Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

HUKUM PERKAWINAN

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pengertian Perkawinan, Sahnya Perkawinan,
Asas Perkawinan, Syarat-Syarat Perkawinan, Akibat Hukum Dari Perkawinan,
Hubungan Hukum Antara Suami Istri dan Anak Sah, Kekuasaan Orang Tua.

Sub Pokok Bahasan


1. Pengertian Perkawinan
2. Sahnya Perkawinan
3. Asas Perkawinan
4. Syarat-Syarat Perkawinan
5. Akibat Hukum Dari Perkawinan
6. Hubungan Hukum Antara Suami Istri dan Anak Sah
7. Kekuasaan Orang Tua

Uraian:
Negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian,
sehingga perkawinan bukan saja mengandung unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur
batin atau rohani juga mempunyai peranan yang sangat penting.1
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan
hanya dari hubungan keperdataan, seperti yang tersebut dalam pasal 26
KUHPerdata. Hukum Perdata menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah,
hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang di tetapkan dalam
KUHPerdata.2
Pengertian Perkawinan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 1 UU Perkawinan merumuskan pengertian perkawinan yang
didalamnya terkandung tujuan dan dasar perkawinan dengan rumusan:
1
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), h. 7.
2
Subekti. Pokok-pokok..., h. 23.
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.3
Sedangkan menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan suci
(sakramen, samskara) yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi
perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan
berumah tangga serta berkerabat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran
agama masing-masing”.4 Pengertian di atas tidak hanya memandang perkawinan
dari aspek keperdataan, namun juga meliputi kepentingan hukum adat dan hukum
agama.
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan
saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan
sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan.
KUHPerdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-
hubungan perdata (Pasal 26). Hal ini berarti bahwa undang-undangnya mengakui
perkawinan perdata ialah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam KUHPerdata, sedang syarat-syarat atau
ketentuan agama tidaklah diperhatikan atau dikesampingkan.5
Dengan demikian di dalam pengertian perkawinan itu jelas terlihat adanya
unsur ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
istri. Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengandung asas Monogami tidak mutlak yang secara tegas
dinyatakan di dalam dasar perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri sedangkan
seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi Pengadilan
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang yang
lazim dikenal dengan Poligami, izin ini diberikan apabila Poligami ini dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain Poligami dapat
dilaksanakan sepanjang Hukum Agama yang bersangkutan mengizinkan dan
itupun dibatasi oleh alasan dan persyaratan yang ketat yaitu dengan izin
Pengadilan.6

3
Focus Media Tim, Undang-undang Perkawinan, (Bandung:Focus Media, 2005), h. 71.
4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan Hukum Adat-Hukum
Agama, (Bandung: CV Mandar Maju, 1990), h. 8-10.
5
Sudarsono, Hukum Perkawinan..., h. 48.
6
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Sumur, 1974), h. 87.
B. Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan diatur dalam pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang merumuskan :
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.7

C. Asas Perkawinan
Asas-asas perkawinan antara lain:
1. Asas Kesukarelaan
Asas kesukarelaan merupakan asas terpenting dalam perkawinan Islam.
Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami istri
saja, tetapi juga antara kedua orang tua kedua belah pihak tersebut.
2. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak
Asas ini merupakan konsekuensi logis asas pertama yang disebutkan tadi, ini
berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda,
misalnya harus diminta lebih dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut
Sunnah Nabi, persetujuan itu dapat disimpulkan dari diamnya gadis tersebut.
Dari berbagai Sunnah Nabi dapat diketahui bahwa perkawinan yang
dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak dapat dibatalkan oleh
pengadilan.
3. Asas Kebebasan Memilih
Asas ini juga disebutkan dalam Sunnah Nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas
bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama Jariyah menghadap
Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan ayahnya dengan
seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar pengaduan itu, Nabi
menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan
dengan orang yang tidak disukainya itu atau meminta supaya perkawinannya
itu dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain
yang disukainya.

7
Ibid
4. Asas Kemitraan Suami istri
Asas ini dengan tugas dan fungsinya yang berbeda karena perbedaan kodrat
(sifat asal, pembawaan). Kemitraan menyebabkan kedudukan suami istri
dalam beberapa hal sama namun dalam hal yang lain berbeda, misalnya:
suami menjadi kepala keluarga dan istri menjadi kepala dan penanggung
jawab pengaturan rumah tangga.
5. Asas untuk Selama-lamanya
Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan
keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup. Karena asas
ini pula maka perkawinan mut’ah yaitu perkawinan sementara yang
diperuntukkan hanya bersenang-senang selama waktu tertentu saja seperti
yang terdapat pada masyarakat Arab Jahiliyah dahulu, hal ini dilarang oleh
Nabi Muhammad SAW.
6. Asas Monogami Terbuka (Karena Darurat)
Asas ini disimpulkan dari Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat 3 jo Ayat 129.
Didalam ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan atau boleh
beristri lebih dari seorang asal dapat memenuhi beberapa syarat tertentu.8
Sedangkan Asas-asas perkawinan menurut KUHPerdata, antara lain:
1. Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar.
2. Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan didepan
pegawai catatan sipil.
3. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan di bidang hukum keluarga.
4. Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
undang-undang.
5. Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan istri.
6. Perkawinan menyebabkan pertalian darah.
7. Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan istri itu.

8
Mohammmad Daud Ali, Asaz-asas Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990).
D. Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 sebagai
berikut :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (pasal
6 ayat1)
2. Pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 19
tahun (pasal 7 ayat 1)
3. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua
4. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam pasal
8
5. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat 2 dan pasal 4
(pasal 9)
6. Suami istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya maka diantara mereka berdua tidak boleh dilangsungkan
menikah lagi (pasal 10)
7. Seorang wanita yang perkawinanya terputus untuk kawin lagi telah lampau
tenggang waktu tunggu (pasal 11)9
Syarat perkawinan secara formal diatur dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah. Syarat formal berikut diatur Pada pasal 4 s/d pasal 13.

9
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2006), h.
63.
Sah tidaknya perkawinan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yang menyatakan bahwa: “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
1. Calon Suami
2. Calon Istri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi dan
5. Ijab dan Kabul
Ketentuan ini menegaskan bahwa apabila perkawinan tidak terpenuhi lima syarat
di atas, maka perkawinannya dianggap tidak sah.

E. Akibat Hukum dari Perkawinan


Setiap perbuatan hukum termasuk perkawinan akan menimbulkan akibat
hukum. Menurut peraturan perundang-undangan khususnya dalam hukum
perkawinan ada tiga macam akibat hukum dari suatu perkawinan, yaitu:
1. Adanya hubungan suami istri;
2. Adanya hubungan orangtua dengan anak;
3. Masalah harta kekayaan.10
Perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum yang sah pula.
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan dengan memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat menurut peraturan perundang-undanganyang
berlaku pada suatu ruang dan waktu tertentu.

F. Hubungan Hukum Antara Suami Istri dan Anak Sah


Setelah terjadi perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami dan
istri. Hubungan hukum dalam perkawinan adalah timbulnya hak dan kewajiban
antara suami dan istri itu sendiri. Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan
diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan, yaitu:
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30).
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
3. Suami istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2)).
4. Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1)).

10
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 73-74.
5. Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33)
6. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1)).
7. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya (Pasal 34
ayat (2)).
Selain hubungan hukum antara suami dan istri dalam perkawinan akan
menimbulkan hubungan hukum dengan anak. Kedudukan anak dalam perundang-
undangan: 11
1. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 42,
“Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99: “Anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam satu akibat perkawinan yang sah, hasil perbuatan
suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”.
3. Menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 250: “Anak sah adalah
anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami
sebagai bapaknya”.
Anak sah dengan sendirinya akan menerima hak sebagai akibat hubungan
hukum yang lahir dari perkawinan orang tuanya. Seperti yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya. (Pasal 45)
2. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaanya dan orang tua mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. (Pasal 49)
3. Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya mereka masih berkewajiban untuk
memberi pemeliharaan kepada anak tersebut. (Pasal 49)

11
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Prada Paramita,
2002), h. 62.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka
setiap anak berhak untuk:
1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartispasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 4)
2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan. Anak didaftarkan segera setelah kelahiran dan sejak lahir
berhak atas sebuah nama, berhak memperoleh kewarganegaraan dan sejauh
yang memungkinkan dipelihara oleh orang tuanya. (Pasal 5)
3. Hak untuk mengetahui orang tuanya. (Pasal 7)
4. Berhak mendapatkan perlindungan. (Pasal 13)
5. Hak diasuh orang tuanya. (Pasal 14)

G. Kekuasaan Orang Tua


Kekuasaan orang tua terhadap anak di dasarkan pada Pasal 45 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan yang memberian
kewajiban bagi orang tua dalam menjalankan kekuasaanya untuk memelihara dan
mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya dimana kewajiban tersebut
tidak akan berakhir oleh putusnya perkawinan oleh kedua orang tua dan akan
terus berlangsung sampai si anak dewasa dan mampu untuk berdiri sendiri. 12
Kekuasaan orang tua (ouderlijke macht) adalah kewajiban orang tua untuk
memberi pendidikan dan penghidupan kepada anaknya yang belum dewasa dan
sebaliknya anak-anak dalam umur berapapun juga wajib menghormati kepada
bapak dan ibunya. Apabila orang tua kehilangan hak untuk memangku
kekuasaaan orang tua atau untuk menjadi wali maka hal ini tidak membebaskan
mereka dari kewajiban memberi tunjangan-tunjangan dengan keseimbangan
sesuai pendapatan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak
mereka (Pasal 298 KUHPerdata)13.

12
Hasiani Putrinta Dongoran, “Analisis Yuridis Perwalian Anak Karena Pencabutan Kekuasaan
Orang Tua yang Tidak Diketahui Keberadaanya” Studi Putusan No.1613/Pdt.G/2014/PA.Mdn, h. 14.
13
Yulia, Hukum Perdata., h. 46.
Kekuasaan orang tua di dalam KUHPerdata, terbagi dalam 2 bagian, yaitu
sebagai berikut:
1. Kekuasaan orang tua terhadap diri anak.
a. Orang tua diwajibkan memelihara dan memberi pendidikan kepada anak
yang di bawah umur;
b. Orang tua berhak minta kepada Pengadilan Negeri (PN) agar anaknya
yang berkelakuan buruk dimasukan dalam lembaga Negara (Pasal 202
dan 304 KUHPerdata).
2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda anak.
a. Pengurusan harta anak ada di tangan orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua. Pengurusan ini mengakibatkan orang tua mewakili
anak dalam setiap tindakan (anak tak cakap).
b. Bapak atau Ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua berhak atas
nikmat hasil (vruchtgenot) dari harta anak, bila kekuasaannya
dibebaskan, hak tersebut berakhir.
Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau
kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya (ouderlijke macht) oleh kedua
orang tua bersama, tetapi lazimnya dilakukan oleh si ayah. Apabila si ayah tidak
mampu untuk memikulnya, misalnya sedang sakit keras, sakit ingatan, sedang
bepergian, dengan tidak ada ketentuan tentang nasibnya atau sedang berada
dibawah pengawasan (curatele) kekuasaan tersebut dilakukan oleh istrinya.
Kekuasaan orang tua, terutama kewajiban untuk mendidik dan memelihara
anaknya, meliputi pemberian nafkah, pakaian dan perumahan. Pada umumnya
seorang anak yang masih dibawah umur tidak cakap untuk bertindak sendiri,
sehingga harus diwakili oleh orang tua.

Anda mungkin juga menyukai