Anda di halaman 1dari 8

Absen : 09

Nama : Rifqiy Aldhan


Nim : 1820310128
Kelas : MBS-5D
Prodi : Manajemen Bisnis Syariah

MAKALAH 09
RISIKO KREDIT
A. Definisi Risiko Kredit
Risiko kredit merupakan bentuk ketidakmampuan suatu perusahaan,
institusi, lembaga maupun pribadi dalam menyelesaikan kewajiban-
kewajibannya secara tepat waktu baik pada saat jatuh tempo maupun sesudah
jatuh tempo" dan itu semua sesuai dengan aturan dan kesepakatan yang berlaku.
Penafsiran risiko kredit menjadi lebih spesifik lagi pada saat dihadapkan
pada bentuk bisnis yang dijalankan, seperti lembaga perbankan dan non
perbankan. Risiko kredit dari segi perspektif perbankan adalah risiko kerugian
yang diderita bank, terkait dengan kemungkinan bahwa pada saat jatuh tempo,
counterparty-nya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank.1
Ruang lingkup kinerja suatu lembaga memberi pengaruh besar pada
input dan output yang dihasilkannya. Aktivitas input dan output tersebut
memberi celah masuknya berbagai risiko, baik risiko kredit, risiko suku bunga,
risiko operasional, risiko pasar, dan berbagai bentuk risiko lainnya. Lebih jauh
perusahaan dituntut untuk mampu melakukan pemetaan risiko agar bisa
dipahami secara mudah.

B. Risiko Kredit Jangka Pendek dan Jangka Panjang


Keputusan menyalurkan kredit ke berbagai sektor bisnis tidak selalu
terjadi sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai bentuk risiko yang
akan dialami disana baik risiko yang bersifat jangka pendek maupun jangka
panjang. Adapun pengertian kedua bentuk risiko tersebut adalah:
1. Risiko yang bersifat jangka pendek (short term risk) adalah risiko yang
disebabkan karena ketidakmampuan suatu perusahaan memenuhi dan
menyelesaikan kewajibannya yang bersifat jangka pendek terutama
kewajiban likuiditas.
2. Risiko yang bersifat jangka panjang (long term risk) adalah
ketidakmampuan suatu perusahaan menyelesaikan berbagai
1
Mashud Ali, 2006, Risiko perbankan: Strategi perbankan dan Dunia usaha menghadapi tentang
globalisasi bisnis, pt raja grafido persada, jakarta. Hlm. 199
kewajibannya yang bersifat jangka panjang, seperti kegagalan untuk
menyelesaikan utang perusahaan yang bersifat jangka panjang dan juga
kemampuan untuk menyelesaikan proyek hingga tuntas. Contoh sebuah
perusahaan yang telah menerbitkan obligasi namun gagal/tidak mampu
membayar bunga sehingga harus menunda dan bahkan melakukan
kebijakan konversi obligasi. Konversi obligasi biasanya dilakukan
dengan cara dimana pemegang obligasi selanjutnya dialihkan menjadi
pemegang saham. Secara lebih dalam Eduardus Tandelilin mengatakan
merupakan obligasi yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk
mengkonversikan obligasi tersebut dengan sejumlah saham perusahaan
pada hari yang telah ditetapkan, sehingga pemegang obligasi mempunyai
kesempatan untuk memperoleh capital gain. Di sisi lain, perusahaan
emiten akan memperoleh keuntungan karena umumnya obligasi konversi
memberikan tingkat kupon yang relatif lebih rendah, dibanding obligasi
biasa.2
Pada permasalahan dimana perusahaan yang menerbitkan
obligasi dan kemudian melakukan penundaan pembayaran obligasi
hingga mengkonversi obligasi menjadi saham maka permasalahan yang
timbul adalah pada saat informasi ini ditangkap atau diketahui oleh
publik maka ini akan berakibat pada penilaian kinerja perusahaan, bagi
publik ini dilihat sebagai informasi "bad news". Publik akan menilai
bahwa kinerja perusahaan adalah rendah atau tidak sesuai seperti yang
mereka harapkan, dan bisa juga efeknya pada menurunnya nilai saham
perusahaan yang bersangkutan.3

C. Kualitas Perjanjian Kredit Mampu Meminimalisasi Risiko


Salah satu cara untuk meminimalisasi risiko adalah dengan cara
memperkuat perjanjian kredit, yaitu perjanjian (agreement) antara kreditur dan
debitur. Karena dengan bagusnya suatu perjanjian kredit yang dibuat maka pada
saat salah satu pihak dirugikan atau merasa tidak puas dapat melakukan gugatan
di pengadilan dengan cara menjadikan bukti otentik berupa segala isi yang
terkandung dalam perjanjian tersebut untuk dijadikan sebagai klausula di
pengadilan.
Perjanjian (agreement) menurut pasal 1313 KUHPerdata adalah "Suatu
perjanjian adalah sutu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Sedangkan Subekti
mengatakan "Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dia orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal-hal".

2
Eduardus Tandelilin, 2001, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi pertama, BPFE
Yogyakarta. Hlm. 138
3
Irham Fahmi, 2015, Manajemen risiko Teori, kasus, dan solusi, Alfabeta, bandung, hlm. 23-29
Menurut Black's Law Dictionary:
"A coming together of minds; a coming together in opinion or
determination; the coming together in accord of two minds on a given
proposition. The union of two or more minds in a thing done or to be done; a
mutual assent to do a thing... agreement is a broarder term; e.g. an agreement
might lack an essential element of a contract".
Adapun pengertian kredit menurut UU No. 10 1998 tentang perubahan
UU No. 7 tahun 1992 yaitu, "Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam melunasi melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga".
Dari pendapat di atas kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa perjanjian
kredit adalah suatu ikatan di antara kedua belah pihak yang disetujui dan
ditandatangani dimana itu selanjutnya menjadi hukum bagi kedua belah pihak
dengan menyebutkan ketentuan-ketentuan yang jelas mencakup penjelasan hak
dan kewajiban kreditur dan debitur seperti jangka waktu, tingkat suku bunga,
agunan, dan sanksi-sanksi".
Jika suatu perjanjian telah disetujui oleh kedua belah pihak maka itu
akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Pernyataan ini sebagaimana
ditegaskan dalam KUHPerdata pasal 1338 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi:
Ayat (1): "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Ayat (2): "Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu".
Ayat (3): "Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik".
Dan lebih jauh pada pasal 1348 KUHPerdata, ditegaskan, "Semua janji
yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama
lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya".
Untuk menyatakan sah dan legalnya suatu perjanjian maka berdasarkan
pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat yaitu":4
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3. Mengenai hal atau objek tertentu.
4. Suatu sebab (causal) yang halal.
Berdasarkan ketentuan yang dijelaskan tentang syarat sahnya suatu
perjanjian Sutarno menegaskan, "Syarat pertama dan kedua disebut syarat
4
sutarno, 2003, Asoek-aspek hukum perkreditan pada bank, alfabeta, bandung, hlm. 78
subjektif karena menyangkut orang-orang atau pihak- pihak yang membuat
perjanjian. Orang-orang atau pihak-pihak ini sebagai subyek yang membuat
perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif
karena menyangkut mengenai objek yang diperjanjikan oleh orang-orang atau
subyek yang membuat perjanjian".5
Perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua pihak baik kreditur dan
debitur tersebut dapat berakhir atau selesai jika kondisi dan situasi telah
memenuhi atau sesuai dengan pasal 1381 KUHPerdata bahwa hapusnya atau
berakhirnya perjanjian disebabkan peristiwa- peristiwa sebagai berikut:
1. Karena ada pembayaran.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
atau dalam bahasa Belanda dinamakan consignatie.
3. Novasi atau pembaruan utang.
4. Kompensasi atau perjumpaan utang.
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang yang terutang.
8. Pembatalan perjanjian.
9. Berlakunya suatu syarat batal.
10. Daluwarsa atau lewatnya waktu atau verjaring.
Dalam konteks persoalan kredit kita bisa mengerti bahwa perjanjian
kredit yang dibuat oleh kedua belah pihak bisa memiliki kekuatan hukum yang
mengikat bagi mereka, namun juga bisa menjadi perjanjian tersebut berakhir
karena sebab-sebab yang telah dijelaskan tersebut. Karena itu kualitas isi
perjanjian yang dibuat, dirancang dan disetujui oleh pihak-pihak tersebut harus
dibuat dengan jelas dan tegas, jika tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan di kemudian hari.
Perbankan sebagai kreditur dalam menyatakan kelayakan memberikan
pinjaman dalam bentuk kredit kepada debitur memiliki tanggung jawab lebih
dari pada cuma sekedar menyatakan layak saja, yaitu keputusan perbankan
mewakili keputusan beberapa pihak seperti:
1. Para deposan yang telah menyerahkan uangnya untuk disimpan dan
dikelola oleh bank dengan penetapan perjanjian dan kesepakatan dalam
bentuk hak dan kewajiban.
2. Amanah pembangunan. Bank berfungsi sebagai agent of development
(agen pembangunan) yaitu turut serta menyukseskan
jalannyapembangunan dengan turut memberdayakan mereka-mereka
yang membutuhkan dana guna mengembangkan usaha dan berbagal
keperluanya.
3. Kewajiban untuk secara berkala melaporkan kinerjanya kepada bank
sentral sebagai induknya perbankan. Bank sentral akan melakukan audit
5
Ibid, sutarno, hlm. 78
secara berkala untuk menilai kinerja suatu perbankan dan juga
memberikan informasi kepada publik tentang kondisi dan situasi
perbankan nasional.
4. Berkewajiban menghasilkan informasi yang jelas dan tegas serta
progresif bagi komisaris perusahaan (pemilik).

Oleh karena itu, untuk menghidari terjadinya kesalahan dalam


pembuatan perjanjian bisanya suatu lembaga perbankan telah membuat suatu
bentuk rancangan isi perjanjian yang lengkap sehingga ketika seorang nasabah
datang ke suatu perbankan ia akan disodorkan rancangan isi perjanjian tersebut
yang didalamnya menjelaskan secara mendalam tentang berbagai syarat-syarat.
Dalam konteks ilmu hukum ini sering disebut dengan perjanjian baku atau
perjanjian adhesi.
Sering isi perjanjian dengan berbagai syarat tersebut kadangkala tidak
dikritisi lagi oleh pihak calon debitur karena mereka menganggap bahwa isi
perjanjian beserta syarat tersebut adalah baik atau kadangkala juga karena
rendah atau dangkalnya pengetahuan publik tentang ilmu sehubungan dengan
masalah perjanjian.
Oleh karena itu, dalam permasalahan yang bisa saja timbul menyangkut
dengan perjanjian baku ini, Johannes Ibrahim mengatakan bahwa "Dari
keseluruhan jenis perjanjian baku ini dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
meniadakan dan membatasi kewajiban salah satu pihak, yaitu kreditur, untuk
membayar ganti rugi kepada nasabah debitur adalah sebagai berikut:6
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih
kuat daripada debitur.
2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu.
3. Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.
4. Bentuknya tertulis.
5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.

Karena dirasa begitu pentingnya isi suatu perjanjian maka setiap pihak
yang berurusan dengan perjanjian harus melakukan ketelitian dengan mendalam
dan detail. Wujud dari ketelitian tersebut adalah dengan mempelajari setiap isi
perjanjian baris demi baris karena pada saat isi perjanjian telah ditandatangani
maka dianggap baik pihak debitur dan kreditur adalah sama-sama
menyetujuinya karena jika tidak atau belum menyetujui artinya ada dari isi
perjanjian tersebut dianggap memiliki sisi cacat tersembunyi atau ada bagian
kalimat yang belum memiliki kejelasan atau juga bersifat ambigu.
Seluruh isi perjanjian yang telah disepakati dan jika suatu saat ada bagian
yang salah atau tidak sesuai maka artinya itu bisa dijadikan klausula-klausula

6
Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral, sebagai upaya penyelesaian kredit
bermasalah, PT. Refrikaa Aditama, Bandung hlm. 34.
yang dipakai untuk menggugat salah satu pihak jika pihak tersebut bertindak
wanprestasi. Wanprestasi artinya bertindak tidak sesuai yang disepakati.
Oleh karena itu, dalam perspektif klausula tersebut Johannes ibrahim
bependapat bahwa dalam mempertimbangkan klausula-klausula yang mengikat
nasabah debitur dalam perjanjian kredit, beberapa hal yang perlu diperhatikan
dari sisi nasabah debitur adalah:7
1. Nasabah debitur harus melakukan evaluasi atas klausula-klausula yang
dibebankan terhadapnya dan memproyeksikan dengan kondisi keuangan,
praktik bisnis dan kebutuhan pertumbuhan bisnis, dengan mulai
melakukan negosiasi) untuk penghapusan klausula-klausula tertentu.
2. Dalam mengevaluasi akibat dari klausula-klausula yang bersifat
membatasi kreditur. Klausula-klausula yang bersifat membatasi ini akan
menutup nasabah debitur perlu meminta penegasan dari ruang gerak
nasabah debitur.
3. Tersedianya kreditur yang memberi dukungan dana bagi nasabah debitur.
Dalam hal kreditur yang mendukung pendanaan lebih dari seorang,
nasabah debitur tentunya perlu untuk mengkaji lebih lanjut hubungan
yang ada di antara para krediturnya. Hal ini tentunya lebih sulit
dibandingkan dengan apabila pendanaan hanya berasal dari seorang
kreditur saja.
4. Peluang untuk mengakhiri perjanjian. Klausula ini umumnya dihindari
oleh kreditur, karena jika peluang untuk mengakhiri ini secara terbuka
diberikan tentunya akan merugikan pihak kreditur. Kreditur dapat
kehilangan nasabah debiturnya yang potensial. Akan tetapi kreditur harus
memberikan klausula untuk mencapai solusi secara bijaksana.
5. Standar hubungan di antara kreditur dan nasabah debitur. Klausula
hubungan antara kreditur dan nasabah debitur yang bersifat membatasi
ruang gerak nasabah debitur tentunya harus dihindari. Misalnya, nasabah
debitur harus selalu memelihara management yang memuaskan bagi
kreditur.
6. Referensi silang. Nasabah debitur harus bersikap hati-hati terhadap
klausula-klausula yang tidak saja mendasarkan kepada hal-hal yang ada
dalam perjanjian tetapi terhadap dokumen-dokumen lainnya.
7. Penggunaan kata-kata sifat yang tidak tergambarkan. Nasabah debitur
sepatutnya untuk menegosiasikan penggunaan kata-kata sifat yang
memiliki fleksibelitas dan tidak tergambarkan. Misalnya, penggunaan
kata "layak", "material", "penting". Kata-kata ini dapat mengakibatkan
kesalahpahaman di kemudian hari bagi pihak nasabah debitur.
8. Grace periods atau masa tenggang. Nasabah debitur menginginkan untuk
merundingkan dalam sebuah "periode pemulihan" dimana kreditur
mengizinkan untuk memperbaiki pelanggaran-pelanggaran yang dibuat
7
Ibid, Johannes hlm. 41-43
oleh nasabah debitur dan tidak dengan segera menya- takan sebagai
sebuah peristiwa kelalaian (default). Permintaan nasabah debitur dapat
dinilai layak dan kreditur tidak memiliki hak secara seketika untuk
mengumumkan hal tersebut sebagai kelalaian. Beberapa hal yang perlu
dipahami pula oleh nasabah debitur dalam periode pemulihan untuk
memperbaiki kinerja adalah:
a. terhadap pelanggaran dari klausula negative, harus secara spesifik
nasabah debitur dinyatakan salah terhadap klausula mana saja dan
segera harus memperbaikinya.
b. nasabah debitur perlu untuk meningkatkan prestasi tertentu terhadap
klausula-klausula yang dinilai belum secara prima dilakukannya bagi
kepentingan kreditur;
c. dan bila hal tersebut tidak segera dipenuhi, kreditur dapat
memberitahukan bahwa nasabah debitur telah melakukan kelalaian.
9. Fleksibelitas. Secara umum nasabah debitur harus memiliki fleksibelitas
dalam merundingkan dana kredit yang diterimanya. Dana kredit harus
memberikan manfäat bagi peningkatan kondisi keuangan dan aplikasi
dalam kegiatan bisnisnya.
10. Pengalihan manajemen. Selama memperoleh fasilitas kredit dari kreditur,
nasabah debitur terikat untuk tidak melakukan perubahan- perubahan
manajemen, misalnya melakukan penggabungan atau konsolidasi tanpa
memperoleh persetujuan dari pihak kreditur.

Perjanjian kredit yang dibuat secara maksimal dengan mencantumkan


berbagai klausula-klausula yang diharapkan akan mampu memberi suatu ikatan
kuat bagi kedua belah pihak untuk bekerja secara maksimal. Bagi perbankan
dengan pencantuman klausula-klausula perjanjian kredit tersebut dimaksudkan
agar debitur mau dan disiplin dalam membayar setiap cicilan kredit secara tepat
waktu hingga batas akhir pembayaran kredit. Bank mengedepankan prinsip
kehati-hatian dalam setiap tindakannya tidak terkecuali adalah persoalan
pemberian kredit ini. Karena 80 s.d. 90 persen keuntungan perbankan adalah
dari hasil kredit, sehingga otomatis bank menaruh harapan tinggi dari
keuntungan kredit.
Setiap pihak menginginkan permasalahan bisa diselesaikan tanpa harus
melibatkan pihak lain termasuk pengadilan, namun jika permasalahan atau
perselisihan tidak bisa diselesaikan secara damai atau tidak ditemukannya kata
sepakat maka pengadilan sebagai pihak ketiga sangat dibutuhkan. Oleh karena
itu, klausula-klausula perjanjian kredit dibuat dengan melihat efek-efek yang
akan timbul termasuk gugatan-gugatan yang akan bisa dilakukan di kemudian
hari.
Namun yang harus diingat dan dipahami oleh lembaga perbankan bahwa
bank dan nasabah adalah mitra bisnis yang sama-sama saling membutuhkan,
yaitu nasabah membutuhkan bank yang bijaksana dalam memahami berbagai
permasalahan nasabah (debitur) dan perbankan juga merupakan pihak yang
membutuhkan nasabah untuk selalu setiap dan taat dalam memenuhi berbagai
ketentuan perbankan. Ikatan mitra bisnis inilah yang kiranya harus selalu
dikedepankan. Dan memang benar risiko selalu terjadi namun risiko selalu juga
bisa dihindari jika ada suatu keterbukaan yang kuat antara kedua belah pihak.
Dalam konteks lebih jauh kreditur dan debitur adalah sama-sama memiliki peran
besar dalam ikut membangun bangsa dan negara.8

8
Irham Fahmi, 2015, Manajemen risiko Teori, kasus, dan solusi, Alfabeta, bandung, hlm. 23-29

Anda mungkin juga menyukai