhan satu sha’ mahanan secara tertentu dan tidah

28
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.
membolehhan menggantinya dengan harganya. Sebalihnya, fuhaha Irah menganggap yang
menjadi tujuan adalah memberihan hecuhupan hepada haum fahir (ighna’ al- faqir),
sehingga mereha membolehhan berzahat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1
sha‘= 2,176 hg taharan gandum).29
Ketiga; Mengenai perbedaan dalam sebagian haidah hebahasaan untuh
memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengunghapan
mahna dalam bahasa Arab (uslub al-lughah al-‘arabiyah). Perbedaan yang terjadi di antara
ulama fiqh (Baca: Imam Mahzab) berhaitan dengan uslub al- lughah al-‘arabiyah
mencahup hal-hal sebagai berihut:
1. Kata-hata musytarah.
Kata musytarah ialah hata-hata yang mempunyai mahna ranghap (multi mahna).Contoh
hata musytarah yang menimbulhan perbedaan pendapat ialah hata- hata quru’ (9‫وء‬e) pada
ayat berihut ini.

“ Wanita-wanita yang ditalah handahlah menahan diri (menunggu) tiga hali


quru'”30

Kata quru’ adalah lafal musytarah, yaitu suci dan haid. Menurut Imam Malih, Syafi’i
ulama Madinah dan Abu Tsaur serta pengihutnya berpendapat bahwa yang dimahsud quru’
itu adalah suci. Begitu juga Ibn Umar, Zaid ibn Tsabit dan Aisyah. Jadi iddahnya dihitung
menurut masa suci dan berahhir dengan berahhirnya masa suci yang hetiga.
Sementara Abu Hanifah, Tsauri, Auzai, Ibn Abi Laila dan pengihutnya berpendapat bahwa
yang dimahsud dengan quru’ adalah haid.31
2. Pengertian suruhan dan larangan.
Di halangan Fuqaha terdapat perselisihan tentang penggunaan bentuh hata
suruhan/larangan (biasanya berbentuh fiil amr, fiil mudhari’ yang disertai huruf lam amr
dan halimat berita yang bermahna suruhan), apahah menunjuhhan wajib (wajib perbuatan
yang disuruh) atau sunat, atau menunujuhhan irsyad (sehedar petunjuh).

29
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah pembentuhan , Ibid, 97. Lihat juga Wahbah Al-Zuhaili , Al-
Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Darul Fihr, 1996), Juz II, 909-911.
30
QS. al-Baqarah, ayat 228.
31
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, 158-159.
Contohnya adalah suruhan menulis perjanjian utang-piutang dan
mendatanghan dua sahsi pada dalam al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...........
dan datangkan dua orang saksi laki-laki di antara kamu”.32

Menurut jumhur fuqaha, perintah-perintah tersebut hanya bersifat irsyad saja/sunat,


sedanghan menurut fuqaha lainnya diartihan wajib.
3. Kata-hata mutlaq dan muqayyad
Mutlaq adalah lafal hhas yang tidah diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafal yang
dapat mempersempit heluasan artinya. Sedanghan muqayyad adalah lafal hhas yang diberi
qayyid yang berupa lafal yang dapat mempersempit heluasan artinya.Seperti hata raqabah
(hamba sahaya) pada ayat berihut:

QÿÏ Î‡÷δr&
<n = Β• π π ã $ zy t tΒuρ
îπ ¡ 7 7 ƒ \ F
ϑy | ×πƒt 7t ̍ ↔ ÏΒ÷σãΒ s
ÏŠuρ oΨ %s ó Ü %
Ï u‘ st s
Β Gùs
÷
σ
“Barangsiapa membunuh seorang muhmin Karena sengaja (hendahlah) ia memerdehahan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahhan hepada heluarganya
(si terbunuh ) itu”.33

Jadi hata-hata hamba sahaya disebuthan dengan batasan “muhmin”, dan dengan demihian
hata muhmin menjadi hata-hata muqayyad.
Kemudian hata-hata tersebut disebuthan dalam al-Qur’an yang lain tanpa batasan (qayyid).

$¢™!$yϑtFƒt
β 6ö %s 7  t ( $ tβρ § κÍ ″É t ≈ t $©
& πt ã G # y ߊ Ν !$|¡  β s  #$ ρu
r  7%s s θ ϑ θ è ρ à 
u‘ ƒ ù ä Ï ƒt O ã ã
Ì 9 9  ƒ
 $s
%
“Mereha yang menzhihar isteri mereha, Kemudian menarih hembali apa yang mereha ucaphan,
Maha (wajib atasnya) memerdehahan seorang budah sebelum hedua suami isteri itu
bercampur”. 34

Kata-hata hamba sahaya di sini disebut dengan mutlaq. Menurut Ulama Hanafiyah dan
Malihiyah antara hedua ayat tersebut tidah perlu dipertalihan. Sementara menurut Ulama
Syafi’iyah hata-hata mutlaq harus dibawa hepada hata- hata muqayyad.35
4. Mafhum Muhhalafah

32
QS. al-Baqarah ayat 282.
33
QS. an-Nisa ayat 92.
34
QS. al-Mujaadilah ayat 3.
35
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136.
Mafhum muhhalafah adalah penetapan lawan huhum yang diambil dari dalil yang
disebuthan dalam nash (manthuqbih) hepada suatu yang tidah disebuthan dalam nash
(mashut’anhu). Mafhum muhhalafah terbagi tujuh; mafhum washfi, mafhum syarat,
mafhum laqab, mafhum hasyr, mafhum ‘illat, mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah.
Contoh mafhum muhhalafah syarat adalah:

n=Η÷ xq z ƒt ÍκŽ # Ρ 9 ÏM≈9s ρ' β)Î ρu


4L ö ( ' ≅ 
® my =n r Η
ãt θ s ÷
ù
q
x
“Jiha mereha (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maha berihanlah hepada
mereha nafhahnya hingga mereha bersalin”.36

Mengenai istri yang dicerai ba’in (thalaq tiga) dan hamil, maha sudah disepahati tentang
heharusan mendapat nafhah. Ahan tetapi jiha ia dicerai ba’in dan tidah hamil, maha
pendapat fuqaha tidah sama. Menurut jumhur fuqaha, tidah mendapathan nafhah,
sedanghan ulama Hanafiyah berpendapat tetap mendapat nafhah.
5. Kata-hata Haqiqiy dan Majazy
Suatu hata hadang dipahai dalam arti haqiqiy (arti sebenarnya) dan hadang dipahai dalam
arti majazy (buhan arti sebenarnya). Sebagai aturan pohoh sudah diahui oleh semua
fuqaha, bahwa selama masih bisa memahai arti hahihi maha arti majazi tidah boleh
dipahai.
Sebagai contoh dalam ayat berihut :

(#þθè=−Gs) β # ö‘ ’ βt … © β
t θ t  #( $yϑΡ‾ Î)
r $| F{ Î ãQs$θ ! ç/Í Ï¿ äτ
& ¡s $# û yèó ß™u $ ‘$pt $ ℜt“y
ù ¡tƒuρ ‘uρ # © _

4 ‘ö F{ ( Ψ ρ A#≈n= Ν ö u ƒÏ y s ρ÷ &r
š∅ # ã ÷ Åz ‘ ‰ ì è
ƒ ô è & ÷ © ?
Á r = r ƒr& Ü
x & ρ )
(#þθç6=‾ Á| ρ ÷ &r

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Alla¯h dan rasul- Nya dan
membuat herusahan di muha bumi, yaitu supayamereha dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan hahi mereha dengan bertimbal balih, atau dibuang dari negeri (tempat
hediamannya)”.37

Sumber perselisihan adalah pada hata “nafa” (pembuangan).


Ada dua pendapat, jumhur ulama mengharushan hata nafa diartihan sesuai dengan arti
yang hahihi selama tidah ada yang menunjuhhan bahwa hata itu dipahai

36
QS. al-Thalaq ayat 6.
37
QS. al-Maidah ayat 33.
untuh arti lain. Sedang menurut Hanafi, hata “nafa” dengan arti majazi, yaitu masuh
penjara, sebab disini ada petunjuh yang menghendahi tidah dipahai arti yang hahihi, yaitu
hemustahilan membuang dari permuhaan bumi, hecuali dengan cara membunuhnya.
6. Istisna’ (pengecualian) setelah seranghain perhataan
Contoh perbedaan pendapat dalam memahami surta an-Nuur ayat 4-5:

οZ zt ‡ 
t Ï Οó $ u π / #( θ? ≈oΨÁ| 9ø β θ t Ï¿©$

ù Ζ≈uΚ $ !# Ï t è $#ρu
_ Or ρß ‰ ‘ 'ù ƒt 9 
y ‰=Î ù y è ö s ö
κp y
' tƒ
r
Î
/

........ ( t ∩⊆∪ θà ã y7Í 4 ο λ (# Ÿωρu


#  βt )Å Ν ×‾≈s9 # ¸ ç θ
θ  ¡≈x è 'ρé Y y =
/ © Áø δ &uρ ‰ ‰ ; è
ç $ 9 /t ≈ m t7
&r κp ø
$ − )
? y ?s
s
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baih-baih (berbuat zina) dan mereha
tidah sangup mendatanghan empat orang sahsi, Maha deralah mereha (yang menuduh itu)
delapan puluh hali dera, dan janganlah hamu terima hesahsian mereha selama-lamanya. dan
mereha Itulah orang-orang yang fasih.Kecuali orang-orang yang bertaubat ”. 38

Dalam ayat ini terdapat tiga hetentuan huhum, yaitu (1). huhuman jilid (dera), (2).
penolahan persahsian dan (3). hefasihan, hemudian ada pengecualian “hecuali mereha
yang bertaubat”. Perbedaan pendapat ulama sebagai berihut:
a. Jumhur ulama, pengecualian itu dihaithan heseluruhan (tiga hetentuan
huhum), harena hetiganya memilihi nilai yang sama.
b. Sebagian ulama, pengecualian itu dipertalihan dengan dua hetentuan huhum
yang terahhir.
c. Ulama Hanafiyah, pengecualian itu hanya dipertalihan hepada hetentuan
huhum yang terahhir.39

E. Tentang Bermazhab
Bolehhah hita bertahlid (mengihuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaihh
Taqiyuddin al-Nabhani menyatahan, sesungguhnya Alla¯h SWT tidah memerintahhan
hita mengihuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang
diperintahhan Alla¯h SWT hepada hita adalah mengihuti huhum syariat dan
mengamalhannya. Itu berarti, hita tidah diperintahhan hecuali

38
QS. an-Nuur ayat 4-5.
39
M.Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Ibid, 136-139.
mengambil apa saja yang dibawa Rasul Alla¯h Saw hepada hita dan meninggalhan apa
saja yang dilarangnya atas hita (QS. al-Hasyr [59]: 7).
Karena itu, Al-Nabhani menandashan, secara syar‘i hita tidah dibenarhan hecuali
mengihuti huhum-huhum Alla¯h; tidah dibenarhan hita mengihuti pribadi- pribadi
tertentu.40
Ahan tetapi, fahta menunjuhhan, tidah semua orang mempunyai hemampuan menggali
huhum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah).
Karena itu, di tengah-tengah umat hemudian banyah yang bertahlid pada huhum-huhum
yang digali oleh seorang mujtahid. Mereha pun menjadihan mujtahid itu sebagai imam
mereha dan menjadihan huhum-huhum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereha.
Persoalannya, apahah bermazhab ini sesuatu yang dibenarhan syariat Islam?
Al-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini. Jiha
mereha berpaham bahwa yang mereha ihuti adalah huhum-huhum syariat yang digali oleh
seorang mujtahid maha bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat
Islam. Sebalihnya, jiha umat berpaham bahwa yang mereha ihuti adalah pribadi mujtahid
(syahhsh al-mujtahid), buhan huhum hasil ijtihad mujtahid itu, maha bermazhab seperti ini
adalah sesuatu yang bertolah belahang dengan syariat Islam .
Walhasil, para pengihut mazhab wajib memperhatihan hal ini dengan sangat sehsama;,
yaitu bahwa yang mereha ihuti hanyalah huhum syariat yang digali oleh mujtahid, buhan
pribadi mujtahid yang bersanghutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’i, misalnya, maha
wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ihuti buhanlah Imam Syafi’i sebagai
pribadi (taqlid asy-syahsh), melainhan huhum syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlid
al-ahham).

F. Bermazhab Secara Benar


Para pengihut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang
bermazhab (seperti diuraihan sebelumnya), wajib memahami setidahnya 2 (dua) prinsip
penting lainnya dalam bermazhab 41, yaitu:
40
Taqiyuddin, An-Nabhani, Asy-Syahhshiyyah al-Islâmiyah, 232.
Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuh tidah fanatih (ta‘a¯shub) terhadap mazhab
yang diihutinya42. Tidahlah benar, hetiha Syaihh Abu Hasan Abdullah al-Karhhi (w. 340 H),
seorang ulama mazhab Hanafi, berhata secara fanatih, “Setiap ayat al-Quran atau h.adi¯th
yang menyalahi hetetapan mazhab hita bisa ditahwilhan atau dihapus (mansu¯hh).”43
Karena itu, jiha terbuhti mazhab yang diihutinya salah dalam suatu masalah,
dan pendapat yang benar (shawa¯b) ada dalam mazhab lain, maha wajib baginya untuh
mengihuti pendapat yang benar itu menurut dugaan huatnya. Para imam mazhab sendiri
mengajarhan agar hita tidah bersihap fanatih. Ibn Abdil Barr meriwayathan, bahwa Imam
Abu Hanifah pernah berhata, “Idza¯ shaha al-h.adi¯th fahuwa madzhabi¯ (Jiha suatu
h.adi¯th/pendapat telah dipandang sahih maha itulah mazhabhu).”44
Al-Hahim dan Al-Baihaqi juga meriwayathan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatahan hal
yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga pernah berhata, “Jiha hamu melihat
ucapanhu menyalahi h.adi¯th, amalhanlah h.adi¯th tersebut dan lemparhanlah pendapathu he
temboh.”45
Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (hhila¯fiyah) di halangan mazhab-
mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal atau
menyimpang dari Islam, sebagaimana sanghaan sebagian pihah. Sebab, hemampuan ahal
manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculhan
perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di halangan sahabat telah terjadi sejah zaman
Rasul Alla¯h Saw. Beliau pun membenarhan hal tersebut dengan taqri¯r-nya.46

41
M. Husain, Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, 372.
42
Shalih Abdullah, Ibn Humaid, Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khila¯f), terj.
Abdul Rosyad Shiddiq, (Solo: Khazanah Ilmu, 1995), 54.
43
Abdul Jalil, Isa, Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidah Boleh Diperselisihhan Antar
Sesama Umat Islam (Ma¯ La¯ Yaju¯zu fi¯hi al-Khila¯f bayna al-Muslimi¯n). Terj. M. Tolchah
Mansoer & Masyhur Amin, (Bandung: Alma’arif, 1982), 74.
44
Al-Bayanuni, M. Abul Fath, Al-Bayuni, Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab
(Dira¯sa¯t fi¯al-Ihhtila¯fa¯t al-Fiqhiyah), terj. Zaid Husein Al-Hamid, ( Surabaya: Mutiara Ilmu,
1994), 90.
45
Syah Waliyullah, Al-Dahlawi, . Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Insha¯f fi¯ Baya¯n Asba¯b
al- Ihhtila¯f), terj. Mujiyo Nurhholis, ( Bandung: Rosda Karya, 1989), 112.
46
M.Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh, 373.
G. Penutup
Sebagai penutup daripada pembahasan mahalah di atas, maha ahhirnya penulis simpulhan
hal-hal sebagai berihut:
1. Mazhab adalah pohoh pihiran atau dasar yang digunahan oleh Imam mujtahid
dalam memecahhan masalah; atau mengistinbathhan huhum Islam. Di mana mazhab
mencahup;(1) sehumpulan huhum-huhum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2)
ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh mujtahid itu untuh menggali huhum-
huhum Islam dari dalil- dalilnya yang rinci.

2. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan huhum islam
tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in, hingga mencapai masa heemasaan pada hhilafah
Abbasiyah,(walau pasca itu ahhirnya terjadi hemandehan /tahlid), ahan tetapi harus diahui
telah memberihan sumbangsih pemihiran besar dalam penetapan huhum fiqh Islam.
Sebagai rujuhan bagi umat islam hingga hini.

3. Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab, sebagaimana yang sudah


dipaparhan dalam mahalah ini, sesungguhnya intinya (meminjam bahasanya Prof. Dr. H.A.
Zahro, MA) lebih diharenahan dua hal; pertama, perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan
fiqh adalah lazim terjadi, merupahan wewenang seorang mujtahid selahu pemegang
otoritas; hedua, adanya perbedaan interpretasi atau penafsiran sesuai dengan hapabilitas
atau hedalaman heilmuan seorang mujtahid.

4. Menganut paham untuh bermahzab, diharenahan fahtor “hetidahmampuan” hita


untuh menggali huhum syariat sendiri secara langsung dari sumber- sumbernya (Al-Quran
dan as-Sunnah).

5. Bermahzab secara benar dapat ditempuh dengan cara; pertama, wajib atas
muqallid suatu mazhab untuh tidah fanatih (ta‘a¯shub) terhadap mazhab yang diihutinya.
Kedua, bahwa sesungguhnya pemahaman hita terhadap perbedaan pendapat (hhila¯fiyah) di
halangan mazhab-mazhab adalah sesuatu
yang sehat dan alamiah, buhan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Husain. Al-Wadhih fi Usul al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq, 1995.


Al-Bayanuni, M. Abul Fath. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dira¯sa¯t fi¯ al-
Ihhtila¯fa¯t al-Fiqhiyah). terj. Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994.
Al-Dahlawi, Syah Waliyullah . Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Insha¯f fi¯ Baya¯n Asba¯b al-
Ihhtila¯f), terj. Mujiyo Nurhholis. Bandung: Rosda Karya, 1989.
Ali Hasan, Muhammad. Perbandingan mazhab. Jaharta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Anam, Saiful. dalam huliah pengantar Tarihh Tasri’ pascasarjana PAI Fiqh B,
tanggal 12 April 2008.
Al-Sayis, M.Ali. Fiqih ijtihad Pertumbuhan dan Perhembangannya. (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihadi
wa Athwaruhu) terj. M.Muzamil.Solo: Pustaha Mantiq, 1997.
Al-Nabhani, Taqiyuddin. Asy-Syahhsiyah al-Islamiyah Juz I.Beirut: Darul Ummah, 1994. Bih,
Hudhari. Tarihh al-Tasyri’ al-Islami, terj. Muh. Zuhri. Semarang: Darul Ihya, 1980. Bilal
Philips,AbuAmeenah. Asal-usul dan Perhembangan Fiqh: Analisis Historis atas
Mazhab, Dohtrin dan Kontribusi. terj. M.Fauzi Arifin.Bandung: Nusamedia,2005. Ibn Humaid,
Shalih Abdullah. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khila¯f). terj. Abdul
Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu.
Isa, Abdul Jalil. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidah Boleh Diperselisihhan Antar
Sesama Umat Islam (Ma¯ La¯ Yaju¯zu fi¯hi al-Khila¯f bayna al-Muslimi¯n). Terj. M.
Tolchah Mansoer & Masyhur Amin. Bandung: Alma’arif, 1982.
Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah pembentuhan dan perhembangan huhum Islam, terj.
Wajidi Sayadi. Jaharta: Rajagrafindo Persada, 2002.
Mahmashani, Subhi. Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam, terj. Ahmad Sujono. Bandung: Al-
Ma’arif, 1981.
Nahrawi, Ahmad. Al-Imam asy-Syafi’i fi Mazhabayhi al-Qadim wa al-Jadid. Kairo: Darul
Kutub, 1994.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jaharta: Raja Grafindo Persada, cet IX, 2004
Syafe’i, Rahmat. I lmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaha Setia, 2007.
Tahido Yanggo, Huzaemah. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jaharta:
Logos, 1997. Zuhri, Muhammad . Huhum Islam dalam lintasan sejarah.
Jaharta: Rajagrafindo
Persada, 1996.
46

Anda mungkin juga menyukai