Bab V Hukum Keluarga Tentang Perkawinan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

BAB V

HUKUM KELUARGA TENTANG PERKAWINAN

Tujuan Instruksional Khusus


Mahasiswa dapat menjelaskan tentang Pengertian Keluarga, Pencegahan Perkawinan,
Pembatalan Perkawinan, Hubungan Hukum Antara Wali dan Anak.

Sub Pokok Bahasan


1. Pengertian Keluarga
2. Pencegahan Perkawinan
3. Pembatalan Perkawinan
4. Hubungan Hukum Antara Wali dan Anak

Uraian:
A. Pengertian Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan sistem sosial terkecil dalam masyarakat yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang memiliki hak dan kewajibannya masing-
masing.
Keluarga adalah lingkungan sosial yang terbentuk erat karena
sekelompok orang bertempat tinggal, berinteraksi dalam pembentukan pola
pikir, kebudayaan, serta sebagai mediasi hubungan anak dengan lingkungan.
Keluarga yang lengkap dan fungsional dapat meningkatkan kesehatan mental
serta kestabilan emosional para anggota keluarganya.1
2. Struktur Keluarga
Struktur keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih individu yang
terikat tali perkawinan, karena hubungan darah atau adopsi, hidup dalam satu
rumah tangga, saling berhubungan satu sama lainnya dalam perannya
menciptakan dan mempertahankan budaya.2

1
Latipun, Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan, (Malang : UMM Press, 2005), h. 124.
2
Yatmini, “Hubungan Antara Struktur Keluarga, Kemampuan Ekonomi, dan Tingkat Perhatian
Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Siswa SDN UjungUjung 02 Kecamatan Pabelan Kabupaten
Semarang”, Scholaria, Vol. 1 No. 2 (September 2011), h. 25.
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat,
yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah
keluarga merupakan sistem yang saling berinteraksi antara satu sama lain
dengan membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi.
Struktur dalam keluarga ada dua, yaitu:
a. Keluarga inti (nuclear family), yaitu keluarga yang di dalamnya hanya
terdapat tiga posisi sosial, yaitu suami (ayah), istri (ibu), anak (sibling).
Struktur keluarga yang demikian menjadi keluarga sebagai orientasi bagi
anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan.
b. Keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya terdapat posisi lain
selain ketiga posisi di atas, yakni dalam keluarga tersebut terdapat
seorang anak yang sudah menikah tapi masih tinggal di rumah orang
tuanya dan terdapat generasi ketiga (cucu).3
3. Tugas Keluarga
Tugas dan tanggung jawab kedua orang tua terhadap anaknya
berdasarkan Pasal 45 UU Perkawinan yaitu sebagai berikut:
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 1 berlaku
sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban berlaku meskipun
perkawinan antara keduanya putus.
Selain itu disebutkan dalam Pasal 77 Instruksi Presiden RI No. 1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, bahwa tugas dan tanggung jawab
kedua orang tua adalah: Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas keluarga merupakan unit terkecil dalam
masyarakat yang terbentuk berdasarkan hubungan darah, ikatan perkawinan, dan
adopsi dimana masing-masing anggota memiliki hak dan kewajibannya masing-
masing dalam kehidupan sosial.

3
Sri Lestari, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 27.
B. Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah suatu usaha yang digunakan untuk
menghindari terjadinya perkawinan yang bertentangan dengan ketentuan undang-
undang. Pencegahan perkawinan dilakukan sebelum pernikahan berlangsung.
Perkawinan dapat dicegah apabila terdapat pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.4
Pihak-pihak yang dapat melakukan pencegahan perkawinan diatur dalam
UU Perkawinan:
1. Para keluarga dalam keturunan lurus keatas dan lurus kebawah
2. Saudara
3. Wali nikah
4. Pengampu dari salah satu calon mempelai
5. Orang yang masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai
6. Pejabat yang ditunjuk, dalam hal tidak dipenuhinya ketentuan ketentuan
dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 UU Perkawinan.
7. Pihak-pihak yang berkepentingan
Pihak-pihak yang diberikan hak untuk mengajukan pencegahan
perkawinan dapat mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang
dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan
tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya,
yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam Pasal 14
Ayat 1 UU Perkawinan.5

C. Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah suatu upaya untuk membatalkan
perkawinan yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan.6
Berbeda dengan pencegahan perkawinan yang dilakukan sebelum pernikahan,
pembatalan perkawinan hanya dapat dimohonkan setelah perkawinan dan belum
putusnya perkawinan sebelum permohonan diajukan.7
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang artinya
merusakkan atau membatalkan.8

4
Ahmadi Miru, Hukum Perdata..., h. 49.
5
Ibid, h. 50.
6
I Ketut Oka Setiawan. Hukum Perdata..., h. 75.
7
Ahmadi Miru, Hukum Perdata..., h. 50-51.
8
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 85.
Pembahasan tentang pembatalan perkawinan telah dijelaskan di dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22, dinyatakan
dengan tegas bahwa “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Selanjutnya dalam
penjelasannya disebutkan bahwa pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa
batal atau bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing
tidak menentukan lain. Dengan demikian menurut pasal tersebut, perkawinan yang
tidak memenuhi syarat perkawinan itu dapat batal atau dapat tidak batal. 9
Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur pada Pasal 70 sampai
Pasal 76.10
Orang-orang yang oleh undang-undang diberi hak untuk melakukan
pembatalan perkawinan ialah:
a. Para keluarga garis lurus keatas dari pihak suami atau istri;
b. Suami atau istri;
c. Pejabat yang berwenang (jaksa)
d. Wali nikah;
e. Pengampu;
f. Pihak yang berkepentingan.11
Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan
berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan adalah:
1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang.
2. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah,
3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi,
4. Perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum,
5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
istri.
Beberapa alasan lain yang juga dapat digunakan untuk melakukan
permohonan pembatalan perkawinan.
1. Perkawinan yang dilakukan saat seorang suami masih terikat dalam
perkawinan lain, dan sang suami tidak memiliki izin untuk beristri lebih dari

9
Tami Rusli, “Pembatalan Perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan”, Pranata Hukum, Vol. 8 No. 2, Juli 2013, h. 158.
10
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 21-22.
11
I Ketut Oka Setiawan. Hukum Perdata...., h. 75.
seorang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat 2 dan Pasal 4 UU
Perkawinan. (Pasal 24 UU Perkawinan)
2. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan
suami atau istri. (Pasal 26 UU Perkawinan)
3. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum; atau
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka
mengenai diri suami atau istri. (Pasal 27 UU Perkawinan)12
Berdasarkan Pasal 23 UU Perkawinan, permohonan pembatalan
perkawinan dapat diajukan oleh:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri,
2. Suami atau istri,
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinanan belum diputuskan,
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut Ayat 2 Pasal 16 UU Perkawinan dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.13
Pembatalan perkawinan juga berkaitan dengan dengan status perkawinana
seseorang dimata hukum. Apabila perkawinan putus baik karena perceraian atau
kematian, para pihak tidak lagi menyandang status “belum kawin” melainkan
menjadi “janda/duda”. Sedangkan akibat pembatalan perkawinan akan membawa
status hukum seseorang pada keadaan semula, sebelum dilangsungkan
perkawinan yang dibatalkan tersebut akan dianggap belum pernah kawin. Status
perkawinan menjadi penting dalam hal pewarisan dan kepemilikan harta bersama.
Pembatalan perkawinan diajukan oleh para pihak di pengadilan dengan wilayah
hukum di tempat perkawinan tersebut dilangsungkan, tempat tinggal bersama suami
istri yang bersangkutan atau tempat tingal salah satunya. Batalnya suatu
perkawinan dimulai sejak keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.14

12
Ahmadi Miru, Hukum Perdata..., h. 51.
13
Ibid
14
Ibid, h. 52.
D. Hubungan Hukum Antara Wali dan Anak
Perwalian (voogdij) merupakan pengawasan terhadap anak dibawah umur,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau
harta kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.15 Artinya, lembaga
perwalian merupakan upaya untuk meneruskan kekuasaan orang tua terhadap anak
dibawah umur yang tidak lagi berada dalam kekuasaan orang tua.
Ada 3 kategori anak yang berada dalam perwalian, yaitu :
1. Anak sah yang kekuasaan oran tuanya telah dicabut
2. Anak sah yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian
3. Anak yang lahir di luar pernikahan (natuurlijk kind)
Perwalian dapat dilakukan oleh salah satu orang tua yang diberikan
kekuasaan atau pihak ketiga jika kedua orang tua sudah dicabut kekuasaanya
sebagai orang tua. 16
Jika perwalian pada salah satu orang tua maka hanya diperkenankan satu
wali pada anaknya, kecuali jika seorang ibu yang menjadi wali (moedervoogdes)
dan menikah lagi denga laki laki lain maka suami ibuu tersebut juga dapat menjadi
wali (medevoogd).17
Ada 2 sebab terjadinya perwalian yaitu:
1. Perintah undang-undang (wettelijk voogdijk)
Terjadi jika salah satu orang tua meninggal sehingga orang tua yang masih
hidup dengan sendirinya menjadi wali anaknya, anak yang lahir diluar nikah
maka akan berada dalam perwalian orang tua kandung yang mengakuinya dan
seorang anak yang tidak memiliki wali, maka atas permintaan salah satu pihak
yang berkepentingan atau atas perintah jabatanya, hakim dapat menunjuk
walinya.
2. Perintah wasiat (testamentaire voogdij)
Terjadi jika orang tua masih hidup tetapi tidak bisa menjadi wali karena
sebab tertentu dan menunjuk seorang wali untuk anaknya melalui surat wasiat
yang hanya dapat dijalankan saat masih hidup.
Orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali yaitu orang yang hilang
ingatan, belum dewasa, orang yang berada dalam pengampuan, orang yang
telah dicabut kekuasaan sebagai orang tua dan kepala serta anggota Balai

15
Subekti. Pokok-pokok..., h. 52.
16
Ahmadi Miru, Hukum Perdata..., h. 71.
17
Subekti. Pokok-pokok..., h. 53.
Harta Peninggalan kecuali perwalian tersebut untuk anaknya sendiri. 18
Kekuasaan perwalian diatur dalam pasal 393 KUHPerdata: ”Wali tidak
diperkenankan meminjam uang, mengalihkan atau membebankan jaminan
terhadap barang barang tidak bergerak si anak, menjual atau memindah
tangankan surat-surat negara, piutang atau andil-andil milik si anak tanpa surat
kuasa dari pengadilan negeri.”
Pada akhir perwalian karena dewasanya anak, meninggalnya si anak
atau pergantian wali, seorang wali wajib memberikan laporan
pertanggungjawaban atas perwalian yang ia lakukan. Pertanggungjawaban
dapat diberikan kepada anak tersebut, ahli waris dari anak yang bersangkutan
atau wali yang menggantikannya.

18
Ahmadi Miru, Hukum Perdata..., h. 72.

Anda mungkin juga menyukai