Anda di halaman 1dari 4

Ditengah arus perubahan lingkungan bisnis yang makin intens, tampaknya setiap

perusahaan dituntut untuk memiliki daya adaptasi dan responsi yang makin tinggi.
Sebabnya jelas : tanpa kemampuan untuk melakukan self transformation secara konstan,
sebuah perusahaan beresiko untuk tenggelam, dan kemudian terpelanting mati oleh arus
gelombang perubahan yang terus berjalan tanpa mengenal letih.

Dalam konteks riil, kita acap disuguhi oleh drama tentang proses
transformasi yang dilakoni oleh banyak perusahaan – baik yang berakhir dengan
kesuksesan ataupun gagal ditengah jalan. Kita misalnya melihat, bagaimana rakasasa
teknologi IBM melakukan proses transformasi untuk menghindarkan dirinya dari
kematian yang mengenaskan pada awal tahun 90-an. Seperti kita tahu, saat itu, IBM
secara global berada pada ambang kebangkrutan lantaran didera kerugian lebih dari 7
milyar US dollar. Pesaing-pesaing baru yang lebih lincah datang menyergap dan
menggerogoti kue bisnis IBM – pertama secara pelan-pelan, namun lama-lama terasa
sergapan itu makin membuat IBM limbung – bagai raksasa yang kehilangan oksigen
untuk bernafas.

Beruntung saat itu petinggi IBM sadar, dan segera melakukan proses transformasi yang
cukup radikal : yakni merubah bisnis utamanya dari penyedia hardware seperti
mainframe dan desktop menjadi lebih berokus pada jasa konsultasi teknologi. Alasannya,
bisnis jasa konsultasi dan bukan lagi bisnis jualan hardware, yang dianggap lebih
mewakili masa depan. Tentu saja perubahan drastis ini segera menuntut perubahan pada
semua aspek operasi kerja IBM, baik pada cara pengelolaan SDM-nya, proses
manajemen pengetahuannya, dan juga bagaimana ia memasarkan produk-produk jasanya.
Kini setelah lebih dari 10 tahun, proses transformasi tersebut sepertinya menunjukkan
hasil yang layak diberi tepuk tangan. Saat ini, IBM tetap mampu mengukuhkan dirinya
sebagai perusahaan teknologi terbesar didunia dengan jumlah revenue lebih dari 100
milyar US dollar pertahun.

Amsal diatas menunjukkan bahwa proses transformasi barangkali memang sebuah


kensicayaan yang tak terelakkan. Persoalannya, menjalani proses transformasi
perusahaan atau corporate transformation ternyata mesti melewati jalan panjang, terjal
nan berliku. Dari sejumlah pengalaman best practices yang bisa dicermati, terdapat
sejumlah elemen yang bisa membawa keberhasilan proses transformasi. Yang pertama,
tentu saja adalah visi dan terutama strategi masa depan yang jelas, koheren, dan diyakini
akan mampu membawa perusahaan ke arah kegemilangan. Keberhasilan transformasi
IBM, salah satunya, disebabkan mereka mengawalinya dengan satu visi yang jelas
mengenai arah pasar teknologi masa depan, dan bagaimana mereka harus merebutnya.
Elemen berikutnya adalah kepemimpinan yang kredibel (konsisten antara visi dengan
tindakan) dan juga kapabel (memiliki ketrampilan untuk menginspirasi jajaran
manajemen lainnya untuk bergerak menuju arah perubahan yang ingin diraih). Yang tak
kalah penting, kepemimpinan yang solid ini mestinya tidak hanya ada pada top
manajemen namun juga menyebar merata pada kalangan manajemen madya. Sebab,
dalam banyak kasus, proses perubahan yang menyangkut semua segi perusahaan amat
membutuhkan kepemimpinan yang tangguh pada level menengahnya. Manajemen madya
inilah yang akan memastikan bahwa visi dan arahan strategi dari top manajemen bisa
diartikulasikan kesegenap karyawan – dan pada pundak mereka juga, implementasi rill
dari strategi itu dioperasionalkan. Dengan demikian, mereka memiliki peran kritikal
dalam memastikan apakah visi perubahan itu bisa berjalan secara konkrit atau cuma
tinggal dibayang-bayang fantasi belaka.

Visi dan arah strategi perubahan yang jelas; disertai dengan kepemimpinan yang solid
baik dari level top maupun mid-manajemen merupakan elemen-elemen inti yang acap
mewarnai setiap keberhasilan proses transformasi. Ketiga elemen inilah yang mungkin
mesti diperhatikan dalam perjalanan menuju perubahan yang diangankan. Sebuah proses
perubahan yang memang harus dilakukan, terutama jika suatu perusahaan ingin hidup –
meminjam ungkapan Chairil Anwar – seribu tahun lagi

Apa sebenarnya yang membuat Microsoft terus berjaya? Lalu mengapa Nokia mampu
menjadi produk cell phone yang paling banyak dicintai para konsumen? Dan apa yang
membuat BMW selama puluhan tahun terus menjadi ikon kemakmuran yang terus diburu
orang? Belajar dari kisah sukses perusahaan-perusahaan berskala global terkemuka dalam
melayani pelanggan, tampaknya ada sejumlah wisdom yang bisa dipetik. Pelajaran utama
yang bisa diambil adalah ini : bahwa proses melayani pelanggan ternyata mesti diawali
dengan pilihan strategi yang benar. Dengan kata lain, proses melayani kebutuhan
pelanggan ternyata tidak sekonyong-konyong muncul dari langit, namun mesti
diselaraskan dengan pilihan strategi perusahaan (corporate strategy) yang telah
diputuskan.

Dalam konteks ini terdapat tiga jurus strategi yang acapkali diaplikasikan oleh
perusahaan-perusahaan kelas dunia. Jurus yang pertama adalah pilihan strategi yang
berorientasi pada product leadership (keunggulan produk). Perusahaan pada kategori ini
selalu berupaya menciptakan produk-produk dengan kualitas premium, dan selalu one
step ahead dibanding produk kompetitor. Mereka tak segan-segan mengeluarkan dana
besar untuk bagian R & D-nya demi terciptanya produk yang ciamik. Intel yang terkenal
dengan seri Pentium-nya mungkin contoh yang paling sempurna untuk kategori ini. Atau
juga perusahaan-perusahaan adibusana seperti Louis Vuitton yang tenar dengan produk
tas-nya. Dan tentu saja, kita mesti menunjuk BMW dan Ferarri, dua produsen otomotif
yang selalu menciptakan produk-produk legendaris nan menawan.

Jurus strategi yang kedua adalah pilihan yang berorientasi pada operational excellence
(keunggulan operasional). Bagi perusahaan dalam kategori ini, yang paling utama adalah
membangun proses bisnis yang super efisien. Harapannya, dengan efisiensi proses ini,
mereka mampu menekan ongkos produksi, dan ujung-ujungnya bakal mampu menjual
produknya dengan harga yang lebih kompetitif. Dell, perusahaan komputer asal Texas
itu, merupakan sampel yang layak disebut dalam kategori ini. Dengan model dan proses
bisnis yang amat efisien, mereka mampu menciptakan produk-produk desktop dengan
harga yang lebih komptetitif dibanding para pesaingnya, semacam IBM dan HP.

Jurus yang terakhir adalah pilihan strategi yang mengacu pada customer intimacy
(keintiman dengan pelanggan). Bagi perusahaan dalam kategori ini, yang paling utama
adalah membangun hubungan yang intim dengan para pelanggannya; dengan harapan
akan tercipta relasi yang langgeng. Banyak perusahaan di bidang perhotelan dan juga
penerbangan yang melakoni strategi ini demi membangun loyalitas para pelangggannya.
Harley Davidson juga amat terkenal memiliki hubungan yang luar biasa intim dengan
para pemakainya; sehingga mereka bisa membangun fanatisme yang amat intens dengan
jutaan penggemarnya di seluruh jagat.

Tentu saja, banyak perusahaan yang juga mengkombinasikan beragam jurus itu, dan tidak
hanya berfokus pada satu jurus. Honda misalnya, selain dikenal memiliki produk-produk
yang unggul, juga dikenal memiliki proses bisnis yang amat efisien. Demikian juga,
Singapore Airline. Selain memiliki produk penerbangan yang ciamik, mereka juga
memiliki keahlian dalam membangun hubungan yang intim dengan para pelanggannya.

Demikianlah, tiga jurus strategi bisnis yang layak dikedepankan. Deretan jurus yang bila
dipentaskan dengan presisi yang tinggi dijamin akan menghantarkan sang pemainnya
dalam bahtera keunggulan.

udu Buku : HR Scorecard – Linking People, Strategy and Performance. Penulis :


Brian Becker, Mark Huselid, dan Dave Ulrich

Melalui buku yang bertajuk HR Scorecard ini, tiga guru HR yakni Brian Becker, Mark
Huselid dan Dave Ulrich mencoba membantu kita untuk mereproduksi manusia-manusia
berkinerja unggul. Secara detil buku ini memberikan roadmap yang komprehensif
mengenai upaya mensinergikan people, strategy dan performance. Dalam paparannya,
ketiganya mendedahkan tujuh langkah sakti untuk membangun HR scorecard yang jitu
dan optimal.

Langkah pertama yang mesti dilakukan adalah memahami secara jelas strategi bisnis
yang hendak dituju perusahaan. Dari langkah inilah kemudian dapat dilakukan langkah
kedua, yakni bagaimana pihak pengelola SDM mampu memberikan kontribusi bagi
pencapaian strategi perusahaan/korporat. Dari fase inilah akan dapat dibangun koneksi
antara strategi bisnis di masa depan dengan strategi pengembangan SDM yang akan
dijalankan. Dengan kata lain, strategi dan program pengembangan SDM hanya akan
memiliki makna jika ia selalu diintegrasikan dengan kebutuhan strategis perusahaan
dalam menghadapi tantangan bisnis yang makin berat – baik dari sisi ekonomi makro
maupun persaingan antar perusahaan.

Setelah kedua fase diatas dilakukan maka yang harus dilakukan dilakukan adalah
merumuskan HR Strategy Map (langkah ketiga), dan sekaligus mengidentifikasi hasil-
hasil konkrit (HR deliverables) yang akan dicapai oleh HR Strategy (langkah keempat).
Pemetaan HR Strategy Map disini dapat dilakukan dengan mengacu pada pendekatan
empat perspeketif Balanced Scorecard yang membagi sasaran HR kedalam empat area :
yakni keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan area pembelajaran. Dalam empat
area itulah, segenap sasaran HR dirumuskan dan dipetakan guna membentuk peta strategi
yang koheren dan sekaligus mampu mendukung pencapaian sasaran korporat.

Dalam langkah kelima dilakukan proses penyelarasan antara sistem dan arsitektur SDM
(HR architecture) dengan sasaran-sasaran strategis HR yang hendak dituju. Dengan kata
lain, seperangkat sistem, kebijakan dan prosedur HR harus didesain agar selaras dan
sekaligus mampu membantu pencapai sasaran strategis HR. Sebab jika tidak demikian,
maka sasaran-sasaran yang telah dicanangkan akan sulit dicapai.

Pada langkah keenam, bangunan peta strategi HR yang telah didesain pada fase-fase
sebelumnya mesti diuraikan secara lebih rinci kedalam indikator-indikator kinerja utama
yang mesti dituju dan diraih ketika strategi HR dijalankan. Indikator yang terukur ini
(measurable indicators) akan membantu para pengelola SDM untuk mengetahui sejauh
mana mereka telah mampu mencapai target yang telah dicanangkan. Dan juga sekaligus
akan memberikan informasi mengenai kontribusi finansial dari inisiatif strategis HR
dalam mendongkrak kinerja perusahaan/korporat.

Langkah terakhir atau ketuju yang diuraikan oleh penulis buku ini adalah bagaimana
semua fase diatas diimplementasikan secara konsisten dan sistematis. Dalam
implementasi ini juga, proses monitoring dan review mesti secara reguler dilakukan guna
melakukan perbaikan secara terus menerus (continual improvement).

Ketujuh langkah di atas diyakini oleh ketiga penulis buku ini akan mampu membawa
sinergi yang kokoh antara people, strategy and performance. Ditunjang dengan riset
empirik dan data yang solid, serta pengalaman praktis ketiganya dalam implementasi
projek pengembangan SDM, buku ini benar-benar menyodorkan informasi yang jitu
dalam proses pengelolaan SDM berkinerja unggul. Sebuah buku yang selayaknya
mewarnai perpustakaan setiap manajer SDM di negeri ini.

Buku yang ditulis oleh tiga guru SDM ini memberikan uraian yang jelas dan tajam
mengenai proses penyusunan HR Scorecard. Itulah sejumput proses yang akan mampu
memberikan sinergi bagi tiga tema kunci yakni : peope, strategy and performance.
Sebuah buku yang layak dibaca bagi para pengelola SDM perusahaan

Anda mungkin juga menyukai