Abstract
Anak yang dilahirkan dari perkawinan tidak sah disebut dengan istilah
anak tidak sah atau anak luar perkawinan. Konsekwensi normatif, terminologi
anak tidak sah atau anak luar kawin membawa akibat hukum terhadap
pengakuan hak konstitusional anak dan sebaliknya. Sebelum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak luar perkawinan tidak memperoleh
hak-hak konstitusional sebagai warga negara yang menganut prinsip Negara
hukum. Secara konstitusional, hal tersebut telah merugikan hak anak terutama
dibidang kewarisan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010,
menjadi angin segar bagi anak luar perkawinan untuk memperoleh kembali hak
tersebut. Prinsip persamaan derajat yang menjadi dasar pemikiran dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah sesuai dengan
prinsip masalihu al-‘am (kemaslahatan umum) yang melindungi jiwa anak (hifdzu
al-nafs) sebagai generasi penerus kehidupan manusia (hifdzu al-nasl). Spirit
perlindungan terhadap anak yang secara konkrit terwujud dalam perlindungan
jiwa (hifdzu al-nafs), merupakan tujuan penetapan hukum Islam (maqasid al-
syariah). Atas dasar pemikiran tersebut, Putusan MK tidak hanya berakibat
terhadap reposisi keberpihakan hak kewarisan anak, tetapi berakibat pula dalam
menjamin dan melindungi hak-hak anak lainnya seperti hak memperoleh nafkah,
hak perwalian, dan hak alimentasi dari ayah biologis. Oleh karena itu, meskipun
transformasi prinsip persamaan dan keadilan dalam Putusan MK sesuai dengan
prinsip universalitas dan keadilan fitrah, kontekstualisasi Putusan MK yang
melebihi tuntutan pihak pemohon (Aisyah Mokhtar dan Muhammad Iqbal) harus
tetap dibatasi hanya berakibat hukum dalam perkara waris dan dalam konteks
anak luar kawin sebagai hasil perkawinan sirri dalam perspektif formalisme
hukum.
Kata Kunci: Akibat Hukum, Hak Waris, Anak Luar Perkawinan
1. Pendahuluan
Secara etimologis, kata waris berasal dari kata warasa-yarisu-warisan
yang berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal
dunia. Kata warasa berarti menggantikan kedudukan, memberi atau
menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah
ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
2
warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau
apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.1
Menurut Louis Makluf dalam Amien Husein Nasution, 2 kewarisan (al-
miras) yang lazim disebut sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta
warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur'an dan Hadits. Kewarisan
adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah
meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian
yang telah ditetapkan dalam nash-nash baik al-Qur’an, Hadits, Ijma’ maupun
dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, hukum kewarisan pada intinya
adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang
meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. 3 Hukum waris adalah
peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap
harta kekayaan yang berwujud,4 pola perpindahan kekayaan dari si pewaris dan
akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan
antara sesama ahli waris.
Hukum kewarisan di Indonesia, tertuang dalam Buku II KHI. Hak waris
anak secara eksplisit dinyatakan tegas pada Pasal 171 huruf c yaitu:
Pasal 171 Huruf c
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
1
Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, Juz ke-VI, ditahqiq oleh ‘Abdullah Aliy al-Kabir, Muhammad
Ahmad Hasbullah, Hasyim Muhammad al-Syadzaliy, (Kairo; Darr al-Ma’arif, 1119), hlm. 4812.
2
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid
dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 49.
3
Soebekti, “Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris,” Kertas
Kerja pada Simposium Hukum Waris Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembina an Hukum
Nasional, Jakarta, 10-12 Februari 1983.
4
E.M. Meyers, dan H.F.A. Vollmar, hlm. 284. Jac Kalma, Privaat recht: handleiding by de
studi evan het Nederlands Privaat recht, cetakan ketiga, hlm. 79.
3
Menurut KHI anak luar kawin termasuk anak zina berhak atas warisan.
Hanya saja hak waris anak luar nikah terbatas atas hubungan saling mewarisi
dengan ibunya. Hal ini sesuai dengan Pasal 186 KHI yang menyatakan:
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewaris dengan ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya.
Berdasarkan norma kedudukan hukum anak luar kawin, UUP dan KHI
memiliki kesamaan dalam menetapkan kedudukan dan hak anak luar kawin atau
hak anak hasil perkawinan tidak sah. Pasal 43 ayat (1) UUP melegitimasi
5
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam, Disertasi, Program
Doktor UIN Gunung Jati, Bandung, 2011, hlm. 18.
6
Habiburrahman, Ibid., hlm. 19.
4
kedudukan anak berdasarkan nasab, sedangkan Pasal 186 KHI melegitimasi hak
waris anak luar kawin atau anak tidak sah. Konstruksi normatif kedudukan
hukum hak anak luar kawin dibidang kewarisan sebelum munculnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 telah mengakomodir hukum
kewarisan yang telah diatur dalam UUP dan peraturan organiknya seperti KHI.
Penerapan hukum kewarisan sebelum putusan MK telah menempatkan posisi
anak luar kawin hanya memiliki hak warisa kepada ibu dan keluarganya.
2. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 Terhadap Pembagian Hak Waris Anak Luar
Perkawinan
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.7
Mahkamah Konstitusi juga manyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP
yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya.”
Menurut hukum Islam (Islamic yurisprudence) seorang anak yang dapat
dihubungkan dengan nasab orang tuanya harus memenuhi tiga aspek secara
kumulatif. Tiga aspek tersebut yaitu anak tersebut dilahirkan dalam ikatan
perkawinan yang sah, bukan hasil dari hubungan badan di luar ikatan
7
Pasal 43 ayat (1) UUP bertentangan sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
5
perkawinan (zina), suami istri telah melakukan hubungan badan secara nyata
dan anak tersebut berada dalam kandungan ibunya minimal 6 bulan.
Ketiga aspek di atas disyaratkan bagi suami yang memungkinkan dapat
menghamili istrinya, antara suami istri telah pernah hidup bersama dalam satu
ranjang dan suami tidak pernah mengingkari anak yang dilahirkannya. Dengan
demikian apabila hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka seorang anak nasabnya
tidak dapat dihubungkan terhadap suami dari ibunya itu.
Teori-teori fikih yang dikemukakan fuqaha’ yang menunjukkan adanya
ikatan nasab antara orang tua (ayah dan ibu) dengan anak-anaknya, melahirkan
doktrin hukum yang berbeda-beda. Doktrin tersebut bergantung pada keadaan
ikatan perkawinannya, kelahiran anak itu masih dalam ikatan perkawinan yang
masih utuh atau ketika istri menjalani masa iddah atau disebabkan hubungan
badan yang syubhat dalam akad yang dinyatakan fasid atau yang lainnya. Oleh
karena itu yang menjadi kaidah umum adanya ikatan nasab antara anak dengan
orang tuanya (ayahnya) adalah adanya ikatan perkawinan yang sah dan diukur
dari masa kehamilan ibunya minimal 6 bulan setelah adanya akad perkawinan
dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum, atau istri telah selesai
menjalankan masa iddah thalaq raj’iy, dan masa kehamilannya kurang dari 6
bulan yang dihitung mulai dari selesai masa iddah, atau istri selesai menjalankan
masa iddah thalaq ba’in dengan masa kehamilan kurang dari enam bulan, kecuali
akad perkawinannya menjadi fasid, maka adanya ikatan nasab didasarkan pada
adanya hubungan badan secara nyata dan kehamilan istrinya lebih dari 6 bulan
setelah hubungan badan itu. Dari kaidah umum ini melahirkan konsekuensi
bahwa anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak ada ikatan
perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya, maka anak tersebut tidak
memiliki hubungan nasab dengan ayahnya.
Oleh karena itu ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya” telah sejalan dengan teori fikih yang bersifat
universal.
6
Pasal 28 D
(1). menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
Ketentuan norma yang menjadi kata kunci adalah “melalui perkawinan
yang sah” sebagaimana terdapat pada Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945. Yang
dimaksud perkawinan yang sah disini harus dibaca sesuai ketentuan Pasal 2 ayat
(1) UUP, yaitu “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Norma dasar ini
menghendaki bahwa setiap orang diberikan hak untuk mendapatkan keturunan
yang dibenarkan, yaitu keturunan yang diperoleh dari perkawinan yang sah
menurut hukum agamanya, dan tidak melegalisasikan hak untuk mendapatkan
keturunan dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa
ikatan perkawinan yang sah atau kumpul kebo. Oleh karena itu pula menurut
UUD 1945 ini keturunan (baca anak) yang sah adalah keturunan yang dilahirkan
dari perkawinan yang sah yang berarti pula tidak melegalisasikan keturunan yang
sah dari perkumpulan seorang laki-laki dan seorang perempuan tanpa ikatan
perkawinan (kumpul kebo). Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 adalah turunan dari
ayat sebelumnya, dalam ayat ini menunjukan hak-hak anak yang merupakan
kewajiban orangtuanya yang sah untuk memberikan segala sesuatu demi
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak, demikian pula
negara berkewajiban melindungi anak dari kekerasan (dalam rumah tangga) dan
diskriminasi. Sedangkan Pasal 28 D ayat (1) menunjukkan kewajiban negara
7
8
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37.
8
9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet ke-empat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1990), hlm. 15.
10
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm.
132.
11
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqhi, (Kairo: Daru al-Fikri al-‘Arabi, 1958), hlm. 71-83.
12
Al-Qurthuby, Al-Jamii’ Li al-ahkam Al-Qur’an, Juz V, (Bairut: Ihya al-Turats, 1985), hlm.
103.
9
dari Ali bin Abi Thalib. Ibnu ‘Abas Jabir dan Zaid bin Tsabit menyatakan
hubungan badan pada kedua tempat itu (maksudnya istri dan anak). Jumhur
mufassirin menafsirkan ayat ini dengan tafsir yang berbeda yaitu dengan
pengertian nikah yang sah, dan menurut Imam Syafi’i keharaman mereka itu
disebabkan adanya akad perkawinan yang sah, keharaman dalam ayat tersebut
tidak sampai mengharamkan yang halal.13
Mukti Arto,14 menegaskan bahwa pendapat Abu Hanifah bahwa hubungan
darah menjadi dasar adanya hubungan perdata, yaitu hubungan nasab,
hubungan mahram, hubungan hak dan kewajiban, hubungan kewarisan dan
hubungan perwalian. Hubungan badan menjadikan dasar adanya hubungan
keperdataan, yaitu adanya hubungan nasab dan seterusnya. Padahal ayat al-
Qur’an yang dibicarakan tersebut di atas, sebagaimana yang ditafsirkan oleh para
ulama, bertemakan mengenai hubungan mahram sebagai akibat adanya
mushaharah. Hal ini merupakan suatu yang tidak relevan, sebab akibat adanya
mushaharah menjadi dasar adanya hubungan nasab. Hal tersebutberdasarkan
ayat al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 45-48. Berdasarkan ayat tersebut, Mukti Arto
berkesimpulan bahwa dengan adanya hubungan darah akan berakibat
15
menimbulkan hubungan hukum. Akibat adanya hubungan hukum keperdataan
antara anak dengan ayah biologisnya yang di lahirkan di luar perkawinan, yang
menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 diberlakukan
secara general baik terhadap anak sebagai akibat perzinaan, sebagai akibat
perkawinan monogami secara di bawah tangan atau sebagai akibat perkawinan
poligami di bawah tangan, memiliki akibat hukum lahirnya hak dan kewajiban
menurut hukum antara kedua belah pihak secara timbal balik.16
2.1. Akibat Hukum Terhadap Hak Waris Anak Luar Perkawinan
Kaidah umum yang berlaku dalam hukum kewarisan Islam adalah
berkaitan dengan kualifikasi orang sebagai ahli waris. Secara umum kualifikasi
ahli waris tersebut yaitu orang yang memiliki hubungan nasab (nasab haqiqi),
13
Al-Qurthuby, Ibid., hlm. 106.
14
Mukti Arto, Loc. Cit., hlm. 16.
15
Mukti Arto, Ibid., hlm. 17
16
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 35.
10
hubungan karena sebab perkawinan sah atau yang dikenal dengan mushaharah,
dan hubungan al-wala’ (pelepasan status seseorang dari perbudakan).17
Hubungan nasab adalah hubungan hukum keperdataan yang disebabkan
kelahiran dari perkawinan yang sah, dengan kata lain ‘illat hukum dalam sebuah
nasab yaitu terletak pada hubungan biologisnya bukan pada perkawinannya.
Hubungan nasab seperti ini merupakan hubungan yang bersifat alami tidak dapat
berubah sampai kapanpun dan oleh hukum apapun.
Berkaitan dengan hak kewarisan anak dari seorang laki-laki sampai
kapanpun adalah anak yang memiliki hubungan nasab dengan laki-laki tersebut,
baik laki-laki (ayah biologis) tersebut berdasarkan hubungan mushaharah dengan
ibu kandungnya, maupun dengan ayah nasab-nya (ayah biologis). Oleh karena
itu, yang dimaksud hak perdata anak dalam hubungan kewarisan adalah
kedudukan anak yang ditunjuk dalam Perkara Perdata Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagaimana telah dijelaskan tersebut di
atas, yang menyatakan :
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Hubungan perdata dalam putusan di atas tentu mengarah pada satu hak
yaitu hak waris. Sebab perkara Machicha merupakan permohonan atas hak waris
Muhammad Iqbal terhadap ayah yang pada saat diajukan ke mahkamah
Konstitusi, ayah yang bernama Moerdiono telah wafat. Sehingga konteks putusan
tersebut merupakan kontekstualisasi hukum terhadap norma yang mengatur hak
waris anak luar perkawinan. Akibat hukum Putusan MK secara ringkas dapat
dilihat dalam table di bawah ini:
17
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid IV, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), hlm. 484.
11
Tabel 2.1.
Ringkasan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Waris Anak Luar Perkawinan
18
Yang dimaksud nafkah dalam hal ini adalah nafkah anak, berupa biaya pemeliharaan,
biaya kebutuhan pokok anak, biaya pendidikan anak dan segala biaya yang diperlukan untuk
menunjang kelangsungan dan perkembangan anak sampai dewasa atau mandiri, sesuai Pasal 45
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam .
12
kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak. Sebab, anak yang dilahirkan
dari hubungan bilogis tanpa ikatan perkawinan yang sah, secara kodrati tidak
berbeda dengan anak sah. Dengan demikian terhadap anak, ayah wajib
menunaikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah, kesehatan,
pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya sesuai dengan
penghasilannya. Hal ini selaras sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4)
Kompilasi Hukum Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali pernikahan.
Apabila ayah dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan
memberi nafkah kepada anak-anaknya, sesuai dengan kemampuannya,
sebagaimana maksud Pasal 105 huruf c dan Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum
Islam .
Pokok pikiran utama yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi yang
merombak ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
pada dasarnya adalah “tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-
laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan
dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki
tersebut sebagai ayahnya.”
Pokok pikiran ini seolah-olah menjadi alasan yang mendasar bahwa
seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan yang kemudian
melahirkan anak, dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut akan melepaskan
tanggung jawabnya sebagai ayah biologisnya, dengan demikian setelah
ketentuan Pasal tersebut di-review, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum
untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya.
Seandainya putusan Mahkamah Konstitusi hanya berkaitan dengan
persoalan pertanggungjawaban nafkah, menurut peneliti sifatnya kasuistik dan
akan sejalan dengan logika hukum Islam, sebab masalah nafkah yang diperlukan
untuk menunjang kehidupan anak, tidak hanya terkait dengan orang yang ada
kaitannya dengan hubungan nasab, seperti apabila anak tersebut diangkat anak
oleh orang lain, maka kewajiban nafkah akan beralih kepada ayah angkatnya,
walaupun pada dasarnya pokok kewajiban itu dibebankan kepada orang yang
terkait dengan hubungan nasab.
13
2.3. Akibat Hukum Terhadap Hak Wali Nikah Anak Luar Perkawinan
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh. Kemudian Pasal 20
ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa wali nikah terdiri dari dua
kelompok, yaitu wali nasab dan wali hakim.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa orang-
orang yang berhak menjadi wali adalah ayah yang memilki hubungan nasab
dengan anak perempuannya, yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah sesuai Pasal 42 UUP, atau dengan kata lain anak
perempuan itu lahir dari seorang perempuan yang dihamili seorang laki-laki
dalam ikatan perkawinan yang sah. Ketentuan Pasal ini melahirkan kaidah hukum
bahwa adanya hubungan hukum (nasab) antara seorang anak dengan kedua
orang tuanya dan menyebabkan adanya hak wali terhadap ayahnya adalah
disebabkan adanya ikatan perkawinan yang sah dan anak itu lahir dalam ikatan
perkawinanya. Dengan demikian kelahiran anak selain yang ditentukan dalam
aturan tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, dan berakibat
hukum ayah dalam kondisi seperti ini tidak berhak menjadi wali nikah dalam
perkawinan anak perempuannya, dan hak perwalian anaknya itu berada pada
wali hakim.
Berkaitan dengan dasar hukum perwalian tersebut, bahwa pembaharuan
hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan terobosan hukum
berbasis teknologi DNA. Pengakomodiran prinsip-prinsip perkembangan keilmuan
dalam teknologi genetika, merupakan bukti bahwa penemuan hukum (istinbat al-
ahkam) yang lakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan transformasi dan
semangat dari penggalian hukum yang mendasarkan keadilan dan kebenaran
substantif (pengakuan hukum secara de facto) di atas kebenaran prosedural
(pengakuan hukum secara de jure).
Hal ini terlihat bagaimana para hakim MK menjadikan DNA sebagai ratio
legis, sehingga “hubungan perdata” dan polarisasi hak anak dan kewajiban laki-
15
laki (ayah) biologis, menimbulkan hak-hak perdata baik materiil seperti hak
nafkah dan waris, maupun hak-hak immaterial seperti perwalian baik dalam
perkawinan atau harta benda anak dan hak hadhanah (alimentasi).
Oleh sebab itu, Putusan Mk tentang hak anak dalam perwalian terutama
wali dalam perkawinan, turut menjadi sasaran dari putusan tersebut. Sebab,
pangkal dari adanya hak perwalian adalah disebabkan oleh adanya nasab. Ada
tidaknya nasab menyebabkan sah tidaknya sebuah hak, baik hak materiil
maupun immaterial. Melalui putusan itu pula, maka putusan MK juga
melegetimasi dan menjangkau atas hak anak biologis untuk memperoleh hak
dalam perwalian (jika ayah biologisnya masih hidup). Hak perwalian merupakan
hak yang sama pentingnya dengan hak-hak anak lain. Akibat hukum Putusan MK
terhadap hak perwalian anak secara ringkas dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini:
Tabel 2.3.
Ringkasan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Wali Nikah
Anak Luar Perkawinan
hak-hak material dan immaterial anak seperti hak asuh dan hak perwalian
sebagaimana disinggung di atas.
Pada dasarnya kewajiban utama seorang ayah (suami) adalah pemimpin
dan kepala rumah tangga. Jika ayah tidak dapat melaksanakan kewajiban
tersebut, maka kewajiban selanjutnya secara hierarkhis harus dipikul oleh ibu.
Demikian selanjutnya, oleh keluarga masing-masing ayah dan ibu dan
seterusnya. Jadi, pada hakikatnya kewajiban tersebut adalah kewajiban bersama
antara ayah dan ibu.19 Namun dalam perspektif fikih klasik, kewajiban tersebut
hanya berlaku manakala keduanya (suami-isteri) masih hidup dalam satu ikatan
perkawinan.
Pandangan terkait pemeliharaan anak luar kawin sebagaimana ajaran di
atas, berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka antara
anak luar kawin dengan ayah biologis menimbulkan hubungan hukum dalam
sistim hubungan keperdataan. Dengan terbukanya hubungan perdata tersebut,
maka hak-hak yang melekat pada diri anak biologis memiliki hubungan perdata
pula dengan kewajiban ayah biologis. Salah satunya yaitu hak asuh (alimentasi )
atau hadhanah antara anak luar kawin dengan ayah biologis. Sejak keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seorang anak melalui putusan pengadilan
ia berhak untuk mendapatkan biaya pemeliharaan dan pendidikan dari ayah
biologisnya seperti halnya ia juga memiliki kewajiban itu terhadap anak sahnya.
Hak alimentasi (pemeliharaan) menurut Buku Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku II,
sebagaimana dikutip oleh D.Y. Witanto, 20 antara lain bahwa nafkah anak
merupakan kewajiban ayah dan ibu, pemeliharaan anak pada dasarnya
bergantung kepada orang yang memiliki kecakapan dan akhlak, pengalihan
pemeliharaan anak didasarkan atas putusan Pengadilan Agama, pencabutan
kekuasaan orang tua dapat diajukan oleh orang tua yang lain, anak, keluarga
19
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam , (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 224.
20
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca keluarnya
Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya,
2012), hlm. 273.
17
dalam garis lurus ke atas, saudara kandung dan pejabat yang berwenang
(jaksa).
Menurut UUP, ketentuan pemeliharaan anak tertuang dalam Bab X
tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak dari Pasal 45 sampai dengan
Pasal 49. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam hal yang sama tertuang
dalam Bab XIV tentang pemeliharaan anak yaitu dari Pasal 89 sampai Pasal 99.
Penerapan tentang kewajiban pemeliharaan (alimentasi) kepada ayah
biologis juga menimbulkan kewajiban bagi si anak untuk menghormati dan
menghargai si ayah sebagai orang tuanya, termasuk kewajiban untuk melakukan
pengurusan kepada si ayah jika si anak telah tumbuh, dewasa dan si ayah
membutuhkan pemeliharaan dari anaknya, karena hak dan kewajiban alimentasi
tidak mungkin diterapkan secara separuh-separuh, bahkan jika hak keperdataan
itu termasuk dalam ruang lingkup hukum waris, maka hak mewaris dari anak luar
kawin terhadap ayah biologisnya juga meliputi hak mewaris ayah biologis
terhadap anak luar kawin, jika si anak meninggal dulu daripada ayah biologisnya
dan tidak meninggalkan ahli waris dalam peringkat yang lebih tinggi.
Penerapan prinsip hak keperdataan bagi anak luar kawin terhadap ayah
biologisnya dapat dianalogikan dengan anak luar kawin yang telah mendapat
pengakuan oleh orang tua biologisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUH
Perdata karena dalam UUP. Hal ini didasarkan pada tidak adanya fasilitas hukum
yang dapat digunakan untuk menindaklanjuti keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut. Menurut KUH Perdata seorang anak yang telah diakui oleh
orang tuanya memiliki hubungan keperdataan dengan ayah dan ibu biologisnya,
sedangkan pengertian hak keperdataan itu termasuk menyangkut hak pewarisan
walaupun kedudukan waris anak di luar kawin tetap tidak sama dengan
kedudukan waris yang sah.
Menempatkan posisi anak luar kawin sesuai dengan apa yang dihendaki
oleh Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam konstruksi fikih memang
agak sulit, karena anak kawin sama sekali tidak bisa dinasabkan kepada ayah
biologisnya, sehingga dia tidak mungkin bisa menjadi ahli waris dari ayah
biologisnya. Namun jika kita kembali kepada pengertian bahwa hak keperdataan
itu bukan hanya sekedar menyangkut persoalan tentang waris-mewaris, maka
18
21
D.Y. Witanto, Ibid., hlm. 274.
19
dilahirkan dari suatu hubungan orang tuanya yang tidak sah. Suatu contoh yang
ekstrim adalah jika seorang anak lahir dari akibat pemerkosaan, maka sangat
tidak adil jika si ibu dengan anaknya mendapatkan stigma dan status yang lemah
dihadapan hukum bahkan justru hukum cenderung melindungi pihak laki-Iaki
yang jelas telah melakukan perbuatan jahat dan tercela dengan melakukan
pemerkosaan yang mengakibatkan lahirnya seorang anak.
Suatu pandangan yang cukup progresif, jika seorang anak yang lahir dari
suatu hubungan yang tidak sah juga bisa mendapatkan haknya untuk dinafkahi
dan diberikan biaya penghidupan yang layak oleh si ayah biologisnya karena
anak dan semua orang yang terlahir kedunia tidak pernah mampu untuk memilih
lahir dari hubungan yang sah atau tidak.
Upaya perlindungan hukum bagi si anak untuk mendapatkan biaya
pemeliharaan dan pendidikan akan membuat si anak bisa hidup dengan wajar,
walaupun dalam pandangan sosial ia tetap tidak mungkin bisa keluar dari stigma
bahwa dia adalah anak zina atau anak haram yang akan ditanggung oleh si anak
seumur hidupnya akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya.
Kondisi lahirnya anak di luar kawin hampir mirip jika kita bandingkan dengan
anak yang lahir dengan mengidap penyakit AIDS yang diturunkan oleh orang
tuanya, dalam kasus seperti itu siapa yang salah? Apakah si anak juga harus
menanggung dosa dan kesalahan yang sebenarnya dilakukan olen orang.
tuanya? Rasanya tidak adil jika kita juga harus menghukum dengan segala status
dan kedudukannya ditengah-tenga masyarakat akibat dari dosa yang tidak
pernah ia lakukan.22 Akibat hukum Putusan MK terkait hak hadhanah anak luar
perkawinan secara ringkas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :
22
D.Y. Witanto, Ibid., hlm. 275.
20
Tabel 2.4.
Ringkasan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap Hak Hadhanah
Anak Luar Perkawinan
3. Penutup
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengakibatkan
terjadinya perubahan akibat hukum tak terbatas terhadap hak perdata anak luar
perkawinan. Perubahan akibat hukum baik hak materiil yaitu hak nafkah (jika
ayah biologis masih hidup) dan hak waris, maupun hak immateriil yaitu hak
perwalian dan hak alimentasi sebagaimana anak sah pada umumnya. Hal ini
berdasarkan penemuan hukum sebagai berikut: pertama, konsep hubungan
darah (nasab biologis) merupakan sunnatullah (natural of law) yang bersifat
permanen, sehingga konsep nasab biologis merupakan ratio legis (‘illat al-hukm)
yang menjadi pertimbangan de facto hak-hak perdata anak. Kedua, pergeseran
hukum hak-hak perdata dari berbasis nasab yuridis (de jure) ke nasab biologis
telah mendekonstruksi hak-hak perdata anak berbasis nasab yuridis, sehingga
hak-hak pedata anak (baik hak materiil maupun hak immateriil) yang tidak
diakui, kini diakui secara de jure dan de facto. Ketiga, konsep pembangunan
hukum perdata anak secara radikal berbasis revolusi hukum dalam pengakuan
21
hak-hak perdata anak mutlak diperlukan dalam menjamin hak-hak anak berbasis
prinsip-prinsip konstruksi hukum yang Islami. Akibat hukum Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentu harus dibatasi berdasarkan konteks
anak luar perkawinan dari hasil pernikahan poligami sirri Aisyah Mokhtar dan
Moerdiono serta hanya dalam perkara perdata waris. Sehingga koridor hukum
dari akibat Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya dalam perkara
perkawinan sirri bukan anak hasil zina dan hanya dalam lingkup perkara perdata
waris bukan hak-hak perdata anak lainnya.
4. Daftar Pustaka
Al-Qurthuby, Al-Jamii’ Li al-ahkam Al-Qur’an, Juz V, Bairut: Ihya al-Turats, 1985.
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil Undang-Undang Perkawinan,
Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2012.
E.M. Meyers, dan H.F.A. Vollmar dan Jac Kalma, Privaat recht: handleiding by de
studi evan het Nederlands Privaat recht, cet. ketiga. New York: t.t.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan di Indonesia, Disertasi, Program
Doktor UIN Gunung Jati, Bandung, 2011.
Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, Juz ke-VI, ditahqiq oleh ‘Abdullah Aliy al-Kabir,
Muhammad Ahmad Hasbullah, Hasyim
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqhi, Kairo: Daru al-Fikri al-‘Arabi, 1958.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet ke-empat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam , Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid IV, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.
Soebekti, “Kaitan Undang-Undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum
Waris,” Kertas Kerja pada Simposium.
Hukum Waris Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembina an Hukum
Nasional, Jakarta, 10-12 Februari 1983.
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, tth, Juz VII.