Anda di halaman 1dari 9

Hakikat bisnis adalah suatu kegiatan atau proses yang meliputi

negosiasi (tawar menawar) antara pihak yang satu dengan pihak

yang lain, tentang hak dan kewajiban para pihak sehubungan dengan

objek bisnis, prestasi, resiko, peristiwa serta implikasi yang timbul

akibat transaksi, termasuk di dalamnya implikasi dari luar unsur

bisnis itu sendiri (tindakan pemerintah dan peristiwa alam). Seiring

dengan perkemangan zaman,  bentuk bisnis di Indonesia semakin

kompleks, hal ini tentunya akan berimplikasi terhadap semakin

meningkatnya potensi sengketa  bisnis yang sangat tidak diharapkan

oleh pelaku usaha. Keadaan seperti inilah yang membuat berat hati

para pelaku usaha, sehingga menjadi dasar alasan para pelaku

usaha untuk mencari jalan keluar terbaik dalam menyelesaikan

sengketa tersebut dengan cepat, tepat, dan tanpa menimbullkan

masalah baru di kemudian hari. Mengingat, proses penyelesaian

yang ada saat ini masih dibayangi oleh prosedur yang rumit dan

lamanya proses penyelesaiannya di pengadilan.

Pada akhir tahun 1990-an, Indonesia merupakan salah satu

negara yang perkembangan ekonominya sangat pesat. Hal ini

dilatarbelakangi oleh kekayaan sumber daya alam yang dimiliki serta

tersedianya banyak tenaga kerja. Pada kurun waktu yang sama,

pemerintah juga telah mencanangkan untuk melakukan

pengembangan dalam penanaman modal asing dalam sektor swasta


dengan mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan terhadap

penanaman modal asing tersebut. Hal ini juga harus mendapat

perhatian khusus dari pemerintah, pasalnya dengan banyaknya

masuknya modal asing yang masuk dalam perekonomian Indonesia

membuat pemerintah harus memikirkan kemungkinan terjadinya

sengketa dan bagaimana proses penyelesaian sengketa terhadap

penanam modal asing tersebut. Sebagai tindak lanjut dari

perkembangan dunia usaha dan bisnis serta hukum, maka

pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, selain mengatur penggunaan

arbitrase secara rinci juga memungkinkan para pelaku bisnis untuk

menempuh alternatif penyelesaian sengketa. Undang-undang No. 30

Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa pengertian alternatif

penyelesaian sengketa dalam undang-undang tersebut mencakup

mediasi selain cara-cara lain, seperti negosiasi, konsultasi, penilaian

ahli dan konsiliasi. Mediasi di luar pengadilan dilakukan oleh para

pihak tanpa adanya proses perkara di pengadilan, hasil kesepakatan

yang diperoleh dari proses mediasi di luar pengadilan dapat diajukan

ke pengadilan untuk mendapatkan pengukuhan sebagai akta

perdamaian yang memiliki kekuatan layaknya Putusan Hakim yang

berkekuatan hukum tetap (Pasal 23 PERMA Mediasi).


Lahirnya peraturan tersebut merupakan bagian dari revolusi

hukum bisnis di Indonesia, utamanya dalam hal proses penyelesaian

sengketa. Pengakuan akan penyelesaian sengketa di luar pengadilan

menjadikan prosedur penyelesaian sengketa ini memiliki yuridiksi

(kompetensi) tersendiri, yang harus diakui dan dihormati oleh

lembaga peradilan sebagai bagian dari proses penegakan hukum.

Sejak UUAPS ini diundangkan, lembaga arbritase telah banyak

mengambil peran dalam penyelesaian sengketa dan banyak menarik

minat para pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa melalui

Arbitrase.

Dalam penelitian hukum normatif ini, diartikan bahwa hukum

dimaknai sebagai kaidah, sebagai norma yang berisi perintah dan

larangan. Oleh karena itu dalam kajian literasi penulis mengunakan

teori positisvisme hukum, atau dikenal dengan aliran hukum

positif/madhab hukum positif.

Mazhab hukum positif atau lebih dikenal dengan “positivisme hukum”

yang dengan tegas memisahkan antara hukum dengan moral, atau hukum

yang berlaku dengan hukum yang seharusnya berlaku, antara das sollen

dengan das sein. Menurut aliran ini hukum adalah perintah penguasa, dan

oleh paham “Legisme” hukum adalah undang-undang.

Tokoh dari paham hukum positif yang pertama adalah John Austin

(1790-1859) yang dikenal dengan pencetus teori “hukum posistif yang

analistis” (Analytical Jurisprundence). Menurut antologi hukum adalah


perintah penguasa, artinya perintah itulah merupakan hakikat hukum. Ia

menyatakan bahwa hukum merupakan sistem yang logis, tertutup, dan tetap.

John Austin menyatakan dengan tegas bahwa pihak superior itulah

yang menentukan apa yang dilarang dan apa diperbolehkan. Austin

memberlakukan hukum dengan menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah

laku orang lain ke arah yang diinginkannya.

Tokoh yang kedua dari aliran hukum positif adalah Hans Kalsen.

Menurutnya hukum harus dimurnikan, disterilkan dari unsur-unsur non

hukum, misalnya : etis, sosiologis, politis, istoris dan lain sebagainya.

Konsep ini dikenal dengan teori hukum murni (Reine Rechtlehre), dengan

kata lain hukum adalah “das sollen” dan bukan “das sein”. Jadi, menurutnya

hukum adalah suatu keharusan tentang pedoman prilaku manusia.

Tidak dipungkiri bahwa pada kenyataannya tidak semua putusan yang

dihasilkan melalui forum arbitrase ini akan memberikan kepuasan kepada

para pihak. Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran yang besar dalam

mengembangkan arbitrase. Salah satu peran pengadilan dalam penyelesaian

sengketa melalui arbitrase, yaitu dalam hal terjadi permohonan pembatalan

putusan arbitrase yang diajukan kepada Pengadilan Negeri. Tidak jarang

pihak yang tidak puas terhadap suatu putusan arbitrase mengajukan

permohonan pembatalan putusan arbitrase.


 Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut,maka penulis
dapat mengambil inti permasalahan yang akan dikaji dalam paper ini :
Bagaimana peranan abritrase dalam penyelesaian sengketa bisnis
dan implikasinya terhadap lembaga peradilan ?
 

Pembahasan
1. Peranan Abritrase Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis di Indonesia
Arbitrase berasal dari kata Arbitrare (Bahasa latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Dihubungkan dengan arbitrase dengan kebijaksanaan, maka
menimbulkan kesan bahwa seorang arbiter adalah seorang yang
dapat menyelesaikan sengketa dengan lebih bijaksana. Tetapi kesan
itu keliru karena menurut UU AAPS bahwa arbiter bertindak layaknya
majelis hakim pada peradilan umum, tetapi hanya mempunyai batas
waktu yang lebih limit dari peradilan dalam memutus sebuah
sengketa.[3]
Menurut Frank Elkouri dan Edna Elkouri dalam buku mereka yang
berjudul “How Arbitration Works Washington D.C., 1974,
mendefinisikan arbitase sebagai berikut : “Arbitration is a simple
proceeding voluntarily chosen by parties who want a dispute determined by
an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on
the merits of the case, they agreed in advance to accept as final and
binding”. [4]
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
Namun, tanpa adanya suatu sengketapun, lembaga arbitrase dapat
menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian, untuk memberikan pendapat yang mengikat (binding
opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian
tersebut, mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas,
penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan
dengan timbulnya keadaan baru, dan lain-lain. Dengan diberikannya
pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut, kedua belah pihak terikat
padanya dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan
pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian.[5]
Pada dasarnya lembaga arbritase merupakan lembaga yang
menyelesaikan sengketa yang timbul dari sebuah perjanjian atau
transaksi bisnis mengenai soal perdagangan, industri dan keuangan.
[6] Karena lembaga ini berada dalam lapangan usaha bisnis maka
segala hal sangat diperhitungkan secara detail dan efisien, serta
dalam proses penyelesaian sengketa harus dilakukan secara cepat,
tepat dan adil. Hal ini dikarenakan semakin lambat sengketa tersebut
diselesaikan, akan semakin besar pula biaya dan juga kerugian yang
dapat diderita oleh pelaku usaha tersebut. Disinilah Arbritase
berperan sebagai lembaga yang bersifat independen yang
menyediakan fasilitas untuk menyelenggarakan proses penyelesaian
sengketa melalui jalur non litigasi. Secara umum BANI didirikan
dengan tujuan sebagai berikut[7]:
1. Ikut serta dalam upaya proses penegakan hukum di Indonesia
dengan menyelenggarakan proses penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dalam hal ini fokus pada sektor perdagangan,
industri dan keuangan;
2. Menyelenggarakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk alternatif
lainnya seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi dan pemberian
pendapat yang mengikat sesuai dengan peraturan prosedur BANI
atau peraturan prosedur yang telah disepakati para pihak yang
bersengketa;
3. Bertindak secara otonom dan independen di dalam
menegakkan hukum dan keadilan, khususnya pada bidang-
bidang bisnis; dan
4. Menyelenggarakan pengkajian dan riset serta program-program
pelatihan atau pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa.
Secara umum lahirnya lembaga arbritase di Indonesia sangatlah
berperan dalam proses penegakan hukum di lingkungan dunia bisnis,
hal ini terbukti, lahirnya lembaga tersebut telah dapat mengurangi
penumpukan berkas dipengadilan, tawaran akan penyelesaian
sengketa yang berujung pada `,penyelesaian sengketa yang bersifat
tertutup, dan diperiksa oleh ahli yang memang menguasai persoalan
yang dihadapi para pelaku usaha, menjadi daya tarik yang kuat bagi
pelaku usaha untuk memilih penyelesaian sengketa dengan
menggunakan jalur arbritase daripada lembaga litigasi.
 

 2. Implikasi Lahirnya Badan Arbritrase Terhadap Lembaga Peradilan.


Lahirnya UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (UUAAPS) telah banyak membawa dampak
perubahan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, utamanya
adalah prosedur penyelesaian sengketa di pengadilan. Pasalnya,
lahirnya peraturan tersebut, merupakan salah satu bentuk
legalisasi/diakuinya prosedur penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (non litigasi). Dengan demikian proses penyelesaian
sengketa di luar pengadilan telah ditetapkan untuk mendapatkan
yuridiksi tersendiri dan harus diakui kompetensinya dimuka peradilan,
memiliki putusan yang mengikat bagi kedua belah pihak yang
bersengketa.
Namun demikian, lahirnya lembaga arbritrase bukanlah tanpa
masalah, adanya dualisme penyelesaian sengketa tersebut,
menjadikan proses penyelesaian sengketa
semakin gambling. Perebutan kompetensi antara peradilan dan
lembaga arbritrasipun tak jarang terjadi, ditambah putusan lembaga
arbritase yang masih cukup lemah karena harus mendapatkan
penetapan dari pengadilan, terkadang sering dilanggar oleh para
pihak dan bahkan dibatalkan oleh pengadilan, menjadi problem
tersendiri yang sampai saat ini belum terpecahkan.[8]
Secara prosedur, penyelesaian sengketa di lembaga arbritrase harus
didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam
klausa perjanjian,baik sebelum terjadi sengketa maupun setelah
terjadi sengketa. Dengan adanya klausula tersebut, berimplikasi
bahwa peradilan sudah tidak memiliki kompetensi lagi untuk
menyelesaikan sengketa.  Hal ini sebagaimana yang termuat dalam
Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999 yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Namun, dalam prakteknya masih saja ditemukan pengadilan yang
menentang, bahkan ketika arbitrase itu sendiri sudah menjatuhkan
putusannya. Seperti dalam kasus berikut:
Dalam kasus Bankers Trust Company dan Bankers Trust International PLC
(BT) melawan PT Mayora Indah Tbk (Mayora), PN Jakarta Selatan tetap
menerima gugatan Mayora (walaupun ada klausul arbitrase di dalamnya)
dan menjatuhkan putusan No.46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999,
yang memenangkan Mayora. Ketua PN Jakarta Pusat dalam putusan
No.001 dan 002/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST juncto
02/Pdt.P/2000/PNJKT.PST, tanggal 3 Februari 2000, menolak permohonan
BT bagi pelaksanaan putusan Arbitrase London, dengan alasan
pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran ketertiban umum yang
dimaksud adalah bahwa perkara tersebut masih dalam proses peradilan
dan belum memiliki kekuatan hukum tetap. Penolakan PN Jakarta Pusat
tersebut dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung No.02
K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal 5 September 2000.[9]
Kasus di atas adalah salah satu contoh dimana pengadilan
menentang lembaga arbitrase. Sebelumnya telah jelas bahwa
pengadilan tidak boleh mencampuri sengketa para pihak yang telah
terikat perjanjian arbitrase. Dalam kasus Bankers Trust melawan
Mayora sungguh aneh karena mengetengahkan ketertiban umum
sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak
untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan
kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan
melawan hukum, dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut
ke pengadilan negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan,
menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan
perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud
ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam
proses persidangan di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya
tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah
dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar
ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999, dan sayangnya
Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini.[10]
Ketertiban umum dijadikan dalih untuk menolak permohonan
arbitrase. Ketertiban umum sendiri adalah suatu sendi-sendi asasi
dari hukum suatu negara. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya
tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum. Akibatnya,
definisi ketertiban umum dijadikan legitimasi bagi salah satu pihak
untuk meminta pembatalan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Sulit
untuk mengklasifikasikan putusan arbitrase yang bertentangan
dengan ketertiban umum, namun dapat digunakan kriteria sederhana
sebagai berikut :[11]
1. putusan arbitrase melanggar prosedur arbitrase yang diatur
dalam peraturan perundangan negara, misalnya kewajiban untuk
mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan setempat tidak
dilaksanakan ;
2. putusan arbitrase tidak memuat alasan-alasan, padahal
peraturan perundang-undangan negara tersebut mewajibkannya;
atau
3. jika salah satu pihak tidak mendapat kesempatan untuk
didengar argumentasinya sebelum putusan arbitrase dijatuhkan.
Menurut analisa penulis ketertiban umum yang dijadikan dalih PN
Jakarta Selatan untuk menolak permohonan Bankers Trust tidak
dapat dikategorikan kedalam ketertiban umum yang sudah diuraikan
di atas. Dengan demikian pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
melakukan kesalahan karena memeriksa isi perkara dan bukan
sekedar memeriksa penerapan hukumnya saja seperti dalam arrest
Artist de Labourer.
Kasus tersebut sengaja penulis hadirkan dalam paper ini, bertujuan
untuk membuktikan bahwa lahirnya lembaga arbritrase yang
seharusnya berimplikasi terhadap tidak wenangnya pengadilan
negeri untuk menangani perkara bisnis yang telah tertulis choice of
forum dalam klausula perjanjian, terkadang masih tetap menimbulkan
sengketa dan gambling dalam proses penyelesaian sengketanya.
Padahal, sebagaimana yang sudah diatur dalam UU AAPS terhadap
perkara yang sudah memiliki klausul arbitrase tidak bisa diajukan ke
pengadilan negeri, dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan
arbitrasenya tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan, kecuali apabila
ada perbuatan melawan hukum, sehingga pihak yang dirugikan bisa
menggugat ke pengadilan negeri atas dasar perbuatan melawan
hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak berdasar
itikad baik.
 

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut maka terhadap
permasalahan yang penulis kaji dalam paper ini, dapat diambil dua
poin kesimpulan, yang dijabarkan sebagai berikut :
1. Lahirnya lembaga arbritase di Indonesia sangatlah berperan
dalam proses penegakan hukum di lingkungan dunia bisnis, hal
ini terbukti, lahirnya lembaga tersebut telah dapat mengurangi
penumpukan berkas dipengadilan, tawaran akan penyelesaian
sengketa yang berujung pada `,penyelesaian sengketa yang
bersifat tertutup, dan diperiksa oleh ahli yang memang
menguasai persoalan yang dihadapi para pelaku usaha, menjadi
daya tarik yang kuat bagi pelaku usaha untuk memilih
penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur arbritase
daripada lembaga litigasi.
2. Lahirnya lembaga arbritrase yang seharusnya berimplikasi
terhadap tidak wenangnya pengadilan negeri untuk menangani
perkara bisnis yang telah tertulis choice of forum dalam klausula
perjanjian terkadang masih tetap menimbulkan sengketa
dan gambling dalam proses penyelesaian sengketanya.
 

Daftar Pustaka
Buku
Eddy As’Adi, Hukum Acara Perdata Dalam Perspektif Mediasi (ADR) di
Indonesia, Cet. 1, Graha Ilmu, Jakarta, 2012
Gatot Soemartono. Arbitrase dan  Mediasi di Indonesia. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka    Utama, 2006).
Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional
dalam Transaksi       Bisnis Internasional, (Bandung : Refika Aditama,
2008)
Faisal, / AD. Basniwati, PERANAN BADAN ARBITRASI NASIONAL
INDONESIA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS DI
INDONESIA, Jurnal Hukum Jatiswara : Universitas Mataram, Fakultas
Hukum Universitas Mataram
 

Anda mungkin juga menyukai