MAKALAH 09
RISIKO KREDIT
A. Definisi Risiko Kredit
Risiko kredit merupakan bentuk ketidakmampuan suatu perusahaan,
institusi, lembaga maupun pribadi dalam menyelesaikan kewajiban-
kewajibannya secara tepat waktu baik pada saat jatuh tempo maupun sesudah
jatuh tempo" dan itu semua sesuai dengan aturan dan kesepakatan yang berlaku.
Penafsiran risiko kredit menjadi lebih spesifik lagi pada saat dihadapkan
pada bentuk bisnis yang dijalankan, seperti lembaga perbankan dan non
perbankan. Risiko kredit dari segi perspektif perbankan adalah risiko kerugian
yang diderita bank, terkait dengan kemungkinan bahwa pada saat jatuh tempo,
counterparty-nya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank.1
Ruang lingkup kinerja suatu lembaga memberi pengaruh besar pada
input dan output yang dihasilkannya. Aktivitas input dan output tersebut
memberi celah masuknya berbagai risiko, baik risiko kredit, risiko suku bunga,
risiko operasional, risiko pasar, dan berbagai bentuk risiko lainnya. Lebih jauh
perusahaan dituntut untuk mampu melakukan pemetaan risiko agar bisa
dipahami secara mudah.
2
Eduardus Tandelilin, 2001, Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio, Edisi pertama, BPFE
Yogyakarta. Hlm. 138
3
Irham Fahmi, 2015, Manajemen risiko Teori, kasus, dan solusi, Alfabeta, bandung, hlm. 23-29
Menurut Black's Law Dictionary:
"A coming together of minds; a coming together in opinion or
determination; the coming together in accord of two minds on a given
proposition. The union of two or more minds in a thing done or to be done; a
mutual assent to do a thing... agreement is a broarder term; e.g. an agreement
might lack an essential element of a contract".
Adapun pengertian kredit menurut UU No. 10 1998 tentang perubahan
UU No. 7 tahun 1992 yaitu, "Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam melunasi melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga".
Dari pendapat di atas kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa perjanjian
kredit adalah suatu ikatan di antara kedua belah pihak yang disetujui dan
ditandatangani dimana itu selanjutnya menjadi hukum bagi kedua belah pihak
dengan menyebutkan ketentuan-ketentuan yang jelas mencakup penjelasan hak
dan kewajiban kreditur dan debitur seperti jangka waktu, tingkat suku bunga,
agunan, dan sanksi-sanksi".
Jika suatu perjanjian telah disetujui oleh kedua belah pihak maka itu
akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Pernyataan ini sebagaimana
ditegaskan dalam KUHPerdata pasal 1338 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi:
Ayat (1): "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Ayat (2): "Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu".
Ayat (3): "Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik".
Dan lebih jauh pada pasal 1348 KUHPerdata, ditegaskan, "Semua janji
yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama
lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya".
Untuk menyatakan sah dan legalnya suatu perjanjian maka berdasarkan
pasal 1320 KUHPerdata menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat yaitu":4
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3. Mengenai hal atau objek tertentu.
4. Suatu sebab (causal) yang halal.
Berdasarkan ketentuan yang dijelaskan tentang syarat sahnya suatu
perjanjian Sutarno menegaskan, "Syarat pertama dan kedua disebut syarat
4
sutarno, 2003, Asoek-aspek hukum perkreditan pada bank, alfabeta, bandung, hlm. 78
subjektif karena menyangkut orang-orang atau pihak- pihak yang membuat
perjanjian. Orang-orang atau pihak-pihak ini sebagai subyek yang membuat
perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif
karena menyangkut mengenai objek yang diperjanjikan oleh orang-orang atau
subyek yang membuat perjanjian".5
Perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua pihak baik kreditur dan
debitur tersebut dapat berakhir atau selesai jika kondisi dan situasi telah
memenuhi atau sesuai dengan pasal 1381 KUHPerdata bahwa hapusnya atau
berakhirnya perjanjian disebabkan peristiwa- peristiwa sebagai berikut:
1. Karena ada pembayaran.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
atau dalam bahasa Belanda dinamakan consignatie.
3. Novasi atau pembaruan utang.
4. Kompensasi atau perjumpaan utang.
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang yang terutang.
8. Pembatalan perjanjian.
9. Berlakunya suatu syarat batal.
10. Daluwarsa atau lewatnya waktu atau verjaring.
Dalam konteks persoalan kredit kita bisa mengerti bahwa perjanjian
kredit yang dibuat oleh kedua belah pihak bisa memiliki kekuatan hukum yang
mengikat bagi mereka, namun juga bisa menjadi perjanjian tersebut berakhir
karena sebab-sebab yang telah dijelaskan tersebut. Karena itu kualitas isi
perjanjian yang dibuat, dirancang dan disetujui oleh pihak-pihak tersebut harus
dibuat dengan jelas dan tegas, jika tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan di kemudian hari.
Perbankan sebagai kreditur dalam menyatakan kelayakan memberikan
pinjaman dalam bentuk kredit kepada debitur memiliki tanggung jawab lebih
dari pada cuma sekedar menyatakan layak saja, yaitu keputusan perbankan
mewakili keputusan beberapa pihak seperti:
1. Para deposan yang telah menyerahkan uangnya untuk disimpan dan
dikelola oleh bank dengan penetapan perjanjian dan kesepakatan dalam
bentuk hak dan kewajiban.
2. Amanah pembangunan. Bank berfungsi sebagai agent of development
(agen pembangunan) yaitu turut serta menyukseskan
jalannyapembangunan dengan turut memberdayakan mereka-mereka
yang membutuhkan dana guna mengembangkan usaha dan berbagal
keperluanya.
3. Kewajiban untuk secara berkala melaporkan kinerjanya kepada bank
sentral sebagai induknya perbankan. Bank sentral akan melakukan audit
5
Ibid, sutarno, hlm. 78
secara berkala untuk menilai kinerja suatu perbankan dan juga
memberikan informasi kepada publik tentang kondisi dan situasi
perbankan nasional.
4. Berkewajiban menghasilkan informasi yang jelas dan tegas serta
progresif bagi komisaris perusahaan (pemilik).
Karena dirasa begitu pentingnya isi suatu perjanjian maka setiap pihak
yang berurusan dengan perjanjian harus melakukan ketelitian dengan mendalam
dan detail. Wujud dari ketelitian tersebut adalah dengan mempelajari setiap isi
perjanjian baris demi baris karena pada saat isi perjanjian telah ditandatangani
maka dianggap baik pihak debitur dan kreditur adalah sama-sama
menyetujuinya karena jika tidak atau belum menyetujui artinya ada dari isi
perjanjian tersebut dianggap memiliki sisi cacat tersembunyi atau ada bagian
kalimat yang belum memiliki kejelasan atau juga bersifat ambigu.
Seluruh isi perjanjian yang telah disepakati dan jika suatu saat ada bagian
yang salah atau tidak sesuai maka artinya itu bisa dijadikan klausula-klausula
6
Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral, sebagai upaya penyelesaian kredit
bermasalah, PT. Refrikaa Aditama, Bandung hlm. 34.
yang dipakai untuk menggugat salah satu pihak jika pihak tersebut bertindak
wanprestasi. Wanprestasi artinya bertindak tidak sesuai yang disepakati.
Oleh karena itu, dalam perspektif klausula tersebut Johannes ibrahim
bependapat bahwa dalam mempertimbangkan klausula-klausula yang mengikat
nasabah debitur dalam perjanjian kredit, beberapa hal yang perlu diperhatikan
dari sisi nasabah debitur adalah:7
1. Nasabah debitur harus melakukan evaluasi atas klausula-klausula yang
dibebankan terhadapnya dan memproyeksikan dengan kondisi keuangan,
praktik bisnis dan kebutuhan pertumbuhan bisnis, dengan mulai
melakukan negosiasi) untuk penghapusan klausula-klausula tertentu.
2. Dalam mengevaluasi akibat dari klausula-klausula yang bersifat
membatasi kreditur. Klausula-klausula yang bersifat membatasi ini akan
menutup nasabah debitur perlu meminta penegasan dari ruang gerak
nasabah debitur.
3. Tersedianya kreditur yang memberi dukungan dana bagi nasabah debitur.
Dalam hal kreditur yang mendukung pendanaan lebih dari seorang,
nasabah debitur tentunya perlu untuk mengkaji lebih lanjut hubungan
yang ada di antara para krediturnya. Hal ini tentunya lebih sulit
dibandingkan dengan apabila pendanaan hanya berasal dari seorang
kreditur saja.
4. Peluang untuk mengakhiri perjanjian. Klausula ini umumnya dihindari
oleh kreditur, karena jika peluang untuk mengakhiri ini secara terbuka
diberikan tentunya akan merugikan pihak kreditur. Kreditur dapat
kehilangan nasabah debiturnya yang potensial. Akan tetapi kreditur harus
memberikan klausula untuk mencapai solusi secara bijaksana.
5. Standar hubungan di antara kreditur dan nasabah debitur. Klausula
hubungan antara kreditur dan nasabah debitur yang bersifat membatasi
ruang gerak nasabah debitur tentunya harus dihindari. Misalnya, nasabah
debitur harus selalu memelihara management yang memuaskan bagi
kreditur.
6. Referensi silang. Nasabah debitur harus bersikap hati-hati terhadap
klausula-klausula yang tidak saja mendasarkan kepada hal-hal yang ada
dalam perjanjian tetapi terhadap dokumen-dokumen lainnya.
7. Penggunaan kata-kata sifat yang tidak tergambarkan. Nasabah debitur
sepatutnya untuk menegosiasikan penggunaan kata-kata sifat yang
memiliki fleksibelitas dan tidak tergambarkan. Misalnya, penggunaan
kata "layak", "material", "penting". Kata-kata ini dapat mengakibatkan
kesalahpahaman di kemudian hari bagi pihak nasabah debitur.
8. Grace periods atau masa tenggang. Nasabah debitur menginginkan untuk
merundingkan dalam sebuah "periode pemulihan" dimana kreditur
mengizinkan untuk memperbaiki pelanggaran-pelanggaran yang dibuat
7
Ibid, Johannes hlm. 41-43
oleh nasabah debitur dan tidak dengan segera menya- takan sebagai
sebuah peristiwa kelalaian (default). Permintaan nasabah debitur dapat
dinilai layak dan kreditur tidak memiliki hak secara seketika untuk
mengumumkan hal tersebut sebagai kelalaian. Beberapa hal yang perlu
dipahami pula oleh nasabah debitur dalam periode pemulihan untuk
memperbaiki kinerja adalah:
a. terhadap pelanggaran dari klausula negative, harus secara spesifik
nasabah debitur dinyatakan salah terhadap klausula mana saja dan
segera harus memperbaikinya.
b. nasabah debitur perlu untuk meningkatkan prestasi tertentu terhadap
klausula-klausula yang dinilai belum secara prima dilakukannya bagi
kepentingan kreditur;
c. dan bila hal tersebut tidak segera dipenuhi, kreditur dapat
memberitahukan bahwa nasabah debitur telah melakukan kelalaian.
9. Fleksibelitas. Secara umum nasabah debitur harus memiliki fleksibelitas
dalam merundingkan dana kredit yang diterimanya. Dana kredit harus
memberikan manfäat bagi peningkatan kondisi keuangan dan aplikasi
dalam kegiatan bisnisnya.
10. Pengalihan manajemen. Selama memperoleh fasilitas kredit dari kreditur,
nasabah debitur terikat untuk tidak melakukan perubahan- perubahan
manajemen, misalnya melakukan penggabungan atau konsolidasi tanpa
memperoleh persetujuan dari pihak kreditur.
8
Irham Fahmi, 2015, Manajemen risiko Teori, kasus, dan solusi, Alfabeta, bandung, hlm. 23-29