Anda di halaman 1dari 9

Materi kuliah ke 2 PLKH UIN

PELAKSANAAN JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

A. Latar belakang Judisial Review

Dalam suatu negara hukum, hal yang tidak boleh terlupakan adalah adanya ruang untuk
dilakukannya suatu pengujian terhadap produk hukum atau judicial review. Yang dimaksud
dengan judicial review adalah suatu pranata dalam ilmu hukum yang memberikan kewenangan
kepada badan pengadilan umum, atau badan pengadilan khusus, ataupun lembaga khusus untuk
melakukan peninjauan ulang, dengan jalan menerapkan atau menafsirkan ketentuan dan
semangat dari konstitusi, sehingga hasil dari peninjauan ulang tersebut dapat menguatkan atau
menyatakan batal atau membatalkan, atau menambah atau mengurangi terhadap suatu tindakan
berbuat atau tidak berbuat dari aparat pemerintah (eksekutif) atau dari pihak-pihak lainnya
(termasuk parlemen). 1
Untuk itu kewenangan judicial review dalam pengertian hukum konstitusi merupakan
suatu kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Agung atau lembaga yudisial lainnya
seperti Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan setiap tindakan yang dilakukan oleh pihak
legislatif dan atau eksekutif, termasuk membatalkan undang-undang, dengan alasan bahwa
tindakan tersebut bertentangan dengan konstitusi, sehingga judicial review ini menjadi semacam
pagar penyelamat terhadap konstitusi agar tidak diselewengkan dalam praktik.2
Dalam ilmu hukum dikenal ada dua macam judicial review yaitu:
1. Judicial review dalam bidang pengadilan, yang berarti review dari badan pengadilan tertinggi
terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah dengan alasan-alasan yang sangat terbatas,
seperti adanya barang bukti baru (novum) atau ada kesalahan berat ketika hakim rendahan
memutus perkara tersebut. Dalam sistem hukum Indonesia kewenangan ini berada di tangan
Mahkamah Agung dalam pranata hukum Peninjauan Kembali (PK).
2. Dalam bidang hukum konstitusi, kewenangan lembaga pengadilan tertinggi untuk
membatalkan putusan legislatif dan atau eksekutif. Di Indonesia, kewenangan seperti ini
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.3
1
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, PT Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm.81
2
Ibid, hlm. 82
3
Ibid, hlm.83
B. Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi

Pengujian oleh Mahkamah Konstitusi dalam ketentuan pengujian materil tersebut,


apabila suatu undang-undang yang dalam hal materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (UUD 1945), maka
yang dibatalkan hanyalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dimaksud. Dengan demikian keputusan pengujian terhadap peraturan tersebut tidak akan
mempengaruhi ketentuan pasal-pasal lainnya dan ini lebih efektif karena tidak perlu menilai
peraturan secara keseluruhan.

Hal tersebut berbeda jika kita lihat di lingkungan Mahkamah Konstitusi, aturan khusus
mengenai pengujian materil dan pengujian formil telah tergabungkan dan dituangkan dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor: 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.4

C. Judicial Review oleh Mahkamah Agung

Judicial Review merupakan istilah yang digunakan untuk menguji peraturan perundang-
undangan oleh lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga Negara yang diberikan kewenangan ini
adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sedangkan Mahkamah
Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
merupakan wewenang yang diberikan kepada Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1)
UUD 1945 “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Perihal wewenang judicial reviewi ini juga diatur pada Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004,
pasal 11 UU No.4 Tahun 2004, pasal 31 UU No.5 Tahun 2004, pasal 31A UU No.3 Tahun 2009
dan pasal 1 PERMA No.1 Tahun 2004.

4
Ikhsan, Loc cit
Pengujian peraturan di bawah undang-undang sejak awal diberikan kepada MA sudah
mengalami pasang surut. Perdebatan tentang pengujian ini sejak awal pembentukan UUD 1945
telah terjadi, sampai disahkannya Undang-Undang Dasar pada tahun 1945 tidak juga ada
kesepakatan tentang pengujian, akhirnya oleh sekelompok masyarakt dalam hal ini IKAHI
memperjuangkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari
UUD 1945 yaitu Undang-undang.5
Demikian juga pada tataran politik, harus muncul kemauan politik dalam penyusunan
undang-undang yaitu DPR serta lembaga kepresidenan yang menurut Undang-Undang Dasar
memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang agar berkehendak untuk memuat
kewenangan menguji peraturan perundang-undangan dalam suatu undang-undang.6
Dalam Perma No.1 Tahun 2004 yang dimaksud dengan hak uji materiil adalah hak
Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi. Hal ini berarti
Mahkamah Agung tidak akan memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan
pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, termasuk Perda.7
Dengan demikian dapat dikatakan Perma No.1 Tahun 2004 mempersempit kewenangan
pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD dan UU diberi kewenangan menguji materil
dan formil peraturan perundang-undangan menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap
materi muatan peraturan perundang-undangan.
Terkait pada ketentuan Perma ini pada tahun 2005 MA mengeluarkan keputusan
penolakan terhadap yudicial review terhadap Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan
Pelacuran, melalui juru bicara MA Djoko Sarwoko mengatakan; Majelis Hakim Agung
berpendirian perda tersebut merupakan produk politik yang disusun lembaga eksekutif dan
legislatif kota Tanggerang, sehingga secara formal sah adanya. Hal itu bukan termasuk materi
yang bisa diujimateriilkan. Dengan demikian, pemohonan tersebut harus ditolak dan pemohon
harus membayar biaya perkara sejumlah Rp. 1.000.000,- (Satu juta rupiah) lanjutnya 8 Dari
keputusan tersebut terjadi kebinggungan karena aspek fomil tidak menjadi bagian dari putusan.
Hal ini disebabkan bahwa Di lingkungan Mahkamah Agung, tidak terdapat aturan khusus

5
Zainal Arifin Hoesein, Op cit, hlm. 2
6
Ibid, hlm.3
7
Yance Arizona,Op cit , hlm.3
8
Komnas Perempuan, Perda Diskriminatif diambil dari www.hukumonline.com. 23/3/2009
mengenai tata cara/prosedur pengujian formil peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang. Yang terdapat hanya aturan khusus yang mengatur tentang pedoman beracara dalam
pengujian materil yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun
2004 Tentang Hak Uji Materil. 9
Setelah itu, dengan memperhatikan pasal 31A ayat (10) UU No.3 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
di atur dalam peraturan Mahkamah Agung. Sebagaimana yang diketahui, bahwa pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang itu terbagi atas dua, yaitu pengujian
materil dan pengujian formil, maka seharusnya Mahkamah Agung membentuk pula suatu
peraturan yang membahas secara teknis mengenai tata cara/prosedur pengujian formal peraturan-
perundang-undangan dibawah undang-undang. Artinya, jika Mahkamah Agung membentuk
PERMA tentang Hak Uji Materil, maka seharusnya di bentuk juga PERMA tentang Hak Uji
Formil, ataukah bisa juga tata cara/prosedur Hak Uji Materil dan Hak Uji Formil di gabung saja
ke dalam satu PERMA, sebagaimana yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan PMK-
nya.10
Ketentuan yang menjadi dasar pengujian oleh MA ini terlihat tidak sinkron. UU No.3
Tahun 2009 mengatur tentang pengujian materiil dan pengujian formil sementara Perma No.1
Tahun 2004 hanya mengatur pengujian materiil saja. Sementara pengaturan mengenai penujian
formil tidak diatur lebih lanjut
Berdasarkan Pasal 145 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur apabila
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Sedangkan menurut ketentuan pasal 31A ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, di jelaskan
bahwa; (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak
yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, yaitu:
1) perorangan warga negara Indonesia;

9
Ikhsan, Op cit, hlm.6
10
Ibid, hlm.6
2) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang; atau
3) badan hukum publik atau badan hukum privat.
Jadi, pemohon yang dimaksud pada pasal 31A ayat (2) tersebut adalah pihak yang
menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya suatu peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, yang meliputi perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat, dan badan
hukum public atau privat.
Dalam kaitannya dengan Perda, maka bukan lagi Pemerintah Daerah yang
mengajukan permohonan keberatan kepada MA akibat keputusan pembatalan Perda yang
dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yang diatur pada pasal 145 UU No.32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, melainkan langsung oleh masyarakat/pihak yang menganggap
haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan daerah. Dengan demikian semakin jelas maksud dari
pengujian ke MA ini yaitu pengujian yang menyangkut norma individu atau kasusistis semata
atau individual complaint

1. Judicial Review Terhadap Peraturan Daeah

Judicial review terhadap Peraturan Daerah dilakukan karena adanya permohonan pihak
yang merasa dirugikan atas berlakunya suatu Perda, telah ditegaskan dalam pasal 31A ayat (3)
huruf b UU Nomor 3 Tahun 2009, bahwa:
1) materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; dan/atau
2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(pengujian formil)
Pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian materil, sedangkan pada bagian
kedua, dikenal dengan istilah pengujian formil. Dari sini, dapat diketahui bahwa pada bagian
pertama yang apabila dikaitkan dengan pengujian perda, maka landasan bagi MA untuk menguji
perda terhadap undang-undang, adalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian isi dari
peraturan daerah. Apabila suatu Peraturan Daerah dipandang bahwa materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian perda bertentangan dengan undang-undang, maka sesuai dengan ketentuan pasal
31 ayat (2) tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa perda tersebut tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai dengan ketentuan ayat (4).
Di lain pihak bagaimana jika dalam proses pengujiannya, MA hanya menemukan satu
ayat, atau satu pasal, atau satu bagian dalam peraturan daerah tersebut yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika demikian, maka mau tidak mau,
keseluruhan dari peraturan daerah tersebut dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, seperti halnya jika dilakukan pengujian formil. Ketentuan tersebut bukan
hanya berlaku saja pada pengujian perda, melainkan juga berlaku pada pengujian seluruh
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Apabila materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang dipandang bertentangan
dengan undang-undang, maka seluruh materi muatan perturan perundang-undangan dibawah
undang-undang tersebut dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
walaupun pertentangannya hanya ditemukan pada satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian
saja.11
Berbeda dalam prosedur pengujian materil dalam lingkungan Mahkamah Agung, yang
apabila materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian suatu peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang terbukti bertentangan dengan undang-undang, maka yang dibatalkan bukanlah
materi muatannya, melainkan peraturan perundang-undangan tersebut secara keseluruhan.
Ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah menjawab
pertanyaan, apakah suatu Perda: a) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebh tinggi; dan /atau b) pembentukannnya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Bila satu
Perda yang dimohonkan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku maka Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan dan memerintahkan pemerintah daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut
Perda tersebut paling lama dalam kurun waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan peninjauan kembali (PK).12
Dilihat dari karakteristik pengujian, maka pengujian oleh Mahkamah Agung lebih
bersifat individual dan kasuistik atau fakta. Dengan demikian jika pengujian terhadap Perda
diberikan kepada MA maka pengujian bersifat individual atau gugatan individu. Dengan
demikian apakah pengujian Perda tersebut bersifat individu? Di lain pihak setiap hasil keputusan
11
Ibid, hlm.4
12
Ibid, hlm 3-4
MA terkait dengan pengujian Perda, MA tidak membatalkan Perda tersebut, MA membatalkan
keputusan yang isinya membatalkan Perda. Artinya sebenarnya MA tidak menguji Perda tapi
menguji keputusan yang membatalkan Perda.
Dalam pasal 6 ayat (1) Perma No.1 Tahun 2004 yaitu “Dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan
tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih
tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
Untuk itu bila hasil yudicial review MA membatalkan Perda, maka pembuat Perda
(eksekutif daerah dan DPRD) harus mencabut Perda yang bersangkutan. Di sinilah letak
kelemahan hukum di mana MA hanya menguji dan keputusan pembatalan atau pencabutan,
diserahkan kembali kepada lembaga pembuatnya. (pendapat Marwan Batubara, yang dikutip
oleh Anggara)13 MA hanya bisa menyatakan Perda tersebut bertentangan, tapi tidak punya daya
eksekutorial selama sipembuatnya tidak mengubah atau mencabutnya sendiri. (pendapat Ibnu Tri
Cahyo, Kepala Pusat Kajian Otonomi Daerah Universitas Brawijaya yang dikutif oleh
Anggara).14
Dalam UU No.32 Tahun 2004 pasal 145 ayat (5) diatur Apabila provinsi/kabupaten/kota
tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung; (6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum;
Dalam Perma No.1 Tahun 2004 tersebut ada dua cara mengajukan permohonan keberatan
kepada Mahkamah Agung yaitu a). langsung ke Mahkamah Agung; atau b). melalui Pengadilan
Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan
kepada kepaniteraan pengadilan negeri dan dibukukan kedalam buku register permohonan
tersendiri dengan menggunakan kode : ….P/HUM/Th…./PN. Setelah permohonan atau kuasanya
yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima. Dan selanjutnya Panitera
pengadilan negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh

13
Anggara, Op cit, hlm.2
14
Ibid, hlm.4
pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung
kepada pemohon atau kuasanya yang sah;
Dengan demikian Mahkamah Agung dalam melaksanakan fungsi pengujian bersifat pasif
contohnya uji materiil terhadap Perda di mana MA menanti datangnya permohonan keberatan
dari para pihak yang berkepentingan di daerah.
Dalam tinjauan normatif dari Perma No.1 Tahun 2004 ditemukan bahwa Perda atau
peraturan perundang-undangan lainnya hanya dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian)
kepada Mahkamah Agung paling lambat 180 hari setelah pengundangan peraturan tersebut.
Batasan waktu ini tentu berimplikasi terhadap terbatasnya hak warganegara untuk mengajukan
permohonan Pengujian peraturan yang dianggap bermasalah dikemudian hari setelah 180 hari
yang dibatasi oleh Mahkamah Agung tersebut. Tidak jelas benar dari mana asal muasal batas
waktu 180 hari tersebut, dan mengapa tidak lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari juga tidak
ada seleksi waktu yang dapat dimengerti secara rasional, karena bila syarat untuk mengajukan
permohonan keberatan terhadap berlakunya suatu Perda adalah anggapan kerugian publik dari
pemohon, maka potensi kerugian publik itu tidak bisa dibatasi waktunya. Bisa saja, misalnya
Perda yang sudah berlaku selama satu tahun dianggap tidak bermasalah oleh masyarakat,
kemudian dua atau tiga tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya Perda tersebut baru
menimbulkan masalah sosial, sehingga bila hal tersebut terjadi maka masyarakat kehilangan hak
untuk mengajukan permohonan karena dipangkas oleh aturan yang dibuat oleh Mahkamah
Agung secara sepihak.15
Salah satu kelemahan lagi dari Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil oleh
Mahkamah Agung adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian peraturan perundang-
undangan, termasuk Perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya kapan dan berapa lama waktu
penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan
majelis hakim untuk memeriksa perkara Pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas waktu
proses itu sangat ironis mengingat dalam Perma tersebut Mahkamah Agung malah membatasi
waktu hak warganegara untuk menyampaikan permohonan keberatan. Ketiadaan batas waktu
pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah
Agung berpotensi membuat Perda yang sedang diuji terkatung-katung pelaksanaannya di daerah
karena Pengujian yang lama. Perma No. 1 Tahun 2004 juga tidak merumuskan ruang bagi

15
Ibid.hlm.4
masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian oleh Mahkamah Agung. Dari
rumusan Perma No. 1 Tahun 2004 sendiri sudah nampak bahwa Mahkamah Agung masih
bersifat tertutup, padalah objek yang sedang disengketakan adalah objek yang terkait dengan
kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (regeling) yang berlaku umum di masyarakat. 16

16
Anggara , Loc cit

Anda mungkin juga menyukai