Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PERPAJAKAN

(Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Pasal 26)

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Atika Jauhari Hatta, M.Si

DISUSUN OLEH:
1. Januar Christianto (20919049)
2. Rizky Astrifita Furi (20919056)
3. Rizky Hardian Adhinugraha (20919057)

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS BISNIS DAN EKONOMIKA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021/2022
I. PENDAHULUAN
PPh 21 merupakan pajak pemotongan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh
seorang Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri atas pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukannya.
PPh 21 akan dipotong dari penghasilan yang diterima oleh seseorang,
Umumnya PPh 21 ini berkaitan dengan pajak yang digunakan pada sistem penggajian suatu
Perusahaan. Namun demikian, sebenarnya PPh 21 juga digunakan secara luas untuk
berbagai kegiatan lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan
yang dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

II. PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, Anda perlu mengetahui siapa saja
pemotong, siapa yang dipotong, apa saja hak dan kewajiban pihak pemotong dan yang dipotong,
bagaimana mekanisme pemotongan, serta cara pelaporan PPh Pasal 21/26.

Pemotong PPh Pasal 21/26 terdiri dari:

1. Pemberi kerja
2. Bendahara dan pemegang kas pemerintah
3. Dana pension
4. Orang pribadi pembayar honorarium
5. Penyelenggara kegiatan

Dalam hal Anda merupakan pemberi kerja yang memotong PPh Pasal 21/26, hal-hal yang harus
Anda lakukan adalah:

1. melakukan melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan tarif PPh yang
berlaku;
2. membuat bukti potong PPh Pasal 21 melalui aplikasi e-SPT PPh Pasal 21;
3. melakukan penyetoran PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut menggunakan kode
billing dengan kode MAP dan kode jenis setoran 411121-100. Penyetoran dilakukan
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Misalnya: pemotongan PPh Pasal 21
dilakukan pada bulan April 2020, maka penyetoran PPh-nya adalah paling lambat
dilakukan pada tanggal 10 Mei 2020; dan
4. menyampaikan laporan SPT Masa PPh 21 secara daring melalui saluran efiling
Direktorat Jenderal Pajak di laman pajak.go.id atau Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan
(PJAP) resmi yang ditunjuk.

Jika Anda adalah orang pribadi penerima penghasilan dari pemberi kerja yang bertindak sebagai
pemotong PPh Pasal 21/26, Anda perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Meminta dan mendapatkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A1 dan 1721-A2) atas
penghasilan yang diterima dan dipotong PPh Pasal 21 secara berkala.
2. Apabila Anda berstatus sebagai pegawai tetap dan penerima pensiun yang PPh Pasal 21
nya dipotong oleh pemberi kerja maupun dana pensiun, maka Anda berhak menerima
bukti pemotongan setiap awal tahun.
3. Apabila Anda berstatus sebagai penerima honorarium, bukan pegawai, dan peserta
kegiatan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21-nya oleh pemberi penghasilan,
maka Anda berhak menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21 setelah penghasilan
dibayarkan.
4. Apabila Anda menerima penghasilan dari pemberi kerja, namun PPh Pasal 21-nya tidak
dipotong, maka penghasilan tersebut wajib diperhitungkan dan dilaporkan melalui SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi serta membayar kekurangan pajaknya menggunakan kode
billing dengan kode MAP 411125 dan kode jenis setoran 200.

III. HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK

a. Hak pemotong Pajak

Hak pemotong pajak sesuai Pasal 22, 23, 24 PER-16/PJ/2016 adalah sebagai berikut:

1) Pemotong pajak berhak memperhitungkan kelebihan setoran PPh dalam satu bulan
takwin yang terutang pada bulat berikutnya pada satu tahun masa pajak PPh Pasal 21
2) Pemotong pajak berhak memperhitungkan kelebihan setoran PPh dalam satu bulan pada
bulan atau tahun berikutnya
3) Jika ada kesalahan penulisan, pemotong pajak dapat membetulkan SPT dengan
menyampaikan pernyataan tertulis dalam selang waktu 2 tahun setelah berakhir masa
pajak, asalkan SPT itu belum diperiksa oleh Direktur Jenderal Pajak
4) Apabila ada yang kurang sesuai, pemotong pajak dapat mengajukan surat keberatan
kepada Direktur Jenderal Pajak
5) Apabila ada keberatan tentang keputusan Dirjen Pajak, pemotong pajak dapat
mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan
yang jelas kepada badan peradilan Pajak

b. Kewajiban Pemotong Pajak

Kewajiban pemotong pajak sesuai Pasal 22, 23, 24 PER-16/PJ/2016 adalah sebagai berikut:

1) Pemotong Pajak harus mendaftarkan diri sebagai Pemotong Pajak ke Kantor Pelayanan
Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
2) Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, pemotong Pajak harus mengambil sendiri
formulir yang diperlukannya di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak
setempat. Pengambilan formulir ini tidak dapat dilimpahkan pada orang lain.
3) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 yang
terutang untuk setiap akhir bulan.
4) Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 yang terutang pada setiap
bulan.
5) Saat melakukan pemotongan pajak, pemotong pajak harus memberikan bukti
pemotongan pajak kepada siapapun itu, tanpa terkecuali, entah diminta atau tidak. Hal ini
termasuk orang-orang yang bukan sebagai pegawai tetap, penerimaan Jaminan Hari Tua,
penerimaan uang tembusan pensiun, penerima dana pensiun dan penerima uang
pesangon.
6) Bukti pemotongan pajak tetap harus disampaikan pada pegawai yang pajaknya dipotong.
Jika pegawai yang dipotong pajaknya berhenti bekerja atau pensiun, maka bukti
pemotongan paling lambat diberikan 1 bulan setelah pegawai berhenti bekerja atau
pensiun.
IV. PENERIMA PENGHASILAN ( WAJIB PAJAK PPH PASAL 21)

Adapun penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21/26 adalah orang pribadi
dengan status subjek pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan, termasuk penerimaan pension. Wajib Pajak
PPh Pasal 21 terdiri dari:

1. Pegawai
Pegawai merupakan orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan
perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis atau tidak tertulis untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan melaksanakan
suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang
dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain
yang ditetapkan pemberi kerja.
Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
dalam jumlah tertentu secara teratur termasuk anggota dewan komisaris dan anggota
dewan pengawas, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka
waktu tertentu yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu
secara teratur termasuk PNS Maupun Non-PNS.
Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan jika bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit pekerjaan yang
dihasilkan, atau menyelesaikan suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Istilah yang digunakan bagi penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas
adalah imbalan atau upah harian, mingguan, atau upah borongan.
Meski ketentuan perpajakannya berbeda dengan pegawai tetap, jenis pajak yang
dikenakan sama yakni PPh Pasal 21.

2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya juga merupakan wajib pajak PPh Pasal 21.
3. Wajib pajak PPh 21 kategori bukan pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan,
arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
- Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama,
penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya;
- Olahragawan
- Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
- Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
- Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada
suatu kepanitiaan;
- Agen iklan;
- Pengawas atau pengelola proyek;
- Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
- Petugas penjaja barang dagangan;
- Petugas dinas luar asuransi; dan/atau
- Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya
4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai
Tetap pada perusahaan yang sama.
5. Mantan pegawai; dan/atau
6. Wajib Pajak PPh Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
- Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni,
ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
- Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
- Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
- Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
- Peserta kegiatan lainnya.
V. TIDAK TERMASUK WAJIB PAJAK PPH PASAL 21
a. kantor perwakilan negara asing
b. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperuntukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal Bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan
atau pekerjaannya, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik.
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
- Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
- tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota.
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang – undang Pajak Penghasilan yang telah
ditetapkan oleh Menteri keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia

VI. Pajak Penghasilan Pasal 26


Hal yang menentukan seorang individu atau perusahaan dikategorikan sebagai
wajib pajak luar negeri adalah:
 Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan
yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
 Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan
yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
 Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen,
royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk
memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut.

Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)


Tarif 20% (final) atas jumlah bruto yang dikenakan atas:
 Dividen
 Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan
pembayaran pinjaman
 Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset Insentif
yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
 Hadiah dan penghargaan
 Pensiun dan pembayaran berkala
 Premi swap dan transaksi lindung lainnya
 Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:
 Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.
 Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui
pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau
pengalihan saham perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus
yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak yang
memiliki hubungan khusus untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap (BUT) didirikan di
Indonesia.
Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan
pajak, suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia.

VII. HAK DAN KEWAJIBAN WAJIB PAJAK


a. Hak Wajib Pajak
1) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2) Hak ini merupakan konsekuensi logis dari sistem self assessment yang mewajibkan
Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri.
Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut tentu hal dimaksud merupakan prioritas dari
seluruh hak Wajib Pajak yang ada.
3) Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT)
a. Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT apabila terdapat kesalahan atau
kekeliruan, dengan syarat belum melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak dan fiskus belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
4) Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT
a. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT ke
Dirjen Pajak dengan dengan menyampaikan alasan-alasan secara tertulis sebelum
tanggal jatuh tempo.
5) Hak untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak
a. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran
pembayaran pajak kepada Dirjen Pajak secara tertulis disertai alasan-alasannya.
Penundaan ini tidak menghilangkan sanksi bunga.
6) Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak
a. Wajib pajak yang mempunyai kelebihan pembayaran pajak dapat mengajukan
permohonan pengembalian atau restitusi.
7) Hak mengajukan keberatan dan banding
a. Wajib Pajak yang merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang telah diterbitkan
dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
tempat WP terdaftar. Jika Wajib Pajak tidak puas dengan keputusan keberatan,
Wajib pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
8) Hak Kerahasiaan Bagi Wajib Pajak
Wajib pajak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan atas segala informasi yang
telah diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka melaksanakan ketentuan
perpajakan. Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain:
- Surat pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lain yang dilaporkan oleh
wajib pajak.
- Data yang bersifat rahasia.
- Dokumen atau rahasia lain sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

b. Kewajiban Wajib Pajak


1) Wajib Pajak (penerima penghasilan) wajib menyerahkan surat pernyataan kepada
pemotong pajak, yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada suatu tahun
takwim, untuk mendapatkan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Penyerahan tersebut dilakukan pada saat mulai bekerja, awal menjadi Subjek Pajak dalam
negeri, mulai pension, atau dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga menurut
keadaan pada permulaan tahun takwim.
2) Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi,
jika Wajib Pajak mempunya penghasilan lebih dari satu pemberi kerja.

VIII. PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21 (OBJEK PPH PASAL


21)

Jenis penghasilan yang terkena pemotongan PPh pasal 21:

1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik penghasilan teratur
maupun tidak teratur.

2) Penghasilan yang diperoleh pensiunan secara teratur seperti uang pensiun.

3) Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua yang
dibayarkan sekaligus dalam jangka waktu lewat dari 2 tahun sejak pegawai berhenti
bekerja.

4) Penghasilan pekerja lepas (freelance) seperti upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan atau upah bulanan.
5) Imbalan yang diberikan pada bukan pegawai seperti honorarium, komisi, fee, atau
imbalan sejenisnya yang diberikan karena jasa yang dilakukan.

6) Imbalan peserta kegiatan seperti uang saku, uang representasi, honorarium, hadiah,
atau imbalan dalam bentuk apapun.

7) Imbalan atau honorarium yang sifatnya tidak teratur yang diperoleh anggota dewan
komisaris atau dewan pengawas yang bukan atau tidak merangkap pegawai tetap di
perusahaan yang sama.

8) Penghasilan seperti jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau jenis imbalan lain
yang sifatnya tidak teratur yang diperoleh mantan pegawai.

9) Penghasilan yang merupakan penarikan dana pensiun yang pendiriannya telah


disahkan menteri keuangan oleh peserta program pensiun yang masih berstatus
pegawai.

Jika penghasilan tersebut diterima oleh Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 26

IX. PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21 FINAL

Beberapa penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang bersifat final yaitu:

1) Penghasilan berupa uang pesangon yang dibayar sekaligus oleh dana pension yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2) Penghasilan berupa Uang Manfaat pension, tunjangn hari tua, atau jaminan hari tua,
yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3) Penghasilan berupa honorarium, uang siding, uang hadir, uang lembur, imbalan
prestasi kerja, dan imbalan dengan nama apapun yang diterima oleh pejabat negara,
PNS, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari keuangan negara atau
keuangan daerah kecuali yang dibayarkan kepada PNS golongan II/d kebawah,
anggota TNI/POLRI berpangkat Letnan Satu kebawah.

X. PENGHASILAN YANG TIDAK DIPOTONG PPH PASAL 21 (BUKAN


OBJEK PPH PASAL 21)
- Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi jiwa, asuransi beasiswa,
asuransi kesehatan, dan asuransi kecelakaan
- Penerimaan dalam bentuk Natura atau kenikmatan lainnya oleh wajib pajak
- Zakat yang diterima oleh pribadi berasal dari badan atau lembaga amil zakat
yang telah disahkan oleh pemerintah
- Beasiswa pendidikan dalam negeri dari Pemberi Beasiswa
- Iuran Pensiun dan Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)

XI. MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Tarif PPH Pasal 21

Beberapa tarif berikut ini digunakan sebagai dasar menghitung PPh Pasal 21:

1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 dengan ketentuan
sebagai berikut:

Lapisan penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Rp. 0 sd Rp. 50.000.000 5%
Di atas Rp. 50.000.000 sd Rp. 250.000.000 15%
Di atas Rp. 250.000.000 sd Rp. 500.000.000 25%
Di atas Rp. 500.000.000 30%

2. Tarif Khusus
a. Tarif khusus berkut diterapkan atas penghasilan yang bersumber dari APBN yang
diterima oleh pejabat PNS, anggota TNI/POLRI, dan pensiunannya.
- Tarif 0% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan bagi PNS Golongan I
dan II, Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Tamtama dan
Bintara, dan pensiunannya
- Tarif 5% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan bagi PNS Golongan III,
Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama dan Bintara, dan
pensiunannya
- Tarif 15% dari jumlah bruto honorarium atau imbalan bagi PNS Golongan IV,
Anggota TNI/POLRI Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Tinggi, dan
pensiunannya
b. Tarif khusus berikut diterapkan atas penghasilan berupa uang pensiun yang
diterima sekaligus.

Lapisan penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak


Rp. 0 sd Rp. 50.000.000 0%
Di atas Rp. 50.000.000 sd Rp. 100.000.000 5%
Di atas Rp. 100.000.000 sd Rp. 500.000.000 15 %
Di atas Rp. 500.000.000 25 %

c. Tarif khusus berikut diterapkan atas penghasilan berupa uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
- Tarif 0% atas penghasilan bruto sampai dengan Rp. 50.000.000
- Tarif 5% atas penghasilan bruto diatas Rp. 50.000.000
d. Tarif khusus 5% atas upah/uang saku harian, mingguan, Borongan, satuan yang
diterima oleh tenaga kerja lepas yang mempunyai total upah sebulan kurang dari
Rp. 10.200.000,- (dibayarkan tidak secara bulanan)

Tarif pajak PPh 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP
menjadi lebih tinggi 20% daripada tarif yang ditetapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP.
Contoh:

Penghasilan kena pajak sebesar Rp. 75.000.000


Pajak penghasilan yang dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp. 25.000.000 Rp. 3.750.000 (+)
Jumlah Rp. 6.250.000
Pajak penghasilan yang dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP:
5% x 120% x Rp. 50.000.000 Rp. 3.000.000
15% x 120% x Rp. 25.000.000 Rp. 4.500.000 (+)
Jumlah Rp. 7.500.000

Dasar pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21/26


PP PPh 21 adalah dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya PPh Pasal 21
terutang. Dengan mengetahui dasar pengenaan pajak, kita dapat menghitung PPh 21 dengan
tepat. Selain dikenakan atas pegawai tetap, DPP PPh 21 juga dikenakan bagi penerima uang
pesangon, tenaga ahli maupun anggota dewan komisaris/dewan pengawas suatu perusahaan.
Beberapa jenis pekerjaan tersebut juga memiliki tarif PPh 21-nya sendiri.
Untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak PPh 21, Anda harus terlebih dahulu
menentukan jenis atau kategori pegawai yang akan dihitung pajaknya baik itu pegawai tetap,
pegawai tidak tetap dan bukan pegawai. Lantas, apa perbedaan tiga kategori pegawai di atas?
Mengutip Peraturan Dirjen Pajak No.31/PJ/2009, berikut ini definisi pegawai tetap,
pegawai tidak tetap dan bukan pegawai:
Pegawai Tetap
Pegawai yang menerima penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota
dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola
kegiatan perusahaan secara langsung, atau pegawai kontrak.

Pegawai Tidak Tetap

Pegawai tidak tetap adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang
bersangkutan bekerja. Pekerjaan dihitung berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil
pekerjaan yang dihasilkan/penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Bukan Pegawai

Adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari pemotong PPh Pasal 21/
Pph Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan
berdasarkan permintaan.
Setelah menentukan jenis/kategori pegawai, langkah selanjutnya adalah menerapkan norma
perhitungannya.Di bawah ini adalah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan pemotongan PPh Pasal
21 terbaru berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-32/PJ/2015 adalah sebagai
berikut:

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk jumlah penghasilan yang melebihi Rp 450.000 sehari,
yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian, upah
mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima
dalam 1 bulan kalender telah melebihi Rp 4.500.000,-.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 50% dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan
pegawai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER 32/PJ/2015
Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan. Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) untuk jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain
penerima penghasilan di atas. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan Pemotongan PPh Pasal 26
adalah jumlah penghasilan bruto.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak


XII. TATA CARA PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPH PASAL 21

Dikutip dari situs DJP, karyawan tetap adalah karyawan yang menerima penghasilan dalam
jumlah tertentu secara teratur atau pegawai yang berstatus kontrak dalam jangka waktu yang
telah ditentukan, yang menerima penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur. Berikut ini
adalah contoh-contoh penghitungan PPh 21 untuk karyawan atau pegawai tetap dengan
memperhitungkan PTKP. Perhitungan yang dilakukan secara manual maupun perhitungan
otomatis menggunakan aplikasi. Berikut contoh cara penghitungan PPh Pasal 21 secara manual:

Sita Rianti adalah karyawati pada perusahaan PT. Onix Komunika dengan status menikah dan
mempunyai tiga anak. Suami Sita merupakan pegawai negeri sipil di Kementrian Komunikasi &
Informatika. Sita menerima gaji Rp 6.000.000 per bulan. PT. Onix Komunika mengikuti
program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan membayarkan iuran pensiun dari BPJS
Ketenagakerjaan sebesar 1% dari perhitungan gaji, yakni senilai Rp 60.000 per bulan. Di
samping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) karyawannya setiap bulan
sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Sita membayar iuran (JHT) setiap bulan sebesar 2,00% dari
gaji. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK) dibayar oleh pemberi
kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 0,24% dan 0,3% dari gaji. Pada bulan Juli 2016, di
samping menerima pembayaran gaji, Sita juga menerima uang lembur (overtime) senilai Rp
2.000.000. Maka hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:

Gaji Pokok 6.000.000


(i) Tunjangan Lainnya (jika ada) 2.000.000
(ii) JKK 0,24% 14.400
JK 0,3% 18.000
Penghasilan Bruto 8.032.400
Pengurangan:
1. (iii) Biaya jabatan 5% x 8.032.400 401.620
2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), 2% dari gaji pokok 120.000
3. (iv) Jaminan Pensiun (JP), 1% dari gaji pokok 60.000
(581.620)
Penghasilan neto (bersih) sebulan 7.450.780
(v) Penghasilan neto setahun 12 x 7.450.780 89.409.360
(vi) PTKP 54.000.000
(54.000.000)
Penghasilan Kena Pajak Setahun 35.409.360
(vii) Pembulatan ke bawah 35.409.000
PPh Terutang 5% x 35.409.000 1.770.450
PPh Pasal 21 Bulan Juli: 1.770.450/12 147.538

Berikut ini adalah cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 pegawai tidak tetap yang
menerima penghasilan tidak berkesinambungan:

Ardi adalah pegawai tenaga lepas untuk desain grafis di PT. Cahaya Kurnia dengan penghasilan
Rp 5.000.000.

Besarnya PPh 21 yang terutang adalah:

5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 125.000.


Bila Aditya tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah:

120% x 5% x 50% x Rp 5.000.000,00 = Rp 150.000.

Penjelasan:

Karena Ardi bukan pegawai tetap di PT. Cahaya Kurnia, maka PKP yang dikenakan sebesar 50%
dari jumlah penghasilan bruto.

Hal ini sesuai dengan peraturan PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c. Sedangkan tarif PPh Pasal 21
untuk penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000 adalah 5%.

Contoh PPH Pasal 26

PT XYZ mempunyai wakil di luar negeri yang mengasuransikan gedung bertingkat kepada
perusahaan di negeri tersebut dan melakukan pembayaran sejumlah premi di tahun 2000 dengan
bayaran Rp 1 Miliar. Maka perhitungan PPh pasal 26:

Perkiraan penghasilan

50% x Rp1.000.000.000 = Rp500.000.000,-

PPh Pasal 26

20% x Rp500.000.000 = Rp100.000.000 (10% x Rp1.000.000.000)

Walau tak jarang juga jika perusahaan XYZ mengasuransikan gedung ke perusahaan Indonesia,
dengan melakukan pembayaran premi sejumlah Rp1 Miliar. Perusahaan dapat melakukan
reasuransi ke perusahaan di negeri tersebut dan hanya perlu membayar Rp 500 juta. Maka
perhitungan PPh pasal 26:

Perkiraan penghasilan neto

= 10% x Rp500.000.000 = Rp50.000.000

PPh Pasal 26 PT ZYX

20% x Rp50.000.000 = Rp10.000.000 (2% x Rp500.000.000)

Anda mungkin juga menyukai